‘Aish, sial! Mereka memukul Sopirnya, jadi ….’ Ahsley menjeda ucapannya dalam hati saat melihat sang Sopir pingsan di luar mobil.Lelaki bermasker yang duduk di kursi kemudi menyalakan mobilnya, hingga memicu Ahsley kian panik.“Katakan siapa kalian! Apa Max yang menyuruh kalian?!” Ashley mendecak geram.Alih-alih menjawab, lelaki bermasker hitam tadi malah menginjak pedal gas dan langsung melesat dari Picasso Hotel.Saat itu Siegran yang sedang memeriksa keamanan sekitar hotel, langsung mengernyit melihat sopir Ashley tergeletak. Dia mengamati mobil Ashley yang baru pergi dan menyadari sesuatu.‘Tuan Muda Johan?!’ batinnya mengenali pemuda yang ada di kursi belakang. ‘Tuan Muda bersama siapa? Sepertinya … itu Nona Ashley?’Iris Siegran semakin lebar kala melihat dua lelaki bermasker hitam di kursi depan. Seketika itu kecurigaannya membumbung.‘Aish, sial! Sepertinya ada yang tidak beres!’ batinnya.Siegran berpaling pada dua rekan di belakangnya, lalu berkata, “kalian amankan orang i
“Tuan Muda?!” Siegran memekik buncah.Dia yang tak bisa melihat jelas siapa yang tertembak menjadi kian resah. Tanpa ragu Siegran langsung melesatkan pelurunya di kaca dekat kemudi.“Brengsek! Apa dia gila?!” umpat lelaki bermasker hitam dari dalam, saat Siegran menembah dengan brutal.Dia buru-buru meraih senjata api dari selipan pinggangnya.“Kau tangani anak-anak sialan ini!” decaknya melirik sang rekan. Tangannya dengan cepat membuka pintu, lalu menendang Siegran amat kuat. Siegran terhuyung, tapi beruntung dia bisa menjaga keseimbangan kakinya, hingga dengan sigap menembakkan peluru tepat di lengan lelaki tersebut.“Argh!” Lelaki masker hitam itu mengerang.Namun, Siegran yang tak kenal ampun langsung berlari ke arahnya dan menghajar wajahnya yang meringis kesakitan. Melihat rekannya yang terdesak, lelaki beralis tebal terpaksa keluar. Tapi baru saja menginjak aspal, Johan segera menarik bahu dan lantas melayangkan pukulan keras di wajahnya.“Bocah brengsek!” umpat si alis teba
***“Nona Walter?!” Jenson melebarkan irisnya saat melihat Ahsley masuk ballroom Picasso Hotel.Penampilan gadis itu yang berantakan memicu banyak tanya. Terlebih Ashley datang bersama Johan yang terluka.Ya, akhirnya Ashley dan Johan bisa lolos dari Maximilian saat beberapa anak buah River datang. Mereka dan Siegran menghadang antek-antek Max. Meski luka tembak dan tusukan di dada Johan kian menyakitkan, tapi pemuda itu berupaya keras membawa Ashley kembali ke Picasso. Sebab martabat keluarga Herakles dipertaruhkan!Namun, Ashley yang melihat Jenson justru membelalak tegang. Dia mengerjap, tapi wajah pemuda di hadapannya tidak berubah.‘Ja-jadi … mereka kembar?!’ batinnya tercengang. ‘Ba-bagaimana aku bisa tidak tau? Tidak, tunggu dulu. Kenapa Ayah tidak memberitahuku?’Ashley terpaku pada Jenson yang kini mendekatinya. Rambut pirang dengan manik abu itu memang sosok yang muncul di pertemuan keluarga. Sedangkan Johan yang rambutnya masih hitam alami dan leher penuh tato, adalah pemud
“Jenson, menyingkir!” Adeline memekik frustasi.Dirinya sangat khawatir karena pendengaran putranya bermasalah. Bahkan dengan impulsive, Adeline hendak berlari ke arahnya, tapi Jennifer segera menahan karena itu berbahaya.“Tidak, Mommy!” tukas gadis itu mencekal Adeline.Beruntungnya Jenson menyadari situasi. Dia mendongak dengan mata terbelalak.‘Aish, sial!’ batinnya yang dengan cepat mendorong Ashley turun dari podium.Mereka tersungkur ke lantai. Jenson pun mendekap Ashley dan melindungi gadis itu dari pecahan kaca lampu kristal yang berhamburan. “Argh!” Jenson mengernyit saat punggungnya tak sengaja terkena pecahan kaca tersebut.Orang-orang pun menjerit. Semua mata terbelalak karena lampu itu tiba-tiba jatuh. Bahkan beberapa dari mereka langsung mangkir dari ballroom.Namun, Adeline dan Jennifer justru mendekati podium. Mereka menghampiri Jenson dengan wajah tegang.“Jens, kau tidak apa-apa?” Adeline bertanya panik.Irisnya semakin lebar saat melihat punggung putranya terluka.
S2: Dia Tidak Bergerak Sendiri“Dia akan masuk lift!” Seorang Bodyguard Herakles memekik saat melihat lelaki bermasker tersebut.Dirinya dan beberapa rekan mengejar lebih cepat. Karena pintu lift lama terbuka, akhirnya si lelaki bermasker beralih ke tangga darurat. Dia buru-buru turun, tapi para bodyguard itu tidak membiarkannya lolos dengan mudah.Mereka terus mengejar. Bahkan seorang dari Bodyguard itu memekik tajam. “Berhenti atau aku akan menembakmu!”Alih-alih peduli, lelaki bermasker tadi tetap menuruni tangga dengan buncah. Hingga tanpa segan, bodyguard yang berteriak tadi, melesatkan pelurunya tepat ke kaki lelaki tersebut. Betisnya yang tertembak membuat langkahnya pincang, hingga dia terguling dari tangga dan tersungkur ke dasar lantai.Lelaki tersebut mengernyit kesakitan.Seluruh tulangnya seolah remuk, lebih-lebih lagi kakinya seperti terkoyak karena anak timah panas itu. Namun, anehnya dia tak mengerang atau mengeluh sedikit pun. Dia tetap bungkam saat darah mengucur dera
“Ini hadiah pertama karena kau berani menantangku, River Reiner! Waktumu hanya lima belas menit!” tukas seseorang dari seberang. “Hei—” River menelan kata-katanya lagi saat orang itu mematikan telepon. Dia coba menelepon balik, tapi nomor itu sudah tidak aktif. Agaknya orang tersebut menggunakan ponsel sekali pakai dan sengaja mematikannya agar River tak bisa melacaknya. “Aish, brengsek!” River mengumpat geram. Jenson yang melihat amukan di wajah ayahnya pun bertanya, “Daddy, apa ada masalah?” “Tetaplah di sini menjaga Johan dan Nona Walter. Jangan kembali ke Picasso Hotel tanpa ijin Daddy. Kau mengerti?” sahut River menatap tegas. Jenson merasa ada yang tidak beres. Dari titah ayahnya, dia bisa menerka itu masalah besar. Namun, karena River belum memberitahu detailnya, maka Jenson hanya bisa mengikuti perintah. “Baik, Daddy,” sahut Jenson akhirnya. Tanpa membuang waktu, River pun bergegas pergi dari rumah sakit. Seorang anak buahnya segera membuka pintu belakang mobil karena R
“Sialan!” Siegran mengumpat saat beberapa monitor di depannya eror.Bahkan sejumlah komputer di ruang kontrol itu layarnya berubah gelap dan muncul barisan huruf yang menemuhi monitornya.“Brengsek! Apa seseorang meretas system Picasso Hotel?!” Siegran mendecak sengit.Jika ini dibiarkan, maka situasi semakin bahaya. Terlebih Jennifer masih terjebak di dalam lift. Jika system hotel tak segera dipulihkan, bisa-bisa Jennifer akan meregang nyawa karena tak bisa keluar saat bom meledak.Siegran melirik arloji sembari membatin, ‘tidak ada waktu lagi!’Dia yang cukup handal dalam pemrograman, langsung duduk di depan salah satu komputer itu. Tatapan tajamnya hanya fokus ke monitor. Jarinya juga mulai bergerak cepat untuk memulihkan system Picasso Hotel tersebut.Sementara di depan Picasso Hotel, River yang baru datang pun memindai sekitar. Alisnya menyatu karena tidak melihat istri dan putrinya.‘Aish, di mana Adeline dan Jenny?!’ batinnya dengan rahang mengeras.Pria itu pun masuk ke hotel
***‘Brengsek! Beraninya mereka bermain-main denganku!’River melepas jas hitam dan dasinya. Tangannya menggulung lengan kemeja sampai sebatas siku, lalu berkata, “kau bisa menebak siapa pelakunya?”Siegran yang mengikuti River ke ruang kerjanya, kini mengernyit dengan tatapan penuh selidik.“Mungkinkah Howard Company?” tuturnya menerka.“Bingo!” sahut River seraya menaikkan sebelah alisnya.Sebelumnya dia mendapat telepon dari nomor tak dikenal dan mendapat peringatan. Siapa yang menyangka rupanya penelepon anonim itu mempermainkannya dengan memasang bom asap di Picasso Hotel?!Ya, usai menemukan bom rakitan di bawah meja ballroom Picasso Hotel, ternyata bom itu tidak meledak. Melainkan hanya mengeluarkan asap tebal yang memenuhi ruangan dan membuat sesak napas. River amat kesal karena dibodohi. Sebab itu dirinya bertekad menemukan pelakunya.“Hanya Howard Company yang diuntungkan dari rusaknya acara malam ini. Selain itu, bukankah kau bilang putra mereka yang menculik Johan dan Nona
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de