"Mau taruhan?""Taruhan apa?""Taruhan gimana reaksi Pak Jean pas liat kamu udah masuk. Dan aku tebak, dia pasti happy banget liat kamu.""Gak mungkin.""Ya udah sih, ayo taruhan!" Talita tetap maksa. "Yang kalah wajib traktir makan siang seminggu? Gimana?"Nilam menggembungkan pipinya. "Kalau Mba kalah?""Ganti aku yang traktir kamu. Gimana?"Jean bilang dia hanya menganggap Nilam sebagai sekretarisnya saja kan? Jadi Nilam yakin kalau saat mereka bertemu nantinya, Jean akan bersikap acuh padanya dan biasa saja. Lagipula dia juga sudah memperingatkan pria itu agar bersikap sewajarnya kan? So— sepertinya taruhan dengan Talita tidak ada salahnya.Nilam menatap Talita dengan penuh keyakinan sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, aku setuju. Kalau aku kalah, aku traktir kamu makan siang seminggu. Tapi kalau aku menang— kamu gak boleh kabur Mba," balas Nilam sambil menyeringai."Deal!" Talita tersenyum lebar, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Dan kebetulan, beberapa detik kemudian, suara
Sekitar jam 11 kurang, Nilam menemani Jean menuju hotel tempat pertemuan dengan klien diadakan.Keduanya naik mobil dengan seorang supir di depan sementara keduanya duduk berdampingan di bangku belakang. Situasi di sana cukup canggung. Nilam sibuk mengerjakan sesuatu di tab-nya sementara Jean juga sibuk membalas beberapa chat penting dari kolega.Sekitar 25 menit kemudian mereka tiba di lokasi. Keduanya berjalan menuju lobi hotel tempat makan siang dengan klien Singapura, Nilam melirik sekilas ke arah Jean dan langsung menyadari sesuatu—dasi pria itu agak miring. Ia menggigit bibir, ragu apakah harus mengatakannya atau tidak. Tapi kalau ia diam saja, bisa-bisa klien nanti malah memperhatikan dan itu mungkin sedikit mengurangi kesan profesional Jean. Setelah beberapa detik mempertimbangkan, Nilam akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Pak Jean…” panggilnya pelan. Jean yang sedang sibuk mengecek ponselnya menoleh. “Hm?” “Dasi Bapak…” Nilam menunjuk ke arah leher Jean, la
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, suasana di dalam mobil cukup hening. Jean terlihat sibuk dengan ponselnya, sementara Nilam menatap ke luar jendela.'Ehm, makan bakso enak kali ya?' gumam Nilam saat mobil mereka melewati beberapa warung bakso pinggir jalan. 'Udah lama gak makan bakso abang-abang gitu. Ngebayangin makan bakso urat, sambelnya pedes, kasih kecap plus cuka dikit pasti mantap,' Nilam menelan ludah.'Hmm, jadi lap—'KryuuuukJean yang sedang fokus dengan hapenya tiba-tiba mendengar suara perut Nilam yang keroncongan. Dia melirik ke samping dan menahan senyum. Sedangkan Nilam sendiri langsung memejamkan mata seraya menunduk dalam. Merasa malu."Kamu lapar?" tanya Jean sambil menoleh ke arah Nilam."Enggak!" bantah gadis itu. "Kan tadi udah makan siang, Pak."Jean mendengkus. "Terus barusan bunyi apa?""Gak tau, Pak. Aku gak denger apa-a—"Kryuuuuk'Shit! Perut sialan!' maki Nilam dalam hati."Gak usah sungkan Nilam! Kalau emang kamu masih lapar, kita bisa mampir dulu
"Btw, kamu belum jawab pertanyaanku, Mba. Kok kamu keliatan happy banget pulang meeting? Apa ada sesuatu?"Nilam menyipitkan kelopak matanya sambil tersenyum. "Iih, kepo...""Yang serius dong, Mba. Kalau semisal emang Pak Jean hdah ke mode semula berarti kamu kalah," Talita menunjuk Nilam dengan jari telunjuknya. "Ayo siap-siap traktir aku makan siang seminggu loh."Nilam mengerutkan keningnya sambil menggembungkan sedikit pipinya. "Kan aku gak bilang happy kenapa. Jadi kamu belum tentu menang dong Mba.""Bodo amat. Pokoknya aku yakin kamu dan Pak Jean udah baikan.""Tapi— mba! Mba Talita..." Nilam menghentakkan kakinya saat melihat perempuan itu pergi menjauh. "Uuh, dasar."Karena sudah tidak ada lagi bestie yang mengajaknya bicara, Nilam pun memutuskan untuk kembali ke ruangannya sendiri.***Suasana kantin siang itu cukup ramai. Beberapa karyawan duduk berkelompok, menikmati makan siang sambil mengobrol santai. Di salah satu sudut, Nilam, Talita, dan Rina duduk di meja biasa mereka
"Gimana Mba? Kamu setuju atau enggak?" tanya Talita tidak sabaran. Nilam menghela napas panjang, menimbang-nimbang tawaran gila dari Talita dan Rina. Otaknya berkata ini konyol, tapi hatinya juga ikut penasaran sebenarnya. "Ya deh, aku ikut," ujar Nilam akhirnya. Talita dan Rina langsung bersorak pelan. "Yes!" Keduanya terlihat happy. "Tapi kita harus bikin ini natural. Dan jangan sampek ada yang tau niat kita ini," tambah Nilam sambil melirik mereka dengan waspada. "Tenang aja, Mba. Ini bakal jadi rahasia kita bertiga," ucap Talita percaya diri. "Besok, kamu harus mulai akting sibuk chatting atau telponan sama 'pacar' barumu di kantor. Jangan langsung heboh, cukup kasih kesan kalau kamu lagi deket sama seseorang." Rina mengangguk setuju. "Yup. Kamu harus akting seolah-olah sedang kasmaran." Nilam menyipitkan mata. "Itu cringe banget gak sih?" Talita tertawa. "Ya biar terasa nyata, Mba. Lagian, Pak Jean pasti penasaran kalau kamu tiba-tiba sering senyum-senyum sendiri." Nila
"Nyariin apa?"Itulah yang Jean tanyakan saat setelah tim devisi Nilam memberikan presentasi mengenai solusi pengembangan marketing perusahaan. Semua anggota tim satu persatu keluar dari ruangan Jean, kecuali Nilam yang masih terlihat kebingungan."Nyariin pulpen Pak.""Jatuh?" tanya Jean sambil ikut ngintip di bawah meja."Enggak tau." Nilam membuka file-file di atas meja. Barang kali pulpennya terselip di sana."Ya udah, beli lagi aja! Kan cuma pulpen.""Enggak bisa gitu Pak.""Kenapa gak bisa?""Itu pulpen hadiah dari mas crush," jawab Nilam yang kini mulai mencari di bawah meja. Tapi benda itu tidak ada di sana. "Itu pulpen penting banget buat saya. Soalnya kalau pake itu pulpen saya jadi kebayang-bayang wajah mas crush."Mendengar penjelasan Nilam, Jean langsung berhenti membantunya untuk mencari benda tersebut. Duda 32 tahun ini malah merebahkan punggungnya di kursi kerjanya dan membiarkan Nilam sibuk sendiri."Oh si Dewa ya? Jadi— kalian pacaran?" tanya Jean dengan nada tak ser
Nilam dan Rina berdiri di depan ruang rapat, menunggu Jean datang. Sambil menunggu, mereka bercakap-cakap dengan suara cukup keras agar Jean bisa mendengar begitu ia mendekat. "Nilaaam, gimana kencannya kemarin? Sukses gak?" tanya Rina memulai obrolan. Dia tampak tersenyum penuh arti ke arah kata Nilam. "Kalian jadi ke Bioskop?"Nilam tersenyum lebar sambil memegangi pipinya. "Jadi dong Mba.""Wiii, nonton film apa?""Horor sih Mba. Tapi aku gak ngeh ama plotnya."Rina mengerutkan keningnya. "Hah? Kok bisa? Kamu takut pasti ya pas nontonnya?"Nilam menggeleng. Ia terlihat malu-malu sesaat sebelum melanjutkan ceritanya. "Sebenarnya aku gak takut sih Mba. Tapi pura-pura takut aja biar bisa peluk dia.""Kyaaah..." Rina dan Nilam histeris. Suaranya yang heboh itu terdengar oleh Jean yang mulai berjalan mendekat."Terus gimana?" Rina melirik Jean dan kembali memancing Nilam untuk melanjutkan ceritanya. "Aku peluk lengan dia sampai filmnya mau abis Mba. Dan satu sih yang bikin aku kepiki
"Coba ulangi, apa yang baru saja saya jelaskan!" Nilam langsung membeku. Rina buru-buru menunduk, menahan tawa. Semua mata di ruangan kini tertuju pada Nilam. Ia melirik catatannya, tapi yang tertulis di sana justru... coretan tanpa makna. "A-anu... emm..." Nilam mencoba tersenyum.Jean menaikkan sebelah alisnya. "Sudah aku duga, kamu pasti gak fokus!" ucap pria dengan setelan jas rapi itu dengan nada santai, tapi penuh sindiran.Seketika wajah Nilam terasa panas. Sementara itu, Jean masih menatapnya dengan ekspresi menang. "Saya... minta maaf, Pak," ucap Nilam akhirnya, menunduk dalam-dalam. Jean mendengus kecil. "Fokus, Nilam." "Siap, Pak," jawab Nilam cepat. Jean kembali menatap layar presentasi. Namun, sebelum melanjutkan rapat, ia berkata pelan, cukup untuk didengar Nilam. "Dan jangan terlalu sibuk memikirkan pria lain saat sedang bekerja. Fokus pada aku saja, oke!"Nilam menoleh cepat, tapi Jean sudah kembali serius dengan pembahasannya. Jantung Nilam kembali
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh