"Kamu ini masih bocah. Anak kemarin sore. Tau apa soal hati dan perasaan orang lain?"
"Aku emang masih noob soal percintaan Bu Elisha," balas Nilam dengan nada penekanan. "Tapi aku tau betul gimana cara mempertahankan apa yang aku punya.""Maksud kamu apa ngomong gitu? Kamu pikir aku bakal rebut Mas Jean dari kamu?" sahut Elisha ketus.Nilam melipat kedua tangannya di depan dada. "Iya. Aku emang ngerasa gitu, Bu. Apalagi sejak Dikta nolak ibu.""Sok tau kamu.""Bukan sok tau. Tapi emang tau.""Kamu nguping?""Iya. Maklumin ya bu, kepo soalnya.""Nggak tau malu kamu!" amuk Elisha. Rasanya dia sudah benar-benar muak pada Nilam."Dikira ibu enggak?" Nilam mengangkat dagunya. Ia mendekati Elisha tanpa rasa takut sama sekali. "Sekarang apa niat ibu kayak tadi? Mau caper di depan kak Jean ya?"Elisha sudah mengangkat tangannya. Bersiap untuk menampar gadis itu."Elisha!!!" Tapi sayangnya Jea"Jangan bilang kamu lagi topless?"["Kok tau."]"Nebak aja sih."["Mau liat nggak?"]Nilam melotot kaget. "Liat apa?"Bukannya menjawab, Jean malah menjauhkan kamera depan ponselnya hingga memperlihatkan bahu lebarnya yang sempurna. Mundur sedikit lagi— dan Nilam bisa melihat dada bidang Jean yang cocok buat dijadikan bantal buat rebahan."Emm...." Nilam menarik bed covernya hingga menutupi separuh wajahnya. Ia sedang menyembunyikan pipinya yang memerah karena ulah Jean. ["Gerah banget di sini, Nilam."]"Masa sih? Emang kakak nggak nyalain AC?"["Udah. Tapi tetep aja panas."]"Aku malah sebaliknya kak. Di sini dingin banget."["Oh ya?"]"Uhm. Nih, aku sampai selimutan."["Hah..."]Helaan nafas Jean membuat Nilam bingung. "Kenapa kak?"["Aku jadi pengen ke sana deh. Supaya bisa gantiin posisi selimut kamu."]"Seandainya Mama keluar kota, uda
Sudah hampir satu minggu Elisha tidak masuk kantor. Dia ijin tidak masuk pada Dikta dengan alasan sakit. Walaupun sebenarnya itu hanya alibinya saja. Dan hari ini dia memilih untuk masuk kerja dan bersikap seolah tidak ada apa-apa.Elisha berniat untuk fokus saja pada pekerjaannya dan tidak mau banyak tingkah. Yah, ia ingin melewati hari-harinya seperti sebelum pertengkaran itu terjadi.Seperti yang sudah-sudah, hal yang pertama di lakukan oleh Elisha adalah membuatkan kopi untuk Pradikta. Ia masuk ke dalam ruangan sang Bos dan menyiapkan semua itu untuk sang atasan.Tepat setelah ia selesai membuat kopi, di waktu yang bersamaan, Dikta masuk ke dalam ruangan. Bos tampan itu sedikit terkejut saat melihat kehadiran Elisha setelah sekian lama."Wah, akhirnya kamu masuk kerja juga." Dikta mendekati Elisha lalu memeluknya dari belakang. Sayangnya, Elisha langsung menepis lengan pria itu dan menjauh beberapa langkah.Dikta mengerutkan alisnya.
"Lagi nyariin siapa Nilam?"Gadis itu menoleh. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sosok seorang pemuda yang juga teman sekelasnya sedang berjalan ke arahnya."Eh, Anton! Ini nih, gue lagi nyari seseorang nih."Pemuda 20 tahunan itu mendekati Nilam dan berhenti di depannya. "Siapa?""Ada deh," balas Nilam sekenanya."Gimana kalo lo bareng ama gue aja? Kan arah rumah kita sama? Daripada lo celingukan di sini kayak anak hilang?"Nilam menatap cowok berjaket kulit di depannya sambari menggeleng. "Enggak bisa. Kan gue udah janji ama dia.""Aduh, Nilam... Cowok tukang telat itu nggak bisa dipercaya. Mending ama gue aja baliknya, udah pasti. Daripada lo ada di tengah parkiran kayak kerupuk yang lagi di jemur ya kan?""Kurang ajar ngatain gue kayak kerupuk.""Sorry."Nilam mengerucutkan bibirnya. "Udah sana! Lo balik duluan aja!""Yakin lo nggak mau bareng ama gue?" tanya Anton agak maksa. "Gue bawa helm cadangan kok. Nanti lo bisa pake itu.""Enggak usah, Anton. Makasih!""Yakin...""I—""
"Gimana? Udah siap?"Nilam melihat ke arah Jean sebentar dan menggangguk. Rasanya dia sudah siap untuk meluncur."Pegang tanganku!" titah Jean. Setelah Nilam melakukannya, Jean pun dengan hati-hati menarik tubuh Nilam untuk ikut berseluncur pelan. Posisi keduanya sekarang saling berhadapan satu sama lain dengan saling menggenggam."Liat aku aja, Nilam! Kalau kamu liat ke bawah, kamu malah nggak bakal fokus!"Nilam mengangkat kepalanya setelah mendengar arahan Jean. Walaupun kesulitan tapi gadis itu terlihat senang."Susah..." rengek Nilam."Nggak apa. Gerakan kamu udah bagus kok. Bentar lagi juga kamu bakal terbiasa."Nilam lagi-lagi hanya mengangguk. Ia terlihat berusaha keras untuk mengimbangi Jean. Walau sering oleng dan hampir jatuh, tapi ia terlihat senang sekali.Sungguh, gadis itu tidak menyangka jika kencannya dengan Jean hari ini memberikan pengalaman baru yang cukup menyenangkannya baginya.Tapi..."Fokus Nilam!" omel Jean ketika Nilam justru sibuk melihat ke arahnya."Udah
"Pa, gimana kalo kita kasih kejutan buat Mama?" tanya Qila bersemangat.Nilam mendelik. 'Kalau ada kejutan, berarti bakal ada momen Elisha caper ke Jean dong?'"Kejutan gimana?" tanya Jean dengan sabar."Mama kan pulangnya malem Pa, nanti sebelum Mama pulang papa ke rumah aja. Nanti kita kasih kue-nya ke mama," ucap Qila memberi saran.Jean tidak langsung memberikan jawaban. Dia justru lebih dahulu melihat ke arah Nilam seolah meminta persetujuan.Paham dengan maksud tatapan sang kekasih, Nilam pun berucap, "Wah, ide bagus tuh Mbak Qila." Dia memasang wajah excited agar Qila tidak curiga padanya. "Nanti kita juga bisa kasih hadiah buat Mama kamu."Jean menghela nafas panjang, dia pikir Nilam tidak akan setuju karena nanti dia harus bertemu dengan Elisha."Tuh kan, emang ide Qila itu bagus Pa." Qila makin girang."Tapi, Mbak Nilam boleh ikut nggak?" tanya gadis itu kemudian.Qila mengerutkan keningnya. "
"Suapan pertama mau mama kasih ke Qila..." Dengan wajah sumringah ia menyuapi putrinya itu."Makasih Ma," balas Qila happy."Suapan kedua buat..." Elisha terlihat ragu-ragu untuk menyebut nama Jean. Tapi dari tatapan matanya jelas mengisyaratkan untuk siapa suapan tersebut."Buat Papa aja Ma!" Qila lebih dahulu memotong. Dan tentu saja itu bisa jadi alasan yang bagus buat Elisha."Kalau Papa kamu mau Qila," desis Elisha lirih.Jean hanya diam saja. Sementara Nilam, jangan ditanya, ekspresi wajahnya sudah tidak enak sejak tadi."Papa! Papa mau kan disuapin Mama?" tanya Qila sambil menggunvangkan lengan lelaki itu.Duda tampan itu hanya melirik ke arah Nilam. Namun kali ini, Nilam memilih untuk pura-pura tidak melihatnya."Papa..." rengek Qila.Demi Qila, Jean terpaksa membuka mulutnya dan menerima suapan dari Elisha."Yai..." Qila berseru semakin senang. "Selamat ulang tahun ya Mama.""
Jean menarik nafas panjang. Ia sudah janji pada Bu Mala untuk tidak membuat Nilam kecewa."Sayang..." Jean membungkukkan punggungnya agar sejajar dengan Qila. "Makan malamnya lain kali aja nggak apa kan?"Qila mengerutkan keningnya. Tampak tidak setuju dengan ucapan sang Papa. "Papa harus nganterin Mbak Nilam pulang. Kan kasian kalau Mamanya khawatir."Nilam yang berdiri di belakang Jean mencoba untuk bersikap tenang. Meskipun jujur saja, dia merasa girang karena Jean memihaknya."Kan Mbak Nilam udah besar, dia bisa pulang sendiri Pa," rengek Qila. Ia terlihat ingin menangis karena penolakan sang Papa."Tapi Papa tadi ke sini kan sama Mbak Nilam, masa sekarang Mbak Nilam harus pulang sendiri? Kan bahaya sayang." Jean berusaha membujuk putrinya. "Lain kali Papa janji kita bakal makan sama-sama.""Papa jahat! Papa udah nggak sayang lagi ya ama Qila!""Enggak gitu sayang... Papa—""Mas! Ayo dong! Toh cuma
Sepanjang acara makan tersebut, Elisha terus memancing putrinya untuk membahas hal-hal yang sering mereka lakukan saat masih menjadi keluarga yang utuh. Dari mulai hal yang sepele sampai ke hal-hal yang romantis. Jean sebenernya tidak ingin terlalu menanggapi. Kecuali jika anaknya bertanya atau mengatakan sesuatu padanya.Pria itu berusaha menjaga perasaan Nilam yang tampak semakin tidak nyaman di situasi tersebut. Sampai akhirnya, Jean mengambil alih suasana."Dulu juga pas Mama sibuk kerja kita mainnya seru banget ya, Qila. Belajar masak sama Mbak Nilam, buat kue, buat cemilan.""Wah, iya Pa. Dulu seru banget pas belajar bikin cup cake ama Mbak Nilam. Dihias-hias juga lagi." Qila menanggapi dengan antusias."Qila mau masak bareng lagi nggak kapan-kapan?" tanya Nilam yang akhirnya bisa masuk ke tengah obrolan mereka."Mau banget lah, Mbak. Nanti ajarin bikin donat ya?" pinta Nilam."Siap, Mbak Qila.""Qila jadi kangen p
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny
“Kita mau ngapain, Pak?” tanya Nilam dengan suara pelan begitu mereka berdua memasuki kamar Jean. Namun, alih-alih menjawab, Jean justru menyudutkan Nilam ke dinding, membuat gadis itu terjebak di antara tubuh tegapnya dan tembok yang terasa dingin di punggungnya. Tatapan pria itu begitu dalam, menusuk hingga ke lubuk hati. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nilam tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin kabur, tapi kedua kakinya seakan membeku di tempat. “P— Pak?” suara Nilam bergetar, jantungnya berdebar hebat. “Tutup mata kamu dulu!” bisik Jean dengan nada lembut yang menggelitik telinganya. “Tapi…” Jean tersenyum kecil. “Ayolah, Nilam. Aku nggak akan macam-macam, janji.” Melihat tatapan penuh keyakinan itu, Nilam akhirnya menurut. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memejamkan mata. Jean menatap wajah polos di depannya dengan senyum penuh arti. Jari-jarinya terangkat, menyentuh pipi Nilam dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit menegang,
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog
"Nanti, di kamar ini, kita bakal produksi baby Je-Ni." Sambil mengecupi pelipis Nilam, Jean mengungkap apa yang dia pikirkan."B-baby Jeni?" Nilam mengerutkan keningnya."Iya, Jean Nilam junior maksudnya."Pipi Nilam kian memanas. Ia hampir meledak karena kata-kata pria itu."Karena sebelah langsung kamarnya Qila, jadi aku sengaja bikin ruangan ini kedap suara. Biar nanti pas kamu jerit keenakan ga kedengeran Qila," goda Jean makin menjadi-jadi.Nilam langsung berbalik. Ia menatap Jean dan langsung menjewer kupingnya sampai duda ganteng itu kesakitan."Jangan mancing-mancing ya!""Mancing gimana? Aku bicara sesuai fakta.""Fakta apanya! Kamu ngomongnya ngaco, Pak!" tukas Nilam dengan nada tegas.Jean meringis. Ia mengusap pipi Nilam lembut, sementara matanya tak pernah lepas dari wajah ayu sang kekasih. "Apa kamu perlu bukti?"Nilam makin syok."Kalau mau bukti, aku bisa kok nunjukin itu sekarang." Jean semakin intens menggoda perempuan itu.Nilam mendelik. Ia dorong wajah Jean hingga