"Pa, gimana kalo kita kasih kejutan buat Mama?" tanya Qila bersemangat.
Nilam mendelik. 'Kalau ada kejutan, berarti bakal ada momen Elisha caper ke Jean dong?'"Kejutan gimana?" tanya Jean dengan sabar."Mama kan pulangnya malem Pa, nanti sebelum Mama pulang papa ke rumah aja. Nanti kita kasih kue-nya ke mama," ucap Qila memberi saran.Jean tidak langsung memberikan jawaban. Dia justru lebih dahulu melihat ke arah Nilam seolah meminta persetujuan.Paham dengan maksud tatapan sang kekasih, Nilam pun berucap, "Wah, ide bagus tuh Mbak Qila." Dia memasang wajah excited agar Qila tidak curiga padanya. "Nanti kita juga bisa kasih hadiah buat Mama kamu."Jean menghela nafas panjang, dia pikir Nilam tidak akan setuju karena nanti dia harus bertemu dengan Elisha."Tuh kan, emang ide Qila itu bagus Pa." Qila makin girang."Tapi, Mbak Nilam boleh ikut nggak?" tanya gadis itu kemudian.Qila mengerutkan keningnya. ""Suapan pertama mau mama kasih ke Qila..." Dengan wajah sumringah ia menyuapi putrinya itu."Makasih Ma," balas Qila happy."Suapan kedua buat..." Elisha terlihat ragu-ragu untuk menyebut nama Jean. Tapi dari tatapan matanya jelas mengisyaratkan untuk siapa suapan tersebut."Buat Papa aja Ma!" Qila lebih dahulu memotong. Dan tentu saja itu bisa jadi alasan yang bagus buat Elisha."Kalau Papa kamu mau Qila," desis Elisha lirih.Jean hanya diam saja. Sementara Nilam, jangan ditanya, ekspresi wajahnya sudah tidak enak sejak tadi."Papa! Papa mau kan disuapin Mama?" tanya Qila sambil menggunvangkan lengan lelaki itu.Duda tampan itu hanya melirik ke arah Nilam. Namun kali ini, Nilam memilih untuk pura-pura tidak melihatnya."Papa..." rengek Qila.Demi Qila, Jean terpaksa membuka mulutnya dan menerima suapan dari Elisha."Yai..." Qila berseru semakin senang. "Selamat ulang tahun ya Mama.""
Jean menarik nafas panjang. Ia sudah janji pada Bu Mala untuk tidak membuat Nilam kecewa."Sayang..." Jean membungkukkan punggungnya agar sejajar dengan Qila. "Makan malamnya lain kali aja nggak apa kan?"Qila mengerutkan keningnya. Tampak tidak setuju dengan ucapan sang Papa. "Papa harus nganterin Mbak Nilam pulang. Kan kasian kalau Mamanya khawatir."Nilam yang berdiri di belakang Jean mencoba untuk bersikap tenang. Meskipun jujur saja, dia merasa girang karena Jean memihaknya."Kan Mbak Nilam udah besar, dia bisa pulang sendiri Pa," rengek Qila. Ia terlihat ingin menangis karena penolakan sang Papa."Tapi Papa tadi ke sini kan sama Mbak Nilam, masa sekarang Mbak Nilam harus pulang sendiri? Kan bahaya sayang." Jean berusaha membujuk putrinya. "Lain kali Papa janji kita bakal makan sama-sama.""Papa jahat! Papa udah nggak sayang lagi ya ama Qila!""Enggak gitu sayang... Papa—""Mas! Ayo dong! Toh cuma
Sepanjang acara makan tersebut, Elisha terus memancing putrinya untuk membahas hal-hal yang sering mereka lakukan saat masih menjadi keluarga yang utuh. Dari mulai hal yang sepele sampai ke hal-hal yang romantis. Jean sebenernya tidak ingin terlalu menanggapi. Kecuali jika anaknya bertanya atau mengatakan sesuatu padanya.Pria itu berusaha menjaga perasaan Nilam yang tampak semakin tidak nyaman di situasi tersebut. Sampai akhirnya, Jean mengambil alih suasana."Dulu juga pas Mama sibuk kerja kita mainnya seru banget ya, Qila. Belajar masak sama Mbak Nilam, buat kue, buat cemilan.""Wah, iya Pa. Dulu seru banget pas belajar bikin cup cake ama Mbak Nilam. Dihias-hias juga lagi." Qila menanggapi dengan antusias."Qila mau masak bareng lagi nggak kapan-kapan?" tanya Nilam yang akhirnya bisa masuk ke tengah obrolan mereka."Mau banget lah, Mbak. Nanti ajarin bikin donat ya?" pinta Nilam."Siap, Mbak Qila.""Qila jadi kangen p
"Qila."Bocah 8 tahun yang sedang duduk di sofa sambil memperhatikan sang mama yang sedang memakaikan kaos kaki untuknya tersebut, hanya menaikan alisnya ketika sang Mama memanggil namanya."Ada apa Ma?" tanya bocah itu dengan nada riang seperti biasanya."Mama boleh cerita ke kamu nggak?" tanya Elisha dengan wajah lesu yang dibuat-buat."Cerita apa?""Mama— sebenarnya nggak suka ama Mbak Nilam."Ucapan tak terduga Elisha itu tidak langsung dapat tanggapan dari putrinya."Kamu sadar nggak sih sayang, kalau Mbak Qila itu pinter banget ngerebut perhatian Papa dari kamu," lanjut Elisha mulai meracuni otak polos putrinya."Hem?""Inget nggak kemarin? Pas kamu maksa Papa buat makan sama-sama kita? Tapi, Papa kamu malah mau anterin Mbak Nilam pulang dibandingkan kumpul sama kamu," tutur Elisha sambil mengerutkan keningnya. Memasang ekspresi sedih guna menarik simpati Qila."Tapi kan abis itu Papa mau
"Jean..."Panggilan lemah pria itu makin membuat Jean merasa bersalah. Karena belum bisa mewujudkan keinginan Pak Wijaya sebulan yang lalu."Gimana acara ulang tahun mantan istri kamu kemarin? Lancar?"Jean menatap sendu pria paruh baya tersebut. Tidak menyangka hal itulah yang pertama kali ditanyakan oleh beliau. Padahal kondisinya sedang tidak baik, tapi Pak Wijaya masih sempat memikirkan orang lain."Lancar Pak. Walaupun ada sedikit ketegangan.""Kenapa? Apa mantan istri kamu cemburu karena kamu membawa pacar baru kamu ke acara itu?"Jean diam selama beberapa saat. Sebenarnya itu bukan masalah penting yang harus dia ceritakan pada Pak Wijaya."Kamu harus tegas, Jean."Pria itu mendongak dan menatap lurus ke arah Pak Wijaya."Kamu harus bisa memposisikan diri sebagai ayah dan pasangan yang baik," lanjut Pak Wijaya."Saya bingung Pak," desis Jean. "Setiap bersama anak saya, saya seperti orang
Nilam buru-buru ke rumah sakit yang Jean sebutkan di telfon. Ia di antar oleh Surya langsung menuju ke lokasi dengan perasaan kalut. Dia takut pacarnya itu kenapa-kenapa. Sebab Jean sendiri tidak menjelaskan apapun ketika memintanya datang ke sana."Kak Jean!" Begitu melihat kekasihnya, Nilam langsung berlari dan menghamburkan pelukannya ke dalam dekapan Jean.Sambil menangis dia terus saja bertanya bagaimana keadaan Jean, mana yang sakit, bagaimana kronologinya, bahkan gadis itu sama sekali tidak memberi kesempatan untuk Jean buka suara. Pria itu hanya berdiri sambil membalas pelukan Nilam."Nilam... Aku nggak apa-apa!"Nilam melepaskan pelukannya. Ia pindai sekujur tubuh Jean untuk memastikan apakah duda di depannya ini hanya berusaha untuk menenangkannya."Serius kakak nggak apa-apa?""Iya." Ia tersenyum lembut sambil menyeka jejak basah di pipi Nilam. "Liat sendiri kan aku nggak kenapa-kenapa.""Terus kenapa kakak di
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"Jean menatap sungkan ke arah Pak Wijaya. "Jujur, waktu bapak pertama kali menunjukkan foto masa kecil Nilam ke saya, saya juga belum tau kalau Ayunda yang dimaksud itu dia Pak," jelas Jean. "Saya juga baru tau kalau Ayunda dan Nilam ternyata satu orang saat saya berkunjung ke rumah Bu Mala."Nilam hanya menggigit bibir bawahnya. Ternyata selama ini Jean juga banyak menutupi masalah tersebut darinya."Ternyata dunia sesempit itu ya?" ucap Pak Wijaya. "Tapi bapak bersyukur dan ngerasa lega karena kamu yang jadi pacarnya, Ayunda."Nilam berdecak. Sungguh, nama itu sangat di benci olehnya.Pak Wijaya menoleh ke arah Nilam dan tersenyum. Dia merasa senang karena Jean berhasil membawa putrinya bertemu dengannya."Ayu—""Nilam! Panggil aku itu!" sergah gadis 20 tahun tersebut.Jean memegangi tangan kekasihnya itu. Mengode Nilam agar lebih tenang."Nilam..." Jean melirik ke arah kekasihnya dengan ekor mata. "Tolo
Malam harinya, Nilam sedang tiduran di sofa dengan menggunakan paha sang Mama sebagai bantalnya. Gadis itu terlihat bermanja-manja bersama Bu Mala sambil menceritakan semua kejadian hari ini."Apa?! Jadi yang bantu Jean selama ini Papa kamu?""Iya, Ma. Papa bilang bakal nyerahin tanggung jawab mimpi perusahaan yang dia bangun ke kak Jean. Sementara aset sisanya bakal dikasih ke aku sama mama."Bu Mala terlihat syok. Dia tidak menyangka jika Jean akan mendapatkan keberuntungan seperti itu."Papa bilang, kak Jean sudah banyak membantu mengembangkan perusahaan selama Papa drop. Belum lagi, pas Papa sakit kak Jean juga setia nemenin Papa," Nilam kembali melanjutkan ceritanya."Menurut Mama gimana?" Tanya Nilam, mau minta pendapat kepada sang Ibu mengenai keputusan pak Wijaya."Rasanya itu udah wajar, Nilam." Bu Mala membalas dengan bijak. "Jean kan juga turut andil selama beberapa bulan ini, dan kalau kita liat hasilnya, sepertinya p
Dikta melihat ke arah Elisha sambil menahan diri untuk tidak langsung menyerang sang janda. "Ayolah, Sha. Please...""Oke... Tapi jangan di si—" Belum selesai bicara, Dikta langsung meraup bibir Elisha dan menciumnya. Tidak sekedar ciuman biasa, karena lelaki itu juga berani melumat dan menggigit kecil bibir sekertarisnya.Dikta mendorong wanita itu dan menyudutkannya ke dinding. Lelaki itu kembali mencumbu Elisha bukan hanya di bibir saja, tapi mulai turun ke leher dan membuat bite mark di sana.Belum lagi tangan Dikta mulai menggerayangi tubuh Elisha sesuka hatinya. Hingga membuat janda itu berusaha keras untuk menahan nafas."Pak Dikta!" Elisha sengaja menginterupsi gerakan tangan si Bos yang hendak menurunkan gaunnya."Ada apa?""Kita pindah ke kamar bawah aja! Aku takut Mas Jean bangun," ajak Elisha dengan wajah memerah.Dikta menarik sudut bibirnya. Ia pikir Elisha akan menolaknya, tapi ternyata dugaannya salah besar."Oke. Terserah kamu aja."Flashback End...***Elisha mengusa
["Best daddy in the world."]["Thanks dad... For making me a top priority, compared to others."]Dada Nilam terasa sesak. Melihat postingan Elisha membuat perasaannya terisis.Tidak terasa air mata Nilam jatuh juga. Padahal sejak sore tadi, dia sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menangis."Sialan.""Kalau dia emang mau pergi ama Qila dan Bu Elisha, kenapa nggak bilang aja?""Kenapa malah matiin hapenya? Dan nggak bilang apa-apa?"Nilam menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak sekali."Duda sialan! Capek-capek aku masak banyak buat dia! Dia malah seneng-seneng ama mereka.""Brengsek!" Nilam meremas sprei di bawah tubuhnya. Masih dengan wajah penuh air mata, dia berkata lagi, "Capek banget pacaran sama orang yang masih punya ikatan ama masalalu. Capek banget Ya Tuhan."Seharusnya Nilam sadar, Jean akan selalu menjadikan Qila prioritas di atas segalanya, bahkan lebih darinya. Dan dia sangat paham itu. Tapi yang paling membuatnya terluka, tiap Jean datang untuk menemui anaknya, Eli
Sesuai perjanjian di awal. Sudah sejak pagi Nilam sibuk mencatat bahan makanan apa yang harus ART-nya belanjakan. Dari mulai ayam, beberapa jenis sayur, juga ikan. Gadis cantik dengan kaos oversize itu tampak bersemangat untuk menyiapkan menu-menu apa saja yang akan dia masak sore nanti. "Terakhir gue masak buat kak Jean kan pas dia masih di kosan, jadi hari ini gue harus masak yang enak buat dia." Nilam terlihat sangat antusias. Selain bisa bertemu lagi dengan Jean, nantinya dia juga bisa mengajak om duda kesayangannya itu untuk makan bersama. "Mau saya bantuin Non?" Melihat Nilam sibuk mengupas sayuran, bibi ART yang baru selesai menyapu halaman depan, berinisiatif untuk membantu sang majikan. "Boleh Bi." Nilam meringis lebar. "Minta tolong bersihin kangkungnya aja ya. Soalnya nanti mau aku tumis sama udang." "Baik, Non." Selesai dengan wortel, Nilam pun langsung mencuci dan mengirisnya tipis. Rencananya dia akan membuat bakwan jagung kesukaan Jean. Dengan dibantu si Bibi, men
"Termasuk kamu kan?" tukas Elisha tanpa tanggung-tanggung. Dikta ingin mengelak. Tapi karena dia pikir untuk apa menutupi perasaannya itu, jadi dia langsung membenarkan ucapan Elisha. "Lebih ke penasaran aja sih sebenernya. Bukan yang benar-benar tertarik." Sang sekertaris hanya bisa membuang nafas dengan kasar. Sudah dia duga, jika Dikta memang tidak bisa serius hanya pada satu wanita saja. Termasuk dengannya dulu. "Tapi Nilam itu tipe yang susah ditaklukkan. Aku sendiri heran bagaimana bisa membuatnya tertarik padaku," ucap Dikta dengan pandangan menerawang. Selama tiga bulan Nilam magang di perusahaannya, tidak sekalipun dia punya kesempatan untuk mendekati gadis berparas cantik tersebut. Bahkan hanya sekedar mencicipi bibir ranum nya saja, Dikta kesulitan. "Berhubung kedekatan kita udah nggak kayak dulu, aku mau minta saran ke kamu, Sha.". "Saran buat apa?" "Yah— siapa tau kamu punya ide su
Malam harinya, Nilam sedang tiduran di sofa dengan menggunakan paha sang Mama sebagai bantalnya. Gadis itu terlihat bermanja-manja bersama Bu Mala sambil menceritakan semua kejadian hari ini."Apa?! Jadi yang bantu Jean selama ini Papa kamu?""Iya, Ma. Papa bilang bakal nyerahin tanggung jawab mimpi perusahaan yang dia bangun ke kak Jean. Sementara aset sisanya bakal dikasih ke aku sama mama."Bu Mala terlihat syok. Dia tidak menyangka jika Jean akan mendapatkan keberuntungan seperti itu."Papa bilang, kak Jean sudah banyak membantu mengembangkan perusahaan selama Papa drop. Belum lagi, pas Papa sakit kak Jean juga setia nemenin Papa," Nilam kembali melanjutkan ceritanya."Menurut Mama gimana?" Tanya Nilam, mau minta pendapat kepada sang Ibu mengenai keputusan pak Wijaya."Rasanya itu udah wajar, Nilam." Bu Mala membalas dengan bijak. "Jean kan juga turut andil selama beberapa bulan ini, dan kalau kita liat hasilnya, sepertinya p
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"Jean menatap sungkan ke arah Pak Wijaya. "Jujur, waktu bapak pertama kali menunjukkan foto masa kecil Nilam ke saya, saya juga belum tau kalau Ayunda yang dimaksud itu dia Pak," jelas Jean. "Saya juga baru tau kalau Ayunda dan Nilam ternyata satu orang saat saya berkunjung ke rumah Bu Mala."Nilam hanya menggigit bibir bawahnya. Ternyata selama ini Jean juga banyak menutupi masalah tersebut darinya."Ternyata dunia sesempit itu ya?" ucap Pak Wijaya. "Tapi bapak bersyukur dan ngerasa lega karena kamu yang jadi pacarnya, Ayunda."Nilam berdecak. Sungguh, nama itu sangat di benci olehnya.Pak Wijaya menoleh ke arah Nilam dan tersenyum. Dia merasa senang karena Jean berhasil membawa putrinya bertemu dengannya."Ayu—""Nilam! Panggil aku itu!" sergah gadis 20 tahun tersebut.Jean memegangi tangan kekasihnya itu. Mengode Nilam agar lebih tenang."Nilam..." Jean melirik ke arah kekasihnya dengan ekor mata. "Tolo
Nilam buru-buru ke rumah sakit yang Jean sebutkan di telfon. Ia di antar oleh Surya langsung menuju ke lokasi dengan perasaan kalut. Dia takut pacarnya itu kenapa-kenapa. Sebab Jean sendiri tidak menjelaskan apapun ketika memintanya datang ke sana."Kak Jean!" Begitu melihat kekasihnya, Nilam langsung berlari dan menghamburkan pelukannya ke dalam dekapan Jean.Sambil menangis dia terus saja bertanya bagaimana keadaan Jean, mana yang sakit, bagaimana kronologinya, bahkan gadis itu sama sekali tidak memberi kesempatan untuk Jean buka suara. Pria itu hanya berdiri sambil membalas pelukan Nilam."Nilam... Aku nggak apa-apa!"Nilam melepaskan pelukannya. Ia pindai sekujur tubuh Jean untuk memastikan apakah duda di depannya ini hanya berusaha untuk menenangkannya."Serius kakak nggak apa-apa?""Iya." Ia tersenyum lembut sambil menyeka jejak basah di pipi Nilam. "Liat sendiri kan aku nggak kenapa-kenapa.""Terus kenapa kakak di
"Jean..."Panggilan lemah pria itu makin membuat Jean merasa bersalah. Karena belum bisa mewujudkan keinginan Pak Wijaya sebulan yang lalu."Gimana acara ulang tahun mantan istri kamu kemarin? Lancar?"Jean menatap sendu pria paruh baya tersebut. Tidak menyangka hal itulah yang pertama kali ditanyakan oleh beliau. Padahal kondisinya sedang tidak baik, tapi Pak Wijaya masih sempat memikirkan orang lain."Lancar Pak. Walaupun ada sedikit ketegangan.""Kenapa? Apa mantan istri kamu cemburu karena kamu membawa pacar baru kamu ke acara itu?"Jean diam selama beberapa saat. Sebenarnya itu bukan masalah penting yang harus dia ceritakan pada Pak Wijaya."Kamu harus tegas, Jean."Pria itu mendongak dan menatap lurus ke arah Pak Wijaya."Kamu harus bisa memposisikan diri sebagai ayah dan pasangan yang baik," lanjut Pak Wijaya."Saya bingung Pak," desis Jean. "Setiap bersama anak saya, saya seperti orang
"Qila."Bocah 8 tahun yang sedang duduk di sofa sambil memperhatikan sang mama yang sedang memakaikan kaos kaki untuknya tersebut, hanya menaikan alisnya ketika sang Mama memanggil namanya."Ada apa Ma?" tanya bocah itu dengan nada riang seperti biasanya."Mama boleh cerita ke kamu nggak?" tanya Elisha dengan wajah lesu yang dibuat-buat."Cerita apa?""Mama— sebenarnya nggak suka ama Mbak Nilam."Ucapan tak terduga Elisha itu tidak langsung dapat tanggapan dari putrinya."Kamu sadar nggak sih sayang, kalau Mbak Qila itu pinter banget ngerebut perhatian Papa dari kamu," lanjut Elisha mulai meracuni otak polos putrinya."Hem?""Inget nggak kemarin? Pas kamu maksa Papa buat makan sama-sama kita? Tapi, Papa kamu malah mau anterin Mbak Nilam pulang dibandingkan kumpul sama kamu," tutur Elisha sambil mengerutkan keningnya. Memasang ekspresi sedih guna menarik simpati Qila."Tapi kan abis itu Papa mau