Renata, sahabat Samira tidak tega melihat keadaan Samira yang mengkhawatirkan. Matanya sembab kebanyakan menangis. Tempat tidurnya terlihat berantakan, pasti tadi Samira mengacak-acak kamarnya dengan brutal karena kesal.
"Dengan siapa dia selingkuh?" Wanita berkulit sawo itu mengusap pundak Samira yang duduk di lantai bersender di ranjangnya.
"Temen sekerjanya." Jawab Samira. Dia terlihat linglung tidak bisa berpikir apa pun. Wajahnya sudah pucat pasi. Tentu saja ini adalah kenyataan pahit yang tidak bisa ia terima, "Aku lihat sendiri Re di rumah sakit. Hati aku sakit, Re." Samira memejamkan matanya, menjatuhkan air mata di kelopak matanya.
"Di rumah sakit? Perempuan sundal itu ngerawat Liam di rumah sakit? Gak tau malu banget sih dia." Renata kaget, dia tidak percaya Liam senekad itu. Renata bisa merasakan apa yang dirasakan Samira, sakit pastinya. Dia memeluk sahabatnya memberi kekuatan.
Samira tertawa, menertawakan nasibnya, "Aku gak pernah membayangka
Diva memasuki kamar Liam dirawat, hari ini dia sudah boleh pulang. Diva ingin membantu Liam membereskan pakaian pria itu. Sayangnya, Diva lupa Liam punya istri yang akan mengurus keperluan suaminya."Aku kira siapa, bikin kaget aja kamu," ucap Samira saat melihat Diva berada di ambang pintu. Tatapannya bukan kaget yang seperti itu, matanya tajam dan terkesan tidak suka.Liam hanya melirik Diva sebentar lalu kembali sibuk dengan ponselnya, tiga hari dia dirawat di sini. Liam tidak menyentuh pekerjaannya, pasti sekarang sudah menumpuk. Dokter juga menganjurkan agar Liam jangan dulu kecapean.Diva melangkah masuk, bingung ingin berbuat apa. Sedikit geram karena Liam juga tidak memperhatikannya."Udah boleh pulang sekarang, Bu?" tanya Diva, basa-basi.Samira mengangguk. "Iya nih. Dokter bilang udah boleh. Tapi masih harus istirahat di rumah.""Jadi belum boleh kerja?" komentar Diva yang terkesan kecewa. Gerakan Samira menyusun baju terhent
Liam tidak membuang waktu, dia segera mendatangi rumah Rayhard kakaknya yang beda tiga tahun dengannya. Rayhard pria cukup beruntung yang sukses menjadi pengusaha. Dia memiliki dua orang anak perempuan. Itu kenapa ayahnya selalu membanggakan Rayhard dibandingkan Liam. Padahal Ray jarang berkunjung ke rumah orang tua mereka."Nia, papah mana?" Liam langsung bertanya melihat keponakannya menonton tv di layar yang besar."Di ruang kerja Om, ada mama juga." Teriak Nia, karena Liam bicara sambil berjalan. Liam sudah sering ke sini jadi dia tahu seluk-beluk rumah Ray--dia pun menyebut Rayhard dengan panggilan Ray. Tidak ada sopan-sopannya."Liam? Katanya sakit kok malah dateng ke sini?" Viona menyambut adik iparnya dengan senyuman. Liam langsung duduk di sofa melihat Rayhard yang sibuk di meja kerjanya."Kenapa Liam? Ada masalah?" tanya Ray di sela pekerjaannya. Mereka tidak terlalu dekat tapi juga tidak t
"Kamu pernah berpikir gak? Hubungan badan itu bukan sekedar masukin aja... kamu harus ngerasa nyaman dan .... ya itu." Nikmat kata terakhir hanya dapat di lanjutkannya dalam hati."Emang kamu ngerasa aku gak nyaman?""Eh, maksudnya gak gitu sayang. Kan kamu sendiri yang waktu itu bilang gak mau hamil dulu." Jawab Liam halus. Matanya melirik pakaian Samira yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Sebenarnya sudah haknya mendapatkan jatah Samira.Samira tersenyum sinis. "Gak pa-pa Liam. Sekarang aku pengen jadi ibu untuk anak-anak kamu. Nanti juga aku pasti belajar seiring waktu." Samira melepaskan pakaiannya semua. Membuat Liam tidak bisa berpikir normal. Dia berdeham meletakkan laptopnya di meja."Kamu tahu kan gimana saya?"Samira mengangguk pelan."Iya kalo kamu maksa." Liam melakukan apa yang diinginkan Samira. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat saat Samira lebih dom
POV DivaMungkin kaum laki-laki menganggap wanita adalah kaum lemah yang bisa mereka perlakukan sesuka hati. Dulu aku membenci ayahku karena dia selingkuh, dia memilih selingkuhannya dibanding Ibuku. Dan sekarang aku terjebak dalam zona yang sama. Bedanya aku adalah pihak antagonis yang mencintai suami orang. Tapi kenapa Liam tidak seperti ayahku yang memilih selingkuhannya?Apa yang dia katakan? Ingin berpisah denganku begitu saja setelah dia meyakinkan aku untuk menerimanya. Peduli setan istrinya tidak ingin bercerai. Dimana janjinya setelah aku menerima cintanya? Setelah aku membiarkan dia menyentuhku. Setelah aku bersedia menjadi pihak ketiga dalam rumah tangganya.Kenapa aku harus duduk di depan dia menjadi pendengar penjelasan dia tentang Samira yang ingin memperbaiki rumah tangga mereka. Setelah aku mengorbankan segalanya untuk dia.Aku masih duduk diam mendengar kata-kata penyesalan yang keluar dar
Malam ini tepatnya pukul delapan. Samira mengajakku bertemu di taman dekat Apartemenku, bisa kebetulan ya dia ngajak ketemuan dekat tempat tinggalku. Kami belum bicara saja sudah tegang. Aku menghargai Samira sebagai istri Liam.Inikah akhir dariku?"Kamu sudah berapa lama berhubungan sama Liam?""Maksudnya apa? Pak Liam hanya atasan aku." Jawabku, kami berdiri berhadapan."Ya ampun! Ngaku aja deh, kamu itu udah ketangkep basah... dia itu suami aku monyet!!" Dia berteriak, aku suka sama Liam tapi sekarang Liam juga ingin kami berpisah. Apa dia ingin mendengar itu?"Aku tahu di kantor, dimana ada Liam kamu selalu ada." Satu tangan Samira mendorong bahuku ke belakang. Apa aku harus belajar menerima apa yang telah di tuliskan Tuhan, dan berharap pada akhirnya cara Tuhan akan membuatku bahagia."Kamu pikir aku gak bisa mencari tahu hubungan kalian? Aku bisa b
POV DivaTerkadang kita harus tahu dimana harus berhenti, sayangnya aku terlambat berhenti. Yang kuterima sekarang adalah hujatan dan nyinyiran. Teman sekantor menjauh karena menurut mereka aku menjijikkan. Aku berharap mereka akan mengerti apa yang kulakukan, aku salah tapi jangan hakimi aku melebihi batas kemampuanku. Aku begitu menderita."Mendingan kamu gak usah ikut meeting, Diva." Nara menghentikan langkahku."Kenapa?" tanyaku bingung."Satu kantor juga udah pada tau kamu sama Liam ada hubungan. Kamu gak tahu yang punya perusahaan ini kakak Liam, and than... istrinya ngadu kamu ngerayu suami dia." Nara berucap dengan otot di rahangnya."Ambil ini," Nara menyodorkan kertas putih, "Tulis aja apa yang mau kamu sampaikan nanti pas meeting aku kasih sama atasan." Ucapnya, lalu ia melanjutkan kembali setelah hening sejenak, "Meeting nanti ada orang-orang penting
Saat makan siang Nara berbaik hati menemaniku makan, mungkin dia kasihan tidak ada yang menyapaku di kantor. Peduli apa dengan mereka, kalau aku tidak makan mana bisa aku bertahan hidup. Semua orang punya khilaf, apa hanya aku yang tidak bisa dimaafkan?"Masih belum keluar juga, Va?" seorang wanita melewatiku dengan senyum sinis. Aku tahu banyak yang ingin aku keluar dari pekerjaan ini. Aku pura-pura mengabaikan mereka padahal hatiku sakit."Kayaknya dia lebih pendiem dibandingkan kemarin-kemarin. Apa karena gak ada backing lagi ya?"Nara melayangkan garpunya ke arah wanita di depan kami, "Bisa gak, jangan sok sibuk dengan urusan orang, hm?" Meskipun Nara memasang wajah ketus tapi tidak menghilangkan wajah cantiknya."Yuk, ah cabut. Takut ada Mak Lampir." Akhirnya mereka pergi.Harusnya aku tidak main api, jadinya gini kan. Jujur saja aku juga tidak ingin seperti ini. Rasa yang membuatku i
POV: Diva"Eh pelakor lewat tuh! Ditinggalin Liam jadi berantakan banget dia." Sindiran itu dari sebelah kanan. Rania bersama in the genk-nya. Senioritas banget kantor ini, dari awal aku memang tidak suka padanya."Makin lama makin nyebelin liat muka dia.""Setujah!" Balasan kasar dari sebelah Rania, "Cewek yang model pemalas kan pada nyari suami yang kompeten dan orang kaya raya. Gak perlu susah-susah tinggal ngangkang aja, sukses jadi pelakor."Rasa sesak di hatiku membuatku ingin menangis. Sepertinya seluruh dunia memperlakukan aku dengan tidak baik. Aku berusaha berjala elegan. Mengabaikan mereka aku berjalan ke mejaku, duduk dan melakukan perkerjaan yang seharusnya kulakukan daripada ghibah. Jelas aku tidak bisa ghibah karena tidak ada kawan untuk bercerita."Diva, bisa minta tolong nanti?" Wanita berbaju merah menghampiriku ke meja. Aku mendongak melihatnya