"Ada yang mau kamu tanya kan?"
"Semuanya sudah jelas kok, Pak." Nilam tersenyum penuh rasa yakin. Membuat Jean yang ada di depannya mengangguk bangga."Oh ya, sebelum mempelajari dokumen yang aku berikan. Tolong buatkan aku kopi dulu!""Siap Pak," sahut Nilam dengan semangat. "Takarannya 2:1 kayak biasanya kan?" lanjutnya tanpa sadar.Jean terpaku kaget. Alisnya terangkat, wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut."Biasanya?" Jean menoleh, menatap Nilam tajam namun penuh rasa ingin tahu.Nilam langsung tersadar dengan apa yang baru saja diucapkannya. Matanya melebar, dan wajahnya memerah. "Eh, maaf, Pak! Maksud saya, em... Tadi itu saya asal nebak kok. ehehehe." Ia menggaruk kepala sambil tersenyum canggung.Jean menyipitkan mata, seperti mencoba membaca pikiran Nilam. Namun, ia tidak berkata apa-apa dan hanya mengangguk kecil. "Baiklah, buatkan saja kopinya. Kalau rasanya cocok, aku akan anggap feeling-mu bagus."Sepanjang pagi, Nilam disibukkan dengan berbagai tugas administratif. Ia mengatur jadwal Jean yang padat, mencatat poin-poin penting selama rapat, dan menjawab panggilan telepon dari klien penting. Namun, tantangan terbesar datang ketika ia diminta untuk menyiapkan dokumen untuk presentasi penting yang akan diadakan sore itu. Jean ingin semua detailnya sempurna, tanpa ada satu pun kesalahan. “Pastikan grafik penjualan ini diperbarui sesuai laporan terbaru,” kata Jean sambil menyerahkan file elektronik kepadanya. "Siap Bos. Saya akan mengerjakan semuanya dengan baik." "Thank's." Fiuuuuh... Begitu Jean pergi dari hadapannya, Nilam langsung menghela nafas dan menyandarkan badannya di sandaran kursi. "Padahal ini hari pertama, tapi udah diberondong kerjaan sebanyak ini." Baru beberapa jam duduk di sana, tapi pantat dan punggungnya sudah meronta-ronta minta rebahan. "Emang enak di rumah aja nurut ama Mama. Tapi— aku bosen gak ada kegiatan." "Nilam," suara Jean yang tegas
"Darimana aja? Kenapa baru muncul?" Nilam menghela napas. "Hari ini sibuk banget aku, Mba. Padahal hari pertama tapi Pak Jean udah ngasih banyak kerjaan." "Ututuuu... Kasian..." Talita memasang wajah prihatin. "Terus sekarang kamu mau ke mana?" "Mau makan siang." "Hah? Kamu belum makan? Udah mau jam 3 ini." "Tadi Pak Jean nyuruh beli makan, tapi aku gak bisa makan dengan tenang kalau kerjaan belum selesai, makanya aku lanjut kerja dulu," balas Nilam. "Nanti kamu balik jam berapa?" Nilam menggeleng. "Belum tau, Mba. Tapi kayaknya lembur sih. Soalnya setengah jam lagi mau diajakin Pak Bos meeting." Jawaban Nilam semakin membuat Talita terperangah. "Meeting? Seriusan? Ini hari pertama kamu loh?" "Mau gimana lagi Mba. Kayaknya Pak Jean pengen aku cepet-cepet paham apa aja tugas-tugasku di sini." Talita menghela napas panjang, lalu menatap Nilam dengan wajah penuh simpati. "Kamu sabar aja, ya!" "Aku sabar kok Mba, ehehehe." "Aku jadi penasaran gimana sih Pak Jean? Dia galak gak
“Tapi... dia kan udah punya istri!” Nilam mengguncang-guncang kepalanya sendiri, mencoba menghilangkan pikiran itu. "Eh— punya belum ya?" Tiba-tiba ia teringat peringatan dari mamanya sebelum ia menerima pekerjaan ini. ["Hati-hati kerja sama bos laki-laki, apalagi kalau dia ganteng dan kamu sering dekat sama dia. Jangan sampai kamu jadi pelakor, Nilam!"] “Aku gak mau jadi pelakor,” katanya sambil menghela napas panjang. "Tapi kalo Bosnya seganteng Pak Jean, aku takut gak bisa tahan godaan." Sadar dengan apa yang dia pikirkan, Nilam langsung geleng-geleng kepala. "Astaga Nilam! Sadar! Sadar!" "Udahlah, mending aku abisin makanannya terus balik ke atas." Waktu hampir menunjukkan pukul tiga sore. Nilam buru-buru membereskan makanannya dan kembali ke ruangannya. Ia tak mau memberi kesan buruk dengan datang terlambat ke rapat pertama. Di ruang rapat, semua orang sudah berkumpul. Jean berdiri di depan, terlihat sedang mempersiapkan proyektor untuk presentasi. Begitu melihat Nilam ma
Jean membuka pintu kamar putrinya dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara yang bisa membangunkan anaknya yang sudah mulai beranjak remaja itu.Namun, saat memasuki kamarnya, dia dikejutkan dengan sebuah bingkai foto yang sedang dipeluk oleh anaknya. Juga, jejak basah disudut mata putrinya yang menandakan jika Qila baru saja menangis.Dengan perlahan, Jean menarik bingkai foto tersebut dari pelukan Qila. Bocah itu menggeliat pelan dalam tidurnya. Namun untungnya dia tidak terbangun.Jean duduk di tepi ranjang putrinya, memandangi bingkai foto yang baru saja ia ambil. Foto itu adalah gambar keluarga mereka sebelum semuanya berubah— Jean, mantan istrinya, dan Qila yang masih kecil, tersenyum bahagia di sebuah taman.Pandangan Jean menjadi kabur oleh emosi yang tak bisa ia tahan. Ia tahu betul bahwa Qila merindukan keutuhan yang dulu mereka miliki. Tetapi situasi yang terjadi tak lagi bisa diubah. Dengan lembut, Jean mengusap kepala Qila, menggeser beberapa helaian rambut dari waja
"Ughh..." Ia menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Mencoba menghalau rasa sakit itu."Nilam, kamu kenapa?"Perempuan itu tersentak kaget saat Jean tiba-tiba sudah berdiri di depannya. "P- Pak Jean.""Kamu kenapa? Sakit?" Jean mengerutkan keningnya, wajahnya tampak khawatir.Nilam menggeleng. "Enggak Pak. Saya gak apa-apa kok."Tak puas dengan jawaban yang Nilam berikan, Jean justru memandangi perempuan itu dengan lamat, memastikan jika Nilam tidak sedang berbohong padanya. "Kamu yakin?""Iya Pak.""Kamu kalau sakit mending pulang aja!"Nilam kaget. "E— enggak usah Pak. Saya gak apa kok. Barusan itu cuman vertigo aja. Ehehehe."Jean melipat kedua tangannya. Meskipun dia tidak yakin, namun Jean mencoba untuk mempercayai ucapan Nilam. Toh, kalau dia terlalu khawatir dia takut Nilam akan merasa canggung."Ya sudah kalau kamu baik-baik saja," kata Jean pada akhirnya. "Omong-omong, rangkuman rapat kemarin sudah siap kan?"Nilam mengangguk. "Sudah Pak. Mau dicek sekarang?""Boleh. Lan
Setelah satu jam, rapat akhirnya selesai. Para peserta mulai keluar dari ruangan sambil berbincang-bincang. Jean membereskan beberapa dokumen di meja, sementara Nilam berdiri di belakang, ragu apakah harus langsung pergi atau menunggu instruksi lebih lanjut. Jean menoleh ke arahnya, menatapnya dengan senyum tipis. "Nilam, kamu bisa ke ruanganku sebentar? Ada yang perlu kita diskusikan." "Baik, Pak," jawab Nilam dengan nada hati-hati. Di dalam ruangan Jean, pria itu duduk di kursinya sambil menyeruput kopi yang tadi dibuat Nilam. Ia menunjuk kursi di depannya. "Duduk aja, Nilam!" Nilam menurut, meskipun hatinya masih berdebar. "Kamu kelihatan banyak melamun di rapat tadi," kata Jean tiba-tiba. "Ada yang salah?" Pertanyaan itu membuat Nilam semakin canggung. 'Hah? Kok Pak Jean bisa nyadar sih? Jangan-jangan diam-diam dia juga merhatiin aku?' pipi Nilam memerah karena pikirannya sendiri. "Kamu okey kan?" "A-ah, maaf Pak. Saya kurang fokus karena..." Suara perempuan it
Jean duduk di meja makan bersama Qila, menikmati sarapan yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga mereka. Pagi Qila terlihat lebih semangat dari biasanya. Gadis kecil itu menyendok bubur ayamnya sambil berbicara tanpa henti tentang persiapannya untuk lomba menari nanti siang."Qila, kostum sama perlengkapan buat lombanya udah siap semua kan?""Udah Pa. Kemarin Bibi bantu siapin.""Nanti sebelum berangkat papa bantu cek ya, supaya gak ada yang ketinggalan.""Siap Pa."Jean tersenyum. Semangat putrinya pagi ini membuatnya ikut bersemangat juga."Papa, Qila udah siap banget buat lomba nanti!" katanya dengan senyum lebar.Qila tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya sejak pagi hari. Ia tak berhenti bercerita tentang gerakan tarinya, musik yang akan dimainkan, hingga urutan tampilnya. Matanya berbinar-binar seperti bintang, dan suaranya dipenuhi antusiasme setiap kali ia menyebut kata "lomba". "Papa gak sabar liat penampilan kamu." Ia mengusap pipi Qila dengan penuh kasih sayang."
"Nilam..." panggil Jean dengan suara pelan, mencoba membangunkannya tanpa membuatnya terkejut.Namun, Nilam hanya bergumam kecil, masih terlelap. Jean berjalan mendekat, bukannya membangunkan Nilam. Jean justru mengambil kursi yang berada tak jauh darinya dan duduk di hadapan sang sekertaris yang sedang menahan keseimbangan kepalanya agar tidak jatuh ke meja.Jean terkekeh kecil melihat ulah perempuan itu. Dengan cepat ia melipat jasnya dan meletakkannya di depan Nilam. Dengan penuh hati-hati dan kelembutan, Jean menahan kepala Nilam dan menidurkannya di atas jas yang sudah ia lipat menyerupai bantal."Sekarang kamu bisa tidur dengan nyenyak," gumamnya sambil merapikan helai rambut yang menutupi wajah mantan pacarnya tersebut.Jean duduk di depan Nilam, pandangannya tertuju pada wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Campuran kerinduan, cinta, dan kesedihan yang terpendam memenuhi matanya. Hatinya terasa hangat dan hampa dalam waktu yang bersamaan. Nilam ada di hadapannya, t
"Aku ingin mencium kamu." Nilam membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat.Jean tersenyum semakin lebar melihat ekspresi gadis itu. Tangannya masih bertumpu di dagu Nilam, sementara wajahnya tetap dekat, menunggu respons dari gadis yang kini jelas-jelas sedang panik. "Lalu?" lanjutnya pelan, suaranya seperti bisikan berbahaya. "Aku boleh kan meminta ciuman darimu?" Nilam membuka mulutnya, ingin menjawab— Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jean sudah lebih dulu menutup jarak, mengecup bibirnya dengan lembut. Dan saat itu juga, dunia seolah berhenti berputar bagi Nilam.Ciuman itu dimulai dengan lembut. Bibir Jean menekan bibir Nilam dengan penuh perasaan, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa gadis ini benar-benar nyata—bahwa ia benar-benar ada di sini bersamanya.Nilam sempat membeku di awal, terlalu terkejut dengan keberanian Jean. Namun, seiring detik berlalu, tubuhnya mulai rileks. Jantungnya berdetak kencang, tetapi bukan karena panik. Melainkan karena sensasi y
Jean menghela napas panjang sebelum akhirnya melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Raut wajahnya masih serius, menunjukkan bahwa sesuatu memang sedang mengganggu pikirannya. Nilam menelan ludah, sedikit canggung berdiri di depan meja Jean sambil menunggu pria itu berbicara. "Polisi bekerja terlalu lambat," gumam Jean akhirnya, nada suaranya penuh ketidakpuasan. "Sudah berhari-hari, dan mereka masih belum bisa menemukan siapa yang menyerang kamu di vila." Mata Nilam sedikit melembut. Ia tahu Jean masih menyimpan amarah karena kejadian itu. Wajar saja, pria itu hampir kehilangan kendali saat pertama kali tahu seseorang menyerangnya. Nilam melangkah mendekat dan berdiri di sisi meja, menatap Jean dengan penuh pengertian. "Pak Jean," katanya lembut, "aku tau kamu marah dan khawatir. Tapi percaya deh, polisi pasti berusaha yang terbaik. Emang butuh waktu untuk menemukan pelaku untuk menemukan pelakunya kan? Apalagi gak ada saksi di sana?"Jean mengusap wajahnya dengan
Keesokan paginya, Nilam datang ke kantor dengan wajah berseri-seri. Senyumnya mengembang sejak ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Aura bahagia jelas terpancar darinya, seolah dunia sedang berkonspirasi untuk membuatnya terus merasa berbunga-bunga.Saat melewati meja Talita dan Rani, dua rekan kerjanya itu langsung menangkap perubahan ekspresi Nilam. Mereka saling melirik penuh arti sebelum akhirnya menyapanya dengan penuh rasa ingin tahu."Duh, ada apa nih senyum-senyum terus? Pasti lagi happy ya?" tanya Rani sambil mencondongkan tubuhnya ke meja Nilam."Iya, ih! Dari wajahnya, kamu pasti punya kabar baik. Ya kan?" Talita ikut menimpali. Matanya berbinar penasaran. "Kalau punya kabar baik, jangan disimpan sendiri dong. Bagilah sama kita!"Nilam masih mempertahankan senyumnya yang penuh rahasia. Ia menatap kedua temannya dengan tatapan jahil, menikmati rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka. "Tapi jangan sampai kaget ya!" ujarnya menggoda. "Apa-apa! Cepetan kasih tahu
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny
“Kita mau ngapain, Pak?” tanya Nilam dengan suara pelan begitu mereka berdua memasuki kamar Jean. Namun, alih-alih menjawab, Jean justru menyudutkan Nilam ke dinding, membuat gadis itu terjebak di antara tubuh tegapnya dan tembok yang terasa dingin di punggungnya. Tatapan pria itu begitu dalam, menusuk hingga ke lubuk hati. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nilam tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin kabur, tapi kedua kakinya seakan membeku di tempat. “P— Pak?” suara Nilam bergetar, jantungnya berdebar hebat. “Tutup mata kamu dulu!” bisik Jean dengan nada lembut yang menggelitik telinganya. “Tapi…” Jean tersenyum kecil. “Ayolah, Nilam. Aku nggak akan macam-macam, janji.” Melihat tatapan penuh keyakinan itu, Nilam akhirnya menurut. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memejamkan mata. Jean menatap wajah polos di depannya dengan senyum penuh arti. Jari-jarinya terangkat, menyentuh pipi Nilam dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit menegang,
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C