"Kamu harus makan. Aku akan menunggu sampai kamu selesai, wajahmu pucat pasti kelelahan," ujar Evan kembali lembut, mencoba meyakinkan Serena untuk menjaga kesehatannya juga.Serena segera menggeleng, "Ti-tidak. Aku akan makan setelah Ibu makan. Kamu tidak perlu menunggu, kamu bisa pergi. Jangan sampai kamu terlambat ke kantor gara-gara aku."Evan menghela napas. "Tidak apa-apa jika aku terlambat sedikit. Yang penting kamu baik-baik saja."Namun, Serena tetap bersikukuh, "Tidak, Evan. Aku serius, kamu harus pergi sekarang. Aku tidak mau menjadi alasan kamu mendapat masalah di kantor. Aku benar-benar akan makan setelah ibu makan,” Serena berkata untuk menyakinkan Evan. Tapi yang sebenarnya dia lakukan adalah mengusir Evan secara halus. Ada kegelisahan yang Serena sembunyikan. Kendrick, yang sudah lama berada di kamar mandi, sedang menunggu Evan pergi. Serena merasa cemas dan ingin segera mengakhiri situasi ini.Evan, yang merasakan ada sesuatu yang tidak beres, memandang Serena dengan
Hari ini Serena hanya fokus merawat ibunya di rumah sakit. Dia menemani dan melayani apa yang Lydia butuhkan, dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Serena tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, bahkan untuk sejenak pun.Dia membantu ibunya makan, minum,dan melakukan kegiatan lainnya yang diperlukan. Serena juga selalu memastikan bahwa ibunya merasa nyaman dan tidak mengalami kesulitan apa pun. Hingga tanpa terasa jam telah menunjukkan pukul lima sore, Serena baru saja menyuapi Lydia makan dan minum obat. “Jika kamu mau pulang, maka kamu bisa pulang sekarang. Kamu pasti lelah dan besok masih harus bekerja,” tutur Lidya membuat Serena menatap ibunya. “Iya Bu, nanti Serena akan pulang. Ada yang ibu butuhkan lagi?” tanya Serena dengan lembut Dia memang telaten merawat ibunya dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Tidak ada Sayang, pulanglah sekarang. Sebentar lagi jam kerja pulang pasti macet jadi kamu harus pulang sekarang agar tidak terjebak macet.”“Baiklah, Serena akan pulan
Malam telah larut ketika Serena terbangun dari tidurnya. Gadis itu merasakan kelaparan yang mendesak, memaksanya bangkit dari peraduan hangatnya. Dengan langkah gontai, dia berjalan menuju dapur yang hanya diterangi cahaya rembulan yang menembus jendela.Serena mengambil paket mie instant dari rak dan sebutir telur dari kulkas. Dengan gerakan yang masih kaku karena baru bangun tidur, dia mulai memasak. Air mulai mendidih dalam panci, sementara Serena memecahkan telur ke dalamnya, menunggu dengan sabar sambil mengaduk perlahan.Suasana dapur yang sunyi hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi gemericik air dan desis mie yang mulai matang. Serena memandang jam dinding, melihat jarum jam yang terus bergerak, merenungi kesendirian malam itu sambil menunggu mie siap disantap.Sementara itu, Kendrick masih sibuk dengan pekerjaannya di ruang kerja, terpisah oleh dinding yang menghadang suara dan kehangatan. Meski bekerja keras, sesekali dia menghela napas, merindukan kebersamaan yang hanya bisa
Di tengah hiruk-pikuk kantor, sebuah notifikasi pesan masuk tiba-tiba saja membuat Serena terhenyak. Matanya segera tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya. Kendrick. [Sayang, aku ingin makan siang bersama. Aku tunggu saat jam makan siang ya.]Serena yang membaca itu langsung membuat otaknya berpikir keras apa yang harus dia jawab. Serena. [Apa itu akan aman, Ken? Aku takut jika seseorang menanyakan keberadaanku.]Kendrick. [Evan maksudnya?]Serena menelan ludahnya dengan susah payah, Kendrick dengan mudah menebak apa yang Serena pikirkan. Evan memang suka sekali mencari keberadaan dirinya, meskipun sudah beberapa kali dia menolak ajakan Evan. Tapi, pria itu seakan tidak lelah. Serena pun tak bisa terus menghindar karena dia merasa hutang budi dengan Evan yang memberikannya pekerjaan. Belum sempat Serena membalas, Kendrick sudah kembali mengirim pesan. Kendrick. [Dia ada janji makan siang dengan klien, jadi kamu bisa tenang.]Senyum Serena tanpa sadar m
Evan langsung menghampiri Kendrick dan melayangkan pukulan ke arahnya. Serena yang terkejut pun berteriak, tak sampai disana. Kendrick yang tidak terima membalas pukulan Evan membuat Serena segera menghentikan keduanya agar tidak berhenti saling memukul.Serena berada dihadapan Kendrick untuk menenangkan pria itu. "Kendrick, stop! Jangan memukulnya lagi," kata Serena dengan suara yang lembut.Sedangkan Evan menatap keduanya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Dia terlihat marah dan kecewa, tapi juga ada sedikit kesedihan di matanya. Evan tak terima Kendrick mencium Serena dan dia berpikir Kendrick mempermainkan Serena. Evan langsung menarik tangan Serena. “Jangan mempermainkan hati, Kak!” seru Evan dengan tatapan tajam. “Siapa yang mempermainkannya?”“Serena dengarkan aku, percaya padaku. Kak Kendrick memiliki kekasih, jadi jangan dengarkan ucapannya.”“Kekasih?” Serena menatap dengan penuh tanda tanya. “Iya dia telah memiliki wanita di sampingnya, bahkan mereka tinggal bersama.”
Pulang kerja, Serena langsung pulang tanpa menjenguk ibunya. Dia tak berani menghubungi Kendrick setelah kejadian tadi siang. Serena yang sampai di mansion Kendrick pun segera turun dari taxi. Namun, dia melihat sebuah mobil yang tak asing datang. Mobil itu berhenti tak jauh dari dia, Serena berdiri terpaku saat sosok Evan keluar dari mobil hitam yang tampak kilau. Jantungnya berdegup kencang, kakinya gemetaran, dan tangan dingin memegang tasnya dengan erat. Di kantor, Serena memang menghindari Evan, dia tak mau membuat Kendrick semakin marah. Evan pun menghampiri Serena, dia menuntut penjelasan tentang hubungan dia dan Kendrick. “Evan, apa yang kamu lakukan disini?” suara Serena terdengar gugup. "Apa yang terjadi antara kamu dan kak Kendrick?" tanya Evan dengan suara yang keras.Serena menghindar, tapi tangannya dicengkram oleh Evan. "Jawab aku, Serena!" tuntut Evan. Nadia yang ada di sana pun tampak bingung, harus melakukan apa.“Semuanya sudah dijelaskan oleh Kendrick bukan?”“A
Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui celah-celah gorden, membangunkan Serena dari tidur lelapnya. Ketika dia membuka matanya, tidak ada Kendrick di kamar itu. Dia langsung terduduk, memperhatikan setiap sudut kamar. Tiba-tiba, suara serak Kendrick yang lembut menyapa, "Selamat pagi, Sayang," membuat jantung Serena berdebar kencang.Kendrick muncul di pintu kamar dengan senyum lebar yang menghiasi wajah tampannya. Di tangan kanannya, dia membawa sepiring nasi goreng yang masih mengepul. Aroma rempah-rempah yang meresap sempurna dalam nasi goreng itu langsung menyeruak mengisi ruangan, menggoda indera penciuman Serena. Pria itu berjalan mendekat, meletakkan piring di meja samping tempat tidur Serena.Serena memandangi Kendrick dengan tatapan yang bercampur aduk. Di satu sisi, dia terpesona dengan sikap romantis yang ditunjukkan oleh Kendrick. Di sisi lain, ada rasa bingung yang mendalam. Meski bingung, Serena tidak bisa mengelak dari perasaan hangat yang mengalir dalam d
Matahari terik menyengat di atas kepala, ketika Kendrick dan Serena melangkah keluar dari salon. Jam tangan di pergelangan tangan Kendrick menunjukkan pukul dua siang, mengingatkan bahwa sudah saatnya mereka mencari makan siang. Mereka berdua berjalan menuju mobil Kendrick yang terparkir tidak jauh dari salon. Dengan gerak cepat, Kendrick membukakan pintu untuk Serena sebelum dia sendiri masuk dan menghidupkan mesin.Mobil melaju membelah jalan raya yang lengang, ketenangan hanya sesekali terganggu oleh suara klakson dari kejauhan. Tiba-tiba, suasana hening di dalam mobil dipecah oleh suara perut Serena yang berbunyi keras, tanda lapar yang tidak bisa ditunda lagi. Mendengar itu, Kendrick segera menoleh ke arah Serena dengan alis terangkat.Serena, yang terperanjat dengan reaksi spontan Kendrick, merasakan pipinya memanas. Dia buru-buru menutupi perutnya dengan tas tangan, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Dia berharap suara musik dari radio mobil bisa menutupi
Mentari pagi menerobos masuk melalui celah gorden, membekukan lembut wajah Serena. Ia mengerjap, merasakan kehangatan di sekitarnya. Kendrick. Pria itu sudah bangun, menatap dengan senyum teduh yang selalu berhasil menghangatkan hatinya."Selamat pagi, sayang," bisik Kendrick, mengecup bibir Serena singkat namun penuh kasih. Serena membalas senyumannya."Pagi, Ken. Mandi sana, nanti telat ke kantor." Kendrick menggeleng, senyumnya semakin lebar."Tidak ada kantor hari ini untukku." Serena sedikit mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”"Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu." "Tidak bisa, Ken. Aku juga harus ke kantor." Raut kekhawatiran langsung tergambar di wajah Kendrick."Kamu yakin Sayang?” Serena mengangguk, dia lalu berkata. “Aku ingin kembali bekerja. Aku tidak bisa terus menerus berdiam diri di rumah,bukan?” Suaranya lirih, namun terdapat ketegasan di dalamnya.Kendrick menatap Serena dengan lembut dan penuh pengertian. Mungkin benar, kembali ke rutinitas seperti biasa akan me
"Aku senang kalau kamu sudah mulai tersenyum lagi," kata Kendrick akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, seperti mendengarkan alunan lagu yang merdu.Serena terdiam, merenungkan kata-kata Kendrick. Ia menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Rasanya seperti menemukan secercah cahaya di ujung lorong gelap yang tak berujung.Namun, meskipun ada perubahan positif, ia masih tidak yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini hanya ilusi dari rasa rindu akan kebahagiaan yang sudah lama menghilang, ataukah ada sesuatu yang nyata?Kendrick tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya menemani Serena dalam diam. Serena menghela nafas pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar."Aku ingin kamu tetap disisiku, Sayang," kata Kendrick tiba-tiba, membuay suasana tenang yang sebelumnya ada di antara mereka. Serena langsung menegang. Ia menoleh menatap Kendrick, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang b
Pagi itu, Kendrick memutuskan untuk Angin sejuk menerpa wajahnya. Dia memperhatikan sekeliling—anak-anak bermain di kejauhan, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan beberapa orang tua duduk menikmati sore dengan segelas kopi. Semua orang tampak... menjalani hidup.Serena menggenggam lengan bajunya sendiri, merasa terasing di antara mereka. Kendrick berdiri di sampingnya, diam, memberi Serena waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar yang terasa asing."Ayo duduk," katanya akhirnya, menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang. Serena menurut, meskipun hatinya masih berat. Mereka duduk berdampingan dalam keheningan, hanya suara burung dan tawa anak-anak yang terdengar."Kamu tahu," Kendrick akhirnya membuka suara, "Aku dulu benci tempat kayak gini." Serena menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?" Kendrick mengangkat bahu. "Karena terlalu ramai. Terlalu banyak orang dengan kehidupan mereka masing-masing, sementara aku sIbuk dengan kehidupanku yang berantakan."Serena terdia
Hujan turun dengan rintik halus, seolah langit ikut berkabung atas kepergian Lydia. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati yang tertata di sekitar pusara. Serena berdiri di sana, mengenakan gaun hitam sederhana, matanya sembab karena terlalu banyak menangis sejak semalam. Dia menggenggam erat ujung syal milik Ibunya—satu-satunya kenangan yang masih bisa dia peluk. Nafasnya bergetar saat menatap nisan yang kini terukir nama Lydia Quirino, Ibunya, satu-satunya keluarga yang pernah dia miliki.Melody, Sofia, dan Luna berdiri sedikit di belakangnya, memberikan ruang tetapi tetap ada di sana untuknya. Mereka tahu betapa sulitnya hari ini bagi Serena. "Aku masih tidak percaya, Serena…" suara Melody terdengar pelan, dipenuhi kesedihan yang tulus.Sofia meremas lembut bahu Serena. "Tante sudah tidak sakit lagi sekarang. Tabte bisa tenang."Serena mengangguk kecil, meski hatinya masih terasa kosong. Seberapa pun dia mencoba meyakinkan diri, kenyataan bahwa Ibunya sudah pergi sel
"Bu… bangun, aku di sini… Ibu, tolong jangan tinggalkan aku!"Serena mengguncang tubuh Ibunya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Suaranya bergetar, nafasnya tersengal, seolah mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Kenyataan yang menyakitkan ini terasa terlalu berat untuk diterima.Tidak ada respons. Tidak ada gerakan.Hanya keheningan yang mengerikan. Keheningan itu seperti pisau, mengiris hati Serena, membuatnya merasa seolah dunia di sekelilingnya mendadak gelap."Ibu, kumohon!" Suara Serena pecah. Tangisannya meluap tanpa kendali. Ia menggenggam tangan Ibunya erat-erat, berharap ada kehangatan yang masih tersisa. Tapi dingin. Terlalu dingin. Dunia yang biasanya hangat dan penuh cinta kini terasa seperti ruang yang membeku.Seorang perawat yang berdiri di dekatnya menunduk, matanya berkaca-kaca. Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Lydia hanya bisa menarik napas berat sebelum menatap Serena dengan penuh belas kasih. Rasa empati di mata mereka me
"Kalau kamu mau pulang, aku tidak akan maksa kamu buat tetap di sini," suara Serena terdengar pelan, tapi nadanya jelas menunjukkan kelelahan.Kendrick, yang berdiri di dekat jendela kamar rumah sakit, hanya meliriknya sebelum berjalan ke menghampirinya. "Aku tidak akan ninggalin kamu di sini sendirian."Serena menghela napas. Matanya memandang tubuh Ibunya yang terbaring lemah di ranjang, wajah Lydia terlihat begitu pucat di bawah cahaya redup lampu rumah sakit. Dadanya terasa sesak. Sejak dokter mengatakan kalau kondisi Ibunya sudah tidak bisa diharapkan, Serena tahu waktu yang tersisa sudah tidak lama lagi. Kepanikan dan kesedihan menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.Kendrick berjalan mendekat, meletakkan tangannya di punggung kursi tempat Serena duduk."Sayang.""Hm?""Kalau kamu butuh sesuatu, bilang padaku ya.”Serena menoleh ke arahnya, menatap mata gelap pria itu yang terasa begitu tajam. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuatnya sedikit lebih tena
Mobil melaju cepat menembus jalanan kota yang masih basah akibat hujan tadi malam. Di dalamnya, Serena duduk diam di kursi penumpang dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuannya. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Perasaan cemas menyelimuti dirinya, seolah setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan pada kenyataan yang tak ingin dihadapi.Dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Kendrick yang sesekali meliriknya. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya memberikan kehadiran yang menenangkan. Namun, Serena tahu, dalam diamnya, Kendrick pasti memperhatikannya lebih dari yang ia sadari. Kendrick selalu bisa merasakan ketegangan di antara mereka, bahkan tanpa kata-kata."Aku di sini," suara Kendrick akhirnya terdengar, lembut namun tegas. "Apapun yang terjadi nanti, kamu tidak sendirian." Kalimat itu terasa seperti pelukan hangat yang meredakan sedikit kegelisahan di hatinya.
Serena masih bisa merasakan hangatnya sentuhan Kendrick di kulitnya. Dadanya naik turun dengan napas yang masih belum sepenuhnya stabil, dan pikirannya berkecamuk dengan banyak hal yang baru saja terjadi di antara mereka. Perasaannya campur aduk—antara kebahagiaan dan ketakutan. Hangatnya sentuhan Kendrick membuatnya merasa aman, tetapi ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya membuatnya sulit untuk sepenuhnya menikmati momen itu.Dia menoleh ke samping, melihat wajah Kendrick yang begitu dekat. Mata tajam pria itu kini terlihat lebih lembut, memandangnya dengan intensitas yang belum pernah Serena lihat sebelumnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa dihargai dan diinginkan, tapi di sisi lain, ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatnya merasa terjepit."Kau masih tidak percaya padaku?" suara Kendrick terdengar pelan, tetapi tetap penuh tekanan. Suaranya seperti sebuah mantra yang berusaha meredakan badai yang mengamuk di dalam diri Serena.Serena m
Serena masih terdiam, pikirannya melayang ke peristiwa tadi. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Kendrick muncul dengan nampan makanan di tangannya."Sayang, ayo makan," ujarnya lembut, suaranya menghangatkan ruangan yang sempat terasa dingin oleh kesunyian.Serena menoleh, senyum tipis menghias wajahnya yang pucat. Dia perlahan beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Kendrick ke sofa.Di sana, Kendrick dengan penuh perhatian menyuapi Serena, sesekali matanya menatap lembut ke arah Serena, memastikan bahwa ia menghabiskan makan malamnya."Kamu tidak perlu memikirkan apa yang terjadi tadi," kata Kendrick, suaranya penuh kepastian. "Aku janji, kamu akan aman di sini, di sampingku."Serena menatap mata Kendrick mencari kebenaran di sana. "Aku sudah memerintahkan Julian untuk mengurus Ibu pulang," tambah Kendrick."Aku sungguh akan melakukannya, Ken?" tanya Serena, masih ragu-ragu."Tentu saja, apa kamu pikir aku hanya bercanda?" jawab Kendrick, tersenyum."Tapi biayanya?" tanya Serena