Hera mendadak linglung. Sementara Haikal dibuat bergeming. Di depan pintu toilet, Rey melongo melihat mereka berdua.
Hening...
'Apa saya gak salah lihat dan salah masuk? Kenapa mereka berdua-duaan disini?' tanya Rey dalam hatinya.
Rey fokus melihat genggaman tangan di depan matanya. Merasa mendapatkan sorotan mata dari Rey, refleks membuat Hera dan Haikal seketika melepaskan tangan.
Tidak hanya sampai disitu, Rey kini memindai matanya ke arah lantai. Ia melihat jas hitam milik Haikal tergeletak begitu saja.
Detik kemudian, Rey menyunggingkan bibirnya. Memang ia tak perlu banyak pikir. Pasalnya, situasi dan bukti-bukti yang ada telah mengarah ke suatu hal.
"Oh... sepertinya ada permainan panas yang baru saja terjadi? Hm... kedatangan saya disini menganggu. I am so sorry," sarkas Rey seraya membalikkan badan, berniat keluar.
Hera berdecak lidah emosi. Haikal sendiri terlihat memijit pelipis matanya. Mereka berdua merasa keberatan dengan pikiran Rey.
"Permainan panas apa maksudmu, Rey? Aku sama dia gak ngapa-ngapain kok," sahut Hera memberi argumen.
"Ya...ya... ya," balas Rey.
Hera menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Ia tidak terima dengan respon singkat Rey yang sulit digambarkan. Entah lelaki itu percaya dengan argumennya atau tidak.
Wanita itu juga menunggu sikap selanjutnya dari Haikal. Setidaknya ada penuturan tegas dari lelaki itu. Tapi sayangnya, Haikal memilih terdiam mengamati Hera saja.
"Ish!" Hera bergumam emosi menatap Haikal.
Hera merasa dongkol. Buru-buru ia menjelaskan segala hal pada Rey. Jangan sampai pujaan hatinya itu keterusan berpikiran sembarangan.
"Rey aku serius! Aku tidak melakukan apapun dengan orang ini," ucap Hera memelas seraya telunjuk tangan kanannya mengarah ke Haikal.
Merasa ucapan dan sikap Hera kurang ajar pada dirinya, Haikal tidak terima.
"Orang siapa maksud kamu? SAYA PUNYA NAMA! Dan satu lagi, jangan menunjuk-nunjuk saya seperti itu!" bentak Haikal emosi.
BRAK!
Haikal memilih keluar dengan rasa kesal yang menyelimuti hatinya. Pintu ditutup keras olehnya. Ia meninggalkan Hera dan Rey di dalam sana.
Hera membekap mulutnya. Ia tidak menyangka jika Haikal akan semarah itu padanya. Pikirannya tertuju pada Haikal. Entah akibat apa yang harus didapatkannya karena telah membuat atasannya itu marah-marah.
"Kamu sudah berubah banyak ya, Hera,"
Lamunan Hera buyar. Penuturan Rey membuatnya secepat kilat memandangi wajah lelaki itu. Ah, Hera melupakan sikap kurang ajarnya pada Haikal.
Ada moment membahagiakan yang ia rasakan saat ini. Tanpa direncanakan, Hera bisa berduaan dengan Rey. Tidak peduli dimana tempatnya.
Bagai bumi dengan langit, sikap jual mahal Hera pada Haikal, berbanding terbalik saat bersama Rey.
"Rey, kamu jangan berpikir macam-macam. Aku--"
"Hera... Hera... sepertinya kamu memang sudah banyak berubah. Kamu sudah seperti wanita jalang saja!" sela Rey mendesis sinis.
Ada raut kekecewaan yang terlihat di wajah lelaki itu. Yang Rey tau selama ini, Hera bukanlah tipe wanita 'nakal'. Rey pun semakin yakin untuk memilih tidak membuka hatinya pada Hera.
"Rey, kamu ini berpikiran apa? Kenapa kamu seperti orang lain yang tidak mempercayaiku? Aku ini masih sama seperti dulu,"
Rey menarik nafas panjangnya sesaat.
"Kamu ini memang orang lain bagiku, Hera. Syukur-syukur aku tidak membencimu karena kamu penyebab ibuku meninggal,"
"Rey, semuanya terjadi karena kehendak Tuhan. Andaikan aku tau jika perkenalan kita membuat ibumu menentang habis-habisan, aku memlilih takdir tidak mempertemukan kita dan saling mengenal satu sama lain. Ini persoalan hati, Rey," ucap Hera melemah.
Hera tidak habis pikir, sebegitu jahatnya takdir. Takdir dilahirkan dari keluarga tak berpunya. Perbedaan ekonomi yang jauh antara keluarganya dengan keluarga Rey, membuat ibunya Rey menolak habis-habisan hubungan mereka berdua kala itu.
Rey hanya tak ingin menjadi anak durhaka. Ia tak ingin membuat ibunya di alam sana tersiksa karena Rey mengacuhkan pinta Ibunya untuk menjauhi Hera.
Buliran bening menetes mengalir di sudut mata Hera. Bahkan semakin mengalir membasahi pipinya. Jujur... Hera selalu bersedih jika Rey terus-terusan menganggapnya sebagai biang keladi atas kepergian ibu lelaki pujaannya itu.
Rey terdiam. Lidahnya kelu seketika untuk berbicara banyak hal karena kini Hera menangis tersedu-sedu di depannya. Rey msncoba menenangkan wanita itu.
"Sudahlah, Hera. Kamu ini. terlalu berdrama. Aku tidak bisa melihatmu menangis tersedu-sedu seperti ini. Ambillah," ujar Rey seraya memberikan tissu ke wanita itu yang berada di dekat wastafel.
Hera awalnya masih terisak-isak kecil. Tapi ditegur oleh Rey, malah semakin membuat dirinya terisak hebat.
Hera mengambil tissu itu. Lalu berdehem beberapa kali. Mencoba membuat tenggerokannya tidak tercekat karena tangisannya.
"Aku ini memang tidak berdrama Rey. Hatiku memang sedang sakit. Lima tahun sejak kita lulus kuliah, tidak pernah terbesit sedikitpun aku mencari lelaki lain hingga detik ini. Aku hanya mencintaimu, Rey,"
Rey termangu sesaat. Detik berikutnya ia terkekeh kecil. Membuat Hera menatapnya heran.
"Are you kidding, Hera? Kamu yakin tidak menemukan lelaki lain? Atau... apa kamu tidak takut jika aku sendiri sudah melupakanmu dan justru menemukan perempuan lain? Hm?" tanya Rey menantang.
Hera tersenyum getir. Wanita itu tau jika Rey sedang mengungkapkan kebohongan. Wanita itu melangkah maju. Kira-kira sekitar satu jengkal saja wajah mereka saling berhadapan. Rey hanya bisa menatap lekat manik mata Hera yang masih berembun.
"Aku kenal kamu bertahun-tahun, Rey. Kamu mungkin bisa bersilat lidah. Tapi matamu tidak pernah bohong. Aku tau, kamu masih mencintaiku 'kan? Kamu ini lelaki yang sulit move on. Sama seperti aku,"
Hera mendesak. Tangannya mencengkram kerah baju Rey. Seakan ia tidak ingin ada kebohongan lagi yang diungkapkan lelaki pujannya itu.
Rey menghela nafas singkat. Pikirannya sangat berat untuk menjawab pertanyaan Hera.
"Kamu yakin mengatakan cinta padaku? Lantas apa maksudnya kamu dekat dengan Haikal seperti tadi?"
"Kamu cemburu, Rey?" tanya Hera. Seketika ada secercah harapan dipupil matanya.
"Tidak! Tapi aku hanya bertanya sesuai fakta yang aku lihat. Asal kamu tau, Hera. Aku tau Haikal itu seperti apa. Seumur-umur aku mengenalnya, dia sama sekali membatasi dirinya dengan wanita manapun. Jika kamu bisa dekat dengannya, itu berarti kamu istimewa baginya," ujar Rey mantap.
"Rey! Aku sama sekali tidak menyukai Haikal! Sudahlah, lebih baik kita makan siang saja bersama. Kamu mau?" tawar Hera mengalihkan topik pembicaraan.
Mengantisipasi jika Rey menolak permintaannya, Hera dengan sigap menarik paksa tangan Rey untuk mengajaknya ke pantry.
"Saya sudah kenyang!" tolak Rey sembari menghempaskan tangan Hera di lengannya.
TO BE CONTINUED
"Enak rasanya ditolak?" Hera terkejut. Wanita itu nyaris tersungkur jatuh ke belakang mendengar pertanyaan Haikal. Hera tak pernah menyangka jika CEOnya itu tengah masuk ke dalam ruangannya dan duduk manis disana Wanita itu menghembuskan nafas kencang. Tak bisakah Haikal berhenti menganggu dirinya? "Pak Haikal, silakan keluar dari ruangan saya. Tolong jangan menganggu saya," pinta Hera jengkel."Urusan pijit belum selesai 'kan?" tanya Haikal santai "Saya 'kan sudah bilang tidak mau memijitmu!" "Tutup pintunya sekarang! Dan jangan membantah!" pinta Haikal tegas tanpa memperdulikan celotehan Hera. Hera menarik nafas panjang. Jujur, ia ingin sekali menampar lelaki itu. Sikap Haikal terlalu kurang ajar dimatanya. Tapi sepertinya, Hera berpikir suatu hal. Kali ini ia harus menujukkan permainan cantiknya. BRAK! Hera menutup pintu lumayan kasar. Mengunci pintu dengan gerakan cepat. Lalu mal
Haikal berdiri di depan jendela ruangannya. Matanya menerawang menatap gedung pencakar langit. Pandangan matanya kosong. Tapi sungguh, isi kepalanya sejak tadi hanyalah sosok Hera.Lelaki itu menarik nafas panjang Merasakan gejolak yang membuncah isi hatinya. Entah mengapa, seperti ada getaran yang berbeda saat berada di dekat Hera. Rasa memilikinya menjadi tak terbendung."Akh!"Haikal mengusap wajahnya kasar. Tak berselang lama, pintu ruangan Haikal terbuka. Lelaki itu memindai tatapannya kesana."Ada apa?" ketus Haikal terlebih dahulu."Maaf Pak Haikal. Bu Ivo berada di bawah. Apakah saya harus melarangnya masuk ke ruangan anda?"Liva - resepsionis Antama Group, berdiri sopan disana. Sudah menjadi kebiasaan resepsionis untuk memberitahu ke Haikal apabila Ivo datang ke kantornya.Haikal menarik nafas panjang. Disaat yang bersamaan, wanita lain yang tak ia sukai datang mengganggunya."Kali ini biarka
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan,"
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan," “Yuhuuu,” Sudah beberapa waktu berlalu, Hera menunggu kedua
Hera terlihat begitu bersemangat menjalani hari pertamanya bekerja. Pagi-pagi sekali ia sudah datang ke kantor Antama Group, salah satu perusahaan properti terbesar dan terkenal di penjuru negeri ini. Hera memang mudah mengakrabkan diri ke karyawan lain. Makanya ia begitu percaya diri mondar-mandir di depan pintu masuk. Disana ia menyapa para karyawan yang datang silih berganti. Sebenarnya Hera punya maksud lain melakukan hal tersebut. Tidak lain adalah menunggu kedatangan Rey. Hera terkesiap saat melihat Rey telah ada di basement parkiran. Wajah wanita itu begitu berbinar-binar. Segala usahanya selama ini berhasil. Ia akhirnya bisa satu kantor dengan lelaki impiannya bernama Rey. "Selamat pagi, Pak Rey," sapa Hera membantu Rey menarik pintu utama kantor. "Selamat pagi Hera temanku," balas Rey mengulum senyum menatap Hera sekilas. Bukan sapaan singkat seperti itu yang Hera inginkan. Tapi sayangnya, Rey berlalu begitu saja. Jujur, itu
"Aroma tubuh ini... sepertinya aku pernah menikmatinya," 'Astaga, apa lidahnya begitu tajam merasakan seluruh permukaan kulitku?' batin Hera menjerit. Desiran bulu kuduk wanita itu mendadak meremang. Tidak! Haikal tidak boleh tau jika dirinya adalah wanita dimalam itu. Persetan sekuat apapun ingatan Haikal, tetap Hera tidak peduli itu semua.. "Maaf, Pak. Jika aroma parfum saya menganggu, nanti akan saya ganti," ucap Hera sopan dan tenang. Hera mencari alibi agar aroma yang diendus-enduskan oleh Haikal tidak lain adalah aroma parfum white muskmiliknya. "Ah lupakan! Begini, aku tidak suka karyawan wanitaku bersikap centil seperti dirimu tadi. Kalau aku masih melihatmu seperti itu, jangan harap karirmu akan bertahan lama disini!" desis Haikal menatap Hera dengan sorot mata tajam. Hera menghela nafas dalam hatinya. Ia pikir Haikal mengingat malam panas itu. Untungnya Haikal hanya mempersoalkan hal lain. Hera langsung mengang
Sebenarnya Rey emosi jika perusahaan terjadi masalah, sekalipun masalah kecil. Perusahaan dibawah pimpinan Haikal itu juga tidak lepas pengaruhnya dari Rey. Singkatnya, mereka berdua yang telah sama-sama membangun perusahaan properti raksasa itu dari nol. Haikal menghirup nafas dalam-dalam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rey. Isi kepala CEO itu tak karuan karena Hera. Bayangan malam itu terus terlintas dikepalanya. Entah mengapa, hasrat Haikal untuk terus mengukung Hera dalam genggamannya begitu kuat. Padahal, lelaki itu sebelumnya tidak pernah merajut hubungan dengan wanita manapun. Jangankan bermesraan, berinteraksi dengan wanita lain manapun, membuat Haikal malas melakukannya. Ia memang terkenal lelaki yang sulit ditaklukkan hatinya karena sikapnya yang dingin dan malas mengenal sosok wanita. 'Akh, sialan sekali wanita itu! Kenapa juga dia harus memberikan kenikmatan senikmat itu padaku!' rutuk Haikal dalam hatinya. "Hei, sepertinya ada
Haikal berdiri di depan jendela ruangannya. Matanya menerawang menatap gedung pencakar langit. Pandangan matanya kosong. Tapi sungguh, isi kepalanya sejak tadi hanyalah sosok Hera.Lelaki itu menarik nafas panjang Merasakan gejolak yang membuncah isi hatinya. Entah mengapa, seperti ada getaran yang berbeda saat berada di dekat Hera. Rasa memilikinya menjadi tak terbendung."Akh!"Haikal mengusap wajahnya kasar. Tak berselang lama, pintu ruangan Haikal terbuka. Lelaki itu memindai tatapannya kesana."Ada apa?" ketus Haikal terlebih dahulu."Maaf Pak Haikal. Bu Ivo berada di bawah. Apakah saya harus melarangnya masuk ke ruangan anda?"Liva - resepsionis Antama Group, berdiri sopan disana. Sudah menjadi kebiasaan resepsionis untuk memberitahu ke Haikal apabila Ivo datang ke kantornya.Haikal menarik nafas panjang. Disaat yang bersamaan, wanita lain yang tak ia sukai datang mengganggunya."Kali ini biarka
"Enak rasanya ditolak?" Hera terkejut. Wanita itu nyaris tersungkur jatuh ke belakang mendengar pertanyaan Haikal. Hera tak pernah menyangka jika CEOnya itu tengah masuk ke dalam ruangannya dan duduk manis disana Wanita itu menghembuskan nafas kencang. Tak bisakah Haikal berhenti menganggu dirinya? "Pak Haikal, silakan keluar dari ruangan saya. Tolong jangan menganggu saya," pinta Hera jengkel."Urusan pijit belum selesai 'kan?" tanya Haikal santai "Saya 'kan sudah bilang tidak mau memijitmu!" "Tutup pintunya sekarang! Dan jangan membantah!" pinta Haikal tegas tanpa memperdulikan celotehan Hera. Hera menarik nafas panjang. Jujur, ia ingin sekali menampar lelaki itu. Sikap Haikal terlalu kurang ajar dimatanya. Tapi sepertinya, Hera berpikir suatu hal. Kali ini ia harus menujukkan permainan cantiknya. BRAK! Hera menutup pintu lumayan kasar. Mengunci pintu dengan gerakan cepat. Lalu mal
Hera mendadak linglung. Sementara Haikal dibuat bergeming. Di depan pintu toilet, Rey melongo melihat mereka berdua. Hening... 'Apa saya gak salah lihat dan salah masuk? Kenapa mereka berdua-duaan disini?' tanya Rey dalam hatinya. Rey fokus melihat genggaman tangan di depan matanya. Merasa mendapatkan sorotan mata dari Rey, refleks membuat Hera dan Haikal seketika melepaskan tangan. Tidak hanya sampai disitu, Rey kini memindai matanya ke arah lantai. Ia melihat jas hitam milik Haikal tergeletak begitu saja. Detik kemudian, Rey menyunggingkan bibirnya. Memang ia tak perlu banyak pikir. Pasalnya, situasi dan bukti-bukti yang ada telah mengarah ke suatu hal. "Oh... sepertinya ada permainan panas yang baru saja terjadi? Hm... kedatangan saya disini menganggu. I am so sorry," sarkas Rey seraya membalikkan badan, berniat keluar. Hera berdecak lidah emosi. Haikal sendiri terlihat memijit pelipis matanya. Mereka berdua merasa keberatan
Sebenarnya Rey emosi jika perusahaan terjadi masalah, sekalipun masalah kecil. Perusahaan dibawah pimpinan Haikal itu juga tidak lepas pengaruhnya dari Rey. Singkatnya, mereka berdua yang telah sama-sama membangun perusahaan properti raksasa itu dari nol. Haikal menghirup nafas dalam-dalam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rey. Isi kepala CEO itu tak karuan karena Hera. Bayangan malam itu terus terlintas dikepalanya. Entah mengapa, hasrat Haikal untuk terus mengukung Hera dalam genggamannya begitu kuat. Padahal, lelaki itu sebelumnya tidak pernah merajut hubungan dengan wanita manapun. Jangankan bermesraan, berinteraksi dengan wanita lain manapun, membuat Haikal malas melakukannya. Ia memang terkenal lelaki yang sulit ditaklukkan hatinya karena sikapnya yang dingin dan malas mengenal sosok wanita. 'Akh, sialan sekali wanita itu! Kenapa juga dia harus memberikan kenikmatan senikmat itu padaku!' rutuk Haikal dalam hatinya. "Hei, sepertinya ada
"Aroma tubuh ini... sepertinya aku pernah menikmatinya," 'Astaga, apa lidahnya begitu tajam merasakan seluruh permukaan kulitku?' batin Hera menjerit. Desiran bulu kuduk wanita itu mendadak meremang. Tidak! Haikal tidak boleh tau jika dirinya adalah wanita dimalam itu. Persetan sekuat apapun ingatan Haikal, tetap Hera tidak peduli itu semua.. "Maaf, Pak. Jika aroma parfum saya menganggu, nanti akan saya ganti," ucap Hera sopan dan tenang. Hera mencari alibi agar aroma yang diendus-enduskan oleh Haikal tidak lain adalah aroma parfum white muskmiliknya. "Ah lupakan! Begini, aku tidak suka karyawan wanitaku bersikap centil seperti dirimu tadi. Kalau aku masih melihatmu seperti itu, jangan harap karirmu akan bertahan lama disini!" desis Haikal menatap Hera dengan sorot mata tajam. Hera menghela nafas dalam hatinya. Ia pikir Haikal mengingat malam panas itu. Untungnya Haikal hanya mempersoalkan hal lain. Hera langsung mengang
Hera terlihat begitu bersemangat menjalani hari pertamanya bekerja. Pagi-pagi sekali ia sudah datang ke kantor Antama Group, salah satu perusahaan properti terbesar dan terkenal di penjuru negeri ini. Hera memang mudah mengakrabkan diri ke karyawan lain. Makanya ia begitu percaya diri mondar-mandir di depan pintu masuk. Disana ia menyapa para karyawan yang datang silih berganti. Sebenarnya Hera punya maksud lain melakukan hal tersebut. Tidak lain adalah menunggu kedatangan Rey. Hera terkesiap saat melihat Rey telah ada di basement parkiran. Wajah wanita itu begitu berbinar-binar. Segala usahanya selama ini berhasil. Ia akhirnya bisa satu kantor dengan lelaki impiannya bernama Rey. "Selamat pagi, Pak Rey," sapa Hera membantu Rey menarik pintu utama kantor. "Selamat pagi Hera temanku," balas Rey mengulum senyum menatap Hera sekilas. Bukan sapaan singkat seperti itu yang Hera inginkan. Tapi sayangnya, Rey berlalu begitu saja. Jujur, itu
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan," “Yuhuuu,” Sudah beberapa waktu berlalu, Hera menunggu kedua
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan,"