Suasana ruang rapat terasa tegang kali ini. Tim marketing duduk berjejer di meja panjang, beberapa dari mereka ada yang mengamati laptop masing-masing. Sedangkan Jean, dia duduk di ujung meja, matanya menatap tajam layar proyektor yang menampilkan slide presentasi yang sedang dipaparkan oleh salah satu anggota tim marketing bernama Bobby."Berdasarkan data yang kami peroleh, tren penjualan pada kuartal ini menunjukkan peningkatan sebesar 12% dibanding kuartal sebelumnya,” jelas Bobby dengan nada percaya diri, sembari menunjuk grafik pada layar. Namun, alih-alih puas, Jean mengerutkan keningnya. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, gestur yang sangat dikenali timnya sebagai tanda bahwa ia tidak puas.“12%?” Jean memotong penjelasan Bobby, suaranya tegas dan terdengar agak dingin. “Kenapa hanya 12%? Padahal strategi yang kalian usulkan bulan lalu menjanjikan peningkatan minimal 20%. Apa ada yang salah di implementasinya?” “Pak, dengan segala hormat,” Bobby memulai, mencoba terdeng
Nilam duduk di kantin bersama Rina dan Talita saat jam makan siang tiba. Di depannya ada semangkok mie yamin yang sama sekali belum disentuh. Ia hanya mengaduk-aduknya dengan garpu, pikirannya melayang entah ke mana. "Eh, Mba Nilam," panggil Talita sambil meminum jus jeruknya. "Kamu kenapa sih? Dari tadi diem aja?Pasti mikirin Pak Jean, ya?" tanyanya iseng, dengan nada menggoda. Nilam langsung mendongak, wajahnya berubah merah. "Hah? Nggak, kok!" bantahnya cepat. "Ngapain juga aku mikirin dia?" "Serius? Gak mikirin dia?" "Gaklah. Aku malah lagi sebel sama dia," balas Nilam dengan pipi menggembung. Teringat bagaimana Jean memarahinya perkara dia kurang hati-hati di depan karyawan lainnya beberapa waktu yang lalu. "Sebel? Kenapa?" tanya Talita bingung. "Barusan Nilam kena omel karena gak fokus di tempat kerja," sahut Rina— yang langsung menjawab rasa ingin tau Talita. "Hah? Tumben?" Talita sedikit syok, "gak biasanya banget Pak Jean kayak gitu." Nilam mendengkus, tak berniat me
"Si tengil?" Nilam mengerutkan dahinya. "Siapa yang bapak maksud?""Menurut kamu?"Nilam terdiam, mencoba mencerna ucapan Jean. "Maksud bapak, si Dewa?" tanya perempuan itu dengan polosnya.Wajah Jean semakin kusut. Namun masih bisa dia sembunyikan dengan baik dengan ekspresi datarnya. "Aku tau kamu sedang kasmaran dan ingin menceritakan semua yang kalian lakukan malam minggu kemarin, tapi kamu juga harus kerja yang bener!"Nilam melotot tidak percaya mendengar perintah Jean. "Setengah jam? Pak, ini kan rangkuman hasil rapat. Gimana bisa selesai secepat itu?" protesnya dengan nada sedikit panik.Jean hanya menyilangkan tangan di dada, menatap Nilam dengan tatapan dingin. "Kalau kamu gak banyak ngobrol di kantin, waktumu gak akan terbuang sia-sia. Sekarang buktikan kalau kamu bisa profesional. Aku kasih waktu 30 menit. Kalau gak selesai, konsekuensinya kamu harus lembur." "Lembur?!" Nilam menatap Bosnya dengan pandangan tak percaya. "Pak, itu gak adil. Lagian kan tadi juga masih jam
“Eh?!” seru Nilam. "Kenapa ini?!" Nilam panik karena tiba-tiba lampu mati. Dan parahnya lagi, kejadian ini datang di saat yang tidak tepat.Begitu lampu lift padam sepenuhnya, suasana langsung berubah mencekam. Gelap yang pekat menyelimuti ruang sempit itu, hanya tersisa suara napas Nilam yang mulai tidak teratur. Ia buru-buru merogoh ponselnya dan menyalakan flashlight, cahaya putih redup sedikit membantu menerangi ruangan, tapi justru membuat bayangan-bayangan di dinding lift terasa lebih menakutkan. Sedangkan Jean segera meraba panel lift, menekan beberapa tombol, tetapi tidak ada respons. “Mungkin lstriknya mati,” gumamnya dengan nada datar, meskipun ekspresi wajahnya mulai sedikit serius. Nilam menggigit bibir bawahnya cemas. “Terus gimana dong Pak?" tanyanya dengan suara gemetar, ekspresi wajahnya terlihat seperti ingin menangis.Jean meliriknya sekilas, lalu menghela napas panjang. “Tenang, Nilam. Ada genset di gedung ini. Harusnya sih ini gak akan lama.” Ia lalu merogoh po
"Semenakutkan itu ya Pak?"Jean menoleh ke arah sekertarisnya, alisnya berkerut penuh rasa ingin tau."Kata bapak, moment itu bikin bapak trauma. Berarti itu sesuatu yang sangat menakutkan. Ya kan?""Hm. Rasanya duniaku serasa berhenti berputar. Semuanya kacau. Rasa takut, khawatir, sedih, marah, semuanya bercampur jadi satu hari itu."Nilam mendengarkan cerita Jean dengan seksama. Membiark pria itu mengeluarkan uneg-unegnya. Sampai...“Pak Jean...” suara Nilam nyaris berbisik. “siapa orang yang beruntung itu?"Jean menegang sesaat, lalu tersenyum samar. "Hm?""Apa itu istri bapak?"Jean menarik sudut bibirnya. Ia tersenyum penuh makna. "Menurut kamu?"Nilam berdecak. "Itu bisa aja istri bapak, atau cinta pertama bapak, atau anak Pak Jean?" Ia menggaruk bawah dagunya. "Aku gak tau."Jean tersenyum kecil melihat Nilam yang terus berspekulasi. Ia menatap gadis itu dengan lembut, matanya sedikit melembut di balik ekspresi tenangnya.Tiba-tiba, lift kembali bergetar, membuat Nilam terlonj
“Nilam!” Jean refleks menangkap tubuhnya yang lunglai, memeluknya erat sebelum jatuh menyentuh lantai. Napas Nilam terdengar lemah di dada Jean, kepalanya bersandar di bahu pria itu.Jean merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena panik, tapi karena rasa khawatir yang kini memenuhi pikirannya. “Tolong! Dia pingsan!” serunya ke arah tim penyelamat yang segera masuk ke dalam lift.Seorang petugas medis segera mendekat dengan tandu. “Pak, tenang. Kami akan menangani ini.”Jean mengangguk, meskipun ia enggan melepas genggamannya di tubuh Nilam. Dengan hati-hati, ia meletakkan gadis itu di tandu, matanya tak lepas dari wajah Nilam yang tampak pucat.Saat Nilam dibawa keluar dari lift, Jean mengekor di belakang, langkahnya sedikit tertahan karena rasa cemas yang masih membebani dadanya.Di luar lift, udara segar menyambut mereka. Jean menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa di dadanya. Ia berjalan di samping tandu, matanya tak lepas dari Nilam yang ma
Jean membantu Nilam untuk bangun. Sedangkan Nilam mencoba untuk duduk meskipun kepalanya masih sedikit pusing."Ayo aku antar pulang!"Nilam menatap bosnya dengan pandangan syok. "Enggak perlu, Pak," tolaknya cepat."Kenapa Nilam?"Perempuan itu menggigit ujung lidahnya. "Saya udah terlalu banyak ngerepotin bapak hari ini. Lagipula bapak kan harus segera pulang, pasti istri dan anak bapak juga khawatir kan?"Jean menatap Nilam dengan ragu. “Terus kamu mau pulang dengan kondisi lemes gini? Yang benar saja, Nilam."Nilam tersenyum tipis, meskipun wajahnya masih terlihat pucat. “Saya bisa pesen taksi kok. Ini saya mau chat Surya, supir taksi langganan saya."Jean menghela napas. Jelas ada keinginan dalam dirinya untuk tetap di sisi Nilam, memastikan gadis itu benar-benar sampai di rumah dengan selamat. Namun ia juga bisa sedikit lega jika memang Surya yang akan menjemput Nilam nantinya.“Kalau gitu, biar aku tunggu sampai Surya datang,” ujarnya akhirnya, setengah memaksa. Nilam tertawa
Nilam terdiam sejenak, pertanyaan Jean seolah menghantam dinding hatinya yang sudah penuh dengan keraguan. Ia menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa sesak. Apa pria ini sedang mengejeknya? "Saya..." Nilam menatap Jean dengan mata yang tampak bimbang. "Saya gak tahu, Pak. Saya cuma ingin semuanya jelas. Saya gak mau lagi merasa digantung dengan perhatian yang bapak berikan, lalu bapak pura-pura gak ada apa-apa." Jean mengepalkan tangannya erat, perasaan yang selama ini ia pendam terasa semakin berat untuk ditahan. Namun, ia tahu ada batasan, ada sesuatu yang harus ia lindungi—keluarganya, reputasinya, dan juga perasaan Nilam sendiri. Ruangan itu tiba-tiba terasa begitu sunyi. Jean hanya bisa menatap Nilam yang kini berdiri, siap pergi meninggalkannya. "Saya pamit dulu, Pak," ucap Nilam dengan suara pelan, lalu melangkah menuju pintu dengan langkah yang sedikit gontai. "Surya udah sampai." Jean ingin menahannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa mem
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh
Malam itu, sekitar pukul sembilan. Kamar Nilam terlihat rapi, dengan lampu tidur yang menyala temaram di sudut ruangan. Ia duduk di atas kasur, bersandar pada tumpukan bantal sambil memeluk guling. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya hanya dipoles skincare malam tanpa riasan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan wajah Jean terpampang di layar—video call yang akhirnya tersambung setelah seharian saling sibuk.“Hai sayang…” sapa Jean, tersenyum kecil dari balik layar. Ia terlihat sedang duduk di ruang kerjanya, dengan kaos polo abu-abu kesayangannya dan rambut sedikit berantakan.Nilam mengerucutkan bibir, memeluk guling lebih erat. “Kamu lama banget angkatnyaaaa…”“Sorry, sayang. Tadi aku baru selesai meeting sama vendor catering,” jawab Jean sambil menyender ke kursi. “Tapi sekarang kamu udah dapet aku seutuhnya, nih.”Nilam mendesah pelan, lalu matanya memandang Jean dengan tatapan manja. “Aku kangen banget… tahu gak?”"Kita kan gak ketemu baru hari ini.""Tapi bagiku ini udah l
Suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya suara mesin yang mengisi kekosongan di antara mereka. Lampu-lampu jalan menari pelan di kaca jendela, seolah mengiringi perasaan gundah yang masih menyelimuti hati Nilam. Tangan Jean memegang kemudi, sementara tatapannya sesekali mencuri-curi pandang ke arah Nilam yang duduk diam, memeluk tas di pangkuannya.“Masih kepikiran Talita?” tanya Jean akhirnya, dengan suara pelan.Nilam hanya mengangguk pelan tanpa menoleh.Jean menarik napas sejenak, lalu tersenyum tipis. “Sayang… aku ngerti kamu khawatir. Tapi jangan terlalu OVT ya! Talita kan udah ngabarin, dan sejauh ini infonya sama seperti yang bu Ratih bilang. Jadi, kita harus percaya sama dia.”Nilam mengatupkan bibirnya erat. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya sepenuhnya. Tapi ada di sisi lain perasaannya mengatakan jika ada sesuatu yang tidak beres.“Aku ngerasa... ada sesuatu yang masih mengganjal," bisiknya akhirnya. “Perasaanku gak enak aja.”Jean mengalihkan tangan kirinya da