"Komunitas apa yang kau maksud?" tanya Adeline tak mengerti. Amber menyeringai mendapati sahabatnya bingung. Dia pun menggerakan jari telunjuknya sebagai isyarat agar Adeline mendekat. "Dabin Community!" bisiknya menatap tajam, tapi Adeline malah mengernyit karena tak tahu apapun. "Komunitas elit yang berisi para Seniman terkenal. Calon ibu mertuamu adalah anggota Dabin Community. Jika kau berhasil masuk ke komunitas itu, maka kau ada kesempatan untuk dekat dengannya," lanjut Amber menjelaskan. Meski menemukan harapan, tapi Adeline tak bisa langsung senang. “Kau bilang komunitas itu beranggotakan para Seniman. Bukankah mustahil bagiku bergabung dengan mereka?” sahutnya membuang pandangan. Amber kembali tersenyum sembari membalas, “kau tidak perlu cemas soal itu. Aku dengar pimpinan Dabin Community juga bukan seorang Seniman. Aku rasa kau ada peluang jika berusaha keras mengambil hatinya!” Manik Adeline sekejap melebar mendapati ucapan Amber. Dia nyaris tak percaya kemampuan tema
“Seperti yang Nona tahu, komunitas ini hanya berisi para Seniman. Jadi kami tidak bisa menerima sembarang anggota, karena seorang Seniman saja kami perlu melakukan tes karya!” tukas Lariat Anne dengan ekspresi tegas.Walau tak mengatakannya langsung, tapi wanita itu seakan merendahkan Adeline yang notabennya bukan seorang Seniman. ‘Aish, sial! Ternyata orang ini cukup rumit!’ batin Adeline kesal.“Saya bukan tidak menyukai Nona, tapi ini tentang profesionalitas. Saya harap Anda mengerti!” Nyonya Lariat itu kembali berkata lebih tajam.Akan tetapi, Adeline yang memiliki ego tinggi langsung menyambar, “tunggu sebentar. Sejak tadi saya tidak paham ucapan Nyonya. Apa maksudnya tidak menerima saya sebagai anggota? Bagaimana Anda tahu bahwa saya ingin bergabung dengan Dabin Community, padahal saya tidak pernah mengatakannya?”Terjebak, Lariat Anne memang gegabah sebab mengibarkan bendera penolakan terlalu awal. Dan itu malah membuka peluang Adeline untuk mengintimidasinya.“Sebenarnya apa
Adeline sangat kesal saat pria yang menghampirinya bersikap tak sopan. Dia pun mengangkat pandangan seraya berkata, “apa maksud An … oh?! Ba-bagaimana Anda bisa datang ke sini?!” Sontak, Adeline terkejut saat menyadari River ada di hadapannya. Ya, pria itu duduk dengan seringai tipis seolah mengejek Adeline. “Saya tidak menyangka ternyata Anda sedang menunggu saya, bahkan menjaga kursi untuk saya.” River berkata seiring dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Ah, i-itu tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya hanya asal bicara karena tidak ingin diganggu orang asing,” balas Adeline berusaha menata ekspresi tetap datar. Untuk pertama kalinya, River melihat wajah tegang Adeline karena salah tingkah. Meski wanita itu berupaya menutupi, tapi pipinya yang berubah merah seperti mengadu pada River. Alih-alih terus menggoda calon istrinya, akhirnya pria itu bertanya, “sebenarnya apa yang Anda lakukan di tempat ini?” “Menurut Anda apa lagi? Tentu saja saya datang ke restoran untuk makan, b
“Benar, kami selalu mengadakan acara untuk menyambut anggota baru. Dan minggu ini adalah acara untuk Anda,” tutur Lariat Anne yang lantas membuat Adeline berbinar. “Saya akan mengirimkan undangannya ke alamat Anda.”“Ah, kalau bisa kirimkan ke Picasso Hotel saja. Saya lebih sering menghabiskan waktu bekerja di Hotel dari pada di rumah.” Adeline membalas dengan antusias.Dia rela melakukan apapun demi lari dari neraka yang diciptakan Sabrina. Dan di sinilah Adeline sekarang, dirinya semakin dekat dengan harapan kebebasan.“Baiklah, saya akan meminta asisten saya mengirimnya ke hotel Anda. Lalu, tolong berikan informasi akun rekening Anda. Saya akan mengirimkan uang pembayaran lukisan,” tukas Lariat Anne yang kini berpaling ke arah asisten di sebelahnya.Adeline yang tak paham ucapan Lariat Anne segera bertanya, “tunggu, apa maksud Anda, Nyonya? Awalnya saya memang berniat menjual lukisan itu pada Anda, tapi semuanya berubah karena kita sudah memiliki kesepakatan lain. Jadi Anda tidak p
“Dijodohkan? Sebenarnya apa yang Anda bicarakan?!” Anais yang sejak tadi diam, kini angkat bicara.Dan itu membuat rekan senimannya yang membuka rahasia Adeline tadi tersenyum sinis.“Apa Nyonya Anais tidak tahu jika calon menantunya sudah memiliki calon suami lain? Astaga, bisa-bisanya Anda dibodohi seperti itu?” sambarnya yang terdengar menyinggung.Situasi kini berubah tegang karena semua pasang mata tertuju dengan masalah Adeline yang terangkat ke publik. Tentunya Adeline tak bisa diam saja atau harga dirinya akan semakin jatuh.Wanita itu hendak buka suara, tapi Anais lebih dulu mendecak, “ck! Ternyata Anda tidak pernah berubah. Mengapa Anda selalu ikut campur urusan pribadi seseorang, Nyonya Cosseno?! Jika Anda punya banyak waktu luang, bukankah lebih baik Anda belajar memperbaiki sikap buruk Anda itu?!”Ibu River menatap tajam rekannya, dia amat kesal karena mereka memang tidak akur sejak lama.“Hei, jaga bicara Anda, Nyonya Anais! Jangan karena Anda menantu keluarga Herakles,
WARNING: Chapter ini mengandung adegan dewasa, pembaca harap bijak. Sensasi tegang langsung merayapi tubuh Adeline. Begitu menoleh, matanya seketika membelalak karena melihat orang yang paling dia benci berani menyentuhnya! “Sialan! Enyahlah dariku, Kak Ludwig!” umpat Adeline dengan wajah berang. Dia berupaya melepas pelukan sang kakak, tapi Ludwig malah semakin erat mendekap pinggulnya. “Jangan munafik, Adeline. Aku tahu, sebenarnya kau juga menginginkanku ‘kan?!” sahut Ludwig dengan nada serak. Napasnya terasa panas di tengkuk Adeline, pun juga aroma alkohol dari mulutnya, sungguh membuat Adeline merinding. ‘Si brengsek ini mabuk, aku tidak tahu hal gila apa yang akan dia lakukan!’ batin Adeline cemas dalam hati. ‘Tidak bisa, aku harus membuatnya keluar dari kamar ini!’ Dalam suasana tegang itu, Adeline pun berusaha mengendalikan diri. Maniknya mengerjap dan lantas berkata, “le-lepaskan aku dan kita bicara dulu, Kak. Aku—” “Apa kau pikir aku bodoh?!” Ludwig menyambar geram.
Adeline dengan cepat menginjak rem. Nyaris saja mobilnya menabrak pembatas jalan, tapi beruntung dia masih bisa mengendalikan sedannya tersebut. Wanita itu terengah-engah dengan tangan gemetar, wajahnya pun menegang saat menyadari bahwa dirinya baru saja lolos dari maut. ‘Sadarlah! Apa kau ingin mati, Adeline?!’ batinnya mempertingati diri sendiri. Wanita itu pun menunduk berusaha menguasai emosinya. Saat itulah dia tersadar bahwa ponselnya jatuh dan dalam posisi menelepon River. Adeline buru-buru meraih gawainya itu, lalu memutus panggilannya. “Astaga … kau gila, Adeline! Bagaimana bisa kau malah menghubunginya?!” umpatnya kesal pada diri sendiri. Dia yang sedang tertekan, kini memilih mematikan ponselnya. Adeline tak ingin terganggu atau memikirkan apapun hingga melempar benda pipih itu ke kursi sebelahnya. ‘Aish, sial! Mengapa harus aku? Mengapa ini terjadi padaku?!’ batinnya seiring dengan tangannya yang menyugar belahan rambut dengan frustasi. Adeline berniat membenamkan wa
“Ah, ini ….” Adeline tampak ragu saat River mengulurkan baju tidur wanita padanya. Memang konyol jika dia banyak tanya, tapi Adeline tak bisa menyembunyikan wajah penasarannya. Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata, “jadi Anda tinggal dengan seseorang?” Rasanya Adeline ingin menyumpal bibirnya sendiri, dia kesal karena tak bisa mengontrol rasa ingin tahunya. “Ini pakaian sepupu saya. Saya pikir Anda lebih akan lebih nyaman kalau memakai baju wanita dari pada baju saya. Jika Anda keberatan—” “Tidak!” Adeline segera menyambar sampai membuat River mengangkat sebelah alisnya. “Maaf, saya tidak bermaksud menolaknya. Terima kasih, saya akan memakainya.” Wanita itu akhirnya meraih baju tadi. Namun, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, dia merasa kurang nyaman karena baju itu tampak kecil untuknya. Adeline berdiri di depan cermin dengan ekspresi tegang karena baju tersebut hanya menutupi sebagian pahanya. “Aku pikir tadi akan pas, tapi ternyata lebih pendek dari dugaanku,” guma