"Kali ini lo bakal habis di tangan gue, Sha. Gue udah muak banget ama tingkah laku, lo!"Siapa yang tidak gemetaran ketika ada seseorang berkata seperti itu dengan wajah mengancam. Ekspresi wajah Dikta sudah seperti malaikat pencabut nyawa. Yang seakan sudah siap menghabisi nyawanya."K- kamu ngomong apa sih? Kamu cuma gertak aja kan?" Sambil mundur ke belakang, Elisha coba bertanya demikian. Jantungnya sudah berdegup kencang ditambah sorot mata tajam Dikta yang seolah serius dengan ucapannya.Dikta menyeringai. Wajah ketakutan Elisha membuat darahnya berdesir penuh semangat. Adrenalinenya seperti terpacu melihat keringat dingin membasahi wajah wanita itu."Kenapa? Lo takut sekarang?" desis Dikta. "Mana nyali lo tadi, hah? Mana gertakan lo tadi, Sha? Kenapa sekarang lo menciut gini?"Elisha tak bisa berbicara. Ia hanya menelan ludah beberapa kali ketika Dikta mencengkram wajahnya dengan satu tangan. Dan jujur, itu membuat rahangnya sakit."Jangan macam-macam Dikta!""Kenapa? Sekarang
Serangan terakhir Dikta di perutnya membuat Elisha kembali batuk darah. Wanita itu tidak bisa melakukan perlawanan apapun kecuali meratapi nasibnya.Bayang-bayang senyum cerah Qila di meja makan tadi, membuat air matanya menetes perlahan.Qila... Maafin Mama Nak... Maafin Mama karena udah terlalu rakus sebagai manusia. Maafin Mama karena nggak bisa jagain kamu lebih lama..."Mati lo Sha! Sana pergi aja ke neraka! Itu tempat yang lebih cocok buat lo dibandingkan mendekam di penjara."Mas... Jean... Maafin aku Mas... Aku— bukan istri yang baik selama ini. Aku wanita egois. A-aku ibu yang bodoh, Mas.Mas Jean... A-aku percaya... aku percaya kamu bisa jaga Qila dengan baik sampai dia dewasa. A-aku tau Qila bakal bahagia jika tumbuh bersama Papa yang baik seperti kamu, Mas.Nafas Elisha kian melemah. Matanya terpejam erat sementara kepalanya kian berat.Nilam... Maafin aku... Maafin aku Nilam. Maaf aku udah terlalu jahat sama
"Tunggu dulu, Dikta!" Jean menyergap pundak Dikta yang baru keluar dari mobilnya. "Kita harus bicara."Dikta menepis tangan Jean dari bahunya. Pria itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah garang. "Gue capek. Gue mau istirahat.""Gue cuma mau waktu lo lima menit aja.""Lo nggak denger gue ngomong apa? Gue capek!" tekan Dikta di akhir kalimatnya. Dikta berbalik dan bersiap untuk pergi.Tapi belum sempat ia melangkah menjauh, Jean kembali buka suara. "Di mana Elisha. Elo kan yang bantuin dia kabur?"Dikta terkesiap. Tapi dia berusaha rileks dan bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa-apa."Gue nggak tau.""Jangan bohong kamu!" tukas Jean dengan tegas. "Pihak kepolisian bilang kalau Elisha melarikan diri saat digiring ke kantor polisi. Dan gue yakin, orang yang bantuin dia lolos itu elo.""Cih! Emang dia siapa gue? Kenapa gue harus bantuin dia? Kurang kerjaan.""Dikta! Gue tau lo yang nolong Elisha. Dan
"Papa... Mana Mama?" Jean sedang menyiapkan sarapan untuk putrinya ketika gadis itu muncul dan berjalan menghampirinya di dapur. "Mama belum pulang ya Pa?"Duda tampan dengan celemek warna maroon di perutnya itu mendekati Qila yang baru bangun tidur dan memegangi bahunya. "Mama ada urusan penting sayang," jawab Jean lembut. "Jadi belum bisa pulang dalam waktu dekat.""Tapi urusan apa Pa? Kenapa sampai ada polisi juga?" tanya Qila lagi. Dia terlalu mengkhawatirkan sang mama sampai tidak menyadari jika papanya sendiri dalam kondisi penuh memar karena pertengkarann dengan Dikta."Mama harus pergi ke luar kota. Dan Papa sendiri juga ga tau kapan mama balik. Jadi— kamu sabar aja ya."Qila mulai terisak. Ia sedih sekali karena sang mama pergi tanpa pamit padanya. "Hiks... Hiks...""Sayang..." Jean memeluk Qila dan mengusap punggung kecil bocah 8 tahun tersebut. "Kamu jangan sedih. Kan, ada Papa di sini.""Qila maunya sama Mama, Pa. Qil
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
Dua tahun kemudian... "Mama!" Bu Mala tersentak kecil saat Nilam putrinya, mendadak muncul dan memeluk pinggangnya. Wanita paruh baya itu balik ke belakang hanya untuk mendapati cengiran polos anak tunggalnya. "Ya ampun, Nilam! Kamu bikin Mama kaget aja." Gadis itu hanya meringis. Ia menarik salah satu kursi yang ada dan duduk di sana. "Mama tuh yang terlalu fokus. Sampai ga sadar pas aku turun." Bu Mala mendengkus. Ia melanjutkan kegiatannya, mengoles mentega sebelum di masukkan ke dalam mesin Breadtoats. "Kamu rapi banget? Mau ada janji ama Nana?" Gadis berambut sebahu itu menggeleng. "Enggak." "Terus mau ke mana?" "Hari ini aku mau cari kerja, Ma." Bu Mala, bukannya senang mendengar ucapan putrinya, justru langsung mengerutkan dahi sambil memasang wajah sangsi. "Ada angin apa kamu tiba-tiba pengen cari kerja?" "Nilam bosen, Ma," jawab gadis itu setelah menenggak habis segelas jus jeruk buatan ibunya. "Hampir 2 tahun setelah lulus kuliah, Nilam jadi beban Mama." "Lah kamu,
"Nilam udah sadar, Je. Tapi dia kehilangan memorinya selama beberapa tahun terakhir.""Bukannya itu lebih baik Tante? Supaya Nilam bisa melupakan hal-hal buruk saat sama saya.""Tapi dulu Nilam pernah bilang, meskipun menjadi pacar kamu terlalu berisiko dan berat tapi dia tetap menyukainya.""Itu karena dia yang terlalu baik Tante. Padahal kalau ga ada saya, hidup dia pasti bisa lebih baik lagi."***"Ini Pak berkasnya! Tolong jangan marah ya! Saya beneran ga sengaja." Nilam mengulurkan kertas yang dia pegang ke arah lelaki di depannya. Dia panik sekali karena sudah membuat kekacauan."P- Pak... Bapak kenapa?" beo gadis berkemeja putih itu ketika melihat si pria yang hanya melamun sambil memandanginya. 'Dia kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Apa aku cepirit di rok?' Dengan muka panik dia mengecek roknya.'Huh... Ternyata enggak.' "Pak... Bapak!""Eh- Maaf." Sentakan pelan Nilam membuat pria itu tersadar
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh
Malam itu, sekitar pukul sembilan. Kamar Nilam terlihat rapi, dengan lampu tidur yang menyala temaram di sudut ruangan. Ia duduk di atas kasur, bersandar pada tumpukan bantal sambil memeluk guling. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya hanya dipoles skincare malam tanpa riasan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan wajah Jean terpampang di layar—video call yang akhirnya tersambung setelah seharian saling sibuk.“Hai sayang…” sapa Jean, tersenyum kecil dari balik layar. Ia terlihat sedang duduk di ruang kerjanya, dengan kaos polo abu-abu kesayangannya dan rambut sedikit berantakan.Nilam mengerucutkan bibir, memeluk guling lebih erat. “Kamu lama banget angkatnyaaaa…”“Sorry, sayang. Tadi aku baru selesai meeting sama vendor catering,” jawab Jean sambil menyender ke kursi. “Tapi sekarang kamu udah dapet aku seutuhnya, nih.”Nilam mendesah pelan, lalu matanya memandang Jean dengan tatapan manja. “Aku kangen banget… tahu gak?”"Kita kan gak ketemu baru hari ini.""Tapi bagiku ini udah l
Suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya suara mesin yang mengisi kekosongan di antara mereka. Lampu-lampu jalan menari pelan di kaca jendela, seolah mengiringi perasaan gundah yang masih menyelimuti hati Nilam. Tangan Jean memegang kemudi, sementara tatapannya sesekali mencuri-curi pandang ke arah Nilam yang duduk diam, memeluk tas di pangkuannya.“Masih kepikiran Talita?” tanya Jean akhirnya, dengan suara pelan.Nilam hanya mengangguk pelan tanpa menoleh.Jean menarik napas sejenak, lalu tersenyum tipis. “Sayang… aku ngerti kamu khawatir. Tapi jangan terlalu OVT ya! Talita kan udah ngabarin, dan sejauh ini infonya sama seperti yang bu Ratih bilang. Jadi, kita harus percaya sama dia.”Nilam mengatupkan bibirnya erat. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya sepenuhnya. Tapi ada di sisi lain perasaannya mengatakan jika ada sesuatu yang tidak beres.“Aku ngerasa... ada sesuatu yang masih mengganjal," bisiknya akhirnya. “Perasaanku gak enak aja.”Jean mengalihkan tangan kirinya da