"Ceritakan padaku, Patra! Apa CEO-nya galak? Apa dia cerewet? Banyak permintaan? Kau tahu kan biasanya kebanyakan orang kaya begitu ribet? Mereka tidak bisa melihat sebutir debu pun!"
Selly terus mengomel saat mereka sudah duduk berdua di kantin perusahaan. Tapi Patra malah tersenyum mendengarnya. Sungguh, di saat seperti ini, mendapat teman seperti Selly benar-benar keberuntungan baginya. "Selly, terima kasih kau sudah sangat mempedulikanku, tapi aku baik-baik saja." Patra menangkup tangan Selly. "Astaga, berterima kasih untuk apa? Kau temanku, Patra! Lagipula baik-baik saja bagaimana? Seharusnya tadi kau menolaknya saja, Patra! Kepintaranmu terlalu berharga kalau hanya untuk menjadi cleaning service di sini. Dasar perusahaan gila! Di mana lagi mereka bisa mendapatkan karyawan sepintar kau, Patra!" Patra tetap tersenyum, namun ia terdiam sejenak. Sebenarnya pekerjaan cleaning servicenya masih bisa ia jalani, ia hanya keberatan bertemu dengan Nero lagi. Tapi Nero sendiri sudah memastikan kalau di mana pun Patra melamar kerja, Patra akan tetap berakhir ditolak. Sedangkan Patra rasanya sudah tidak mau menjadi pegawai kecil di toko lagi, jam kerjanya, pekerjaannya yang serabutan, dan gajinya yang lebih rendah, membuat Patra harus berpikir ribuan kali untuk kembali ke sana. "Sudahlah, aku kan sudah pernah bercerita kalau aku ditolak di 18 perusahaan sebelumnya dan kali ini anggaplah kesempatan untukku. Walaupun hanya sebagai cleaning service, tapi aku bisa menjalaninya." "Semua yang sudah kuhadapi dalam hidup benar-benar membuatku menghargai setiap kesempatan yang datang padaku. Dan aku adalah wanita kuat. Aku tahu mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah karena masalah itu untuk dihadapi dan diselesaikan, bukan untuk diratapi," imbuh Patra lebih bersemangat. Selly yang mendengarnya langsung kagum dan memeluk Patra. "Oh, Patra, kau sangat bijak dan dewasa! Aku senang sekali bisa mengenal wanita hebat sepertimu. Dan jangan mencemaskan apa pun karena aku akan selalu mendukungmu!" seru Selly penuh tekad dan ketulusan. Patra pun tersenyum dan mengangguk. Mereka berpelukan cukup lama, sebelum seorang wanita bertubuh gemuk dan berpakaian chef keluar dari dapur lalu menghampiri mereka. "Selly, apa orang yang mau kau kenalkan padaku sudah datang? Cepatlah, aku masih punya banyak pekerjaan!" seloroh wanita itu dengan cerewetnya. Selly pun langsung melepaskan pelukannya dan memperkenalkan Patra. "Ah, benar. Patra, perkenalkan ini temanku namanya Greedy! Dia yang memberitahuku ada lowongan di sini." Selly terkikik. "Eh, Greedy?" tanya Patra tidak yakin pada pendengarannya. "Haha, kau pasti bingung ya, namaku Greedy. Kau bisa bahasa Inggris kan? Apa artinya Greedy?" tanya wanita gemuk itu sambil menarik kursi dan duduk bersama mereka. "Hmm, Greedy? Maksudmu ... rakus?" Patra nampak sungkan dan ragu. "Haha, kau benar! Greedy itu artinya rakus. Kau lihat tubuhku yang sebesar truk gandeng ini kan?" Greedy sengaja menunjukkan dirinya. "Astaga, tidak ...." Patra menunduk sungkan. Ia benar-benar tidak pernah menilai orang dari penampilan maupun bentuk fisiknya. "Astaga, Patra! Jangan terlalu sungkan! Aku sudah biasa! Kalau kau bilang tidak, aku malah tersinggung! Dilihat dari posisi mana pun, tubuhku memang sebesar truk gandeng, aku sudah menerimanya, karena itulah, namaku Greedy yang berarti rakus!Bahkan aku selalu lapar, karena itu, aku memilih pekerjaan menjadi chef agar aku bisa memasak dan makan setiap saat! Hahaha!" Greedy dan Selly tertawa terbahak-bahak seolah pembicaraan itu sudah biasa untuk mereka, sedangkan Patra masih merasa sungkan untuk tertawa. Patra belum terlalu dekat dengan Greedy sampai takut Greedy akan tersinggung kalau ia ikut tertawa. "Hei, Patra! Kau tahu siapa nama asli Greedy?" celetuk Selly tiba-tiba. "Astaga, Selly, kau melakukannya lagi! Kau selalu memberitahu semua orang nama asliku!" omel Greedy dengan suara cempreng dan nada cerewetnya. "Hahaha! Tidak ke semua orang, hanya teman dekat saja. Jadi nama aslinya adalah Grinnietha." "Wah, nama yang cantik!" puji Patra cepat. "Tentu saja cantik namanya, tapi begitu sulit diucapkan," sahut Greedy cepat. "Lagipula ekspektasi Ibuku waktu memberiku nama itu terlalu tinggi. Grinnietha. Astaga, menyebutnya saja sudah melelahkan!" "Itu terdengar seperti nama wanita yang imut-imut, berambut panjang, berpipi tirus, memakai rok mini dan berkulit putih. Sedangkan aku kebalikan dari semuanya! Potongan rambut seperti pria, wajah bulat seperti pentol bakso, tubuh melar seperti truk gandeng dan kulit gosong seperti arang. Karena itu, aku geli mendengar nama itu! Panggil aku Greedy saja! Greedy!" imbuh Greedy. Selly tidak berhenti tertawa, sedangkan Patra pun mulai berani tertawa pelan, sebelum Greedy terus menggodanya dan akhirnya tawa Patra pun begitu lepas dan bahagia. Tanpa mereka sadari, Nero yang sedang berkeliling bersama beberapa manager melihat mereka dan langsung menghentikan langkahnya. Nero pun sama sekali tidak bisa mengalihkan tatapannya dari tawa Patra yang begitu lepas. Mengapa? Mengapa Patra masih bisa tertawa walaupun ia sedang ditindas? Sementara Nero yang menindas malah sama sekali tidak bisa tertawa sekarang. Dan mengapa Patra-nya masih terlihat begitu cantik? Bahkan semakin dewasa, wanita itu terlihat semakin cantik. Mengapa jantung Nero masih berdebar seperti dulu melihat Patra-nya? Namun, secepat pikiran itu datang, secepat itu pula sebuah kesadaran menghantamnya keras. "Sial! Mengapa aku harus terus menatapnya seperti ini? Dan sial! Dia bukan Patraku lagi!" geram Nero kesal yang langsung melangkah pergi meninggalkan para managernya begitu saja. **Patra berdiri di depan sebuah rumah sederhana malam itu, rumah kontrakan kecil yang sudah ia tinggali selama dua bulan ini bersama adik laki-lakinya dan ayahnya sejak ia pulang kembali ke kota ini.Sambil memasang senyum terbaiknya, Patra pun merapikan kemeja dan rok span yang ia pakai tadi sewaktu berangkat kerja. "Ya, biarkan seperti ini saja! Mereka tidak perlu tahu apa yang aku kerjakan, yang penting halal dan aku mampu menjalaninya."Senyuman Patra pun makin lebar, sebelum ia masuk ke rumahnya. "Aku pulang!" teriak Patra yang memang sudah biasa ia lakukan agar ayah dan adiknya mengetahui kalau ia sudah pulang. "Eh, Kak Patra sudah pulang, Ayah!" Patrick, adik Patra yang sedang menyiapkan makan malam langsung melongokkan kepalanya ke arah kamar dan berteriak pada ayahnya. "Hmm, makanan apa yang kau siapkan, Patrick? Mengapa baunya harum sekali?" Patra terlihat bersemangat dan langsung menghampiri meja makan yang malam ini begitu penuh dengan makanan. "Eh, cuci tanganmu dulu,
"Aku berangkat dulu, Ayah!" Patra berpamitan pada ayahnya pagi itu, sebelum ia buru-buru berangkat karena takut ketinggalan bus. "Hati-hati, Nak!" sahut Herdi, ayah Patra. Herdi pun menatap Patra yang sudah mulai menjauh dari halaman rumahnya dengan perasaan yang tidak karuan. Andai saja ia tidak sakit-sakitan, mungkin ia yang bekerja keras untuk Patra dan Patrick, bukan membebankan tanggung jawab yang begitu besar pada anaknya itu. Herdi tidak pernah berhenti merasa bersalah karena sudah membawa banyak kesulitan dalam hidup Patra, terutama karena majikannya dulu. Sementara di perusahaan, Nero sudah berdiri di balkon lantai dua. Dari posisi ini, ia bisa melihat ke lobby, reseptionis, sekaligus ke pintu masuk. Dan Juan yang menemani Nero pun terus bertanya-tanya tentang keanehan sikap sahabatnya itu. "Kau datang begitu pagi hanya untuk berdiri di sini sejak tadi, Nero? Sebenarnya apa yang kau lihat? Apa kau mau memeriksa absensi juga? Melihat apakah semua karyawanmu datang tepat
Tiga orang wanita cantik berpenampilan seksi nampak duduk bersama di sebuah meja di sudut kantin karyawan. Dua di antaranya adalah karyawan baru yang juga diterima bekerja bersama Patra, tapi salah satunya adalah karyawan senior di sana. "Hei, itu dia wanita yang kemarin melamar kerja bersama kita kan?" tanya salah satu wanita saat ia melihat Patra duduk bersama Selly. "Ah, benar. Dia membuatku insecure karena katanya dia lulusan terbaik di kampusnya itu. Cih, kupikir dia akan diterima kerja setingkat manager, ternyata hanya cleaning service!" sahut wanita lain mencemooh. Karyawan senior bernama Maya pun langsung memicingkan matanya. "Siapa yang bilang lulusan terbaik bisa jadi manager? Kalau dia berakhir hanya menjadi cleaning service ya berarti memang sampai di sana saja kemampuannya!""Ah, bukan begitu, Bu, tapi kami hanya tidak tahan melihat tampang sok polosnya! Saat dia duduk menunggu bersama kami itu beberapa orang terus bergos
Patra menahan napasnya saat akhirnya Nero menyentak kasar kemejanya hingga terbuka dan mempertontonkan tubuh bagian atas pria itu yang begitu sempurna. Tubuh kurus Nero yang dulu sudah berubah menjadi tubuh dewasa yang begitu kokoh dengan otot yang menyembul di bagian yang tepat. Bahkan, perut itu sudah membentuk kotak-kotak yang begitu sempurna, sampai Patra yang melihatnya pun mendadak memalingkan wajahnya malu. Sungguh, Patra tidak bisa berkata apa pun saat jantungnya sudah memacu begitu kencang seperti sekarang. Apalagi saat Nero melangkah perlahan mendekatinya hingga pria itu berdiri tepat di hadapan Patra dan begitu dekat. "Mengapa kau memalingkan wajahmu, Patra? Apa kau malu? Bukankah kau sudah pernah melihat tubuhku sebelumnya?"Suara Nero itu alih-alih seruan tajam seperti biasanya, malah terdengar seperti sebuah bisikan yang sebenarnya tidak terlalu lembut, namun juga tidak kasar. Dan bisikan itu membuat jantung Patra makin tidak karuan. Patra yang sangat tidak nyaman de
Debaran jantung Nero dan Patra masih saling berkejaran dengan tatapan yang saling terkunci satu sama lain. Tatapan itu saling bertaut begitu dalam tanpa ada yang berniat menyudahinya sama sekali. Perlahan kenangan demi kenangan indah saat mereka bersama pun terputar dengan sendirinya di otak mereka. Saat pertama kali mereka bertatapan waktu Ayah Patra memperkenalkan Patra pada Nero, anak dari majikannya. "Nero, perkenalkan ini anak pertama Pak Herdi namanya Patra, kakaknya Patrick. Umurnya masih 10 tahun, 3 tahun lebih muda daripada Nero," kata Herdi waktu itu."Halo, aku Nero!" Nero kecil mengulurkan tangannya pada Patra sambil tersenyum ramah. Patra kecil pun hanya tersenyum malu waktu itu sebelum ia menyambut uluran tangan Nero. "Patra," sahutnya singkat. Dan di sanalah semuanya berawal.Dari satu tatapan, satu senyuman, satu tautan tangan, lambat laun membentuk perasaan yang begitu kuat dalam diri Nero dan Patra. Bahkan, hubungan persahabatan itu terus terjalin sampai mere
Benar atau salah?Pertanyaan itu terus berputar di otak Patra saat ia sudah keluar dari ruang kerja Nero. Di satu sisi, ada keinginan yang sangat besar untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Nero. Bahwa Patra sama sekali tidak seperti yang Nero pikirkan atau yang Nero dengarkan dari siapa pun dan tadi adalah kesempatan bagus yang sudah Patra sia-siakan. Namun di sisi lain, keinginan untuk pergi dari hidup Nero juga sangat besar. Biarkan saja Nero dengan semua pikirannya. Itu tidak penting selama mereka bisa menjalani kehidupan mereka masing-masing. Susah payah Patra bangkit dari keterpurukannya enam tahun lalu dan Patra tidak sanggup kalau harus melaluinya lagi. Untung saja Nero tidak sempat menciumnya tadi atau mungkin pertahanan diri Patra juga akan runtuh.Patra pasti akan mengungkapkan perasaannya dan menceritakan kebenarannya agar Nero kembali padanya karena Patra juga masih menyimpan perasaan yang besar pada pria itu. Namun, Patra masih cukup waras untuk tidak ber
Nero termenung dan berpikir keras di ruang kerjanya setelah Patra pergi meninggalkannya. Ia sudah memakai kemeja baru karena ia memang punya cadangan baju ganti di kantornya. Namun, bukan kemeja yang ia pikirkan, tapi ucapan Patra. Semua ucapan Patra begitu membekas di otak Nero. "Apa mungkin selama ini aku sudah salah sangka padanya? Apakah selama ini aku sudah membenci wanita yang salah?""Tapi tidak! Semua bukti sudah jelas! Uang itu memang sudah diterima oleh Patra bahkan bibik di rumah, teman baik dari ibu Patra pun sudah memberitahu kebenarannya bagaimana keluarga Patra yang gila harta.""Dan foto-foto itu ... orang yang kusuruh mencari tahu tentang Patra selalu memberikan foto Patra bersama para pria hidung belang.""Ya, tidak mungkin salah! Wanita itu hanyalah wanita murahan yang gila harta dan aku tidak boleh sampai tertipu oleh wajah polosnya."Nero mengepalkan tangannya geram. "Sial! Pasti semua ucapannya tadi hanya untuk membuatku menyesal dan bersikap lebih baik padany
Patra membongkar sebuah kotak kecil di kamar tidurnya malam itu dan mengambil buku rekeningnya yang ada di sana. Dengan seksama, Patra menatap angka yang ada di bukunya dan mulai menghitung. "Biaya pengobatan Ayah dan uang yang sudah terkumpul untuk kuliah Patrick tiap semester. Walaupun Patrick sudah bisa mencari uang sendiri, tapi gaji paruh waktunya tidak akan cukup tanpa bantuanku.""Baiklah, aku tidak akan menyentuh uang itu. Tapi sisanya ...." Patra pun membuat coretan sederhana di kertas dan mendesah kecewa melihat sisa uang yang ia miliki. "Uangnya tidak akan cukup untuk membayar denda kalau aku mengundurkan diri ...."Patra mengembuskan napas panjangnya. "Ibu, apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Patra frustasi. Patra pun menggenggam buku rekeningnya lalu menatap beberapa barang lain yang ada di kotak itu.Tidak ada barang yang bernilai secara materi, tapi semua barang itu begitu berharga untuk Patra. Patra melirik sekilas pada cincin kecil, cincin dari emas maina
Patra tidak pernah menyangka Nero akan mengatakan syarat yang sangat brengsek seperti itu dan Patra meradang mendengarnya.Dengan cepat, ia bangkit dari kursinya dan menatap Nero."Jadi wanitamu? Lalu apa tugasku, hah? Menemanimu di ranjang? Kau akan menukarnya dengan imbalan 10x lipat gajiku, hah?""Bukankah itu pekerjaan yang mudah, Patra? Hanya menjadi milikku, selalu bersamaku setiap kali aku membutuhkanmu!l.""Oh, kau memang brengsek, Pak Nero! Aku tahu sejak awal maksudmu memang ingin merendahkanku dan menghinaku, tapi asal kau tahu kalau aku sama sekali tidak gentar! Aku juga tidak butuh gaji 10x lipat karena aku puas dengan gaji yang akan kudapatkan dari menjadi asisten nanti! Jadi kalau kau tidak mau kutampar lagi seperti waktu itu, lebih baik kau keluar saja dari sini!" Patra merentangkan tangannya mengusir Nero dengan tatapan yang berapi-api.Dan Nero terlihat sama sekali tidak menerimanya. "Katakan mengapa kau harus bersikap seperti ini, Patra? Mengapa kau tidak mau bersam
Nero masih membelalak dan mematung menatap Kania yang sedang berbaring pasrah di bawahnya. "K-Kania?" ucap Nero dengan begitu kaget. Namun, Kania hanya tersenyum sambil tetap memeluk leher Nero. "Lakukan, Nero! Lakukan, Sayang! Aku milikmu, Nero!" ucap Kania dengan suara paraunya. Nero pun makin membelalak mendengarnya. Nero langsung menggelengkan kepalanya dan malah bangkit dari tubuh Kania. "Kania, maaf, apa yang sudah kulakukan?"Nero menatap sekeliling mencari kemejanya lalu segera memakainya lagi. "Nero, kau kenapa, Sayang? Aku tunanganmu, kita akan menikah, apa salahnya? Tidak apa, Nero. Kita lanjutkan ya ...." Kania meraih tangan Nero dan menggenggamnya. Namun, Nero menarik lagi tangannya dan malah memalingkan wajahnya dari tubuh Kania yang masih terbuka. "Kania, pakai bajumu lagi! Maaf, aku ... aku tidak sengaja melakukannya. Maafkan aku! Aku tidak tahu mengapa kau bisa ada di sini tapi maaf ... kurasa aku harus pergi," kata Nero lagi sebelum ia langsung pergi meningga
Perasaan Nero tidak pernah tenang sejak Patra diresmikan menjadi asisten Axel. Banyak pikiran absurd muncul di otak Nero tentang Axel yang mungkin akan menggoda Patra atau Patra sendiri yang akan menyodorkan dirinya pada Axel. "Sial! Bukankah Patra tidak akan menolaknya kalau ada pria kaya yang mendekatinya?"Nero galau sendiri. Bahkan saking galaunya, ia ingin menangis rasanya. Walaupun selama ini Nero menganggap bahwa Patra adalah wanita murahan, tapi mengetahui hal itu akan terjadi di depan matanya, membuat hatinya begitu sakit. Bahkan Nero sama sekali tidak bisa mencintai maupun menyentuh wanita lain lagi selain Patra, tapi mengapa hal itu sepertinya sangat mudah dilakukan oleh Patra?Dan Nero yang galau pun mengabaikan semuanya, mengabaikan Juan, mengabaikan Kania. Nero menyetir mobilnya sepanjang malam tanpa arah yang pasti sampai akhirnya ia menghentikan mobilnya di dekat rumah Patra. Nero sudah mencari tahu di mana Patra tinggal dan tidak sulit menemukannya karena mereka
"Nero, kau berhutang penjelasan padaku, wanita itu Patra kan? Patra yang dulu kan? Walaupun sekarang dia terlihat lebih berisi dan lebih cantik tapi dia Patra yang dulu kan?""Bagaimana dia bisa bekerja di sini dan ... jadi dia adalah wanita lulusan terbaik di kampusnya yang melamar menjadi admin tapi kau menjadikannya cleaning service?""Aku tidak percaya ini, tapi bagaimana bisa ... bagaimana bisa dia melamar kerja di sini dan ... kalian sudah pernah bertemu sebelumnya kan? Bagaimana ...."Juan terus memberondong Nero dengan begitu banyak pertanyaan, namun Nero tetap diam dan terus mendesis kesal di ruang kerjanya. Nero tidak bisa menerimanya. Nero tahu Patra pintar dan Patra melakukan presentasi dengan sempurna, tapi Nero tidak bisa menerima Patra sebagai asisten Axel. "Shit!" Alih-alih menyahuti Juan, Nero malah terus mengumpat dengan kesal. Juan pun makin mengernyit melihatnya. "Kau itu kenapa sih?"Namun sedetik kemudian, Juan pun membelalak saat ia menyadari sesuatu. "Oh, s
"Selamat siang semuanya, namaku adalah Patra Aurora! Maaf sebelumnya kalau di antara para manager sekalian ada yang pernah melihatku, ada yang juga belum pernah."Dengan tetap tenang, Patra mulai membuka presentasinya dan semua mata pun langsung tertuju padanya. "Sebenarnya aku hanyalah seorang cleaning service, aku tidak malu mengakuinya. Ada sedikit cerita di sana yang akan terlalu panjang kalau kuceritakan di sini. Singkat kata, aku merasa berterima kasih pada Pak Axel yang sudah memberiku kesempatan untuk berdiri di sini."Patra memperkenalkan dirinya dengan begitu formal namun luwes. Dan saat tiga peserta yang lain memilih menjabarkan background pendidikannya dengan lebay, Patra malah memilih mengakui dirinya yang hanya seorang cleaning service. Namun, entah mengapa perkenalan diri Patra malah membuat Kania dan Axel tersenyum senang, begitupun Juan yang sedari tadi hanya melongo pun akhirnya tersenyum tipis. Terlepas dari ini Patra-nya Nero atau bukan, tapi Patra memang berbeda
"Kurasa kau benar, Nero. Mungkin memang ada sesuatu di antara mereka. Lihatlah bagaimana Axel menatap wanita itu." Kania tersenyum menatap Axel dan Patra yang masih berdiri di ujung.Kania dan Nero baru saja berniat masuk ke ruang rapat saat pandangan mereka tersedot ke arah Patra, Axel, Selly, dan Greedy yang masih berdiri bersama. "Tapi entah mengapa aku sangat menyukai wanita itu. Sejak pertama melihatnya bukankah aku sudah bilang kalau nada bicaranya dan sorot matanya berbeda, ternyata aku benar, dia berbeda. Dia punya kemampuan yang memang tidak bisa diremehkan," kata Kania lagi. Namun, Nero yang sudah terbakar oleh kecemburuan tidak jelasnya malah langsung mencibir. "Kita belum melihat apa pun tentang kemampuannya, Kania! Jangan menilai seorang cleaning service terlalu tinggi!"Nero terus menegang dan menatap tajam pada Axel dan Patra, apalagi saat Axel menyentil hidung Patra, rasanya Nero sangat ingin menghajar Axel. Hanya Nero yang boleh menyentil Patra dan menyentuh wajah
Nero langsung mematung mendengar nama itu. Sial! Axel ingin menjadikan Patra sebagai asisten pribadinya? Lalu Patra harus mengikuti Axel ke mana-mana, melakukan semua hal untuk Axel, mereka akan terus bersama selama di kantor, bahkan mungkin di luar jam kerja juga. Tidak! Nero tidak akan membiarkannya! Nero tidak akan membiarkan Patra dan Axel sedekat itu."Tidak boleh!" seru Nero tegas. Axel pun langsung kehilangan senyumnya. "Eh, mengapa tidak boleh, Kak? Kau kan sudah bilang akan menuruti apa saja mauku?""Axel, memang benar kau adalah adiknya Kania dan aku sudah berjanji akan menuruti maumu, tapi bukan berarti kau bisa melakukan hal yang di luar batas seperti itu!" seru Nero berapi-api. "Apanya yang di luar batas, Kak?""Menjadikan seorang cleaning service sebagai asisten pribadi itu sudah di luar batas, Axel! Kau mau mempermalukan perusahaan, hah? Bagaimana mungkin seorang cleaning service rendahan mendadak diangkat menjadi asisten manager?""Tapi kita tahu sendiri background
Nero tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi ia sudah muak mendengar Patra yang terus membantahnya. Dan melihat bibir Patra yang terus bergerak, Nero pun tidak tahan lagi. Tanpa bisa dicegah, Nero merengkuh Patra dan langsung menyatukan bibir mereka sampai Patra membelalak kaget. Patra memberontak sambil terus memukul dada Nero, tapi pria itu begitu keras. Nero pun terus mendesak bibir Patra, merasakan kembali bibir yang sangat ia rindukan dan walaupun sedang terpaksa, nyatanya Nero masih sangat menikmati bibir itu. Nero terus memagut bibir Patra yang masih tertutup rapat itu. Patra sendiri masih terus bergerak tidak beraturan sampai Nero pun kesal.Dengan gerakan cepat, Nero langsung mendorong Patra sampai ke tembok dan menghimpitnya di sana. Patra yang ingin berteriak pun membuka mulutnya dan Nero pun akhirnya berhasil menjelajah di sana, menikmati sendirian pagutan bibir dengan wanita yang dicintainya, walaupun wanita itu sama sekali tidak kooperatif. Patra yang sudah t
Suasana masih begitu hening saat Patra mendongak dan kedua pria sedang menyodorkan gelas padanya. Patra yang masih terbatuk kecil pun tampak salah tingkah. Patra menatap Nero dan Axel secara bergantian, sebelum ia pun mengambil gelas minuman dari Axel. "Hmm, terima kasih!" kata Patra sambil langsung meneguk minumannya. Sedangkan Nero yang ditolak hanya bisa mendesis kesal dan menatap tajam pada PatraKania yang melihatnya pun hanya mengerjapkan matanya sambil saling melirik dengan Axel, sebelum ia mengalihkan tatapan pada Nero. "Eh, Nero ... kau ... kenapa?" tanya Kania sambil menurunkan tangan Nero yang masih menggantung di udara. "Kau ... jangan membuat Patra takut! Kau menyodorkan gelasmu sendiri!" Kania mengedikkan kepalanya ke arah gelas Nero.Nero pun langsung mendesis kesal. "Sial, aku refleks, Kania! Lagipula bukankah sudah kubilang aku tidak mau makan di sini?" Nero langsung mengangkat gelas minumannya lagi dan meneguknya banyak-banyak lalu meletakkannya lagi dengan ke