“Kau bilang hotel?!” River memastikan dengan tatapan tajamnya. “Benar, Tuan. Mereka mendatangi hotel keluarga Herald, jadi orang-orang kita hanya bisa mengawasi dari luar sebab penjagaan di sana sangat ketat,” balas Siegran menjelaskan. Seringai berbahaya muncul di sebelah bibir River saat membayangkan tindakan Jennifer. “Dia memang putriku!” tukasnya. Namun, reaksi itu seketika membuat Siegran jadi bingung. Dia mengernyit, was-was bila mulutnya telah mengatakan kesalahan. "Ha … Jennny! Anak itu sangat berbakat, bukan?” “Ma-maaf?!” Siegran menyambar bingung. Dia yang sejak tadi ragu menyampaikan laporan ini, sebab takut bila River marah atau kecewa, justru tercengang. Siegran pikir River akan menghukum putrinya, tapi rupanya Jennifer lolos begitu saja? “Kau lupa keluarga Herald sangat menutup rapat hotelnya? Mereka menempatkan banyak penjaga dan bahkan memilih tamu sejak kejadian itu!” River berujar sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja. “Jennifer. Panggil putriku
“Apa dua telinga itu hanya pajangan? Sejak kapan Ayah mengajarimu bersikap kasar? Jika tingkahmu seperti ini pada calon ibumu, bagaimana nanti di keluarga Herakles? Bisa-bisa kau lebih liar dan membuat keluarga Walter malu!” Derek mendengus murka. “Jadi pergilah ke ruang bawah tanah dan renungkan perbuatanmu!”Alih-alih gentar, Ashley malah menatap lebih tajam.Dia melirik wanita di pelukan ayahnya seraya berkata, “aku tidak bersalah, Ayah. Pelacur itu yang menamparku dan pura-pura jatuh saat Ayah datang!”Rose langsung merapatkan alisnya dengan wajah tegang, tapi dia buru-buru mengubah ekspresi jadi menyedihkan saat Derek menatapnya.“Sa-sayang, itu tidak benar. Kenapa aku harus memukul Ashley? Dia akan jadi putriku, jadi aku tidak mungkin menyakitinya,” tutur Rose berkaca-kaca.Derek sangat lemah jika wanita itu memelas, tapi Ashley tak bisa membiarkannya. Gadis itu tanpa ragu mendengus tegas. “Ayah lihat, apa yang sedang dipakai pelacur itu?! Itu baju kesayangan Ibu. Baju yang sel
“Berkencan katamu? Hei, apa kau menganggap hubungan kita serius?!” Ashley mencibir seiring langkahnya mengikuti Jenson dari belakang.Ya, dia tak bisa menolak ajakan calon tunangannya karena Derek pasti akan menghukumnya. Bahkan ayahnya itu meminta pelayan membantu Ashley berdandan dengan baju lebih layak sebelum pergi. “Aish, dia mengabaikanku? Kenapa tidak menjawab?!” Ashley mengangkat dress panjangnya, lalu menyusul pemuda di depannya.Gadis itu tak tahu kalau pendengaran Jenson kurang normal. Jadi pemuda tersebut tidak bisa mendengar cibirannya jika dia tidak bicara lebih keras. Hingga akhirnya Ashley menepuk bahu Jenson saat pemuda itu membuka pintu mobil untuknya.“Hei, kau dengar aku tidak?” tukas Ashley begitu Jenson berpaling.Pemuda itu mengedutkan alisnya dengan tatapan dingin. Ekspresinya yang muram langsung membuat Ashley menarik tangannya lagi. “Oh, maaf. Aku bicara padamu, tapi kau tidak menjawab. Jadi ….”“Jadi apa yang Anda tanyakan, Nona?” sahut Jenson memotong.As
“Dasar pengecut! Jika kau kesal padaku, kenapa menyerang orang lain, hah?!” Ashley menatap Max amat tajam. Lawan bincangnya menyeringai dan lantas menyambar, “maka harusnya kau jangan membuatku kesal, Ashley!” “Kau tau, aku akan menyingkirkan setiap kutu yang mendekatimu. Tidak peduli jika mereka keluarga Herakles sekalipun!” sambung Maximilian dengan sorot mata gilanya. Mendengar itu, Jenson merasa diremehkan. Tangannya mengepal geram melihat darah Jennifer menggelenyar dari titik sayatan. Dan itu memicu emosinya membengkak karena seumur hidup Jenson tak pernah menyakiti adiknya. ‘Max, atau siapapun bajingan ini, aku harus memberinya pelajaran!’ batin Jenson mulai melangkah. Tanpa diduga Jennifer yang sejak tadi diam, malah menyikut ulu hati Max amat kuat. Begitu cengkeraman pemuda itu longgar, Jennifer langsung menampik tangan Max yang memegang belati hingga menjauhi lehernya. “Menyingkir dariku, sialan!” umpat Jenny penuh emosi. Namun, saat dirinya hendak kabur, tiba-tiba Max
“Sialan! Lalu kenapa kau malah ke sini? Cepat kejar dan seret dia ke hadapanku!” Max mendengus murka. Bawahannya tampak ragu sebab Max sepertinya kesulitan menghadapi Johan. “Tapi bagaimana dengan Anda, Tuan Muda? Apa Anda butuh bantuan?” tanyanya. Maximilian mendapukkan alisnya dan lantas mendecak, “aku bilang tangkap Ashley, bodoh!” “Baik, Tuan Muda!” Sang bawahan langsung berlalu. Max pun melonggarkan tekanan belatinya, berniat menyusul ke depan untuk menemui Ahsley. Namun, Johan tak bisa membiarkan begitu saja. “Max, urusan kita belum selesai!” decak Johan yang seketika memutar tangan Max hingga belatinya terjatuh. “Argh!” Max mengerang. Belum sampai menampik, Johan langsung membekuk tanganya ke belakang, sampai dia tak bisa memberontak. “Kau pikir bisa pergi begitu saja setelah membuat kekacauan ini?!” decak Johan tegas. Ya, dia sengaja menahan Max agar Jenson bisa membawa kabur Jennifer dan Ashley. Dan benar saja, di depan gedung Alpha’s House, Ashley dan Jennifer sud
“Maksudmu Ibu mertua?!” River bertanya dengan alis mendapuk. Adeline menarik seringai miring dan lantas membalas, “sejak kapan dia jadi ibu mertuamu? Dia bahkan bukan ibu kandungku!” “Aku tau, istriku. Aku hanya tidak ingin menyebut namanya. Karena dia, kau sangat menderita,” sahut River dengan gigi terkatup. Adeline jadi teringat saat-saat menyesakkan selama berada di mansion Daniester. Bahkan tubuhnya merinding setiap kali orang awam menyebutnya dengan nama belakang. Nyonya Daniester! “Sabrina menderita penyakit mental karena depresi setelah kehilangan semuanya. Ayah, Kak Ludwig, bahkan kekuasaannya terhadap DNS Group. Dia tidak bisa lolos dari siksaan para Narapidana sampai mengalami depresi berat!” tukas Adeline mengedutkan alisnya. Dia mengepalkan tangannya geram, seraya melanjutkan. “Dengan alasan penyakit mental, Tuan Besar Daniester menggunakan kekuasaannya untuk mengeluarkan Sabrina dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Tapi kau tau, bukan? Selama di luar penjara, Sabrina b
“Si-siapa yang kau maksud?” Johan bertanya bingung.Dia membuang pandangan, lalu berdehem untuk meredakan canggung. Tapi Jennifer yang hafal dengan sifatnya, tentu saja tau kalau Johan sedang menghindar.“Kenapa berlagak tidak tau? Kak Johan tidak bisa bohong padaku!” sahut Jennifer sengaja menggoda.“Yah, aku ketahuan. Tentu saja ada gadis yang aku sukai. Siapa lagi kalau bukan kau? Adikku yang paling manis!” Johan berkata disertai senyum tipis. Mendengar itu, bibir Jennifer seketika tertekuk ke bawah.“Cih! Kakak mau menyembunyikannya dariku? Lihat saja, aku akan mencaritahu!” tukasnya menaikkan sebelah alis.“Kau sendiri, kenapa tiba-tiba menerima Lionel?” Johan berbalik menyelidiki.Sang adik mengerjap. Dia melihat rasa cemas di mata Johan dan tiba-tiba tertawa.“Lionel si Tuan Muda dari Herald itu?” tutur Jennifer mengangkat kedua alisnya.Dia berdehem, sorot matanya menatap Johan lebih lekat seraya berujar, “Kakak, mari bertukar informasi. Katakan siapa gadis itu, maka aku akan
“Kau?!” Johan tertegun melihat Ashley. “Ke-kenapa kau bisa ada di sini? Sedang apa kau—”“Apa sih yang kau bicarakan? Cepat ikuti aku!” Ashley menyambar sebelum ucapan Johan tuntas.Dia bergegas menarik pemuda itu pergi. Jennifer yang baru turun pun mengernyit, melihat punggung kakaknya menjauh. Dia menyipitkan mata, tapi sialnya tak bisa melihat wajah Ashley yang buru-buru menyeret Johan.“Kak Johan bersama perempuan? Apa dia kekasihnya? Mau ke mana mereka?” gumam Jennifer menahan senyum. Tiba-tiba saja pengamatan Jennifer buyar saat ponselnya bergetar. Dia melirik gawai tersebut dan mengangkat panggilannya.“Ya, Mommy. Aku dan Kak Johan sudah sampai,” tuturnya menyahut Adeline dari seberang. “Baiklah, aku akan masuk bersama Paman Siegran.”Jennifer menoleh dan berjalan masuk ke Picasso Hotel. Siegran pun mengikutinya dari samping sambil menjaga dengan waspada.“Aku dengar Nyonya Walter baru meninggal. Mengapa mereka buru-buru mengadakan pertunangan?” Jennifer bertanya seraya melir
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho