Sebenarnya Rey emosi jika perusahaan terjadi masalah, sekalipun masalah kecil. Perusahaan dibawah pimpinan Haikal itu juga tidak lepas pengaruhnya dari Rey. Singkatnya, mereka berdua yang telah sama-sama membangun perusahaan properti raksasa itu dari nol.
Haikal menghirup nafas dalam-dalam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rey. Isi kepala CEO itu tak karuan karena Hera. Bayangan malam itu terus terlintas dikepalanya. Entah mengapa, hasrat Haikal untuk terus mengukung Hera dalam genggamannya begitu kuat.
Padahal, lelaki itu sebelumnya tidak pernah merajut hubungan dengan wanita manapun. Jangankan bermesraan, berinteraksi dengan wanita lain manapun, membuat Haikal malas melakukannya. Ia memang terkenal lelaki yang sulit ditaklukkan hatinya karena sikapnya yang dingin dan malas mengenal sosok wanita.
'Akh, sialan sekali wanita itu! Kenapa juga dia harus memberikan kenikmatan senikmat itu padaku!' rutuk Haikal dalam hatinya.
"Hei, sepertinya ada yang salah padamu. Betul?" tanya Rey meninggikan suaranya.
Haikal tidak mau menjawabnya. Ia memilih bangkit dari kursinya. Lalu menepuk pelan bahu karyawan sekaligus sahabatnya itu.
"Sudahlah, Rey. Aku rasa semuanya akan baik-baik saja. Tidak perlu terlalu risau dengan permasalahan perusahaan kita. Investor lainnya siap maju," ucap Haikal lalu berlalu pergi meinggalkan Rey yang masih berdiam diri.
***
Saat Haikal berjalan di lobi kantor, ia malah berpapasan dengan Hera. Wanita itu seketika menghentikan langkahnya saat Haikal yang terlebih dahulu menyapanya dengan suara deheman kecil.
“Pak Haikal,” sapa Hera sopan sambil menundukkan kepala.
“Mau kemana?”
“Mau ke ruangan Rey, Pak,”
Hera berniat melanjutkan langkahnya. Namun lelaki itu malah menghadang langkahnya. Hera lalu berjalan ke samping kanan, Haikal pun juga berjalan ke samping kanan menghadang jalannya.
“Untuk apa kamu ke ruangannya?” tanya Haikal sinis
‘Apa sih? Kenapa pak Haikal dari tadi aneh sekali!’ gumam Hera sambil menarik nafas panjang.
Harusnya Haikal tidak mempertanyakan hal itu. Hera dan Rey satu devisi dibagian keuangan. Jelas saja pastinya karena urusan pekerjaan. Sungguh pertanyaan konyol yang ia dengar dari mulut Haikal.
“Mau kasih berkas ini ke Rey, Pak. Sekalian saya meminta kepada Rey untuk mengajarkan saya segala hal sesuai yang bapak katakan tadi pagi,”
Haikal terlihat menggeleng dan berdecak lidah mendengar Hera.
‘Ya Tuhan, apa lagi ini?’ gumam Hera tak berani menatap Haikal.
Laki-laki itu langsung menarik dagu Hera agar menatapnya. Manik mata mereka saling bertemu. Hera langsung merasakan lidahnya kelu seketika.
“Saya percuma menerima karyawan jika tidak bisa mandiri! Mulai detik ini kamu fokus mengerjakan urusan pekerjaaan tanpa bantuan ataupun diajar oleh orang lain. Tidak usah sok manja untuk diajar,” desis Haikal membuat Hera menelan salivanya dengan kuat.
Hera menunduk ketakutan. Jangan sampai Haikal marah-marah padanya dan tiba-tiba memecatnya begitu saja. Jika itu terjadi, betapa konyolnya hidup Hera. Baru saja mau ia bisa sekantor dengan Rey, mendadak sirna dalam sehari saja.
"Ba-ba... Eh! Ma-mau kemana, Pak?" ucap Hera tiba-tiba berteriak histeris.
Haikal tidak memberi kesempatan disana. Ia secepat kilat menarik tangan Hera dengan kuat. Belum sempat mencerna rentetan peristwa, Haikal langsung menutup pintu dan itu Hera panik bukan main karena tiba-tiba diseret ke toilet pria. Lebih tepatnya, mereka berdua kini berada tepat di depan wastafel.
Hera mengusap wajahnya ketakutan. Ia melihat Haikal dibalik cermin.
"Pak Haikal! Kenapa saya dibawa kesini? Dan kenapa pintunya ditutup?” cicit Hera membentak.
“Kamu ini dari tadi bertanya terus. Capek saya dengarnya,” keluh Haikal.
Haikal menyugar rambutnya. Ia ikut mematut dirinya di depan cermin. Matanya fokus menatap wajah Hera yang juga berdiri menghadap ke cermin. Entah mengapa, semakin melihat Hera, degup jantung Haikal selalu saja tidak karuan.
Ia sebenarnya ingin berbicara empat mata dengan wanita itu. Ada dorongan yang membuatnya ingin mengenal lebih jauh segala hal tentang Hera.
“Kamu ini perempuan yang suka mabuk?” tanya Haikal serius.
Hera mengangga sesaat. Kali ini ia bisa pastikan jika Haikal tidak melupakan kejadian itu.
“Jawab!” kata Haikal tegas.
“Semua diluar kendali saya, Pak. Saya minta maaf karena sudah—”
“Hah, bisa-bisanya kamu minta maaf pada orang lain. Apa kamu tidak merasa bersalah pada dirimu sendiri karena keteledoranmu?” sela Haikal.
JLEB!
Pertanyaan Haikal terlalu frontal baginya. Yang membuat wanita itu makin malu saat ini karena Haikal menyindir persoalan harta berharganya yang terenggut untuk pertama kalinya. Ah, jelas saja. Haikal pasti tau akan hal itu.
“Ini juga karena keteledoran anda yang tidak bisa menahan! Sudahlah, saya harap pak Haikal tidak usah mengungkit-ungkitnya lagi. Cukup hanya sekali saja kesalahan ini terjadi dan kita bisa sama-sama melupakannya,” balas Hera seketika emosi.
“Ya. Ini pun kesalahan saya untuk pertama kalinya. Tapi bagaimana…” Haikal terdiam sejenak. Ia menaikkan sebelah alisnya, membuat Hera ikut terdiam menunggu kalimatnya.
“Bagaimana jika ternyata saya tidak bisa melupakannya?”
Hera termangu. Otaknya berusaha berpikir berat akan isi kepala lelaki itu. Belum sempat diberikan kesempatan berpikir, wanita itu kembali tertegun karena tingkah Haikal.
Disana, Haikal malah melepas jasnya. Itu membuat Hera terpana sesaat. Matanya terlalu menikmati pemandangan otot tubuh lelaki itu dibalik kemeja press body berwarna navy. Hera malah kembali mengingat malam panas itu.
‘Shit! Otak lu kotor banget, Hera! Lupakan-lupakan-lupakan!’ batin Hera sambil memejamkan mata.
“Kenapa kamu memejamkan mata? Sengaja, hm? " tegur Haikal.
Hera menganga dan terkaget. Kepalanya menunduk dan mengigit jari telunjuk kanannya sendiri, saking salah tingkahnya.
“Cepat pijit punggung saya. Hari ini saya tidak fokus bekerja karena kelelahan,” ucap Haikal santai.
Hera melipat kedua tangannya. Persetan otak Haikal mulai terkontaminasi atau apapun itu, Hera tidak peduli. Ia paling tidak suka diperlakukan rendahan secara sadar.
Haikal memasang wajah dingin. Tapi tidak sedingin sorot matanya yang menatap nyalang penuh emosi. Namun tidak membuat Hera bergidik ketakutan untuk persoalan ini.
“Pak Haikal yang terhormat, saya disini bekerja untuk perusahaan. Demi kemajuan perusahaan. Jangan memberikan pekerjaan rendahan seperti ini. Saya bukan—”
“Saya atasanmu. Atau kamu mau saya pecat detik ini juga?”
“Ih! Saya gak bisa pijit! Lagian ini di toilet. Saya tidak bisa berlama-lama disini. Cepat buka pintunya, ” balas Hera sedikit membentak.
“Ya sudah, kamu pijitnya di ruangan saya saja,” balas Haikal tenang.
Hera menggeleng cepat. Ia buru-buru menarik tangan Haikal agar tak keluar begitu saja. Ia mau memberikan penjelasan kepada Haikal jika dirinya tidak mau memijit.
“Pak Haikal jangan mencoba macam-macam dengan saya!” bentak Hera menolak permintaan gila Haikal.
“Kamu bisa berpikiran seperti itu jika saya melakukannya. Saya ‘kan hanya meminta tolong untuk dipijit! Jadi lepaskan tanganmu!” desis Haikal sembari matanya ke arah tangannya yang sedang dicengkram erat oleh Hera.
Disaat yang bersamaan, pintu terdorong begitu saja. Haikal dan Hera saling berpandangan sesaat. Lalu mata mereka kompak melihat ke arah pintu.
TO BE CONTINUED
Hera mendadak linglung. Sementara Haikal dibuat bergeming. Di depan pintu toilet, Rey melongo melihat mereka berdua. Hening... 'Apa saya gak salah lihat dan salah masuk? Kenapa mereka berdua-duaan disini?' tanya Rey dalam hatinya. Rey fokus melihat genggaman tangan di depan matanya. Merasa mendapatkan sorotan mata dari Rey, refleks membuat Hera dan Haikal seketika melepaskan tangan. Tidak hanya sampai disitu, Rey kini memindai matanya ke arah lantai. Ia melihat jas hitam milik Haikal tergeletak begitu saja. Detik kemudian, Rey menyunggingkan bibirnya. Memang ia tak perlu banyak pikir. Pasalnya, situasi dan bukti-bukti yang ada telah mengarah ke suatu hal. "Oh... sepertinya ada permainan panas yang baru saja terjadi? Hm... kedatangan saya disini menganggu. I am so sorry," sarkas Rey seraya membalikkan badan, berniat keluar. Hera berdecak lidah emosi. Haikal sendiri terlihat memijit pelipis matanya. Mereka berdua merasa keberatan
"Enak rasanya ditolak?" Hera terkejut. Wanita itu nyaris tersungkur jatuh ke belakang mendengar pertanyaan Haikal. Hera tak pernah menyangka jika CEOnya itu tengah masuk ke dalam ruangannya dan duduk manis disana Wanita itu menghembuskan nafas kencang. Tak bisakah Haikal berhenti menganggu dirinya? "Pak Haikal, silakan keluar dari ruangan saya. Tolong jangan menganggu saya," pinta Hera jengkel."Urusan pijit belum selesai 'kan?" tanya Haikal santai "Saya 'kan sudah bilang tidak mau memijitmu!" "Tutup pintunya sekarang! Dan jangan membantah!" pinta Haikal tegas tanpa memperdulikan celotehan Hera. Hera menarik nafas panjang. Jujur, ia ingin sekali menampar lelaki itu. Sikap Haikal terlalu kurang ajar dimatanya. Tapi sepertinya, Hera berpikir suatu hal. Kali ini ia harus menujukkan permainan cantiknya. BRAK! Hera menutup pintu lumayan kasar. Mengunci pintu dengan gerakan cepat. Lalu mal
Haikal berdiri di depan jendela ruangannya. Matanya menerawang menatap gedung pencakar langit. Pandangan matanya kosong. Tapi sungguh, isi kepalanya sejak tadi hanyalah sosok Hera.Lelaki itu menarik nafas panjang Merasakan gejolak yang membuncah isi hatinya. Entah mengapa, seperti ada getaran yang berbeda saat berada di dekat Hera. Rasa memilikinya menjadi tak terbendung."Akh!"Haikal mengusap wajahnya kasar. Tak berselang lama, pintu ruangan Haikal terbuka. Lelaki itu memindai tatapannya kesana."Ada apa?" ketus Haikal terlebih dahulu."Maaf Pak Haikal. Bu Ivo berada di bawah. Apakah saya harus melarangnya masuk ke ruangan anda?"Liva - resepsionis Antama Group, berdiri sopan disana. Sudah menjadi kebiasaan resepsionis untuk memberitahu ke Haikal apabila Ivo datang ke kantornya.Haikal menarik nafas panjang. Disaat yang bersamaan, wanita lain yang tak ia sukai datang mengganggunya."Kali ini biarka
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan,"
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan," “Yuhuuu,” Sudah beberapa waktu berlalu, Hera menunggu kedua
Hera terlihat begitu bersemangat menjalani hari pertamanya bekerja. Pagi-pagi sekali ia sudah datang ke kantor Antama Group, salah satu perusahaan properti terbesar dan terkenal di penjuru negeri ini. Hera memang mudah mengakrabkan diri ke karyawan lain. Makanya ia begitu percaya diri mondar-mandir di depan pintu masuk. Disana ia menyapa para karyawan yang datang silih berganti. Sebenarnya Hera punya maksud lain melakukan hal tersebut. Tidak lain adalah menunggu kedatangan Rey. Hera terkesiap saat melihat Rey telah ada di basement parkiran. Wajah wanita itu begitu berbinar-binar. Segala usahanya selama ini berhasil. Ia akhirnya bisa satu kantor dengan lelaki impiannya bernama Rey. "Selamat pagi, Pak Rey," sapa Hera membantu Rey menarik pintu utama kantor. "Selamat pagi Hera temanku," balas Rey mengulum senyum menatap Hera sekilas. Bukan sapaan singkat seperti itu yang Hera inginkan. Tapi sayangnya, Rey berlalu begitu saja. Jujur, itu
"Aroma tubuh ini... sepertinya aku pernah menikmatinya," 'Astaga, apa lidahnya begitu tajam merasakan seluruh permukaan kulitku?' batin Hera menjerit. Desiran bulu kuduk wanita itu mendadak meremang. Tidak! Haikal tidak boleh tau jika dirinya adalah wanita dimalam itu. Persetan sekuat apapun ingatan Haikal, tetap Hera tidak peduli itu semua.. "Maaf, Pak. Jika aroma parfum saya menganggu, nanti akan saya ganti," ucap Hera sopan dan tenang. Hera mencari alibi agar aroma yang diendus-enduskan oleh Haikal tidak lain adalah aroma parfum white muskmiliknya. "Ah lupakan! Begini, aku tidak suka karyawan wanitaku bersikap centil seperti dirimu tadi. Kalau aku masih melihatmu seperti itu, jangan harap karirmu akan bertahan lama disini!" desis Haikal menatap Hera dengan sorot mata tajam. Hera menghela nafas dalam hatinya. Ia pikir Haikal mengingat malam panas itu. Untungnya Haikal hanya mempersoalkan hal lain. Hera langsung mengang
Haikal berdiri di depan jendela ruangannya. Matanya menerawang menatap gedung pencakar langit. Pandangan matanya kosong. Tapi sungguh, isi kepalanya sejak tadi hanyalah sosok Hera.Lelaki itu menarik nafas panjang Merasakan gejolak yang membuncah isi hatinya. Entah mengapa, seperti ada getaran yang berbeda saat berada di dekat Hera. Rasa memilikinya menjadi tak terbendung."Akh!"Haikal mengusap wajahnya kasar. Tak berselang lama, pintu ruangan Haikal terbuka. Lelaki itu memindai tatapannya kesana."Ada apa?" ketus Haikal terlebih dahulu."Maaf Pak Haikal. Bu Ivo berada di bawah. Apakah saya harus melarangnya masuk ke ruangan anda?"Liva - resepsionis Antama Group, berdiri sopan disana. Sudah menjadi kebiasaan resepsionis untuk memberitahu ke Haikal apabila Ivo datang ke kantornya.Haikal menarik nafas panjang. Disaat yang bersamaan, wanita lain yang tak ia sukai datang mengganggunya."Kali ini biarka
"Enak rasanya ditolak?" Hera terkejut. Wanita itu nyaris tersungkur jatuh ke belakang mendengar pertanyaan Haikal. Hera tak pernah menyangka jika CEOnya itu tengah masuk ke dalam ruangannya dan duduk manis disana Wanita itu menghembuskan nafas kencang. Tak bisakah Haikal berhenti menganggu dirinya? "Pak Haikal, silakan keluar dari ruangan saya. Tolong jangan menganggu saya," pinta Hera jengkel."Urusan pijit belum selesai 'kan?" tanya Haikal santai "Saya 'kan sudah bilang tidak mau memijitmu!" "Tutup pintunya sekarang! Dan jangan membantah!" pinta Haikal tegas tanpa memperdulikan celotehan Hera. Hera menarik nafas panjang. Jujur, ia ingin sekali menampar lelaki itu. Sikap Haikal terlalu kurang ajar dimatanya. Tapi sepertinya, Hera berpikir suatu hal. Kali ini ia harus menujukkan permainan cantiknya. BRAK! Hera menutup pintu lumayan kasar. Mengunci pintu dengan gerakan cepat. Lalu mal
Hera mendadak linglung. Sementara Haikal dibuat bergeming. Di depan pintu toilet, Rey melongo melihat mereka berdua. Hening... 'Apa saya gak salah lihat dan salah masuk? Kenapa mereka berdua-duaan disini?' tanya Rey dalam hatinya. Rey fokus melihat genggaman tangan di depan matanya. Merasa mendapatkan sorotan mata dari Rey, refleks membuat Hera dan Haikal seketika melepaskan tangan. Tidak hanya sampai disitu, Rey kini memindai matanya ke arah lantai. Ia melihat jas hitam milik Haikal tergeletak begitu saja. Detik kemudian, Rey menyunggingkan bibirnya. Memang ia tak perlu banyak pikir. Pasalnya, situasi dan bukti-bukti yang ada telah mengarah ke suatu hal. "Oh... sepertinya ada permainan panas yang baru saja terjadi? Hm... kedatangan saya disini menganggu. I am so sorry," sarkas Rey seraya membalikkan badan, berniat keluar. Hera berdecak lidah emosi. Haikal sendiri terlihat memijit pelipis matanya. Mereka berdua merasa keberatan
Sebenarnya Rey emosi jika perusahaan terjadi masalah, sekalipun masalah kecil. Perusahaan dibawah pimpinan Haikal itu juga tidak lepas pengaruhnya dari Rey. Singkatnya, mereka berdua yang telah sama-sama membangun perusahaan properti raksasa itu dari nol. Haikal menghirup nafas dalam-dalam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rey. Isi kepala CEO itu tak karuan karena Hera. Bayangan malam itu terus terlintas dikepalanya. Entah mengapa, hasrat Haikal untuk terus mengukung Hera dalam genggamannya begitu kuat. Padahal, lelaki itu sebelumnya tidak pernah merajut hubungan dengan wanita manapun. Jangankan bermesraan, berinteraksi dengan wanita lain manapun, membuat Haikal malas melakukannya. Ia memang terkenal lelaki yang sulit ditaklukkan hatinya karena sikapnya yang dingin dan malas mengenal sosok wanita. 'Akh, sialan sekali wanita itu! Kenapa juga dia harus memberikan kenikmatan senikmat itu padaku!' rutuk Haikal dalam hatinya. "Hei, sepertinya ada
"Aroma tubuh ini... sepertinya aku pernah menikmatinya," 'Astaga, apa lidahnya begitu tajam merasakan seluruh permukaan kulitku?' batin Hera menjerit. Desiran bulu kuduk wanita itu mendadak meremang. Tidak! Haikal tidak boleh tau jika dirinya adalah wanita dimalam itu. Persetan sekuat apapun ingatan Haikal, tetap Hera tidak peduli itu semua.. "Maaf, Pak. Jika aroma parfum saya menganggu, nanti akan saya ganti," ucap Hera sopan dan tenang. Hera mencari alibi agar aroma yang diendus-enduskan oleh Haikal tidak lain adalah aroma parfum white muskmiliknya. "Ah lupakan! Begini, aku tidak suka karyawan wanitaku bersikap centil seperti dirimu tadi. Kalau aku masih melihatmu seperti itu, jangan harap karirmu akan bertahan lama disini!" desis Haikal menatap Hera dengan sorot mata tajam. Hera menghela nafas dalam hatinya. Ia pikir Haikal mengingat malam panas itu. Untungnya Haikal hanya mempersoalkan hal lain. Hera langsung mengang
Hera terlihat begitu bersemangat menjalani hari pertamanya bekerja. Pagi-pagi sekali ia sudah datang ke kantor Antama Group, salah satu perusahaan properti terbesar dan terkenal di penjuru negeri ini. Hera memang mudah mengakrabkan diri ke karyawan lain. Makanya ia begitu percaya diri mondar-mandir di depan pintu masuk. Disana ia menyapa para karyawan yang datang silih berganti. Sebenarnya Hera punya maksud lain melakukan hal tersebut. Tidak lain adalah menunggu kedatangan Rey. Hera terkesiap saat melihat Rey telah ada di basement parkiran. Wajah wanita itu begitu berbinar-binar. Segala usahanya selama ini berhasil. Ia akhirnya bisa satu kantor dengan lelaki impiannya bernama Rey. "Selamat pagi, Pak Rey," sapa Hera membantu Rey menarik pintu utama kantor. "Selamat pagi Hera temanku," balas Rey mengulum senyum menatap Hera sekilas. Bukan sapaan singkat seperti itu yang Hera inginkan. Tapi sayangnya, Rey berlalu begitu saja. Jujur, itu
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan," “Yuhuuu,” Sudah beberapa waktu berlalu, Hera menunggu kedua
“Hurry up, girls! Aku sudah tidak sabar," "Sabar dong, Hera. Kita touch-up dulu. Look at that… pengunjung begitu ramai. Apa dirimu tak ingin mencari mangsa disana?" tanya Celin—sahabat Hera. "Hei… Hera itu tidak perlu repot-repot mencari mangsa. Orang dia sudah menemukan mangsanya. Senior pujaan hatinya. Iya ‘kan?" ledek sahabatnya yang lain bernama Nay. Wanita cantik yang sedang digodai oleh kedua sahabatnya itu bernama Hera. Rambutnya panjang berwarna rose gold dan bermata manik hazel. Hera hanya tersenyum mendengar celotehan mereka. Malam ini mereka bertiga akan bersuka cita. Pasalnya, Hera baru saja diterima bekerja di kantor barunya. Bukan hanya pekerjaan barunya yang membuatnya bahagia. Tetapi yang jauh lebih membahagiakan adalah ia bisa satu kantor dengan lelaki idamannya bernama Rey. "Ya, memang aku tidak butuh mangsa. Mangsaku hanya Rey," ujar Hera begitu bangga. "That's it. Makanya malam ini harus dirayakan,"