Suara Nero disertai hembusan napas pria itu di belakang telinga Patra alih-alih membuat tubuh Patra meremang malah membuatnya bergidik ketakutan.
Jantung Patra berdebar tidak karuan dan Patra benar-benar syok dengan apa yang diucapkan oleh Nero.
"Jadi ... kau yang membuatku ditolak di 18 perusahaan sebelumnya?"
Suara Patra bergetar, tapi ia tetap berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan, tidak peduli ke mana pun pergerakan Nero saat ini.
"Yap! Seperti yang sudah kau dengar tadi, aku yang melakukannya."
Tatapan Patra goyah dan air matanya sudah berkumpul di pelupuk matanya saat ini.
"Lalu ... apa yang akan terjadi kalau aku melamar kerja di tempat lain lagi dan bukan di Nero Company?"
"Kau akan tetap berakhir ditolak. Tidak akan ada perusahaan yang menerimamu bekerja selain Nero Company. Hanya aku yang boleh menjadi bosmu. Aku sudah mengaturnya dengan sempurna."
Nero mulai melangkah ke depan Patra dan berdiri menghadapnya lagi.
Seketika semua rasa simpati yang tadinya Patra rasakan pun lenyap tak bersisa.
Mengapa? Mengapa kejadian seperti ini harus terulang lagi?
Patra pikir setelah harga dirinya dihancurkan oleh ibu Nero, setelah Patra akhirnya setuju untuk pergi dari hidup Nero, ia pun akan terbebas dari semua ini, menjalani hidup barunya tanpa ada bayang-bayang Nero sama sekali dan menghapus pria itu selamanya dari ingatannya.
Walaupun sulit, tapi Patra yakin Patra bisa dan nyatanya ia juga hidup baik-baik saja selama beberapa tahun ini.
Tapi ternyata Patra salah. Lepas dari ibu Nero tidak lantas membuatnya lepas dari Nero.
"Mengapa kau harus melakukan itu padaku, Nero?" lirih Patra bertepatan dengan air matanya yang juga jatuh.
Nero pun memicingkan mata menatap wajah sendu itu, tapi Nero tidak akan kasihan pada wanita itu.
"Kau masih berani bertanya mengapa? Mengapa kau juga tidak menanyakan perasaanku waktu itu, Patra? Waktu kau meninggalkan aku tanpa kejelasan!"
"Atau baiklah, kalau kau bertanya mengapa, aku akan menjawab, tapi aku mau mendengarkan jawabanmu dulu."
Nero mendekatkan wajahnya. "Bagaimana rasanya tidur dengan anak orang kaya lalu dibayar dengan begitu mahal?"
"Tubuhmu dihargai dengan begitu mahal oleh Ibuku kan?" hina Nero dengan sarkastik sambil melirik tubuh Patra mencemooh.
Dan Patra pun langsung menatap Nero dengan nanar. Hatinya begitu sakit mendengar ucapan Nero.
Jadi, Nero mengetahui tentang ibunya yang memberikan uang dan Nero baik-baik saja dengan semua itu.
Patra pun hanya bisa menggelengkan kepala tidak percaya, apakah ia sudah salah menilai Nero waktu itu? Apakah pertanggungjawaban yang dimaksud Nero adalah uang? Jadi janji untuk menikahinya waktu itu juga palsu?
Entahlah, Patra tidak bisa berpikir sekarang, namun Patra benar-benar tidak bisa menerima ucapan Nero.
"Bagaimana perasaanku? Mungkin itu sama dengan perasaanmu yang begitu mudahnya tidur dengan seorang wanita dan membayar untuk servisnya!" sahut Patra akhirnya dengan hati yang sangat terluka.
Tapi Nero sudah tidak bisa menangkap luka tersirat itu karena ia pun merasakan luka yang sama.
Nero pun tertawa dengan gaya yang tetap merendahkan. "Baiklah, kuakui bagi pria, itu adalah hal yang biasa. Tapi terus terang aku masih penasaran, apa yang "orang kaya baru" lakukan dengan uang sebanyak itu, hah?"
"Menjalani kehidupan jetset? Berfoya-foya? Merasakan menjadi orang kaya hanya dalam sekejap mata? Bagaimana kau menghabiskan uang sebanyak itu begitu cepat sampai kau kembali hidup mengenaskan seperti ini, hah?"
Patra menelan salivanya. Mau tidak mau pikirannya pun melayang pada selembar cek dengan nominal yang sangat banyak waktu itu.
Kalau saja ... kalau saja Patra menerima uang itu, mungkin kehidupannya tidak akan sesulit ini. Kalau saja ia rela merendahkan harga dirinya dan membawa saja cek itu, mungkin dirinya tidak akan direndahkan lagi oleh Nero seperti ini.
Tapi pada kenyataannya, Patra terlalu bodoh. Ya, hanya orang bodoh yang menolak uang yang begitu banyak dan pergi hanya dengan luka di hati dan tubuhnya.
Patra meletakkan cek itu di meja rumahnya, sebelum ia dan keluarganya pergi dari sana.
Entah siapa yang akhirnya menemukan cek itu, anggap saja orang itu beruntung, tapi Patra tidak peduli lagi.
Patra pun tertawa nanar dan kembali menatap Nero. "Kau tidak akan mau tahu apa saja yang kulakukan, Nero ...."
"Pak Nero!" sela Nero mengingatkan. "Sejak tadi aku terus membiarkanmu memanggil namaku, tapi aku harus mengingatkanmu kalau sekarang aku adalah bosmu!"
Lagi-lagi Patra menelan salivanya dan hanya mengangguk. "Pak Nero!" ulangnya singkat.
Nero menyeringai. "Bagus! Aku memang tidak peduli lagi. Aku hanya terkejut ternyata di balik penampilan polosmu, tersembunyi kemampuan yang sangat menakjubkan dalam hal menghabiskan uang!"
"Ah, tapi sebenarnya kalau kau butuh uang, kau tidak perlu susah-susah mencari kerja kan? Kau tinggal mencari pria kaya dan tidur dengannya! Bukankah cara itu mudah dan sama-sama enak, hmm?" Nero pun tertawa keras dengan cara yang sangat merendahkan Patra.
Setengah mati Patra menahan dirinya untuk tidak melawan dan ia pun terus menghapus air matanya yang tidak mau berhenti mengalir itu.
Baiklah, Patra mengerti sekarang! Patra mengerti dengan jelas maksud Nero yang ingin membalaskan rasa sakit hatinya pada dirinya.
Dan tentu saja dalam kondisi seperti ini, apa pun pembelaan diri yang akan dikatakan Patra juga tidak akan mungkin mengubah pandangan Nero.
"Terserah! Terserah apa katamu dan terserah bagaimana kau mau memandangku, Pak Nero!" Patra berusaha mengucapkannya dengan begitu tegar.
Nero mengangguk. "Tentu saja semua terserah padaku! Aku juga tidak mau bicara panjang lebar lagi denganmu! Dan karena kau sudah memilih bekerja sebagai cleaning service, jadi ... mulai lakukanlah tugas pertamamu!"
Patra sedikit mengernyit mendengar kata "tugas pertamanya" apalagi saat perlahan Nero melangkah mundur menjauh darinya.
Dengan sengaja, Nero menumpahkan wine di gelasnya ke lantai sampai cairan itu memercik ke lantai dan ke sepatu mengkilap milik pria itu.
Patra sendiri hanya bisa menatap nanar pada apa yang dilakukan Nero karena sedetik kemudian, tugas pertamanya pun diberikan.
"Bersihkan lantainya dan juga sepatuku! SEKARANG!"
**"Bersihkan lantainya dan juga sepatuku! SEKARANG!"Untuk sesaat, Patra hanya terdiam mendengar perintah tegas Nero, seolah mempertimbangkan haruskah ia menurutinya atau tidak. Di hatinya, ia terus mengingatkan dirinya kalau ia bukan Patra yang dulu lagi, Patra yang bisa ditindas dan direndahkan. Walaupun Patra tadi memang menangis, tapi tangisan itu hanyalah ungkapan emosi dan rasa kagetnya mendengar apa yang sudah dilakukan oleh Nero. Ya, Patra menangis bukan karena ia lemah. Patra sudah bukan gadis remaja lagi yang begitu naif dan begitu halu membayangkan cinta yang menggebu.Patra yang sekarang adalah Patra yang sudah sadar hidup itu tidak akan berjalan seindah drama-drama yang sering ia tonton, yang membuatnya menangis semalaman namun terus tersenyum sendiri keesokan harinya. Karena pada kenyataannya hidup itu kejam. Dalam hidup, selalu akan ada pilihan yang harus dipilih, walaupun pilihannya sama-sama tidak menyenangkan. Kesadaran itu juga yang membuat Patra sama sekali tid
"Ceritakan padaku, Patra! Apa CEO-nya galak? Apa dia cerewet? Banyak permintaan? Kau tahu kan biasanya kebanyakan orang kaya begitu ribet? Mereka tidak bisa melihat sebutir debu pun!" Selly terus mengomel saat mereka sudah duduk berdua di kantin perusahaan. Tapi Patra malah tersenyum mendengarnya. Sungguh, di saat seperti ini, mendapat teman seperti Selly benar-benar keberuntungan baginya. "Selly, terima kasih kau sudah sangat mempedulikanku, tapi aku baik-baik saja." Patra menangkup tangan Selly. "Astaga, berterima kasih untuk apa? Kau temanku, Patra! Lagipula baik-baik saja bagaimana? Seharusnya tadi kau menolaknya saja, Patra! Kepintaranmu terlalu berharga kalau hanya untuk menjadi cleaning service di sini. Dasar perusahaan gila! Di mana lagi mereka bisa mendapatkan karyawan sepintar kau, Patra!" Patra tetap tersenyum, namun ia terdiam sejenak. Sebenarnya pekerjaan cleaning servicenya masih bisa ia jalani, ia hanya keberatan bertemu dengan Nero lagi. Tapi Nero sendiri sudah m
Patra berdiri di depan sebuah rumah sederhana malam itu, rumah kontrakan kecil yang sudah ia tinggali selama dua bulan ini bersama adik laki-lakinya dan ayahnya sejak ia pulang kembali ke kota ini.Sambil memasang senyum terbaiknya, Patra pun merapikan kemeja dan rok span yang ia pakai tadi sewaktu berangkat kerja. "Ya, biarkan seperti ini saja! Mereka tidak perlu tahu apa yang aku kerjakan, yang penting halal dan aku mampu menjalaninya."Senyuman Patra pun makin lebar, sebelum ia masuk ke rumahnya. "Aku pulang!" teriak Patra yang memang sudah biasa ia lakukan agar ayah dan adiknya mengetahui kalau ia sudah pulang. "Eh, Kak Patra sudah pulang, Ayah!" Patrick, adik Patra yang sedang menyiapkan makan malam langsung melongokkan kepalanya ke arah kamar dan berteriak pada ayahnya. "Hmm, makanan apa yang kau siapkan, Patrick? Mengapa baunya harum sekali?" Patra terlihat bersemangat dan langsung menghampiri meja makan yang malam ini begitu penuh dengan makanan. "Eh, cuci tanganmu dulu,
"Aku berangkat dulu, Ayah!" Patra berpamitan pada ayahnya pagi itu, sebelum ia buru-buru berangkat karena takut ketinggalan bus. "Hati-hati, Nak!" sahut Herdi, ayah Patra. Herdi pun menatap Patra yang sudah mulai menjauh dari halaman rumahnya dengan perasaan yang tidak karuan. Andai saja ia tidak sakit-sakitan, mungkin ia yang bekerja keras untuk Patra dan Patrick, bukan membebankan tanggung jawab yang begitu besar pada anaknya itu. Herdi tidak pernah berhenti merasa bersalah karena sudah membawa banyak kesulitan dalam hidup Patra, terutama karena majikannya dulu. Sementara di perusahaan, Nero sudah berdiri di balkon lantai dua. Dari posisi ini, ia bisa melihat ke lobby, reseptionis, sekaligus ke pintu masuk. Dan Juan yang menemani Nero pun terus bertanya-tanya tentang keanehan sikap sahabatnya itu. "Kau datang begitu pagi hanya untuk berdiri di sini sejak tadi, Nero? Sebenarnya apa yang kau lihat? Apa kau mau memeriksa absensi juga? Melihat apakah semua karyawanmu datang tepat
Tiga orang wanita cantik berpenampilan seksi nampak duduk bersama di sebuah meja di sudut kantin karyawan. Dua di antaranya adalah karyawan baru yang juga diterima bekerja bersama Patra, tapi salah satunya adalah karyawan senior di sana. "Hei, itu dia wanita yang kemarin melamar kerja bersama kita kan?" tanya salah satu wanita saat ia melihat Patra duduk bersama Selly. "Ah, benar. Dia membuatku insecure karena katanya dia lulusan terbaik di kampusnya itu. Cih, kupikir dia akan diterima kerja setingkat manager, ternyata hanya cleaning service!" sahut wanita lain mencemooh. Karyawan senior bernama Maya pun langsung memicingkan matanya. "Siapa yang bilang lulusan terbaik bisa jadi manager? Kalau dia berakhir hanya menjadi cleaning service ya berarti memang sampai di sana saja kemampuannya!""Ah, bukan begitu, Bu, tapi kami hanya tidak tahan melihat tampang sok polosnya! Saat dia duduk menunggu bersama kami itu beberapa orang terus bergos
Patra menahan napasnya saat akhirnya Nero menyentak kasar kemejanya hingga terbuka dan mempertontonkan tubuh bagian atas pria itu yang begitu sempurna. Tubuh kurus Nero yang dulu sudah berubah menjadi tubuh dewasa yang begitu kokoh dengan otot yang menyembul di bagian yang tepat. Bahkan, perut itu sudah membentuk kotak-kotak yang begitu sempurna, sampai Patra yang melihatnya pun mendadak memalingkan wajahnya malu. Sungguh, Patra tidak bisa berkata apa pun saat jantungnya sudah memacu begitu kencang seperti sekarang. Apalagi saat Nero melangkah perlahan mendekatinya hingga pria itu berdiri tepat di hadapan Patra dan begitu dekat. "Mengapa kau memalingkan wajahmu, Patra? Apa kau malu? Bukankah kau sudah pernah melihat tubuhku sebelumnya?"Suara Nero itu alih-alih seruan tajam seperti biasanya, malah terdengar seperti sebuah bisikan yang sebenarnya tidak terlalu lembut, namun juga tidak kasar. Dan bisikan itu membuat jantung Patra makin tidak karuan. Patra yang sangat tidak nyaman de
Debaran jantung Nero dan Patra masih saling berkejaran dengan tatapan yang saling terkunci satu sama lain. Tatapan itu saling bertaut begitu dalam tanpa ada yang berniat menyudahinya sama sekali. Perlahan kenangan demi kenangan indah saat mereka bersama pun terputar dengan sendirinya di otak mereka. Saat pertama kali mereka bertatapan waktu Ayah Patra memperkenalkan Patra pada Nero, anak dari majikannya. "Nero, perkenalkan ini anak pertama Pak Herdi namanya Patra, kakaknya Patrick. Umurnya masih 10 tahun, 3 tahun lebih muda daripada Nero," kata Herdi waktu itu."Halo, aku Nero!" Nero kecil mengulurkan tangannya pada Patra sambil tersenyum ramah. Patra kecil pun hanya tersenyum malu waktu itu sebelum ia menyambut uluran tangan Nero. "Patra," sahutnya singkat. Dan di sanalah semuanya berawal.Dari satu tatapan, satu senyuman, satu tautan tangan, lambat laun membentuk perasaan yang begitu kuat dalam diri Nero dan Patra. Bahkan, hubungan persahabatan itu terus terjalin sampai mere
Benar atau salah?Pertanyaan itu terus berputar di otak Patra saat ia sudah keluar dari ruang kerja Nero. Di satu sisi, ada keinginan yang sangat besar untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Nero. Bahwa Patra sama sekali tidak seperti yang Nero pikirkan atau yang Nero dengarkan dari siapa pun dan tadi adalah kesempatan bagus yang sudah Patra sia-siakan. Namun di sisi lain, keinginan untuk pergi dari hidup Nero juga sangat besar. Biarkan saja Nero dengan semua pikirannya. Itu tidak penting selama mereka bisa menjalani kehidupan mereka masing-masing. Susah payah Patra bangkit dari keterpurukannya enam tahun lalu dan Patra tidak sanggup kalau harus melaluinya lagi. Untung saja Nero tidak sempat menciumnya tadi atau mungkin pertahanan diri Patra juga akan runtuh.Patra pasti akan mengungkapkan perasaannya dan menceritakan kebenarannya agar Nero kembali padanya karena Patra juga masih menyimpan perasaan yang besar pada pria itu. Namun, Patra masih cukup waras untuk tidak ber
"Ayo cepat, Greedy!""Tunggu dulu! Kau tahu tubuhku sebesar ini, aku tidak bisa berlari cepat! Kau duluan saja, cari Patra di ruang cleaning service, aku akan menyusul!" sahut Greedy dengan napas yang sudah tersengal karena berlari mengikuti Selly. Selly dan Greedy baru saja datang bersama ke kantor tadi saat beberapa karyawan lain bergosip tentang insiden kemarin malam.Awalnya Selly hanya memasang telinganya untuk sekedar ingin tahu saja, tapi begitu mendengar nama Patra disebut, Selly langsung panik dan mereka pun mencari Patra. Patra sendiri baru saja selesai mengganti seragam cleaning servicenya, tapi hatinya sendiri tidak tenang. "Apa benar para karyawan itu menatapku dengan aneh atau itu hanya perasaanku saja? Mengapa rasanya seperti ini? Apa karena masalah kemarin?"Patra mengernyit dan mengingat kembali lirikan para karyawan lain saat ia masuk ke lobby tadi, bahkan baru saja teman sesama cleaning service juga buru-buru keluar saat ia masuk. Entah masalah apa lagi ini. Pat
Cukup sudah!Kesabaran Patra sudah habis mendengar semua hinaan Nero. Setiap kata yang terucap dari bibir pria itu seolah meremat hatinya dan Patra sudah tidak sanggup lagi.Sekalipun Patra bukan orang kaya, sekalipun sekarang ia hanya seorang cleaning service, tapi ia tidak terima terus direndahkan seperti ini. Cara Nero membalas sakit hatinya terasa sangat menyesakkan dan Patra tidak mau lagi. Itulah yang membuat Patra begitu berani berteriak dan melawan Nero tadi. "Ya, aku tidak menyesal! Aku sama sekali tidak menyesal sudah membela martabatku sendiri! Dan apa yang aku katakan adalah kebenaran! Mengenal Nero adalah penyesalan terbesar dalam hidupku! Hidupku berantakan karena mengenal pria itu dan jatuh cinta padanya!"Sesaat setelah mengatakannya, Patra memeluk dirinya makin erat sambil meringkuk di atas ranjang kamarnya. Patra menangis. Lagi-lagi ia menangis. Saat semua emosi dalam diri tidak cukup diungkapkan hanya dengan kata-kata, maka tangisan adalah satu-satunya cara unt
Gila!Nero pasti sudah gila saat mengajukan syarat untuk Patra.Pertama karena Nero tidak sungguh-sungguh ingin mengijinkan Patra keluar dari perusahaan ini.Dan kedua, mengapa syaratnya harus tidur bersama?Entahlah, Nero hanya tidak bisa berpikir jernih saat ini, tapi kebutuhan untuk mempertahankan Patra mendadak ia rasakan sangat mendesak.Nero pun hanya bisa menatap Patra dengan hati yang galau, menunggu respon Patra.Namun tanpa disadari, hatinya diam-diam berharap, bukan karena ia ingin melecehkan Patra, tapi karena ia sungguh menginginkan wanita itu.Sedangkan Patra yang mendengarnya sudah membelalak begitu lebar."Apa? Apa yang Anda katakan?" tanya Patra dengan syok.Nero menelan salivanya dengan samar sambil berusaha mempertahankan ekspresinya."Kau mendengarku, Patra! Tidur denganku!" ulang Nero yang merasa tidak ada jalan untuk kembali lagi.Nero su
"Lepaskan aku, Pak Nero! Apa lagi yang mau Anda dengar, hah?" Patra menatap Nero dengan berani.Nero pun terdiam sambil menatap Patra dengan tatapan yang sulit diartikan."Aku tidak menyangka kau benar-benar murahan, Patra! Sepenting itukah uang untukmu sampai mengorbankan harga dirimu?""Tadinya aku masih berharap semua yang aku tahu tentangmu itu salah, tapi apa yang aku lihat sudah membuktikan semuanya! Kau menghalalkan segala cara hanya demi uang! Kau berakting polos padahal kau ... KAU MURAHAN, PATRA!" teriak Nero begitu keras.Dan Patra yang mendengarnya kembali tertawa frustasi.Tubuh Patra lemas setelah berjuang melawan traumanya, Patra menangis begitu keras tadi dan Patra sangat lelah, namun saat ini, otak dan hatinya kembali dipaksa berperang melawan Nero tanpa ampun hingga seluruh bagian dalam diri Patra pun meledak."Benar!" sahut Patra akhirnya. "BENAR! AKU MURAHAN!" teriak Patra dengan sama k
"Pergi ke mana dia?"Nero melangkah cepat ke toilet wanita di dekat ruangan Timo dan membuka satu persatu biliknya, tapi Patra tidak ada."Sial! Bukankah wanita suka bersembunyi di toilet? Di mana dia sebenarnya?"Nero pun keluar dari toilet dan meraih ponselnya, bermaksud menelepon bagian CCTV untuk mencari Patra, tapi ia teringat karyawan CCTV sedang berada di ruangan Timo.Dengan tidak sabar, Nero mencari Patra ke ruangan cleaning service. Dan benar saja, Patra memang ada di sana.Awalnya Nero mau langsung masuk saja karena pintunya tidak tertutup rapat, tapi mendengar suara isakan dari dalam, Nero pun menghentikan langkahnya.Sebagian hati Nero merasa perih mendengar tangisan Patra. Saat masih bersama dulu, Nero selalu melindungi Patra dan tidak pernah membiarkan Patra menangis sedikit pun, walaupun tetap saja Patra pernah menangis di depan Nero dan setiap mendengar tangisan Patra, Nero pun merasa sedih.&nbs
"Sial! Mengapa perasaanku seperti ini?"Nero tidak berhenti mengumpat saat ia sudah duduk di dalam mobilnya.Bahkan, ia tidak juga berniat menjalankan mobilnya dan hanya terus memukul setirnya dengan geram."Dia sengaja berdandan untuk mereka kan?" gumam Nero sambil tertawa begitu frustasi."Sial! Mengapa aku harus mendengar obrolan mereka kemarin malam? Mengapa harus aku? Mengapa juga aku harus memakai toilet karyawan pada saat seharusnya aku bisa memakai toiletku sendiri? Sial!" geram Nero lagi sambil berusaha menenangkan napasnya.Nero pun memejamkan matanya dan bayangan Patra muncul di sana.Patra yang begitu cantik dengan kemeja dan rambutnya yang tergerai, make up tipisnya pun membuat wajah cantik itu menjadi makin cantik.Namun sedetik kemudian, Nero mengepalkan tangannya mengingat bagaimana Patra bersandar di pelukan pria tadi."Cukup, Nero! Berhenti memikirkannya! Para pria itu brengsek! Ya, o
"S-selamat malam semuanya! Aku Patra ... aku ...."Susah payah Patra membuka mulutnya menyapa semua, tapi Maya langsung menyelanya dengan nada meremehkan."Cleaning service kan? Kami sudah tahu!" Maya menatap Patra dari atas ke bawah dan tersenyum menyeringai.Tanpa sengaja, Maya mengetahui rencana manager proyek dan dua karyawannya untuk menggoda Patra dan Maya yang memang kesal pada Patra karena insiden di kantin pun menawarkan diri untuk membantu mengerjai Patra."Kau ini kenapa, Maya? Hei, Patra, ayo kemari!" ajak Timo, manager proyek yang langsung bangkit berdiri dan memeluk bahu Patra dengan santainya.Refleks Patra menepis lengan Timo sampai Timo pun membelalak kaget."Ah, maaf ya! Aku hanya bersikap santai dan akrab saja.""Ah, iya, apa ... hanya ada ... kita?" tanya Patra sungkan.Entah mengapa rasa antusias Patra yang tadi mendadak menghilang merasakan atmosfer yang berbeda begitu masuk k
"Kau sudah selesai, Patra?" tanya karyawan pria yang sudah berdiri di depan ruang ganti cleaning service."Eh, iya, sebentar!" sahut Patra yang masih merapikan kemejanya.Patra sengaja menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat malam itu lalu ia mandi dan berganti kemeja serta rok span agar ia terlihat lebih pantas.Patra pun sedikit melongokkan kepalanya ke arah pintu masuk."Entah dia akan merasa kelamaan atau tidak, ah, tapi biar saja, aku harus tampak sedikit lebih cantik agar tidak memalukan," gumam Patra sambil memoles wajahnya dengan make up tipisnya.Setelah memastikan penampilannya lagi, Patra pun menggerai dan menyisir rambutnya lalu ia tersenyum mendapati penampilannya yang menurutnya sempurna.Patra segera keluar dan menemui karyawan pria yang sudah menunggunya itu sampai membuat pria itu tertegun sejenak menatap Patra."Eh, Patra ... kau ... cantik sekali! Astaga, melihatmu tanpa sera
Patra membongkar sebuah kotak kecil di kamar tidurnya malam itu dan mengambil buku rekeningnya yang ada di sana. Dengan seksama, Patra menatap angka yang ada di bukunya dan mulai menghitung. "Biaya pengobatan Ayah dan uang yang sudah terkumpul untuk kuliah Patrick tiap semester. Walaupun Patrick sudah bisa mencari uang sendiri, tapi gaji paruh waktunya tidak akan cukup tanpa bantuanku.""Baiklah, aku tidak akan menyentuh uang itu. Tapi sisanya ...." Patra pun membuat coretan sederhana di kertas dan mendesah kecewa melihat sisa uang yang ia miliki. "Uangnya tidak akan cukup untuk membayar denda kalau aku mengundurkan diri ...."Patra mengembuskan napas panjangnya. "Ibu, apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Patra frustasi. Patra pun menggenggam buku rekeningnya lalu menatap beberapa barang lain yang ada di kotak itu.Tidak ada barang yang bernilai secara materi, tapi semua barang itu begitu berharga untuk Patra. Patra melirik sekilas pada cincin kecil, cincin dari emas maina