“Ini hadiah pertama karena kau berani menantangku, River Reiner! Waktumu hanya lima belas menit!” tukas seseorang dari seberang. “Hei—” River menelan kata-katanya lagi saat orang itu mematikan telepon. Dia coba menelepon balik, tapi nomor itu sudah tidak aktif. Agaknya orang tersebut menggunakan ponsel sekali pakai dan sengaja mematikannya agar River tak bisa melacaknya. “Aish, brengsek!” River mengumpat geram. Jenson yang melihat amukan di wajah ayahnya pun bertanya, “Daddy, apa ada masalah?” “Tetaplah di sini menjaga Johan dan Nona Walter. Jangan kembali ke Picasso Hotel tanpa ijin Daddy. Kau mengerti?” sahut River menatap tegas. Jenson merasa ada yang tidak beres. Dari titah ayahnya, dia bisa menerka itu masalah besar. Namun, karena River belum memberitahu detailnya, maka Jenson hanya bisa mengikuti perintah. “Baik, Daddy,” sahut Jenson akhirnya. Tanpa membuang waktu, River pun bergegas pergi dari rumah sakit. Seorang anak buahnya segera membuka pintu belakang mobil karena R
“Sialan!” Siegran mengumpat saat beberapa monitor di depannya eror.Bahkan sejumlah komputer di ruang kontrol itu layarnya berubah gelap dan muncul barisan huruf yang menemuhi monitornya.“Brengsek! Apa seseorang meretas system Picasso Hotel?!” Siegran mendecak sengit.Jika ini dibiarkan, maka situasi semakin bahaya. Terlebih Jennifer masih terjebak di dalam lift. Jika system hotel tak segera dipulihkan, bisa-bisa Jennifer akan meregang nyawa karena tak bisa keluar saat bom meledak.Siegran melirik arloji sembari membatin, ‘tidak ada waktu lagi!’Dia yang cukup handal dalam pemrograman, langsung duduk di depan salah satu komputer itu. Tatapan tajamnya hanya fokus ke monitor. Jarinya juga mulai bergerak cepat untuk memulihkan system Picasso Hotel tersebut.Sementara di depan Picasso Hotel, River yang baru datang pun memindai sekitar. Alisnya menyatu karena tidak melihat istri dan putrinya.‘Aish, di mana Adeline dan Jenny?!’ batinnya dengan rahang mengeras.Pria itu pun masuk ke hotel
***‘Brengsek! Beraninya mereka bermain-main denganku!’River melepas jas hitam dan dasinya. Tangannya menggulung lengan kemeja sampai sebatas siku, lalu berkata, “kau bisa menebak siapa pelakunya?”Siegran yang mengikuti River ke ruang kerjanya, kini mengernyit dengan tatapan penuh selidik.“Mungkinkah Howard Company?” tuturnya menerka.“Bingo!” sahut River seraya menaikkan sebelah alisnya.Sebelumnya dia mendapat telepon dari nomor tak dikenal dan mendapat peringatan. Siapa yang menyangka rupanya penelepon anonim itu mempermainkannya dengan memasang bom asap di Picasso Hotel?!Ya, usai menemukan bom rakitan di bawah meja ballroom Picasso Hotel, ternyata bom itu tidak meledak. Melainkan hanya mengeluarkan asap tebal yang memenuhi ruangan dan membuat sesak napas. River amat kesal karena dibodohi. Sebab itu dirinya bertekad menemukan pelakunya.“Hanya Howard Company yang diuntungkan dari rusaknya acara malam ini. Selain itu, bukankah kau bilang putra mereka yang menculik Johan dan Nona
“Jangan bergerak, Nona!” tukas Jenson mencekal tangan Ashley.Sang gadis menatap waspada, seiring tangan Jenson saat menarik uraian rambutnya yang tersangkut di anting.“Sekarang sudah aman,” bisik pemuda itu tersenyum tipis.Alih-alih berterima kasih, Ashley justru menghempas cengkeraman Jenson darinya.“Jaga batasanmu, Tuan Muda Jenson!” decak Ashley sengit. “Jangan berlagak dekat, karena kita—”“Tunangan!” sahut Jenson segera menyambar.Gadis di hadapannya mengernyit, tapi belum sampai Ashley menimpali, Jenson kembali berkata, “benar, bukan? Kita sudah bertunangan, maka saya bertanggungjawab melindungi Anda, Nona!”“Lucu sekali! Kita hanya bertunangan, bukannya menikah!” Ashley membantah sinis.“Ah … jadi Anda ingin kita menikah?” sambar Jenson seraya menaikkan sebelah alisnya.Sungguh, Ahsley benar-benar tak menduga jawaban itu. Dia kini melihat jelas perbedaan karakter Jenson dan Johan.“Cih! Kenapa kau percaya diri sekali?!” Gadis tersebut mendesis sambil menyeringai tipis.“Akh
“Sayang!” Rose bergegas menarik Derek. Dia memeluk lelaki tersebut seraya melanjutkan. “Tenanglah, Sayang. Kau bisa benar-benar membunuh Ashley jika seperti ini.” Ya, wanita simpanan Derek itu mulai berani muncul di depan umum. Awalnya dia hanya mengunjungi Derek di mansion Walter. Namun, setelah istri Derek tiada, Rose tak segan-segan mengambil perannya dan itu membuat Ashley semakin muak. “Anak ini sudah keterlaluan. Bagaimana bisa dia kabur di acara pertunangan dan hampir—” “Aku tau kau marah, tapi mungkin Ashley punya alasan,” sahut Rose sebelum ucapan Derek tuntas. Dirinya melirik Ashley yang terbaring di brankar, lalu bertanya, “benar ‘kan, Ashley? Ibu tau kau mungkin punya hubungan dengan putra kedua keluarga Herakles, tapi ayahmu sudah menjodohkan—” “Diamlah!” Ashley langsung menyambar sengit. “Ibu kau bilang? Sejak kapan kau jadi ibuku?! Berhenti mengoceh dan keluarlah. Hanya melihat wajahmu sudah membuatku mual!” “Ashley!” Derek mendecak murka. Namun, Rose segera mena
*** “Saya sudah mengendalikan media dan membungkam para Wartawan yang datang ke Picasso tadi malam, Tuan,” tutur Siegran yang sedang mengemudi. Ya, meski pagi itu laman berita dipenuhi dengan tentang pertunangan Jenson dan Ashley, tapi tidak ada satupun yang menyebut perkara lampu gantung atau terror bom di Picasso Hotel. Bahkan tamu yang hadir juga tutup mulut. River yang duduk di kursi mobil belakang pun berkata, “kerja bagus, Siegran. Lalu, bagaimana dengan orang yang tertangkap di Picasso?” Alih-alih langsung menjawab, Siegran justru melirik River dari kaca kecil di bagian depan mobil. “Mohon maaf, Tuan. Lelaki itu bunuh diri dengan menelan racun,” sahut Siegran yang seketika membuat River mengernyit. “Orang-orang kita juga tidak bisa menginterogasinya karena lelaki itu memotong lidahnya.” Seringai sinis pun terkuar di bibir River. Tatapannya kian tajam saat membatin, ‘sial! Mereka menyiapkan penyerangan dengan baik!’ “Siegran, potongan tangan lelaki itu dan lemparkan pada H
“Bisa-bisanya kau keluar dengan perban di sana-sini.” Ashley mengamati luka Johan di sekitar wajah. Tatapannya turun ke dada pemuda itu. Dia tau dadanya-lah yang tertembak. Tapi tiba-tiba Johan melengos, lalu melangkah menuju pinggir atap di dekat Ashley. “Bunuh diri-lah di tempat lain dan saat sepi. Jangan merepotkan orang lain!” decak Johan yang seketika memicu alis Ashley mengernyit. “A-apa? Apa yang kau katakan? Siapa yang mau bunuh diri?!” Gadis itu menyambar sinis. Alih-alih menjawab, Johan justru mengeluarkan rokok dari celana pasien dan langsung menyulutnya. Tingkahnya yang seolah mengabaikan Ashley, membuat gadis itu kesal. “Aish, sial!” Ashley menyugar belahan rambutnya sambil memaki pelan. Dia memicing sinis pada Johan yang dengan santai mengepulkan asap rokoknya. ‘Hah! Dia mendengarku tidak sih? Atau dia sengaja mengabaikanku?’ batinnya yang lagi-lagi coba melirik luka Johan. ‘Saat itu dia tertembak. Aku lihat tadi malam dia belum siuman. Kenapa tiba-tiba dia malah k
“Sialan! Kenapa dia tidak ada di mana pun? Tuan Muda Max bisa marah jika kita tidak membawa Nona Ashley hari ini!” tukas seorang lelaki berpakaian perawat di sana. Rekannya yang baru saja keluar lift pun menimpali, “hah! Berhenti mengoceh dan cepat cari. Siapa tau gadis itu ada di atap.” Mendengar semua itu, Ashley langsung melebarkan irisnya. Dia menatap Johan, tapi pemuda itu hanya mengedutkan alisnya dalam diam. Ya, Johan yang tadinya hendak menuju lift, tak sengaja melihat dua anak buah Maximilian tersebut. Dia ingat wajah orang tersebut, mereka tak lain antek-antek Max yang hampir membawa Ashley kemarin malam. Namun, beruntung saat itu Siegran dan bodyguard Herakles menghalangi mereka, hingga Johan bisa membawa Ashley kabur. “Apa kau mau pergi dengan mereka?” bisik Johan yang lantas membuat Ashley menggeleng pelan. Tiba-tiba saja, salah satu lelaki tadi berjalan menuju ke arah mereka. “Hei, sepertinya aku mendengar sesuatu dari sana,” katanya. Johan melirik bayangan lelaki
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho