Share

Bimbang

"Rara!"

Terdengar seseorang memangilnya dari sana. Terlihat Romi sedang berjalan kearah mereka berdua.

"Usapa air matamu, cepat," ujar Rayna.

Ia memang seorang wanita yang pandai bersandiwara.

Maka tak heran terkadang semua kesalaha  Rayna di limpahkan ke Rara.

"Ray, kamu di sini?" tanya Romi.

"Iya aku ingin melihat kantor kerja adikku," kilahnya.

"Dengan pakaian begini?"

Ucapan Romi membuat Rayna teringat bahwasanya saat ia datang tadi masih mengenakan baju pasien.

"Ah, itu, A--nu," Rayna gugup.

Mungkin ia pandai berbohong di depan semua orang, namun di depan Romi jangan berharap bisa membohongi laki-laki satu ini.

"Sudah tak usah di pikirkan. Ayo sayang kita masuk. Sudah waktunya makan siang. Rayna kau mau ikut?" ajak Romi.

"Tidak usah repot-repot. Aku akan pulang mama pasti menunggu," Rayna tetap bersikap baik.

Agar dimata Romi ia adalah gadis yang tak hanya cantik secara fisik namun secara batin.

"Ya sudah kami pergi dulu by Ray."

Romi mengandeng tangan Rara mereka berdua makan di lestoran yang letaknya di depan kantor.

Mengetahui ada yang aneh dari kekasihnya. Romi segera bertanya.

"Kenapa sayang?" Romi mencoba mencari kebenaran di mata Rara.

"Tidak aku hanya capek, Rom boleh aku tidur di apartemenmu yang dekat dengan kantor ini rasanya aku pusing sekali."

"Oke."

Mereka berdua segera bangkit dari tempat duduk. Tak lupa sebelum pergi Romi membayar makanan yang mereka pesan tadi.

Jarak dari kantor tidaklah terlalu jauh, hanya berjarak tiga ratus meter dari kantor.

Setelah memasukan kartu id Romi segera mengendong Rara.

Wajah Rara terlihat sangat pucat membuat sang kekasih merasa cemas.

"Kamu tidak apa-apa? Aku panggilkan dokter?"

Dalam gendongan Romi, Rara mengeleng kepalanya ia benamakan di dada bidang Romi.

Perlahan Romi menurunkan badan Rara di ranjang.

"Sayang, tolong pakaiankan aku minyak kayu putih. Badanku terasa dingin," pinta Rara.

Mendengar perintah itu Romi terkejut, di dalam apartemen hanya ada mereka berdua.

Dengan menutup mata Romi mengoleskan minyak kayu putih di badan Rara.

Terasa sangat menegangkan bagi mereka berdua.

Apalagi ini pertama kali mereka berduan di dalam ruangan.

"Kamu tidak kembali, Sayang?" 

"Bagaimana aku kembali jika kamu saja sakit. Biarlah, ada Hanif yang mengurus di sana."

"Oh," jawab Rara.

Tanpa sengaja Romi menyentuh bagian senstif Rara.

Membuat gadis itu terkejut.

"Maaf, sayang."

Entah karena terlalu takut kehilangan atau frustasi akibat ulah sang kakak.

Tiba-tiba saja Rara membalikan badan kearah Romi.

Seketika Romi terkesima melihat apa yang ia lihat sekarang.

"Kamu nakal apa tidak takut aku terkam?"

Rara mengegeleng ia sengaja membuka branya.

Pria mana  yang akan tahan jika di goda dengan seperti ini. Terlihat buah dada Rara yang besar dengan perut yang ramping.

Romi seakan mimpi tak percaya jika Rara berani melakukan itu.

Yang ia tahu Rara tak pernah berbicara tentang hubungan seperti itu.

Langsung saja tanpa basa basi Romi langsung mencium bibir Rara dan melumatnya. 

Sedangkan Rara seakan menikmati ciuman panas yang di berikan Romi.

Tangan Romi perlahan memberanikan diri memegang payudara Rara. 

Meremasnya hingga tubuh Rara mengeliat.

Rara seakan kerasukan dengan berani ia membuka celana Romi.

Merogoh dalam benda milik kekasihnya itu dan memainkannya. 

Dua insan itu seolah sedang di mabuk hasrat.

Tak perlu waktu lama kini mereka berdua sudah bertelanjang tak memakai satu helai baju pun.

Romi seolah kewalahan menghadapi nafsu Rara.

Berkali-kali Rara mengeliat kala Romi menjilati bagian sensitifnya.

"Sayang, ah, geli," Rara menjambak rambut Romi.

Romi seakan tak menghiraukan ia tetap memainkan payudara Rara.

Hingga puncaknya tiba Romi sudah tak kuat lagi menahan ingin memasukan ke tempat Rara.

Dengan di bantu Rara, ia memasukananya.

"Au! Perih, Rom!"

Jerit Rara ia merasa sangat sakit terlebih lagi benda milik Romi lumayan besar.

Dua jam  pergulatan cinta mereka berahir.

Darah segar tercecer di seprai tempat tidur.

Menjadi saksi awal mula percintaan mereka.

Lelah melaukan itu mereka berdua merebahkan diri diatas rajang.

"Makasih sayang. Aku tak salah memilih calon istri aku akan segera menikahimu," Romi kembali mencium kembali bibir Rara.

Malam ini Rara dan Romi sengaja tidur bersama di apartemen.

Rara memang sengaja karena ia tahu besok atau lusa ia tak dapat lagi bersma Romi.

Malam menjelang bintang-bintang di menghiasi indahnya malam.

Dan lagi mereka melaukannya , seperti orang kesurupan seolah esok tak ada hari lagi.

Tak ada henti bagi mereka, setelah selesai Rara mandi bersama Romi.

Perilaku mereka sudah layaknya suami istri. Dada rara penuh dengan ciuman Romi begitu juga dengan Romi.

Pagi menjelang suara kicauan burung terdengar di telinga Rara.

Rara menatap wajah lelaki yang ia cintai.

"Apa lihat-lihat mau lagi?"

"Ih apa sih?" 

Romi beranjak bangun dan merobohkan tubuh Rara di atas tempat tidur.

Ia mulai menciumi leher Rara, tanganya perlahan membuka kancing baju Rara.

Drrr.....

Sebuah panggilan  masuk terdengar.

"Ah sial!" umpat Romi.

Expresi wajah Roni membuat Rara tersenyum.

Buru-buru ia mengangkat telfon.

"Hallo, iya Tan. Iya Rara tidak bersamaku. Katanya di tempat teman. Iya nanti aku antar dia pulang. Bye tante."

"Siapa?"

"Mama kamu. Anak papa suruh pulang," sewotnya.

Setelah mandi Romi mengantar Rara pulang.

Akan tetapi baru saja Rara melangkahkan kaki di depan pintu.

Terdengar jerit Rania di kamarnya.

"Mana, Rara! Aku yakin dia bersama kekasihku. Rara!"

Haruskah ia ihklaskan kekasihnya menikahi gadis seperti Rayna.

Gadis yang ahir-ahir ini semakin menjadi-jadi kelakuannya.

Rayna keluar dari kamar pandangnya mengendar sekekeliling.

Di lihatnya Rara sedang berdiri di depan pintu.

"Rara, tolong aku. Berikan kekasihmu untukku apa kamu tega membiarakan. Kakak kesayanganmu gila sepertini ini."

Batin Rara menjerit sungguh sangat menyakitkan baginya.

Melihat dua orang yang ia sayang sama sama menderita jika ia abaikan.

"Ra, jangan dengarkan kata Rayna. Biarkan saja."

"Mama, mama apa bilang! Mama akan tahu rasanya," Rayna mendekati mamanya  , lalu, tangannya mendekati leher bu Lastri.

"Stop! Kak!" Rara berteriak.

Cengkraman di leher bu Lastri melonggar, Rayna menurunkan tangannya.

Bibirnya tersenyum sinis seoalah berhasil mempermainkan adiknya.

"Berikan aku waktu dua hari, setelah itu kamu boleh bersamanya," ungkap Rara.

"Benarkah?"

"Iya," Kepalanya menganguk sekuat hati ia menahan amarahnya.

Nasibnya terasa sungguh malang. Baru saja mereka akan bahagia namun badai sudah menghadang di depan.

"Nak," rintih bu Lastri.

"Tidak apa, Ma. Mungkin dia bukan jodohku."

Maafkan mama, Ra," lirih bu Lastri.

"Tidak, Ma. Aku yang harus berterima kasih. Sejak ibu tiada, mama selalu merawat dan mengajarkanku artinya kebaikan."

Anak dan ibu itu saling berpelukan walaupun tidak di lahirkan olehnya tetapi rasa kasih dan sayang yang bu Lastri berikan tulus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status