Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, suasana di dalam mobil cukup hening. Jean terlihat sibuk dengan ponselnya, sementara Nilam menatap ke luar jendela.'Ehm, makan bakso enak kali ya?' gumam Nilam saat mobil mereka melewati beberapa warung bakso pinggir jalan. 'Udah lama gak makan bakso abang-abang gitu. Ngebayangin makan bakso urat, sambelnya pedes, kasih kecap plus cuka dikit pasti mantap,' Nilam menelan ludah.'Hmm, jadi lap—'KryuuuukJean yang sedang fokus dengan hapenya tiba-tiba mendengar suara perut Nilam yang keroncongan. Dia melirik ke samping dan menahan senyum. Sedangkan Nilam sendiri langsung memejamkan mata seraya menunduk dalam. Merasa malu."Kamu lapar?" tanya Jean sambil menoleh ke arah Nilam."Enggak!" bantah gadis itu. "Kan tadi udah makan siang, Pak."Jean mendengkus. "Terus barusan bunyi apa?""Gak tau, Pak. Aku gak denger apa-a—"Kryuuuuk'Shit! Perut sialan!' maki Nilam dalam hati."Gak usah sungkan Nilam! Kalau emang kamu masih lapar, kita bisa mampir dulu
"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia." Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas.
Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik. "Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun." Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini." Jean kaget. ART? Mustahil. Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. "Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya. "Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok." Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?" "Ni— Nilam Pak." "Ya udah bentar." Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur
"Rasa kopinya kok beda ya? Ini merk-nya baru?" Nilam kaget. "E— enggak kok Pak. Kopinya sama seperti yang Bapak kasih tadi," terang perempuan cantik itu dengan wajah panik. Ia takut rasa kopi buatannya tidak enak. "Masa sih?" Jean terlihat sangsi. "Emangnya kenapa Pak?" "Soalnya, rasa kopi ini lebih enak dibandingkan sebelumnya. Aromanya juga lebih harum. Makanya aku pikir kopi ini beda merk sama yang sebelumnya." Nilam mengusap dada lega. Dia pikir, Jean tidak suka dengan kopi yang ia buat. "Duh, Bapak bikin saya kaget aja. Kirain tadi kopinya nggak enak." Melihat wajah lega Nilam, membuat senyum kecil Jean terkembang. "Sama. Aku juga kaget karena rasa kopinya lebih enak dibandingin pas buat sendiri." Nilam mengulum senyum. "Makasih Pak." "Ya udah, kamu lanjutin masaknya." "Baik Pak. Saya permisi." Pria dengan bahu kokoh itu melihat Nilam yang berjalan meninggalkan tempat kerjanya. Batinnya menggumam, 'Bahkan, Elisha aja nggak bisa bikin kopi seenak buatannya.' Jean mengge
"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar." "Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aj
"Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya. Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah di
Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, suasana di dalam mobil cukup hening. Jean terlihat sibuk dengan ponselnya, sementara Nilam menatap ke luar jendela.'Ehm, makan bakso enak kali ya?' gumam Nilam saat mobil mereka melewati beberapa warung bakso pinggir jalan. 'Udah lama gak makan bakso abang-abang gitu. Ngebayangin makan bakso urat, sambelnya pedes, kasih kecap plus cuka dikit pasti mantap,' Nilam menelan ludah.'Hmm, jadi lap—'KryuuuukJean yang sedang fokus dengan hapenya tiba-tiba mendengar suara perut Nilam yang keroncongan. Dia melirik ke samping dan menahan senyum. Sedangkan Nilam sendiri langsung memejamkan mata seraya menunduk dalam. Merasa malu."Kamu lapar?" tanya Jean sambil menoleh ke arah Nilam."Enggak!" bantah gadis itu. "Kan tadi udah makan siang, Pak."Jean mendengkus. "Terus barusan bunyi apa?""Gak tau, Pak. Aku gak denger apa-a—"Kryuuuuk'Shit! Perut sialan!' maki Nilam dalam hati."Gak usah sungkan Nilam! Kalau emang kamu masih lapar, kita bisa mampir dulu
Sekitar jam 11 kurang, Nilam menemani Jean menuju hotel tempat pertemuan dengan klien diadakan.Keduanya naik mobil dengan seorang supir di depan sementara keduanya duduk berdampingan di bangku belakang. Situasi di sana cukup canggung. Nilam sibuk mengerjakan sesuatu di tab-nya sementara Jean juga sibuk membalas beberapa chat penting dari kolega.Sekitar 25 menit kemudian mereka tiba di lokasi. Keduanya berjalan menuju lobi hotel tempat makan siang dengan klien Singapura, Nilam melirik sekilas ke arah Jean dan langsung menyadari sesuatu—dasi pria itu agak miring. Ia menggigit bibir, ragu apakah harus mengatakannya atau tidak. Tapi kalau ia diam saja, bisa-bisa klien nanti malah memperhatikan dan itu mungkin sedikit mengurangi kesan profesional Jean. Setelah beberapa detik mempertimbangkan, Nilam akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Pak Jean…” panggilnya pelan. Jean yang sedang sibuk mengecek ponselnya menoleh. “Hm?” “Dasi Bapak…” Nilam menunjuk ke arah leher Jean, la
"Mau taruhan?""Taruhan apa?""Taruhan gimana reaksi Pak Jean pas liat kamu udah masuk. Dan aku tebak, dia pasti happy banget liat kamu.""Gak mungkin.""Ya udah sih, ayo taruhan!" Talita tetap maksa. "Yang kalah wajib traktir makan siang seminggu? Gimana?"Nilam menggembungkan pipinya. "Kalau Mba kalah?""Ganti aku yang traktir kamu. Gimana?"Jean bilang dia hanya menganggap Nilam sebagai sekretarisnya saja kan? Jadi Nilam yakin kalau saat mereka bertemu nantinya, Jean akan bersikap acuh padanya dan biasa saja. Lagipula dia juga sudah memperingatkan pria itu agar bersikap sewajarnya kan? So— sepertinya taruhan dengan Talita tidak ada salahnya.Nilam menatap Talita dengan penuh keyakinan sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, aku setuju. Kalau aku kalah, aku traktir kamu makan siang seminggu. Tapi kalau aku menang— kamu gak boleh kabur Mba," balas Nilam sambil menyeringai."Deal!" Talita tersenyum lebar, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Dan kebetulan, beberapa detik kemudian, suara
"Iya De, aku baru ingat seseorang.""Oh ya? Siapa?""Nana..." Nilam tersenyum sumringah ketika menyadari jika ada satu orang yang bisa membantunya."Bener juga. Kalian kan temenan udah lama."Nayya tersenyum lebar. Dia merasa bangga dengan otaknya yang bisa berpikir cepat. Namun sayangnya, senyuman Nilam tak berlangsung lama karena teringat sesuatu."Kenapa? Kok kamu kayak bingung gitu?""Aku gak bisa nemuin Nana sekarang, De. Kan dia lagi di Surabaya ikut suaminya." Tubuh Nilam langsung longsor ke sandaran kursi. Wajahnya berubah lesu dan bibirnya menekuk ke bawah."Kan kamu bisa telfon dia, Nilam?""Kamu kayak gak tau si Nana aja. Dia itu sejak punya suami dan anak susah banget di telfonnya.""Ya udah, kita temuin aja dia di Surabaya.""Itu lebih mustahil lagi, Dewaaaa...""Kenapa? Gak diijinin Mama kamu?"Nilam menganggukkan kepalanya. "Umph.""Terus gimana?""Aku coba telfon dia dulu deh. Siapa tau dia senggang kan?"“Coba aja dulu, Nilam. Gak ada salahnya kan?” Dewa menepuk bahu
"Aaaarghhh... Stres banget aku..."Nilam mengacak rambutnya, merasa benar-benar stres."Nilam, kamu kenapa?"Nilam menegakkan kepalanya dengan cepat, sedikit terkejut saat mendengar suara Dewa yang tiba-tiba menyadarkannya dari lamunan. Dia hampir lupa kalau sedang bersama pemuda itu sekarang.“Eh... Gak! Aku gak apa-apa kok,” ucap Nilam sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang masih menghantuinya.Dewa menatapnya lekat-lekat, jelas tak percaya dengan jawaban singkat itu. “Yakin?""Iya, Dewa. Beneran." Ia nyengir kecil, berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa dirinya baik-baik saja.Dewa menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyesap tehnya perlahan. “Kalau boleh jujur, aku ngerasa kamu lagi banyak pikiran.""Uhm?""Iya, Nilam. Kamu ada di sini, tapi pikiran kamu gak tahu ada di mana."Nilam terdiam, jemarinya sibuk memainkan sedotan cappuccino di tangannya. Tatapannya penuh rasa bersalah saat melihat Dewa. "Enggak gitu kok, De. Aku cuma—""It's okay, Nilam. Gak usah pa
“Rina, si Nilam kasih kabar ke kamu atau tidak?” tanyanya dengan nada datar, tapi jelas sekali tersirat rasa khawatir di kedua manik gelapnya.["Beberapa hari lalu dia bilang kalau Pak Jean sudah kasih ijin buat cuti karena kejadian di lift. Jadi saya gak nanya lagi, Pak."]Jean tampak kecewa mendengar jawaban Rina. Itu sama sekali tidak menjawab rasa penasarannya.["Apa bapak mau saya telfon Nilam langsung buat nanyain kapan dia masuk?"]Saran dari Rina itu seperti memberikan angin segar bagi Jean. Tapi dia malah berkata, "Gak perlu. Nanti aku sendiri yang akan chat dia."["Baik Pak kalau begitu."]["Apa ada lagi yang bisa saya bantu Pak?"]"Enggak. Makasih." Jean mengakhiri panggilannya. Ia membuang nafas berat untuk kesekian kalinya.Ia jadi semakin khawatir pada Nilam, apalagi sejak kejadian di rumah sakit. Ia takut perempuan itu sakit hati dan kecewa karena sikapnya dan memilih resign."Mungkin aku harus chat dia langsung."Jean menatap layar ponselnya, jempolnya mengetik cepat p
Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat masuk melalui celah-celah jendela kamar Nilam. Ia membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa lemas, tapi jauh lebih baik dibanding semalam. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir perasaan sesak yang masih menggantung di dadanya. Setelah beberapa saat, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Bu Mala tengah duduk santai di sofa sambil membaca majalah. Melihat ibunya yang begitu tenang, Nilam tersenyum kecil dan langsung menghampirinya. Ia menjatuhkan diri di samping ibunya, lalu menyandarkan kepala di bahu Bu Mala dengan manja. “Ma...” suara Nilam terdengar lembut, nyaris seperti anak kecil yang minta perhatian. Bu Mala tersenyum, tangannya otomatis membelai rambut putrinya. "Nilam... Kamu udah bangun?" tanyanya lembut. "Gimana perasaan kamu? Udah baik kan?"Nilam mengangguk pelan, tapi masih belum ingin menjauh dari dekapan ibunya. "Lumayan."Tanpa bertanya lebih jauh, Bu Mala langsung menarik p
Nilam terdiam sejenak, pertanyaan Jean seolah menghantam dinding hatinya yang sudah penuh dengan keraguan. Ia menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa sesak. Apa pria ini sedang mengejeknya? "Saya..." Nilam menatap Jean dengan mata yang tampak bimbang. "Saya gak tahu, Pak. Saya cuma ingin semuanya jelas. Saya gak mau lagi merasa digantung dengan perhatian yang bapak berikan, lalu bapak pura-pura gak ada apa-apa." Jean mengepalkan tangannya erat, perasaan yang selama ini ia pendam terasa semakin berat untuk ditahan. Namun, ia tahu ada batasan, ada sesuatu yang harus ia lindungi—keluarganya, reputasinya, dan juga perasaan Nilam sendiri. Ruangan itu tiba-tiba terasa begitu sunyi. Jean hanya bisa menatap Nilam yang kini berdiri, siap pergi meninggalkannya. "Saya pamit dulu, Pak," ucap Nilam dengan suara pelan, lalu melangkah menuju pintu dengan langkah yang sedikit gontai. "Surya udah sampai." Jean ingin menahannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa mem
Jean membantu Nilam untuk bangun. Sedangkan Nilam mencoba untuk duduk meskipun kepalanya masih sedikit pusing."Ayo aku antar pulang!"Nilam menatap bosnya dengan pandangan syok. "Enggak perlu, Pak," tolaknya cepat."Kenapa Nilam?"Perempuan itu menggigit ujung lidahnya. "Saya udah terlalu banyak ngerepotin bapak hari ini. Lagipula bapak kan harus segera pulang, pasti istri dan anak bapak juga khawatir kan?"Jean menatap Nilam dengan ragu. “Terus kamu mau pulang dengan kondisi lemes gini? Yang benar saja, Nilam."Nilam tersenyum tipis, meskipun wajahnya masih terlihat pucat. “Saya bisa pesen taksi kok. Ini saya mau chat Surya, supir taksi langganan saya."Jean menghela napas. Jelas ada keinginan dalam dirinya untuk tetap di sisi Nilam, memastikan gadis itu benar-benar sampai di rumah dengan selamat. Namun ia juga bisa sedikit lega jika memang Surya yang akan menjemput Nilam nantinya.“Kalau gitu, biar aku tunggu sampai Surya datang,” ujarnya akhirnya, setengah memaksa. Nilam tertawa