“Apa yang kau bicarakan, Adeline? Sejak kapan kau dekat dengan seorang pria?!” Heinry yang selama ini tak memperhatikan kehidupan putrinya, langsung terkejut.
Namun, belum sempat Adeline membalas, Sabrina lebih dulu mendecak sinis. “Apa kau pikir kami akan percaya? Kau sudah berusaha merusak perjodohan saat pertemuan keluarga. Apa kau pikir aku tidak tahu jika kali ini juga trik licikmu untuk lolos dari perjodohan?!”
Adeline sempat menegang, tapi dia berusaha keras menata ekspresinya tetap datar di depan ayah dan ibu tirinya.
Sabrina pun menjulurkan tangannya ke pipi Adeline sembari bergeming, “sepertinya wajah cantik ini harus mendapat tamparan lebih keras. Kau bilang sudah memiliki calon suami sendiri? Konyol sekali!”
“Ya, Ayah dan Ibu tidak salah dengar. Saya memang memiliki calon suami, dan kami sudah menjalani hubungan cukup lama!” sambar Adeline yang seketika membuat alis Sabrina saling bertaut.
Alih-alih murka lebih kencang, tawa Sabrina malah meledak. Dia terbahak-bahak melihat Adeline berusaha keras menipu dirinya. Nyonya Daniester tersebut beralih menatap Heinry dengan raut muka penuh ejekan.
“Sayang, lihatlah putrimu. Sampai akhir pun dia tetap berbohong!” tukasnya tegas.
Rahang Adeline mengeras mendapati hinaan itu, hingga dia pun segera membantah, “saya tidak berbohong, Ibu! Jika saya bilang punya, maka artinya saya memang punya. Apa Ibu tidak paham bahasa manusia?!”
“Apa yang baru saja kau bicarakan, hah?!” Sabrina pun memberang.
Tangannya bahkan sudah gatal ingin menarik rambut Adeline dengan kasar, tapi kali ini dirinya menahan.
“Baiklah, coba katakan. Siapa pria itu? Dari keluarga konglomerat mana dia berasal? Jangan bilang kau hanya menarik sembarang pria dari jalanan dan mengajaknya tidur di ranjangmu!” Nyonya Daniester itu menghardik dengan tatapan berang.
Akan tetapi, Adeline tetap berusaha tenang seraya membalas, “Ibu akan tahu setelah melihatnya sendiri!”
“Kalau begitu bawa pria itu ke mansion dalam minggu ini. Jika kau tidak berhasil, maka kau tidak ada pilihan selain menikah dengan Alfred!” Sabrina mengakhiri pembahasan tanpa ingin ditentang.
Dan situasi ini sungguh membuat Adeline kelabakan. Bagaimana tidak, jika dia memang asal bicara? Seumur hidup, wanita itu tidak pernah berpacaran atau pun memiliki teman dekat laki-laki. Lantas apa yang akan dilakukan Adeline untuk meyakinkan Sabrina minggu ini?
Sampai tengah malam, Adeline bahkan tak bisa memejamkan mata dengan tenang. Jika tetap diam, maka dia harus menjadi istri Alfred. Artinya itu akan menghancurkan hidupnya, sebab Ludwig pasti akan tetap mengejarnya karena Alfred tak ragu berbagi wanita dengan sahabatnya tersebut. Namun, di mana Adeline bisa mendapatkan pria lain untuk menjadi calon suaminya?
***
Sementara esok harinya, Adeline yang pusing masih harus pergi ke Picasso Hotel. Ya, itu adalah hotel peninggalan mendiang ibu kandungnya yang kini dia kelola.
Ketika wanita itu baru saja memasuki lobi, seorang resepsionis perempuan menghentikannya.
“Selamat pagi, Nona Adeline,” tuturnya menyapa. “Maaf, Nona. Ada seorang tamu yang menunggu Anda.”
Adeline pun mengernyitkan keningnya. Dirinya merasa aneh karena sebelumnya dia tidak membuat janji dengan siapapun.
“Siapa tamu yang Anda maksud?” balas Adeline bingung.
“Mereka bilang dari Hera Group, Nona. Sebab itu saya meminta mereka menunggu di ruang tunggu khusus.”
Usai mendapat informasi tersebut, Adeline segera beranjak menuju tempat yang dimaksudkan. Akan tetapi, wajah wanita itu seketika membeku saat melihat tamu yang dibicarakan resepsionisnya.
“K-kau?!” Manik Adeline bergetar hebat.
“Akhirnya kita berjumpa lagi, Nona.”
Suara, rupa dan gelagat pria tersebut kembali dilihat oleh Adeline. Ya, tanpa wanita itu duga, River Reiner-pria yang kala itu nyaris membunuhnya, juga orang yang telah menghabiskan malam panas dengannya, kini malah mendatanginya ke Picasso Hotel.
Dengan mulut terbungkam rapat, Adeline diam-diam mundur dan berniat keluar ruangan. Namun, tiba-tiba asisten River sudah menutup pintu ruangan tersebut dan menguncinya dari dalam.
“Hei, apa yang kau lakukan?!” Adeline menyentak dengan tampangnya yang ketakutan.
“Apa Anda berniat kabur lagi dari saya?” River yang sedari tadi duduk di sofa, kini menyindir Adeline.
‘Aish, sial! Aku benar-benar terjebak bahkan di hotelku sendiri? Apa ini masuk akal?!’ batin Adeline kesal. ‘Tidak, tidak … aku harus tenang jika ingin menghadapi pria mengerikan ini!’
Akhirnya, Adeline pun berpaling. Dia berusaha keras meredam rasa takutnya dengan berjalan mendekati River dan duduk di hadapannya.
“Sebenarnya apa yang membawa Anda ke tempat ini?” tukasnya bertanya. “Ah … apa Anda menginginkan uang tutup mulut untuk insiden itu? Bukankah Anda bilang tidak butuh uang?”
“Rupanya ingatan Anda cukup tajam. Itu berarti Anda juga ingat, apa yang saya inginkan, bukan?” River menyambar seiring dengan sebelah alisnya yang naik ke atas. “Anda juga harus bertanggung jawab karena sudah mengambil keuntungan dari saya!”
Saat itu juga, Adeline langsung mengigit bibir bawahnya karena sepertinya dia salah bicara.
“A-apa maksud Anda?!” sambar wanita itu berlagak tak mengerti.
River pun melipat kedua tangan di depan dada dengan tatapan lekat. “Saya ingat jelas, bagaimana suara dan ekspresi wajah Anda saat meminta tolong pada saya, Nona.”
Sungguh, sensasi panas kini merayapi pipi Adeline hingga membuat tampangnya merona di tengah ketegangan. Agaknya, semua kata yang dia ucapkan malah menjadi boomerang untuknya. Akan tetapi, Adeline tidak bisa diam begitu saja. Dirinya tidak mau dianggap remeh di tempatnya sendiri.
Wanita itu berkata dengan rahangnya yang mengeras. “Tolong jaga sopan santun Anda, Tuan. Jika tidak, saya akan memanggil petugas keamanan untuk mengusir Anda!”
“Sopan santun? Mengapa saya harus bersikap sopan pada seorang wanita yang tidak memiliki etika?!” sambar River tak goyah.
“Apa yang Anda bicarakan sebenarnya?!” Dahi Adeline berkerut saat dia bertanya.
“Anda tidak perlu berlagak bodoh, Nona. Saya tahu Anda yang mencuri barang saya!”
Mendengar kalimat River, Adeline semakin tampak kebingungan. Hingga akhirnya pria itu melanjutkan. “Pistol Five-seven, senjata semi otomatis yang Anda ambil diam-diam saat saya masih tidur!”
Sontak, manik Adeline kini berubah selebar cakram.
‘Sialan! Mengapa dia harus ingat tentang pistolnya?!’ Wanita tersebut menggeram dalam batin.
Benar, saat itu Adeline yang masih ketakutan pada River, memang dengan gegabah meraih pistol pria tersebut dari nakas. Dirinya sengaja mengambil senjata api itu untuk melindungi diri, jika River tiba-tiba bangun dan kembali mengancam nyawanya. Namun, karena sangat panik, Adeline malah membawa pistol itu pulang bersamanya, dan tak menyangka River mendatanginya karena merasa barangnya dicuri!
Adeline menelan salivanya amat berat dan lantas berkata, “sa-saya minta maaf untuk masalah pistol itu. Saya akan mengembalikannya pada Anda, tapi tidak sekarang, karena saya meninggalkannya di rumah. Saya pasti—”
“Nona, saya tidak suka bercanda!” River langsung menyahut tedas. “Anda sudah berani kabur dari saya, mencuri barang saya, bahkan sekarang berdalih macam-macam. Bukankah orang seperti Anda sangat pantas dilenyapkan?!”
Leher Adeline sekejap menegang, bahkan belum reda rasa cemasnya, River kembali menambahkan. “Lihatlah, di ruangan tertutup ini tidak ada siapapun selain Anda, saya dan asisten saya. Orang lain tidak akan tahu jika Anda terbunuh di sini, jadi saya rasa tempat ini sangat cocok—”
“Be-berhenti bicara omong kosong! Sebenarnya apa yang Anda inginkan?!” sambar Adeline dengan iris gemetar. “Anda tidak mungkin mendatangi saya sejauh ini hanya karena pistol. Apa Anda benar-benar ingin membunuh saya karena saya menjadi saksi mata insiden itu? Saya sudah berjanji tidak akan buka mulut, tapi mengapa Anda sangat kejam pada saya?!”
Tanpa sadar, air mata Adeline merembes dari kelopak matanya, hingga membuat netranya berkaca-kaca. Meski begitu, dirinya tak sudi memohon ampunan pada River.
Namun, dari sudut pandang pria tersebut, hal ini justru sangat menarik.
“Anda ingin tahu cara lolos dari semua ini?” tukas River yang seketika membuat Adeline mengernyit. “Menikahlah dengan saya, Nona. Dengan begitu, saya akan mengampuni nyawa Anda!”
‘Apa dia sudah gila? Untuk apa aku menikahi seorang pembunuh?!’ batin Adeline dengan manik membelalak lebar.Meski bungkam, River bisa melihat jelas bahwa wanita di hadapannya sedang terkejut. Namun, dirinya tak peduli dengan hal ini, sebab yang dia butuhkan adalah jawaban. Adeline berusaha menata ekspresinya seraya bertanya, “mengapa saya harus menikah dengan Anda?”“Anda tahu bahwa saya tidak sedang memohon ‘kan? Waktu Anda untuk memutuskan hanya lima menit, jadi pikirkan baik-baik sebelum saya mengambil tindakan tegas!” sahut River dengan wajah tenang, tapi kata-katanya jelas mengandung ancaman.“Mana mungkin saya memutuskan hanya dalam lima menit?!”“Waktu Anda tinggal empat menit lagi!” River mendecak sembari melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.Dan itu, sungguh membuat Adeline tak habis pikir sampai dirinya pun mendengus, “a-apa Anda sudah gila?! Bagaimana bisa—”Adeline seketika menghentikan ucapnya saat asisten River tiba-tiba berdiri di belakang sembari mengarahkan p
“Me-mengapa dia datang ke sini?!” Adeline bergeming saat melihat River berdiri dengan sorot mata tajam.Sedangkan Ludwig yang mendengar ucapan adik tirinya, lantas berpaling seraya bertanya, “apa ini? Jadi kau mengenalnya?”Alih-alih menjawab, Adeline justru bungkam. Dia tak ada niatan menjelaskan pada Ludwig hingga kakak tirinya itu tampak semakin kesal.“Jadi kau tidak ingin mengatakan apapun? Kau tahu akibatnya jika membuatku marah ‘kan?!” Ludwig mendecak seiring dengan tangannya yang semakin rapat mencekik leher Adeline.Hal ini sungguh mengusik River sebab Ludwig tak menghiraukan peringatan pertamanya. Pria itu melangkah mendekati mereka dan lantas menarik tangan Ludwig agar menjauh dari wanitanya.“Apa Anda tuli? Saya bilang menyingkir darinya!” dengus River amat tegas. “Jangan pernah menyentuh calon istri saya, atau Anda akan menyesal!”“A-apa? Calon istri?!” Ludwig menyahut dengan ekspresi terkejut.Dia seolah tidak mempercayai ucapan tersebut, tapi baik Adeline maupun River
“Apa maksud Kakek buyut? Mengapa saya tidak bisa menikahi Adeline?!” tukas River menuntut penjelasan. “Sekali Kakek bilang tidak, maka artinya tidak!” Hans-Kakek buyut River itu menyambar dengan tajam. Situasi di ruang makan tersebut berubah lebih tegang. Dan Adeline yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sana, sungguh merasa terintimidasi sebab tidak ada satu pun keluarga River yang menyambutnya dengan hangat. Akan tetapi, River yang keras kepala tak bisa menurut begitu saja. Dia semakin erat menggenggam tangan Adeline sembari berkata tegas. “Jika Kakek buyut tidak mau mengatakan alasannya, maka saya tidak peduli. Karena apapun yang terjadi, saya akan tetap menikahi Adeline!” “River!” Hans kembali memberang dengan sorot penuh tekanan. “Bukankah Kakek buyut meminta saya untuk segera menikah? Tapi mengapa malah melarang setelah saya membawa calon istri?!” sambar River tak kalah berang. Hans kini merapatkan alisnya, nyaris tak percaya karena River berani meninggikan nada di ha
“Apa yang Anda lakukan?!” Adeline memberang usai River melepas ciumannya. Tatapan wanita itu pun berubah garang karena tak senang dengan tindakan sang pria. Akan tetapi, saat Adeline mendorong River menjauh, pria tersebut malah kian erat memeluk pinggulnya. “Berani sekali Anda bersikap kurang ajar pada saya! Walau saya setuju menikah dengan Anda, tapi bukan berarti Anda bisa memperlakukan saya seenaknya, Tuan Reiner!” tukas wanita itu menambahkan dengan sengit. Mendapati reaksi Adeline, River hanya menyeringai sinis, dan itu semakin membuat sang wanita dongkol. Dirinya pun menatap Adeline lekat dan lantas berbisik, “tenang saja, Nona. Besok pagi kita akan memberi kejutan pada semua orang.” “Kejutan? Apa maksud Anda?!” Adeline menodong penjelasan dengan alis saling bertaut. Meski tahu wanitanya amat penasaran, tapi River tak berniat menjelaskan dengan detail. Hingga esok hari tiba, kediaman Daniester pun dibuat heboh. Semua orang terkejut karena media didominasi dengan berita tak
“Bukankah hanya ini cara terbaik untuk menjaga citra Hera Group tetap aman, Daddy?!” decak River dengan tampang seriusnya. “Lagi pula seluruh orang di San Pedro sudah mengetahui skandal ini, jika saya tidak menikah dengan Adeline, apa yang akan mereka pikirkan?!” Jade tahu putranya sangat bertekad, tapi dia tak bisa setuju begitu saja karena Hans tidak mudah memberi restu. Dan dia pun tahu alasan Hans tidak tertarik dengan keluarga Daniester. “DNS, group perusahaan keluarga Daniester itu pernah berkonflik dengan Hera Group saat generasi Kakek buyutmu. Sebab itulah kakek buyutmu tidak akan memberi restu dengan mudah. Dan kau tahu, Daddy tidak akan memberi dukungan jika itu berpotensi merusak Hera Group ‘kan?” Jade mendengus dengan sorot tajamnya. River yang keras kepala seketika menarik sebelah bibirnya ke atas. “Apa itu salah Adeline? Calon istri saya tidak ada hubungannya dengan konflik itu, Daddy. Bukankah tidak adil jika melimpahkan kesalahan masa lalu pada kami?” balasnya kemud
“Apa yang Anda bicarakan, Nyonya Daniester?” Ibu River bertanya dengan alis saling bertaut.Di tengah ketegangan itu, Sabrina pun menimpali, “seperti yang saya katakan, Adeline hanya anak tiri. Walau saya sudah menganggapnya sebagai putri kandung, tapi bukankah Adeline tidak setara dengan River yang akan menjadi pewaris Hera Group?”Sontak, semua orang terkejut saat Sabrina bicara blak-blakan. Bahkan dia tak ragu menjatuhkan harga diri Adeline di hadapan keluarga calon suaminya.“Berhenti bicara omong kosong, Sabrina!” Heinry pun berbisik dengan tatapan berang.“Mengapa? Semua itu memang benar. Saya hanya tidak ingin keluarga Herakles menyesal dan akhirnya menjelek-jelekkan keluarga Daniester karena menerima Adeline sebagai menantu!” sahut Sabrina tanpa ragu.Mendapati ucapan nyonya Daniester tersebut, Anais-ibu River seketika merasa terganggu. Ekspresinya tampak muak dengan sifat tak terduga calon besannya itu.“Apa Anda pikir keluarga Herakles sepicik itu?!” decak Anais mendapukkan a
River hanya menyeringai saat sang asisten bertanya.Alih-alih menjelaskan, pria itu malah berkata, “aku harus segera menemukan dalangnya, tapi sialnya si berengsek itu malah lenyap. Apa orang-orang kita sudah menemukan anggota mereka yang lain?”“Saya mendapat informasi bahwa mereka kabur ke perairan La Ceiba, dan sekarang anggota kita masih terus mencarinya,” sahut sang asisten.Wajah River berubah berang mendengar laporan tersebut. “Terus kejar mereka sampai kita menangkap dalangnya!”“Baik, saya mengerti, Tuan.” Asisten River pun melajukan sedan mewah itu lebih kencang. Sepanjang perjalanan, River beralih menatap luar jendela mobilnya. Sorot matanya tampak dingin saat membatin, ‘tunggulah. Sesuai janjiku, aku akan menghukum mereka semua!’Begitu tiba di mansion Herakles, River pun mengunjungi kakek buyutnya. Kemarin dia dilarang ayahnya bertemu Hans, sebab kondisi pimpinan senior Hera Group itu belum stabil. Dan pasti akan semakin memburuk karena masih kesal dengan River yang tiba
"Komunitas apa yang kau maksud?" tanya Adeline tak mengerti. Amber menyeringai mendapati sahabatnya bingung. Dia pun menggerakan jari telunjuknya sebagai isyarat agar Adeline mendekat. "Dabin Community!" bisiknya menatap tajam, tapi Adeline malah mengernyit karena tak tahu apapun. "Komunitas elit yang berisi para Seniman terkenal. Calon ibu mertuamu adalah anggota Dabin Community. Jika kau berhasil masuk ke komunitas itu, maka kau ada kesempatan untuk dekat dengannya," lanjut Amber menjelaskan. Meski menemukan harapan, tapi Adeline tak bisa langsung senang. “Kau bilang komunitas itu beranggotakan para Seniman. Bukankah mustahil bagiku bergabung dengan mereka?” sahutnya membuang pandangan. Amber kembali tersenyum sembari membalas, “kau tidak perlu cemas soal itu. Aku dengar pimpinan Dabin Community juga bukan seorang Seniman. Aku rasa kau ada peluang jika berusaha keras mengambil hatinya!” Manik Adeline sekejap melebar mendapati ucapan Amber. Dia nyaris tak percaya kemampuan tema
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s
“Hubungi tunangan Jenson!” Johan meminta dengan wajah datarnya.Jennifer seketika mempersempit jarak alisnya. Dia heran karena tiba-tiba sang kakak menyinggung gadis tersebut. Dengan ragu, dia pun bertanya, “ma-maksud Kak Johan … Ashley Walter?”“Ya, cari tahu apakah dia ada di kediaman Walter atau tidak.”Mendengar permintaan itu, malah memicu rasa curiga Jennifer membesar. Tidak biasanya Johan peduli pada orang lain. Terlebih ini tunangan saudara kembarnya.‘Hah! Entah kenapa aku jadi sebal pada Ashley Walter. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi dia sering membuat Jenson maupun Kak Johan terlibat masalah. Sebenarnya gadis seperti apa dia?’ batin Jennifer dalam hati. “Jenny?” Johan membuyarkan lamunan sang adik. Jennifer kembali mengangkat pandangan padanya. Sorot matanya berubah lebih tegas seolah tak menyukai pembahasan ini. “Kak Johan, kenapa kau peduli pada Ashley?!” decaknya menuntut penjelasan.Alis Johan sekejap mendapuk. “Apa yang kau bicarakan, Jenny? Aku bertanya karen