"Hm?" Nana mengerutkan keningnya. "Maksudnya?""Tante nyuruh Jean putus sama Nilam, Na," aku Bu Mala. "Tante pikir, Jean itu cuma pembawa sial dan nggak bisa tegas ama masa lalunya. Makanya Tante minta dia buat jauhin Nilam."Nana menjilat bibir bawahnya. Sekarang dia paham kenapa Jean pamit dan menyuruhnya untuk menjaga Nilam selama dia pergi."Emang kurang ajar banget si Elisha sama Dikta. Mereka itu beneran kayak ular berbisa." Bu Mala terlihat mengumpat kesal karena kelakuan dua orang itu."Rasanya Tante pengen temuin mereka terus ngelabrak Elisha. Mereka bikin Tante emosi," umpat Bu Mala."Itu nggak perlu kok, Tante.""Hem?""Jean lagi bekerja buat bongkar semua kebusukan mantan istrinya itu."Bu Mala kian lesu ketika mendengar ucapan Nana. "Yang bener kamu?""Iya, Tante. Terakhir kali aku dapat info kalau pelaku penabrakan Nilam udah ketangkep. Dan ternyata pelakunya itu orang suruhan Elisha." Nana memang tau semuanya. Jean menganggap Nana sebagai orang yang bisa dia andalkan. K
"Kali ini lo bakal habis di tangan gue, Sha. Gue udah muak banget ama tingkah laku, lo!"Siapa yang tidak gemetaran ketika ada seseorang berkata seperti itu dengan wajah mengancam. Ekspresi wajah Dikta sudah seperti malaikat pencabut nyawa. Yang seakan sudah siap menghabisi nyawanya."K- kamu ngomong apa sih? Kamu cuma gertak aja kan?" Sambil mundur ke belakang, Elisha coba bertanya demikian. Jantungnya sudah berdegup kencang ditambah sorot mata tajam Dikta yang seolah serius dengan ucapannya.Dikta menyeringai. Wajah ketakutan Elisha membuat darahnya berdesir penuh semangat. Adrenalinenya seperti terpacu melihat keringat dingin membasahi wajah wanita itu."Kenapa? Lo takut sekarang?" desis Dikta. "Mana nyali lo tadi, hah? Mana gertakan lo tadi, Sha? Kenapa sekarang lo menciut gini?"Elisha tak bisa berbicara. Ia hanya menelan ludah beberapa kali ketika Dikta mencengkram wajahnya dengan satu tangan. Dan jujur, itu membuat rahangnya sakit."Jangan macam-macam Dikta!""Kenapa? Sekarang
Serangan terakhir Dikta di perutnya membuat Elisha kembali batuk darah. Wanita itu tidak bisa melakukan perlawanan apapun kecuali meratapi nasibnya.Bayang-bayang senyum cerah Qila di meja makan tadi, membuat air matanya menetes perlahan.Qila... Maafin Mama Nak... Maafin Mama karena udah terlalu rakus sebagai manusia. Maafin Mama karena nggak bisa jagain kamu lebih lama..."Mati lo Sha! Sana pergi aja ke neraka! Itu tempat yang lebih cocok buat lo dibandingkan mendekam di penjara."Mas... Jean... Maafin aku Mas... Aku— bukan istri yang baik selama ini. Aku wanita egois. A-aku ibu yang bodoh, Mas.Mas Jean... A-aku percaya... aku percaya kamu bisa jaga Qila dengan baik sampai dia dewasa. A-aku tau Qila bakal bahagia jika tumbuh bersama Papa yang baik seperti kamu, Mas.Nafas Elisha kian melemah. Matanya terpejam erat sementara kepalanya kian berat.Nilam... Maafin aku... Maafin aku Nilam. Maaf aku udah terlalu jahat sama
"Tunggu dulu, Dikta!" Jean menyergap pundak Dikta yang baru keluar dari mobilnya. "Kita harus bicara."Dikta menepis tangan Jean dari bahunya. Pria itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah garang. "Gue capek. Gue mau istirahat.""Gue cuma mau waktu lo lima menit aja.""Lo nggak denger gue ngomong apa? Gue capek!" tekan Dikta di akhir kalimatnya. Dikta berbalik dan bersiap untuk pergi.Tapi belum sempat ia melangkah menjauh, Jean kembali buka suara. "Di mana Elisha. Elo kan yang bantuin dia kabur?"Dikta terkesiap. Tapi dia berusaha rileks dan bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa-apa."Gue nggak tau.""Jangan bohong kamu!" tukas Jean dengan tegas. "Pihak kepolisian bilang kalau Elisha melarikan diri saat digiring ke kantor polisi. Dan gue yakin, orang yang bantuin dia lolos itu elo.""Cih! Emang dia siapa gue? Kenapa gue harus bantuin dia? Kurang kerjaan.""Dikta! Gue tau lo yang nolong Elisha. Dan
"Papa... Mana Mama?" Jean sedang menyiapkan sarapan untuk putrinya ketika gadis itu muncul dan berjalan menghampirinya di dapur. "Mama belum pulang ya Pa?"Duda tampan dengan celemek warna maroon di perutnya itu mendekati Qila yang baru bangun tidur dan memegangi bahunya. "Mama ada urusan penting sayang," jawab Jean lembut. "Jadi belum bisa pulang dalam waktu dekat.""Tapi urusan apa Pa? Kenapa sampai ada polisi juga?" tanya Qila lagi. Dia terlalu mengkhawatirkan sang mama sampai tidak menyadari jika papanya sendiri dalam kondisi penuh memar karena pertengkarann dengan Dikta."Mama harus pergi ke luar kota. Dan Papa sendiri juga ga tau kapan mama balik. Jadi— kamu sabar aja ya."Qila mulai terisak. Ia sedih sekali karena sang mama pergi tanpa pamit padanya. "Hiks... Hiks...""Sayang..." Jean memeluk Qila dan mengusap punggung kecil bocah 8 tahun tersebut. "Kamu jangan sedih. Kan, ada Papa di sini.""Qila maunya sama Mama, Pa. Qil
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
Dua tahun kemudian... "Mama!" Bu Mala tersentak kecil saat Nilam putrinya, mendadak muncul dan memeluk pinggangnya. Wanita paruh baya itu balik ke belakang hanya untuk mendapati cengiran polos anak tunggalnya. "Ya ampun, Nilam! Kamu bikin Mama kaget aja." Gadis itu hanya meringis. Ia menarik salah satu kursi yang ada dan duduk di sana. "Mama tuh yang terlalu fokus. Sampai ga sadar pas aku turun." Bu Mala mendengkus. Ia melanjutkan kegiatannya, mengoles mentega sebelum di masukkan ke dalam mesin Breadtoats. "Kamu rapi banget? Mau ada janji ama Nana?" Gadis berambut sebahu itu menggeleng. "Enggak." "Terus mau ke mana?" "Hari ini aku mau cari kerja, Ma." Bu Mala, bukannya senang mendengar ucapan putrinya, justru langsung mengerutkan dahi sambil memasang wajah sangsi. "Ada angin apa kamu tiba-tiba pengen cari kerja?" "Nilam bosen, Ma," jawab gadis itu setelah menenggak habis segelas jus jeruk buatan ibunya. "Hampir 2 tahun setelah lulus kuliah, Nilam jadi beban Mama." "Lah kamu,
PERANGKAP DIKTA"Kamu percaya aku, kan?"Talita menatap mata pria itu, mencoba mencari kebohongan. Namun, Dikta terlalu pandai menyembunyikan niatnya—ekspresinya begitu tulus, penuh luka.Talita mengangguk pelan. "Aku... aku gak tahu, Dik. Tapi aku akan mencari tahu kebenarannya."Dikta tersenyum tipis. "Itu sudah cukup."Talita menghela napas, merasa terjebak dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari dugaannya.Yang tidak ia sadari, malam itu ia telah masuk ke dalam perangkap Dikta.Talita duduk di pojokan kafe, menunggu Dikta yang sedikit terlambat. Jujur, ia masih bimbang. Setelah pertemuan terakhir mereka, ia berusaha mengabaikan semua cerita Dikta, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Nilam tidak seperti yang pria itu katakan. Namun, semakin ia menghindar, semakin banyak hal yang terasa janggal.Pakaian mahal. Ponsel terbaru. Supir pribadi yang selalu berganti mobil. Dan yang paling mencurigakan, caranya menghindari pertanyaan tentang keluarganya."Maaf telat," suara Dikta mengagetkan
"Mba Talita!"Talita tersentak lagi. Kali ini, yang memanggilnya adalah Nilam sendiri. "Kamu kenapa? Dari tadi diem terus. Ada masalah? Cerita dong! Siapa tau aku bisa bantu." Talita tersenyum tipis, berusaha terlihat santai. "Aku lagi capek. Dikit," lanjutnya sambil memaksakan diri untuk tersenyum."Kamu gak pulang?""Ini masih nunggu ojol. Daritadi gak dapet-dapet."Nilam mengangguk sambil melirik jam tangannya yang juga tampak mahal. "Em, taksi langganan aku udah datang, kamu mau pulang bareng gak?"Talita melirik jam dinding. Masih jam lima sore, waktu yang biasa mereka pakai untuk pulang bersama. Biasanya, Nilam akan menunggu atau mengajak Talita mampir dulu ke kafe dekat kantor."Kok tumben langsung pulang?" tanya Talita hati-hati. Nilam tersenyum, tapi kali ini terasa berbeda—seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. "Ada urusan di rumah, dan Mama minta aku pulang cepat. Kamu gak bareng?"Talita hanya bisa menggeleng sambil melihat Nilam melangkah keluar kantor. "Enggak
Talita mengerjapkan mata, sedikit terkejut. “Iya. Kok kamu tahu?” Jantung Dikta berdetak lebih cepat. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, berusaha tetap tenang. “Dia… kerja di mana sekarang?”“Oh, dia sekertaris di perusahaan tempat aku kerja juga. Kami lumayan dekat,” jawab Talita santai, tidak menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul di wajah Dikta. “Kenapa? Kamu kenal sama Nilam?”Dikta menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langit-langit kafe seolah mencari cara terbaik untuk menjelaskan sesuatu yang berat."Bukan cuma kenal, Talita," katanya akhirnya. "Nilam adalah salah satu alasan kenapa aku masuk penjara."Talita terperanjat. "Apa?!" Dikta menatapnya lekat, memperhatikan bagaimana ekspresi Talita berubah dari bingung menjadi terkejut. "Mustahil," ujar Talita cepat. "Nilam itu cuma gadis biasa, Dikta. Aku gak mungkin percaya kalau dia ada hubungannya sama kamu, apalagi sampai bikin kamu masuk penjara!" Di
Flashback...["Dikta... Ini aku. Talita."]Talita?Dikta mengerutkan keningnya. Nama itu terdengar begitu asing baginya. Dia tidak ingat sama sekali siapa wanita ini dan untuk apa dia menghubunginya.["Tapi sepertinya kamu sudah lupa, ya kan?"]["Btw, kita ini teman satu sekolah. Aku adik kelas kamu lebih tepatnya."]"Talita..." Ia kembali mengingat. "Oh? Si cupu itu? Aku baru ingat."Begitu gambaran tentang si perempuan muncul di dalam benaknya, ia pun segera membalas pesan Talita, "Iya. Aku ingat kok. Kamu yang dulu pakai kacamata tebal dan pendiam itu kan?"["Ternyata kamu notice juga."]["Duh. Jadi malu."]Dikta membalas lagi, "Ada perlu denganku?"["Aku dengar kamu udah keluar dari penjara kemarin. Apa itu benar?"]"Ya, aku baru keluar kemarin."["Dikta, kalau ada waktu apa bisa kita ketemu? Aku kangen banget sama kamu."]Dikta menatap layar ponselnya cukup lama, mempertimbangkan pesan dari Talita. Ia memang tidak terlalu mengenal perempuan itu saat sekolah dulu. Talita hanya seo
Kafe itu terletak di sudut kota, agak tersembunyi dari keramaian. Bangunannya bergaya industrial dengan dinding bata ekspos dan lampu-lampu redup yang menciptakan suasana hangat, namun juga penuh rahasia. Musik jazz mengalun pelan, menemani percakapan para pelanggan yang lebih banyak memilih duduk di sudut ruangan, seolah ingin menjaga privasi masing-masing. Talita melangkah masuk dengan hati gelisah. Matanya langsung menyapu ruangan, mencari sosok yang telah menunggunya. Di sudut dekat jendela, seseorang duduk dengan santai. Siluetnya terlihat tenang, tetapi ada aura tekanan yang sulit dijelaskan. Tatapannya tajam, penuh perhitungan, seperti sedang menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Talita menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah mendekat. "Akhirnya kamu sampai?" gumam suara itu begitu ia duduk.Talita menelan ludah. "Kamu nunggu kelamaan ya?"Pria itu menggeleng. "Aku baru aja datang kok."Ada jeda sejenak sebelum suara itu kembali terdengar. "
"Aku ingin mencium kamu." Nilam membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat.Jean tersenyum semakin lebar melihat ekspresi gadis itu. Tangannya masih bertumpu di dagu Nilam, sementara wajahnya tetap dekat, menunggu respons dari gadis yang kini jelas-jelas sedang panik. "Lalu?" lanjutnya pelan, suaranya seperti bisikan berbahaya. "Aku boleh kan meminta ciuman darimu?" Nilam membuka mulutnya, ingin menjawab— Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jean sudah lebih dulu menutup jarak, mengecup bibirnya dengan lembut. Dan saat itu juga, dunia seolah berhenti berputar bagi Nilam.Ciuman itu dimulai dengan lembut. Bibir Jean menekan bibir Nilam dengan penuh perasaan, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa gadis ini benar-benar nyata—bahwa ia benar-benar ada di sini bersamanya.Nilam sempat membeku di awal, terlalu terkejut dengan keberanian Jean. Namun, seiring detik berlalu, tubuhnya mulai rileks. Jantungnya berdetak kencang, tetapi bukan karena panik. Melainkan karena sensasi y
Jean menghela napas panjang sebelum akhirnya melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Raut wajahnya masih serius, menunjukkan bahwa sesuatu memang sedang mengganggu pikirannya. Nilam menelan ludah, sedikit canggung berdiri di depan meja Jean sambil menunggu pria itu berbicara. "Polisi bekerja terlalu lambat," gumam Jean akhirnya, nada suaranya penuh ketidakpuasan. "Sudah berhari-hari, dan mereka masih belum bisa menemukan siapa yang menyerang kamu di vila." Mata Nilam sedikit melembut. Ia tahu Jean masih menyimpan amarah karena kejadian itu. Wajar saja, pria itu hampir kehilangan kendali saat pertama kali tahu seseorang menyerangnya. Nilam melangkah mendekat dan berdiri di sisi meja, menatap Jean dengan penuh pengertian. "Pak Jean," katanya lembut, "aku tau kamu marah dan khawatir. Tapi percaya deh, polisi pasti berusaha yang terbaik. Emang butuh waktu untuk menemukan pelaku untuk menemukan pelakunya kan? Apalagi gak ada saksi di sana?"Jean mengusap wajahnya dengan
Keesokan paginya, Nilam datang ke kantor dengan wajah berseri-seri. Senyumnya mengembang sejak ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Aura bahagia jelas terpancar darinya, seolah dunia sedang berkonspirasi untuk membuatnya terus merasa berbunga-bunga.Saat melewati meja Talita dan Rani, dua rekan kerjanya itu langsung menangkap perubahan ekspresi Nilam. Mereka saling melirik penuh arti sebelum akhirnya menyapanya dengan penuh rasa ingin tahu."Duh, ada apa nih senyum-senyum terus? Pasti lagi happy ya?" tanya Rani sambil mencondongkan tubuhnya ke meja Nilam."Iya, ih! Dari wajahnya, kamu pasti punya kabar baik. Ya kan?" Talita ikut menimpali. Matanya berbinar penasaran. "Kalau punya kabar baik, jangan disimpan sendiri dong. Bagilah sama kita!"Nilam masih mempertahankan senyumnya yang penuh rahasia. Ia menatap kedua temannya dengan tatapan jahil, menikmati rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka. "Tapi jangan sampai kaget ya!" ujarnya menggoda. "Apa-apa! Cepetan kasih tahu
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny