Di sebuah ruangan rumah yang cukup luas, Jean berdiri dengan kaku di tengah-tengah, sementara Qila menatapnya dengan ekspresi penuh harapan. Musik K-pop yang enerjik sudah mengalun dari speaker, mengisi ruangan dengan dentuman ritme yang cepat."Papa, coba gerakinnya kayak gini!" Qila memperagakan beberapa gerakan tari yang terlihat lincah dan penuh semangat. Tangannya bergerak dengan anggun, sementara kakinya melangkah dengan irama yang pas.Jean menghela napas, menatap putrinya dengan pasrah. "Qila, Papa ini udah tua. Mana bisa gerak secepat itu?" ucap Jean memberikan alasan.Qila mendelik sebal. "Papa gak tua! Papa kan masih 30an, masih kuat dan masih bisa dance Kpop.""Qila, Papa bisa ngelakuin apapun tapi jangan joget dong!" ia memohon. Baru juga mulai tapi Jean merasa energinya terkuras habis."Coba dulu Papaaaa... Yaaah, pleaseee..." pinta Qila sambil menunjukkan mata puppynya. "Kalau gak ama Papa, ama siapa lagi Qila latihan?" Qila mulai merajuk.Jean menghela nafas. Dia palin
"Eh bentar...""Ada apa Qila?"Ia menatap sang Papa. "Aku baru inget sesuatu.""Sesuatu? Apa?" Jean bertanya dengan penuh rasa penasaran."Besok kita jadi piknik gak Pa? Yang katanya ama Mba Nilam."Jean menganga. Bisa-bisanya dia hampir lupa hal penting tersebut. "Oh iya. Papa hampir lupa.""Ya udah, aku mau tidur cepet deh." Qila bersiap naik ke atas."Iya. Sebelum tidur jangan lupa gosok gigi ama cuci kaki ya! Jangan lupa berdo'a."Qila mengangguk dengan semangat. "Iya Pa! Selamat malam...""Malam sayang..." Jean melihat Qila berlari ke atas meninggalnya. Sedangkan dia sendiri langsung pergi menuju dapur dan berniat membuat kopi untuk teman mengejarkan laporan sebelum tidur.***"Kamu lagi ngapain Nilam?"Perempuan 23 tahun itu menengok sebentar ke arah sang Mama. Ia yang sibuk memasukkan makanan ke dalam rantang makanan hanya berkata, "Ini Ma, lagi siapin bekal.""Buat?""Piknik."Bu Mala mengerutkan keningnya. "Piknik ke mana?""Pantai.""Sama?"Nilam menghentikan kegiatannya. Ia
"Kalian janji di mana?""Di taman sekitar sini.""Ke sana naik apa?""Minta tolong anter si Surya."Bu Mala mengangguk. Ia sudah mode pasrah dengan apapun yang anaknya itu lakukan. "Hati-hati di jalan ya!"Nilam memberikan kecupan di pipi sang Mama. "Dah Mama.""Daaah..." Bu Mala melihat putrinya melangkah keluar dengan wajah sedikit merona. Setelah menutup pintu, Nilam menarik napas panjang sebelum berjalan menuju taman—tempat di mana Jean sudah menunggunya.Saat tiba di taman, mata Nilam langsung menangkap sosok Jean dan Qila yang sudah lebih dulu menunggunya di bawah pohon rindang. Jean bersandar santai di salah satu dahan pohon dengan tangan terlipat di dada, sementara Qila berdiri di sampingnya dengan ekspresi sedikit canggung. Bocah sepuluh tahun itu tampak mengenakan dress putih selutut bermotif bunga kecil berwarna biru, dengan rambut hitam panjangnya diikat menjadi dua kuncir rendah. Sepasang sandal putih melengkapi penampilannya yang terlihat manis dan sederhana.Jean, sepe
"Bawa dong, emang kamu mau makan apa?""Burger?""Jelas itu ada.""Kentang?""Ada banget.""Donat, Mba?""Tenang aja. Mba juga bawa cake.""Kalkun goreng?"Nilam terdiam sejenak, lalu menatap Qila yang sudah menahan tawa."Kalau mau kalkun, sana minta Papa kamu nangkap dulu. Baru Mba gorengin kalau udah dapet," balas Nilam sambil meringis lebar."Ngaco. Di sini mana ada kalkun. Ada tuh, nemo. Siapa tau kalian berdua pengen coba."Mereka tertawa kompak. Jean yang duduk di samping mereka hanya menggelengkan kepala, heran dengan tingkah dua perempuan itu.Saat makanan sudah tersaji, mereka mulai menikmati bekal dengan lahap. Qila dan Jean terus memuji masakan Nilam yang lezat."Mba Nilam, masakannya selalu enak," ujar Qila dengan mulut penuh makanan."Iya, bener. Harusnya kamu ga usah kerja di kantor, Nilam. Buka usaha restoran aja, pasti banyak peminatnya," tambah Jean.Nilam tertawa, lalu menatap mereka berdua. "Kalau ga ada pengunjung gimana?"Jean tersenyum. "Aku ama Qila yang bakal
"T—tunggu, Pak Jean, jangan—" Terlambat. Jean sudah lebih dulu menyiramkan air ke arahnya lagi, membuat Nilam menjerit geli. Tawa mereka bercampur dengan suara ombak, seakan dunia hanya milik mereka bertiga. Di tengah kebersamaan itu, saat mata mereka bertemu—Jean menatapnya lebih lama dari biasanya. Seakan membaca sesuatu di balik sorot mata Nilam, sesuatu yang lebih dari sekadar keseruan bermain air.Namun sebelum suasana berubah semakin dalam, Qila yang tertawa di samping mereka menarik kembali perhatian. "Aku menang! Aku bisa bikin Papa mainan pasir juga!" Jean dan Nilam akhirnya tertawa, mengakui kekalahan mereka di tangan gadis kecil itu. Tapi di dalam hati mereka, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum terucap, tapi mulai terasa begitu nyata.Angin pantai berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Langit mulai berubah jingga, menandakan matahari perlahan turun ke ufuk barat. Namun, keseruan mereka masih jauh dari selesai. Puas dengan istana pasir dan saling siram
"Kapan-kapan, kita ke pantai lagi ya, Pa," pinta Qila dengan nada manja. "Iya, sayang." "Eh—gak! Qila mau ke taman safari aja. Mau lihat gajah, singa, macan." Jean tertawa. "Kamu kalau mau lihat singa ga usah jauh-jauh, sayang. Lihat aja Mba Nilam. Sama aja kan?" Nilam melirik Jean dengan tatapan tajam. "Tuh kan, garangnya sama banget kayak singa," lanjut Jean, membuat Qila semakin tertawa. "Kalau mau lihat gorilla, lihat aja Papa kamu. Sama gedenya," balas Nilam tak mau kalah. "Hahaha! Iya, Mba! Papa kan besar juga!" sahut Qila sambil terpingkal. "Banyak bulu juga," tambah Nilam iseng. "Bulu? Di mana?" tanya Qila polos. Nilam menundukkan kepala, menatap area bawah Jean sambil tersenyum nakal. "Di situ! Ehehehehe." Jean melotot, tetapi Nilam hanya tertawa puas. Setelah sekitar 30 menit perjalanan keluar dari pantai, suasana di dalam mobil menjadi lebih hening. Qila sudah tertidur di bangku belakang, kelelahan setelah seharian bersenang-senang. "Qila udah tidur, Kak," ujar
Beberapa hari telah berlalu sejak malam di depan rumah Nilam. Semua berjalan seperti biasa di kantor. Jean tetap sibuk dengan pekerjaannya, dan Nilam menjalankan tugasnya dengan lancar. Siang itu, suasana kantor cukup tenang ketika Jean tiba-tiba merapikan mejanya dan mengambil kunci mobil. Nilam yang duduk di mejanya agak kaget saat Jean muncul di luar jam makan siang. "Kamu mau ke mana?" tanya Nilam sambil meliriknya curiga. Jean yang sedang mengenakan jasnya menoleh sebentar dan tersenyum tipis. "Ada urusan kecil. Aku pergi sebentar." Nilam menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang disembunyikan Jean. "Urusan apa? Kan di jadwal—" "Emang gak ada di jadwal. Ini urusan khusus." Perkataan pria itu semakin membuat Nilam penasaran. "Emang mau ke mana sih? Aku gak boleh ikut?" Jean tertawa kecil dan berjalan mendekatinya. Dengan santai, ia mengusap puncak kepala Nilam sebelum berkata, "Kamu di sini aja! Lagian aku cuma pergi bentar kok. Dan— gak ada yang perlu dikhawatirkan!"
"Harusnya kamu tidak perlu mengambil keputusan seperti itu?"Jean mengepalkan tangannya. "Saya pikir waktu itu yang terbaik bagi Nilam adalah menjauh dari saya. Saya tidak ingin membuatnya semakin terluka dengan segala situasi yang terjadi."Jean mengusap wajahnya, frustrasi dengan dirinya sendiri. "Saya terlalu pengecut saat itu. Saya takut menjadi orang yang hanya membawa kesedihan untuknya. Saya takut jika saya tetap di sisinya, saya malah semakin membuatnya menderita."Bu Mala mengamati pria di hadapannya, ekspresi lembut sekilas muncul di wajahnya sebelum ia kembali bersikap tegas. "Buktinya sekarang apa? Walaupun kamu berharap Nilam dapat lelaki yang lebih layak, tapi ujung-ujungnya kamu juga yang ditemuinya? Sepertinya kalian memang berjodoh.""Saya harap juga begitu." Ia menatap lawan bicaranya dengan penuh tekad. "Sekarang tujuan saya hanya ingin bersama Nilam dan membahagiakannya. Saya sangat mencintainya, Bu."Bu Mala menatap Jean dalam-dalam, mencari kesungguhan di matanya
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh