Dengan tangan yang gemetar, Lena mengusap batu nisan bertuliskan nama putranya itu. Sebuah bingkai foto berukuran kecil berisi cap kaki dan tangan ditaruh didepan nisan itu, semakin membuat hatinya tersayat sembilu."Maafkan mama, Mattias..." Lena bergumam lirih. Dia duduk bersimpuh di depan pusara putranya itu dengan tatapannya yang buram oleh genangan air mata yang siap meleleh membasahi pipinya.Rasa sedih tak pernah berhenti membuat Lena sengsara, seolah kesedihannya selama ini tidaklah cukup. Untuk kesekian kalinya dia ditikam oleh rasa bersalahnya lalu dia merasakan hatinya terbunuh dari dalam. Langit sore itu terlihat mulai menggelap, tanda bahwa hujan akan kembali mengguyur dengan curah hujan yang lebih deras."Mama sangat menyayangimu," gumamnya sambil sekali lagi memeluk bingkai foto itu, sebelum kemudian melenggang pergi dari sana.Dengan langkah gontai dan sesekali terhuyung, Lena menuruni anak tangga untuk bisa keluar dari area pemakaman itu. Namun, kepalanya yang mendada
Oliver terbangun dengan perasaan terkejut karena tak mendapati Lena di sampingnya. Secepat kilat dia berjingkat bangun dari pembaringannya dan segera berlari ke luar. Kepanikan terlihat begitu jelas di wajahnya ketika dengan langkah cepat dia menuruni tangga dan mengambil kunci mobil. Namun, kepanikan itu mendadak sirna ketika dia melihat Lena yang berada di dapur. Pada detik itu pula Oliver menghela napas lega, sambil mengusap dadanya untuk menenangkan debar jantungnya yang menggila. "Aku pikir lagi-lagi dia berbohong dan pergi meninggalkanku," gumam Oliver sebelum kemudian mengambil langkah lebar menuju dapur. Lena yang melihat kedatangan Oliver yang tampak terburu-buru itu membuat Lena tersenyum sekaligus mengernyit bingung. Baru saja Lena membuka mulutnya untuk bertanya, ketika tiba-tiba saja Oliver memeluknya erat-erat tanpa sekalipun peduli kalau saat itu ada maid yang sedang melihat mereka berdua. Sementara maid yang melihat pemandangan itu memilih menunduk dan tanpa kata
"Aku bosan," kata Lena sembari menghela napas lelah dan membaringkan tubuhnya ke atas sofa di ruang kerja Oliver.Sementara Oliver hanya melirik sejenak dari balik komputernya, lalu dia pun kembali fokus pada pekerjaannya, tanpa sekalipun menanggapi ucapan Lena."Apa sekarang aku boleh pulang, Olaf?"Sudut bibir Oliver berkedut mendengar nada bicara Lena yang baginya jadi terdengar lucu ketika menambahkan panggilan aneh ituu untuknya. Rassanya seperti dia sedang berhadapan dengan anak kecil yang terus merengek untuk pulang."Kamu belum bisa pulang, Lena. Masih banyak yang harus kukerjakan dan bahkan jam kerja baru saja dimulai 60 menit yang lalu, itu artinya waktumu untuk menemaniku masih lama,' jawab Oliver akhirnya.Sekali lagi Lena menghela napas lelah dan kemudian bangkit dari pembaringannya kembali ke posisi duduk lantas dia pun mulai melayangkan ekspresi memelas pada Oliver. "Tapi aku benar-benar bosan. Tak ada yang bisa kulakukan untukmu. Aku tak punya kegiatan apapun selain m
"Ini ice cream milikmu," kata Oliver seraya memberikan gelato rasa matcha pada Lena yang saat itu memilih duduk di taman tepat dibawah pohon bunga tabebuya. Lena menerima uluran eskrim itu dan memakannya dengan wajah tersenyum. Rasa dingin, lembut, rasa berlemak dari susu dan rasa unik dari green tea benar-benar membuat mulut Lena segar. "Terima kasih, Olaf... ice cream ini benar-benar sangat enak." Oliver mengangguk-anggukan kepalanya sambil menikmati gelato rasa vanila miliknya. "Tapi, sayang... apa kau yakin ingin tetap di taman ini saja setelah sebelumnya kita selesai menonton film? Tidakkah kamu ingin pergi berjalan-jalan di pusat perbelanjaan? Aku bisa membelikanmu semua barang yang kamu inginkan." "TIdak, Olaf. Bersantai dibawah pohon bunga yang indah sambil menikmati ice cream bersamamu seperti ini saja sudah sangat cukup untukku. Lagipula menyewa satu studi bioskop hanya karena kau ingin menonton film, terasa terlalu berlebihan untukku. Aku tak mau kamu kembali menghamburk
"Olaf," panggil Lena yang saat itu berbaring terlentang dan menatap langit-langit kamar dengan pencahayaan yang temaram karena lampu dimatikan. Satu-satunya penerangan hanyalah lampu tidur yang berada di atas nakas di samping Oliver.Mendengar itu, Oliver pun membuka matanya dan menoleh pada Lena. "Belum. Aku hanya memejamkan mataku karena mengantuk, tapi anehnya tidak bisa tidur.""Apa kau mau tidur sambil berpelukan?" tanya Lena."Iya aku mau," ujar Oliver yang kemudian beringsut merapat pada Lena dan memeluk istrinya erat-erat. Dia meletakan dagunya di puncak kepala Lena sehingga pada momen itu dia menghidu aroma harum sampo yang dipakai oleh Lena."Hangat dan sangat nyaman," gumam Lena yang balas memeluk Oliver dan membenamkan wajahnya di dada suaminya itu. Dia menghidu aroma tubuh Oliver dalam-dalam. "Aku sangat merindukan pelukanmu seperti ini," lanjutnya."Aku juga sangat merindukan momen bersamamu seperti ini.""Tapi aku yang lebih merindukanmu," ujar Lena tak mau kalah. "Enta
Lena baru selesai mandi ketika dia tak mendapati keberadaan Oliver di kamar mereka. Lalu dia melirik ke arah lemari tempat sepatu dan tas kerja Oliver biasanya berada dan dia tak menemukan kedua benda itu di sana sehingga dia pun tersenyum kecil dan menghela napas lega."Sepertinya dia sudah pergi ke kantor," gumam Lena. Lantas dia pun berjalan menuju lemari, dia baru saja melepas handuk dan membiarkan tubuhnya hanya mengenakan pakaian dalam. Namun, belum sempat Lena mengambil pakaiannya dia dikejutkan dengan bayangan yang tertangkap oleh sudut matanya. Lena sempat berjengit terkejut sampai akhirnya dia menghela napas resah karena ternyata orang itu adalah suaminya sendiri.ds"Olaaf... kamu membuatku hampir terkena serangan jantung," tegur Lena sembari mengelus dada untuk menenangkan debar jantungnya yang menggila.Sementara Oliver justru memasang wajah datar, tanpa sekalipun merasa bersalah karena masuk tanpa permisi dan membuat istrinya terkejut setengah mati. Pada momen itu, Lena
Esme termenung mendengar ucapan Lena. Menghukum dirinya sendiri? Benarkah seperti itu? Karena dari awal Esme tak pernah berpikir sedang menghukum dirinya sendiri sekalipun dia sadar dia amat sangat bersalah pada mendiang suaminya dan masih diliputi perasaan bersalah."Mengapa kau berpikir kalau aku sedang menghukum diriku sendiri, Lena? Aku bahkan tak sedang melakukan itu."Esme tetap memasang wajah ceria dan sesekali terkekeh kecil, tetapi yang Lena lihat justru berbeda. Karena dia juga pernah merasakan kesedihan luar biasa dan penyesalan setelah kehilangan orang tersayang, Lena jadi tahu bahwa sebelum dunia menghakimi orang yang kehilangan, dia sudah lebih dulu menghakimi dirinya sendiri."Karena setelah kehilangan orang tersayang aku tahu kau tak pernah sekalipun merasa baik-baik saja. Bertahun tahun kau memilih sendirian membesarkan Mathew, tak pernah terpikirkan untuk mencintai siapapun dan menganggap dirimu mati rasa. Padahal itu terjadi karena rasa penyesalan terdalam yang kau
"Apa perempuan sepertiku berhak jatuh cinta lagi setelah menyianyiakan pria baik seperti ayahnya Mathew? Sepertinya tidak. Perempuan jahat sepertiku memang sudah seharusnya terus menyendiri dan meratapi dosa ini seumur hidupku,"gumam Esme bermonolog sambil menatap sedih pantulan dirinya di depan cermin kamar mandinya. Dia baru saja pulang dari bekerja, tubuhnya sangat lelah. Tapi bahkan rasa lelah yang setiap hari dirasakannya masih tak kunjung cukup menepis segala sedih di hatinya. Berulang kali Esme menumbuk dadanya dan beberapa kali jua menghela napas berat. Moodnya mendadak hancur dan yang dia inginkan sekarang hanyalah pergi ke tempat tidur dan berbaring sampai pagi. Dengan malas dia mencuci wajah dan secepat kilat berganti pakaian, lalu kemudian dengan langkah gontai Esme menuju kamar tidurnya. Ruangan itu, biasanya dipenuhi cahaya hangat, kini terasa lebih suram. Esme merasa tak sanggup lagi menahan beban kesedihannya. Dia berniat mengunci diri di dalam, meratapi penyesalan
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me