Esme termenung mendengar ucapan Lena. Menghukum dirinya sendiri? Benarkah seperti itu? Karena dari awal Esme tak pernah berpikir sedang menghukum dirinya sendiri sekalipun dia sadar dia amat sangat bersalah pada mendiang suaminya dan masih diliputi perasaan bersalah."Mengapa kau berpikir kalau aku sedang menghukum diriku sendiri, Lena? Aku bahkan tak sedang melakukan itu."Esme tetap memasang wajah ceria dan sesekali terkekeh kecil, tetapi yang Lena lihat justru berbeda. Karena dia juga pernah merasakan kesedihan luar biasa dan penyesalan setelah kehilangan orang tersayang, Lena jadi tahu bahwa sebelum dunia menghakimi orang yang kehilangan, dia sudah lebih dulu menghakimi dirinya sendiri."Karena setelah kehilangan orang tersayang aku tahu kau tak pernah sekalipun merasa baik-baik saja. Bertahun tahun kau memilih sendirian membesarkan Mathew, tak pernah terpikirkan untuk mencintai siapapun dan menganggap dirimu mati rasa. Padahal itu terjadi karena rasa penyesalan terdalam yang kau
"Apa perempuan sepertiku berhak jatuh cinta lagi setelah menyianyiakan pria baik seperti ayahnya Mathew? Sepertinya tidak. Perempuan jahat sepertiku memang sudah seharusnya terus menyendiri dan meratapi dosa ini seumur hidupku,"gumam Esme bermonolog sambil menatap sedih pantulan dirinya di depan cermin kamar mandinya. Dia baru saja pulang dari bekerja, tubuhnya sangat lelah. Tapi bahkan rasa lelah yang setiap hari dirasakannya masih tak kunjung cukup menepis segala sedih di hatinya. Berulang kali Esme menumbuk dadanya dan beberapa kali jua menghela napas berat. Moodnya mendadak hancur dan yang dia inginkan sekarang hanyalah pergi ke tempat tidur dan berbaring sampai pagi. Dengan malas dia mencuci wajah dan secepat kilat berganti pakaian, lalu kemudian dengan langkah gontai Esme menuju kamar tidurnya. Ruangan itu, biasanya dipenuhi cahaya hangat, kini terasa lebih suram. Esme merasa tak sanggup lagi menahan beban kesedihannya. Dia berniat mengunci diri di dalam, meratapi penyesalan
"Apa sungguh baik-baik saja jika aku melakukannya?" tanya Oliver memastikan. Sedangkan Lena hanya bisa mengangguk mengiyakan dengan napas yan terengah-engah.Setelah ciuman panas yang mereka lakukan sampai kehabisan napas, benar-benar membuat Oliver ataupun Lena sama-sama dibakar api gairah. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Oliver benar-benar memposisikan dirinya di antara kedua paha Lena."Aaah..." Lena melenguh saat merasakan milik Oliver yang mulai memenuhi dirinya.Tiap kali Oliver bergerak memompa, Lena merasa melayang sampai langit ketujuh ketika letupan gairah semakin berkobar dan membakarnya tanpa sisa. "Aku sangat merindukanmu," ujar Lena dengan suara tertahan. Dia mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk leher suaminya itu dan perlahan kedua tangannya bergerak membelai punggung sampai berakhir di bokong telanjang sang suami."Aku juga merindukanmu," sahut Oliver serak. Dia kemudian menunduk, mencium bibir Lena dengan penuh penghayatan dan perlahan ciuman itu turun ke rah
Sebastian melangkah perlahan mendekati meja kerja Esme, wajahnya yang biasanya tenang terlihat sedikit gelisah. Dalam tangannya, dia memegang secarik kertas yang terlihat agak kusut, tampaknya sudah beberapa kali dirapikan. Matanya memandang Esme dengan campuran rasa gugup dan harap. "Nona Esme," ucapnya pelan, suaranya hampir terdengar gemetar. "Aku tahu ini agak membebanimu, tapi aku pikir anda harus membawa pulang cheesecake ini untuk dinikmati bersama anak anda di rumah. Semoga bisa membuat hari anda lebih baik."Esme melihat rona di wajah Sebastian dan menjalar ke daun telinga pria itu, dan pemandangan itu membuat Esme tertegun. Butuh waktu bagi Esme untuk sadar dari keterkejutannya, sebelum kemudian dia menerima cheesecake tersebut dengan sedikit cangggung. Padahal sejak jam makan siang tadi dia sudah berusaha memberikan peringatan sekaligus pengingat pada dirinya sendiri untuk tak terbawa suasana dengan sikap Sebastian, tapi ternyata situasinya tetap saja janggal sehingga dia
Setelah menyelesaikan sesi pemeriksaan Lena yang melelahkan, Oliver memutuskan untuk memberikan kejutan kecil sebagai bentuk penghargaan. Dia mengajak Lena makan malam romantis di salah satu restoran Italia terbaik di kota. Restoran itu dikenal dengan suasana yang intim, dengan lampu-lampu kecil yang menciptakan nuansa hangat di sekitar meja-meja kayu yang dilengkapi dengan lilin.Ketika mereka tiba di restoran, aroma harum pasta segar dan saus tomat menyambut mereka. Oliver dan Lena duduk di meja yang terletak di sudut, di bawah cahaya lembut lilin. Suara gemerincing gelas dan percakapan pelan memberikan latar belakang yang sempurna untuk makan malam romantis mereka.Oliver tersenyum dan mengangkat gelasnya. "Untuk merayakan kesabaranmu yang bersedia melakukan pemeriksaan luka yang pasti menyakitkan."Lena merahasiakan senyum di balik gelasnya. "Terima kasih, Oliver. Aku benar-benar merasa lega setelah pemeriksaan tadi. Aku sedikit merasa bersalah karena tak terlalu memperhatikan luk
Esme melihat paket yang datang ke kantor dan mengangkat alisnya dengan keheranan. Dia masuk ke ruangan kerja Oliver tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan bergegas menghampiri Oliver yang duduk di meja kerjanya, menatapnya dengan tatapan penasaran. "Oliver, sebenarnya untuk apa pemutar musik klasik dan piringan hitam ini?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang menggelitik. "Yang aku tahu kau bahkan hampir tidak pernah mendengarkan musik, tapi sekarang membeli piringan hitam? Apa ini sungguh dirimu yang asli?"Oliver tersenyum lebar, matanya berbinar-binar saat dia mengangkat kotak-kotak tersebut. "Oh, ini adalah bagian dari rencana untuk kencan romantis dengan istriku, Lena," jawabnya dengan antusias.Esme tercengang mendengar jawaban Oliver. Baginya, menyenangkan melihat Oliver begitu ceria setelah kembali berbaikan dengan Lena, tapi sungguh dia terkejut karena ternyata Oliver yang biasanya terlihat serius dan kaku tiba-tiba memiliki sisi romantis yang tak terduga. "Wow, Oliver, a
Oliver baru saja tiba di lobi kantornya saat dia mengernyit bingung melihat Esme yang justru berjalan menuju tangga darurat. Dia melihat Esme yang sepertinya sedang terburu-buru dan tak seperti biasanya, sehingga tanpa ragu dia pun bergerak cepat mengikuti Esme menuju tangga darurat."Esme, apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Oliver, suaranya penuh dengan kekhawatiran saat dia mengejar Esme. "Bukankah kau harus menggunakan lift agar bisa segera ke lantai atas? Menaiki tangga satu per satu hanya akan membuat kakimu sakit dan itu sangat melelahkan."Esme terkejut ketika mendengar suara Oliver memanggilnya. Dia berhenti sejenak dan berbalik, mencoba menutupi kecanggungannya. "Oh, Oliver, aku hanya ingin... eh, memeriksa sesuatu di lantai atas," jawabnya dengan canggung, berusaha menemukan alasan yang masuk akal.Oliver menatap Esme dengan curiga, sepertinya dia merasa ada sesuatu yang Esme sembunyikan. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Baiklah, hati-hati di t
Lena sedikit terkejut ketika mendengar agenda penting yang akan dihadiri oleh Oliver di luar kota dan pria itu akan mengajaknya. Dia penasaran apa agenda penting yang sebenarnya ingin Oliver hadiri sampai-sampai harus membawanya ikut serta.Mereka melaju dalam kecepatan sedang dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Perjalanan yang lama itu membuat Lena beberapa kali tertidur karena lelah dan bosan."Apa tujuan kita masih jauh? Apa kamu yakin kita harus pergi sejauh ini ketika kamu bilang kalau agenda ini tak ada hubungannya dengan pekerjaan?" tanya Lena memastikan. Kali ini dia mengambil satu buah onigiri yang Oliver beli di minimarket rest area."Sebentar lagi kita akan tiba," jawab Oliver.Mobil keluar dari jalan tol dan butuh beberapa waktu perjalanan lagi sampai tiba-tiba saja Oliver justru mengemudi menuju ke sebuah rumah sakit besar dan berhenti di sana."Olaf," panggil Lena mendadak khawatir. "Kenapa kita datang ke tempat seperti ini, apa kamu sakit?"Oliver mematikan mesin mob
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me