"Kamu nggak ikut turun juga?""Iya dong. Aku mau pamit ama Bu Mala dulu sebelum pulang. Tadi aku ngajak kamu pergi kan secara baik-baik, jadi ngajak pulangnya juga harus baik-baik juga."Gadis 20 tahun itu tersenyum girang. "Ehehehe. Kamu emang gentle."Keduanya pun segera turun dan masuk ke dalam rumah untuk bertemu dengan bu Mala. Mereka yang beberapa waktu yang lalu menyembunyikan hubungan itu, kini terlihat santai saat muncul di hadapan Bu Mala. Apalagi Jean yang terlihat lebih percaya diri dibanding waktu pertama kali bertemu dengan calon mertuanya.Jika malam itu, Nilam dan Jean terlihat bahagia, hal yang berbeda harus dirasakan oleh Elisha. Di mana wanita cantik itu sibuk merenung di balkon kamarnya seorang diri. Sejak pulang tadi, Elisha terlihat begitu murung. Bahkan dia mengabaikan Qila yang antusias ingin menceritakan hal-hal serunya di sekolah.Kepalanya seperti mau pecah, ketika mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. Ke
Keesokan paginya, Elisha masuk ke kantor seperti biasanya. Wanita itu mengendarai mobil hitamnya seorang diri tanpa bantuan supir. Tidak lupa, sebelum berangkat ia akan mengantar Qila lebih dahulu ke sekolah. Walaupun melelahkan dan cukup makan waktu, mau tak mau dia harus mengerjakan itu semua.Sesampainya di lokasi, wanita dengan blouse berenda di bagian dada itu melihat Nilam yang juga baru turun dari mobil. Bedanya, gadis itu di antar seseorang yang tidak lain adalah Jean, mantan suaminya. Tapi bukannya langsung masuk, Nilam dan Jean malah masih sibuk mengobrol berduaan."Dadah kak! Nanti jangan lupa jemput aku ya!""Iya...""Oh ya! Bekal yang aku buat jangan lupa di makan lho! Aku masak itu penuh effort. Aku rela bangun dari subuh soalnya.""Iya Nilam sayang... Pasti bakal aku abisin kok.""Kalau rasanya ada yang kurang bilang aja ya! Gak usah sungkan.""Masakan kamu selalu enak kok.""Masa sih?""
Suara gebrakan meja yang cukup keras itu membuat mereka bertiga langsung terjingkat.Nilam dan kedua temannya seketika memasang ekspresi horor ketika melihat Elisha berdiri dengan wajah memerah karena marah."Kalian ini! Bukannya mulai bekerja! Malah gosip yang enggak-enggak!" amuk Elisha dengan bersungut-sungut."Bu— Bu Elisha." Kedua teman Nilam yang kaget langsung bersembunyi di belakang Nilam. Seolah minta perlindungan."Siapa yang mulai duluan?! Pasti kamu kan?!" Elisha mendekati Nilam lalu menarik lengan perempuan itu dan mencengkramnya kuat."Lepasin Bu! Ini sakit!" desis Nilam sambil memicing tajam ke arah Elisha. Dia mencoba melindungi dirinya saat Elisha mulai main kasar dengan menahan balik pengelangan tangan wanita 28 tahun di depannya."Udah tau ini sakit, tapi kenapa kamu terus cari gara-gara sama aku, hah? Nggak capek kamu ngurusin hidupku?"Nilam berdecih. "Ibu jangan mutar balikkan fakta ya! Yang kepo sa
"Gimana Pak?""Ya udah. Kamu kerja aja kayak biasanya. Abis ini aku minta Elisha buat siapin apa yang kamu minta."Jawaban tegas Dikta membuat Nilam bernafas lega. Ia langsung tersenyum lebar sambil mengucapkan terima kasih. Sedangkan Elisha, semakin dongkol saja karena Dikta terus membela Nilam sejak tadi."Pokoknya aku nggak mau bikin sertifikat buat dia. Kalau kamu mau, ya buat aja sendiri!" Elisha melipat kedua tangannya di dada. Ia begitu tegas menolak permintaan Dikta walaupun bosnya itu tidak bicara secara langsung."Kamu kenapa sih tadi uring-uringan terus?" Dikta mendekati Elisha, menyentuh pundaknya, tapi sayang— Elisha langsung menepis tangan pria itu begitu saja."Udah dong, Sha! Jangan kayak anak kecil gini!""Abisnya kamu belain Nilam terus!" ketus Elisha."Dia itu cuma bocah, Sha. Ngapain ngeladenin dia?" Dikta agak frustasi menghadapi Elisha yang super keras kepala. "Lagian, dia itu anaknya temen Mama, ja
Pria dengan setelan kemeja warna putih dengan celana berwarna hitam tersebut kembali menghampiri Elisha sebelum berucap, "Mungkin kata-kata yang aku ucapkan, terdengar sangat sadis dan akan membuat kamu sakit hati. Tapi kamu harus sadar Elisha— bahwa seorang Pradikta, nggak akan mungkin menikahi seorang janda beranak satu seperti kamu."Hati Elisha berdenyut sakit ketika mendengar ucapan Dikta. Batinnya terasa sesak dan perih dengan fakta yang dilontarkan oleh sang atasan."Jelas dari status aja, kita udah jauh beda. Jadi aku mohon, mending kamu kubur dalam-dalam aja keinginan kamu untuk menjadi istriku. Paham?"Elisha memejamkan matanya. Semakin dibiarkan, Dikta justru semakin melukai perasaannya. "Kamu keterlaluan!""Bukan aku yang keterlaluan, tapi kamu yang gampang banget ditipu," pungkas Dikta sambil menyentuh pipi Elisha yang memerah. " Coba kamu sedikit jual mahal seperti Nilam, pasti rumah tangga kamu akan baik-baik saja.""Tapi s
"Cari hotel aja gimana?"Tuk!"Awww..." Nilam memegangi keningnya yang baru saja jadi korban sentilan Jean. "Sakit kak!" protesnya."Ya lagian, kamu ini. Kirain bakal nolak pas aku godain, malah ngajak check-in!"Nilam menyipitkan matanya sambil berbisik, "Salah sendiri nantangin. Ditantang balik kamu yang panik kan?"Jean menjilat bibirnya sambil berkata, "Ya udah. Kamu mau ke hotel mana?"Nilam menelan ludah. Panik sedikit tapi masih berusaha tenang seolah tidak terjadi apa-apa. "Hotel ya? Emm... Terserah kamu aja.""Oke. Masuk mobil dulu! Nanti aku pikirkan kita mau check-in di hotel mana," gumam Jean sambil menahan diri agar tetap cool. Walaupun dia setengah mati ingin tertawa karena melihat ekspresi panik Nilam di depannya.Gadis itu hanya menurut dan duduk di samping kursi kemudi. Dia sudah seperti anak ABG yang mau diculik Om-om. Ekspresi wajahnya super duper lucu menurut Jean.*"Kita s
"Nih...""Em?!""Aku nyariin ini dari tadi."Gadis cantik itu semakin bingung ketika Jean menyerahkan sebuah brosur ke arahnya. "I- ini apa?""Itu brosur yang aku dapat saat meeting kemarin. Isinya menu baru di hotel ini. Aku tanya ke beberapa teman, katanya makananya enak dan rekomended. Makanya aku ngajak kamu ke sini."Nilam melongo. Ia menatap Jean yang tersenyum tanpa dosa ke arahnya. Bentar-bentar, mereka miss-com lagi kah?"Kamu mau pesen yang mana? Aku udah lapar nih?"Nilam menerima brosur itu dari pria yang masih berdiri di depannya. Sumpah, wajahnya sudah sangat merah. Gerak-gerik nya juga begitu canggung saat menyadari Jean hanya menggodanya."Kurang ajar!" Nilam memukulkan kertas tipis itu ke arah sang pacar. "Jadi daritadi kamu cuma ngerjain aku doang?""Lah? Kamu baru ngeh?""Akhhh! Sialan!" Nilam berdiri sambil berusaha memukul-mukul pelan lengan Jean. "Kurang ajar! Daritadi aku
Qila berdiri di depan pintu kamar Mamanya dengan wajah panik. Jantungnya berdebar, air matanya terus mengalir bersamaan dengan keringat dingin di tubuhnya. Anak mana yang tidak khawatir saat mendengar suara teriakan sang mama. Yang diiringi dengan jatuhnya beberapa barang pecah bela."Mama... Mama kenapa Ma? Mama..." Usia Qila memang masih 8 tahun. Tapi dia cukup peka dengan kondisi sekitarnya, termasuk sang Mama."Mama! Mama kenapa?!" Ia terus mencoba untuk memanggil Elisha agar segera keluar dari kamarnya. Tapi, sang Mama sama sekali tidak menggubris ucapannya."Mbak Qila..."Mendengar suara sang bibi ART, Qila pun langsung menghampiri wanita paruh baya itu dan memeluknya erat."Bi, Qila takut bi... Daritadi Mama teriak-teriak terus." Sambil menangis, Qila menceritakan apa yang sedang terjadi pada sang Bibi."Mbak qila tenang dulu ya!" pinta sang bibi."Apa kita telfon Papa aja ya Bi? Biar Papa ke sini buat ngeliat Mama? Qila beneran takut Bi," saran bocah itu dengan mata berkaca-ka
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A
"Papa... Mana Mama?" Jean sedang menyiapkan sarapan untuk putrinya ketika gadis itu muncul dan berjalan menghampirinya di dapur. "Mama belum pulang ya Pa?"Duda tampan dengan celemek warna maroon di perutnya itu mendekati Qila yang baru bangun tidur dan memegangi bahunya. "Mama ada urusan penting sayang," jawab Jean lembut. "Jadi belum bisa pulang dalam waktu dekat.""Tapi urusan apa Pa? Kenapa sampai ada polisi juga?" tanya Qila lagi. Dia terlalu mengkhawatirkan sang mama sampai tidak menyadari jika papanya sendiri dalam kondisi penuh memar karena pertengkarann dengan Dikta."Mama harus pergi ke luar kota. Dan Papa sendiri juga ga tau kapan mama balik. Jadi— kamu sabar aja ya."Qila mulai terisak. Ia sedih sekali karena sang mama pergi tanpa pamit padanya. "Hiks... Hiks...""Sayang..." Jean memeluk Qila dan mengusap punggung kecil bocah 8 tahun tersebut. "Kamu jangan sedih. Kan, ada Papa di sini.""Qila maunya sama Mama, Pa. Qil
"Tunggu dulu, Dikta!" Jean menyergap pundak Dikta yang baru keluar dari mobilnya. "Kita harus bicara."Dikta menepis tangan Jean dari bahunya. Pria itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah garang. "Gue capek. Gue mau istirahat.""Gue cuma mau waktu lo lima menit aja.""Lo nggak denger gue ngomong apa? Gue capek!" tekan Dikta di akhir kalimatnya. Dikta berbalik dan bersiap untuk pergi.Tapi belum sempat ia melangkah menjauh, Jean kembali buka suara. "Di mana Elisha. Elo kan yang bantuin dia kabur?"Dikta terkesiap. Tapi dia berusaha rileks dan bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa-apa."Gue nggak tau.""Jangan bohong kamu!" tukas Jean dengan tegas. "Pihak kepolisian bilang kalau Elisha melarikan diri saat digiring ke kantor polisi. Dan gue yakin, orang yang bantuin dia lolos itu elo.""Cih! Emang dia siapa gue? Kenapa gue harus bantuin dia? Kurang kerjaan.""Dikta! Gue tau lo yang nolong Elisha. Dan
Serangan terakhir Dikta di perutnya membuat Elisha kembali batuk darah. Wanita itu tidak bisa melakukan perlawanan apapun kecuali meratapi nasibnya.Bayang-bayang senyum cerah Qila di meja makan tadi, membuat air matanya menetes perlahan.Qila... Maafin Mama Nak... Maafin Mama karena udah terlalu rakus sebagai manusia. Maafin Mama karena nggak bisa jagain kamu lebih lama..."Mati lo Sha! Sana pergi aja ke neraka! Itu tempat yang lebih cocok buat lo dibandingkan mendekam di penjara."Mas... Jean... Maafin aku Mas... Aku— bukan istri yang baik selama ini. Aku wanita egois. A-aku ibu yang bodoh, Mas.Mas Jean... A-aku percaya... aku percaya kamu bisa jaga Qila dengan baik sampai dia dewasa. A-aku tau Qila bakal bahagia jika tumbuh bersama Papa yang baik seperti kamu, Mas.Nafas Elisha kian melemah. Matanya terpejam erat sementara kepalanya kian berat.Nilam... Maafin aku... Maafin aku Nilam. Maaf aku udah terlalu jahat sama
"Kali ini lo bakal habis di tangan gue, Sha. Gue udah muak banget ama tingkah laku, lo!"Siapa yang tidak gemetaran ketika ada seseorang berkata seperti itu dengan wajah mengancam. Ekspresi wajah Dikta sudah seperti malaikat pencabut nyawa. Yang seakan sudah siap menghabisi nyawanya."K- kamu ngomong apa sih? Kamu cuma gertak aja kan?" Sambil mundur ke belakang, Elisha coba bertanya demikian. Jantungnya sudah berdegup kencang ditambah sorot mata tajam Dikta yang seolah serius dengan ucapannya.Dikta menyeringai. Wajah ketakutan Elisha membuat darahnya berdesir penuh semangat. Adrenalinenya seperti terpacu melihat keringat dingin membasahi wajah wanita itu."Kenapa? Lo takut sekarang?" desis Dikta. "Mana nyali lo tadi, hah? Mana gertakan lo tadi, Sha? Kenapa sekarang lo menciut gini?"Elisha tak bisa berbicara. Ia hanya menelan ludah beberapa kali ketika Dikta mencengkram wajahnya dengan satu tangan. Dan jujur, itu membuat rahangnya sakit."Jangan macam-macam Dikta!""Kenapa? Sekarang
"Hm?" Nana mengerutkan keningnya. "Maksudnya?""Tante nyuruh Jean putus sama Nilam, Na," aku Bu Mala. "Tante pikir, Jean itu cuma pembawa sial dan nggak bisa tegas ama masa lalunya. Makanya Tante minta dia buat jauhin Nilam."Nana menjilat bibir bawahnya. Sekarang dia paham kenapa Jean pamit dan menyuruhnya untuk menjaga Nilam selama dia pergi."Emang kurang ajar banget si Elisha sama Dikta. Mereka itu beneran kayak ular berbisa." Bu Mala terlihat mengumpat kesal karena kelakuan dua orang itu."Rasanya Tante pengen temuin mereka terus ngelabrak Elisha. Mereka bikin Tante emosi," umpat Bu Mala."Itu nggak perlu kok, Tante.""Hem?""Jean lagi bekerja buat bongkar semua kebusukan mantan istrinya itu."Bu Mala kian lesu ketika mendengar ucapan Nana. "Yang bener kamu?""Iya, Tante. Terakhir kali aku dapat info kalau pelaku penabrakan Nilam udah ketangkep. Dan ternyata pelakunya itu orang suruhan Elisha." Nana memang tau semuanya. Jean menganggap Nana sebagai orang yang bisa dia andalkan. K
Di mobil polisi, Elisha terus menerus memantau keadaan. Ia menunggu bantuan Dikta datang untuk menolongnya bebas dari tuduhan. Tapi setelah 30 menit ia meninggalkan SPBU, ia tidak melihat tanda kemunculan dikta di sekitarnya.'Apa Dikta bohong ya?''Jangan-jangan dia nggak mau nolongin aku?'Pikiran Elisha mulai kacau. Dia begitu kesal karena sang Bos sudah tega mengabaikan dirinya.'Lihat aja si Dikta. Kalau sampai malam ini dia nggak muncul, aku jamin semua rahasia miliknya akan terbongkar secepatnya.' Wanita 29 tahun itu sudah menyiapkan begitu banyak ancang-ancang untuk menyerang bosnya. Dia tidak rela kalau harus mendekam di tahanan seorang diri.'Aku harus bagaimana? Dikta— beneran nggak bisa diandalkan.''Sumpah ya! Aku bakal bilang ke pihak berwajib kalo dia juga turut andil atas kecelakaan Nilam. Biarin aja dia tau rasa.'Disaat Elisha sedang menyusun rencana, tiba-tiba terdengar suara decitan yang cukup nyaring. Disusul dengan suara brak yang keras tak jauh di depan sana.Ke
Elisha di giring ke mobil polisi. Dia di paksa masuk ke dalam dengan tangan di borgol ke depan. Wanita itu tidak banyak bicara dan terus menunduk. Otaknya terus bekerja memikirkan cara untuk bisa menelfon Dikta. Sementara hatinya harus kuat dengan tidak menengok ke arah Qila yang memanggil namanya.'Aku harus cari cara supaya bisa telfon Dikta. Aku nggak mau masuk penjara. Aku nggak mau mendekam di sana.'Perempuan itu menatap jalanan di depannya. Ia benar-benar tak bisa berkutik karena diapit oleh dua petugas kepolisian. 'Seenggaknya, kalau aku emang harus jadi tersangka, Dikta harus bantuin aku cari pengacara terbaik. Pokoknya aku harus bebas.'Selama 30 menit perjalanan, Elisha tidak banyak berbicara. Dia sibuk berpikir untuk meloloskan diri. Sampai akhirnya..."Pak!""Kenapa?""P-perut saya sakit banget. Kita boleh nggak mampir ke toilet dulu?""Toilet? Enggak-enggak! Pasti itu alasan kamu aja kan supaya bisa cari cela buat kabur?"Elisha masih berusaha tenang meskipun rencananya