"Kenapa dia tidur di sini?" gumam Dimas pada dirinya sendiri. Kemudian, Dimas langsung membopong Amel yang sedang tidur tersebut.Amel menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk, lalu bertanya, "Kamu sudah pulang? Apa kamu lapar? Aku akan membuatkan makanan untukmu."Dimas tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Aku nggak lapar. Tadi aku sudah makan di luar bersama klien. Biarkan aku menggendongmu ke dalam untuk tidur. Kamu akan masuk angin kalau tidur di sofa."Setelah Dimas berkata seperti itu, terdengar suara keroncongan dari perut Amel. Amel pun tersenyum malu sambil menggaruk-garuk kepalanya."Kamu lapar? Kamu sudah makan malam?" tanya Dimas dengan serius."Aku belum makan malam. Waktu pulang kerja tadi, aku nggak merasa lapar. Tapi, aku ketiduran di sofa waktu menunggumu. Sekarang aku merasa agak lapar." Amel merajuk sambil menggigit bibirnya dengan lembut."Kamu ini. Mulai sekarang, kamu nggak boleh kelaparan lagi. Beban kerjamu setiap hari itu nggak sedikit. Jadi, kamu har
Setelah selesai membersihkan dan membereskan dapur, Amel ingin membuang sampah ke luar. Saat melewati ruang kerja Dimas, Amel merasa ragu mau masuk untuk mengambil sampah dari ruang kerja tersebut dan sekalian membuangnya atau tidak. Namun, saat hendak mengetuk pintu, Amel khawatir akan mengganggu Dimas. Itu sebabnya, Amel mengurungkan niatnya.Setelah keluar dari rumah, Dimas mengikuti lokasi yang diberikan oleh Irfan. Tiba-tiba saja, Irfan muncul tanpa diketahui dari mana asalnya. "Pak Dimas, aku ada di sini."Dimas langsung menoleh dan melihat Irfan tengah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan kepadanya."Kenapa kamu nggak menungguku di mobil dan malah bersembunyi di sini?" tanya Dimas sambil melirik Irfan."Jangan bicarakan itu lagi, Pak Dimas. Keamanan di sini terlalu ketat. Mobilku nggak terdaftar, jadi aku sama sekali nggak boleh masuk. Aku berjalan masuk dari gerbang area vila ini. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di tempat ini," keluh Irfan dengan sedih."Sudahlah. Cepat
Mendengar itu, Amel baru merasa lega. Sebelumnya, dia khawatir jika Dimas akan kehilangan pekerjaannya karena masalah ini."Oh, ternyata hanya bercanda. Sepertinya aku sudah berpikir terlalu banyak. Pak Irfan, apa kamu datang kemari untuk urusan bisnis?" tanya Amel sambil lalu pada Irfan."Aku ... aku datang untuk mengunjungi seorang teman. Waktu aku mau pulang, kebetulan aku bertemu dengan Pak Dimas. Kami pun akhirnya mengobrol sebentar." Irfan bisa menjawab dengan cepat, karena otaknya juga bereaksi dengan cepat."Berhubung sudah datang kemari, mampirlah sebentar ke rumah kami untuk minum teh.""Nggak usah, nggak usah. Sekarang sudah malam. Lain kali saja aku mengunjungi kalian. Aku pergi dulu." Setelah berkata seperti itu, Irfan pun langsung menyelinap pergi."Aku pikir kamu masih bekerja di ruang kerjamu. Kenapa kamu keluar?" tanya Amel sambil menatap Dimas dengan bingung."Ada beberapa barang yang tertinggal di mobil. Aku ingin membawanya masuk. Kebetulan, aku bertemu dengan Pak I
Amel tidak tahu bahwa semua hadiah ini sebenarnya diberikan oleh Dimas. Dimas hanya meminjam tangan Yunita untuk memberikannya saja."Sudahlah, berhentilah memikirkan hal-hal yang nggak berguna ini. Kita semua adalah keluarga, nggak perlu sungkan." Dimas mengambil gelang itu, lalu langsung memakainkannya di pergelangan tangan Amel.Amel memiliki kulit yang cerah serta pergelangan tangan yang sangat ramping. Dia terlihat sangat anggun saat memakai gelang itu."Kamu terlihat sangat cantik memakai gelang ini. Saat kita punya uang di masa depan, aku akan membelikanmu banyak perhiasan. Selama kamu menyukainya, aku akan membelikan semuanya untukmu.""Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu memenuhi janjimu."Setelah mengobrol sebentar dengan Dimas, Amel dengan senang hati pergi ke kamar mandi dengan gelangnya.Setelah mandi, Amel tiba-tiba teringat bahwa dia tidak membawa pakaian ataupun handuk saat masuk. Dia melihat dirinya yang tanpa busana di cermin, tiba-tiba pipinya seakan terbakar.
Dimas baru keluar dari kamar mandi saat rambut Amel sudah kering."Aku baru saja selesai mengeringkan rambutku. Kamu juga keringkan rambutmu.""Kalau begitu, bisakah kamu mengeringkannya untukku?" tanya Dimas dengan penuh harap. Amel sebenarnya ingin menelepon adiknya, tapi Dimas sudah meminta, jadi dia harus mengeringkan rambut pria itu terlebih dahulu.Rambut Dimas relatif pendek, sehingga bisa kering dengan cepat. Ketika mereka berbaring di tempat tidur dan bersiap untuk tidur, Dimas menerima pesan dari Jessica."Pak Dimas, aku merasa sangat nggak nyaman. Bisakah kamu datang untuk menemaniku sebentar? Aku nggak punya saudara atau teman di Kota Riwana. Selain kamu, aku benar-benar nggak tahu harus menghubungi siapa."Dimas melirik ponselnya dengan acuh, lalu mematikan ponselnya tanpa menjawab apa-apa."Bagaimana kalau kamu pergi ke rumah sakit untuk melihatnya? Lagi pula, dia terluka karena berusaha untuk menyelamatkanmu. Menurutku, nggak baik kalau kita nggak memedulikannya seperti
Amel merapikan rumah sebentar, sebelum melirik ke arah jam. Dia merasa bahwa Dimas pasti sudah tiba di lokasi konstruksi pada waktu ini. Kemudian, dia pergi keluar.Amel tidak pergi ke rumah orang tuanya seperti yang dia katakan. Sebaliknya, dia naik taksi untuk pergi ke rumah sakit.Amel mengetuk pintu bangsal dengan lembut. Setelah mendapat izin dari dalam, dia membuka pintu, lalu masuk.Jessica menjadi agak kesal saat melihat Amel berjalan masuk sendirian, lalu berkata, "Keluar kamu dari sini. Aku nggak mau melihatmu.""Nona Jessica, aku pikir kamu pasti tahu kenapa aku datang menemuimu. Dimas adalah seorang pria yang sudah menikah. Nggak pantas bagimu untuk mengirimkan pesan larut malam padanya." Amel berdiri di depan sambil menatap Jessica yang terbaring di tempat tidur. Ya, dia datang ke rumah sakit hari ini untuk menyatakan kepemilikannya!Jessica mengepalkan tinjunya erat-erat, lalu berkata, "Apakah kalian memiliki hati nurani? Aku terluka karena menyelamatkannya. Kalau bukan k
Begitu Amel memasuki toko, Clara segera mendekatinya dan bertanya, "Kak Amel, ada apa dengan dahimu?""Aku terpeleset dan terjatuh saat mandi tadi malam. Tanpa sengaja kepalaku terbentur." Amel tersenyum malu sambil membuat alasan."Kak Amel, kamu ceroboh sekali. Apakah lukanya parah?" Nada bicara Clara yang penuh kekhawatiran membuat hati Amel terasa hangat."Nggak parah. Dokter bilang aku akan baik-baik saja setelah istirahat dua hari.""Clara, tolong jaga ruang depan sebentar. Aku akan pergi ke dapur untuk membuat kue.""Oke."Dalam perjalanan kembali ke toko, Amel sedang melihat ponselnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Hari ini adalah ulang tahun Mirna. Bagaimanapun juga, Amel menjalankan bisnis toko kue, jadi dia ingin membuatkan kue ulang tahun yang indah, lalu mengirimkannya untuk Mirna.Saat Amel sedang sibuk membuat kue, Lili menelepon."Amel, hari ini adalah hari ulang tahun Bibi Mirna. Kamu dan Dimas harus pulang lebih awal malam ini. Bibi Mirna sudah memesan tempat d
"Aku memilihnya untuk bibiku, bukan untuk aku sendiri. Apakah ada warna lain untuk tas ini?" Amel melihat tas di tangannya dengan cermat. Dia merasa cukup puas dengan tas ini."Ada juga warna hitam klasik.""Aku nggak mau warna hitam. Berapa harga tas ini?" Amel merasa bahwa tas ini cukup bagus. Namun, dia samar-samar merasa bahwa tas itu pasti tidaklah murah."Hanya tersisa satu tas warna putih susu dan satu warna hitam. Harga asli tas ini adalah 9.372.000. Karena hanya tersisa dua, aku akan memberi diskon 30%. Jadi, harganya 6.468.000 saja. Kamu nggak akan rugi kalau membelinya sekarang." Setelah mendengar perkataan penjual, Amel sedikit ragu.Tas-tas yang biasa dipakai Amel semuanya dibeli di pasar. Harganya juga hanya sekitar 150 ribu. Amel merenung sejenak, lalu akhirnya tetap memutuskan untuk membeli tas itu. "Aku mau tas ini. Tolong bungkuskan untukku.""Nona, silakan ke sini untuk melakukan pembayaran."Amel mengeluarkan kartu ATM-nya. Saat menggesek kartunya, dia merasa sangat