Setelah menuduh, wanita itu langsung berlari ke arah Hazel. Bersamaan dengan langkah kakinya itu, ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil sesuatu. Rupanya wanita itu menyimpan sebuah gunting kain lalu menodongkannya ke arah Hazel.
“Hei!” teriak Handika sambil berlari ke arah Hazel.Di waktu yang bersamaan, satu-satunya polisi yang berjaga di sana langsung berlari ke arah wanita itu. Ia hendak mencegah wanita itu sebelum bertindak nekat, sementara itu Handika berusaha melindungi Hazel.“Ough!” pekik Handika.Handika memang berhasil mengamankan Hazel dengan cara menarik wanita itu ke belakang tubuhnya, tetapi ia terpaksa harus mengorbankan dirinya sendiri. Wanita yang tiba-tiba datang tadi terlanjur menghunuskan guntingnya hingga melukai lengan bawah Handika. Gunting itu cukup tajam, jadi ketika wanita itu menusukkannya dengan kuat, benda tajam itu sanggup merobek kulit lengan Handika.“Bersembunyi di belakangku,” perintah Handika sembari berdiri di depan Hazel agar tubuh wanita itu sepenuhnya tertutup oleh dirinya.Hazel menurut perintah Handika. Wanita itu bersembunyi di belakang tubuh Handika sambil menautkan jemarinya yang mulai berkeringat. Dengan perasaan takut, Hazel memandangi punggung tegap Handika di depannya. Hazel tidak bisa membohongi perasaannya sendiri jika saat ini ia sangat ketakutan. Ia takut ketika orang lain menuduhnya sebagai pembunuh sementara ia adalah korban pelecehan yang ingin membela diri."Aku bukan pembunuh," batin Hazel.Berulang kali Hazel membatin dan berpikir jika tindakannya itu bukanlah hal yang salah. Seorang pelaku pelecehan pantas mendapatkannya. Lagipula Hazel sudah memberi pilihan kepada Rendra, tetapi pria itu tidak mau mendengarkannya.“Nyonya, tenanglah dulu!” teriak polisi itu karena panik dengan penyerangan yang menimpa temannya.“Bagaimana aku bisa tenang?! Wanita sialan itu telah berani menghabisi nyawa suamiku! Suamiku mati dengan kondisi yang mengenaskan!” jerit wanita itu dengan histeris.Wanita itu menangis sejadi-jadinya sambil berusaha menerjang ke arah Hazel. Karena tidak mau hal buruk yang lain terjadi, polisi yang bertugas itu segera memborgol kedua tangannya. Ia mengunci pergerakan wanita itu agar tidak lagi menyerang Hazel ataupun melukai Handika yang berniat melindunginya.“Kenapa aku yang ditangkap?! Seharusnya dia! Dia seorang pembunuh! Jangan tertipu dengan wajah polosnya itu. Dia itu wanita jalang sekaligus pembunuh!”Meskipun kedua tangan wanita itu sudah diborgol, tetapi ia terus saja berusaha untuk memberontak.Wanita itu adalah istri Rendra. Ia baru saja kembali dari kediamannya yang ada di pusat kota. Ketika ia pulang ke rumah Rendra yang ada area di pemukiman miskin itu, ia dibuat terkejut ketika mendapati kondisi suaminya sudah tak lagi bernyawa.Casey —nama istri Rendra— hampir pingsan ketika menyaksikan kondisi terakhir suaminya itu. Ia menangis saat melihat perut Rendra robek dan mengeluarkan banyak darah. Meskipun cukup mengerikan, Casey tidak takut untuk mendekat ke arah suaminya. Ia bersimpuh di samping mayat suaminya yang terbaring kaku di lantai dengan pakaian berantakan.Ketika Casey memikirkan siapa pelaku yang tega membunuh suaminya itu, ia langsung mendapatkan satu nama. Siapa kira-kira yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas kejadian tragis ini? Siapa lagi kalau bukan Hazel.Sebagai istri pertama, Casey cukup tahu dan hafal dengan sifat suaminya. Bukan rahasia lagi di kehidupan rumah tangganya jika Rendra memang tertarik dengan anak dari salah satu karyawannya, yaitu Hazel.Rendra bahkan secara terang-terangan meminta izin kepada Casey agar ia diperbolehkan menikah lagi dengan Hazel.Casey tidak terima dengan kejadian ini, jadi ia bermaksud mengacaukan Tempat Kejadian Perkara dan membuat skenario yang dapat menjadikan Hazel sebagai tersangka utama atas peristiwa berdarah itu.Sebelum ke kantor polisi, Casey mencetak sebuah surat perjanjian yang seolah dibuat oleh Hazel. Isi surat perjanjian itu adalah Hazel meminta rumah utama Rendra yang ada di pusat kota dan beberapa kekayaan pria itu untuk dipindahtangankan menjadi hak milik Hazel. Casey berusaha membuat skenario seolah-olah Rendra diancam dan pembunuhan itu terjadi karena suaminya tidak mau menuruti permintaan Hazel."Tangkap dulu dia, polisi brengsek!” teriak Casey tak terima ketika dirinya malah dituntun untuk duduk di depan meja utama di kantor itu.“Nyonya, anda harus tenang terlebih dahulu. Anda perlu memberikan kami penjelasan dan beberapa keterangan. Dengan begitu kami bisa menangkap pembunuh yang anda maksud!” Polisi itu berusaha menenangkan Casey.Casey memang duduk di kursi yang menghadap polisi itu, tetapi ia menatap tajam ke arah Hazel yang masih bersembunyi di balik tubuh Handika."Handika, amankan dulu wanita itu dan kau juga harus mengobati lukamu. Ke ruang kesehatan saja!” perintah polisi itu.Handika mengangguk sebelum ia melaksanakan perintah dari temannya itu. Niatnya hanya berkunjung, tetapi sialnya ia harus mendapatkan luka tusukan itu."Ayo, Nona. Maaf jika aku harus menahanmu, tetapi ini perintah," ucap Handika sambil mengarahkan Hazel untuk mengikutinya.Awalnya Hazel tidak mau mengikuti Handika. Ia takut jika akhirnya disalahkan atas kasus ini. Namun, ia berpikir untuk kesekian kalinya dan meyakini jika dirinya tidak bersalah atas tindakannya itu. Akhirnya Hazel mengikuti langkah kaki Handika. Keduanya masuk makin dalam kantor itu untuk pergi ke ruang kesehatan.Sesampainya di ruang kesehatan, Handika menyuruh Hazel untuk duduk di tempat tidur yang ada di sana. Ia segera mengambil kotak P3K dan duduk di kursi yang sengaja ia letakkan di dekat Hazel.Cukup sulit mengobati diri sendiri dengan satu tangan, jadi Handika tidak sampai membalut lengannya dengan perban."Maafkan aku," sesal Hazel."Eh? Tidak usah minta maaf. Hal seperti ini biasa, kok. Apabila jika kau bekerja di penjara," balas Handika dengan santai.Setelah obrolan itu, tidak ada lagi yang bersuara. Keheningan mulai mendominasi ruangan itu. Handika sibuk mengobati lukanya sedangkan Hazel hanya menundukkan kepala sambil memandangi kedua kakinya yang menggantung di atas lantai. Meskipun Handika sedang fokus dengan lukanya, tetapi pria itu sedang memikirkan sesuatu. Ia seperti tak asing dengan wanita yang baru saja menusuknya itu, tetapi ia tidak ingat siapa. Beberapa detik ia sempat bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia mencoba mengingat wanita itu."Sebenarnya... apa yang ingin kau laporkan?” tanya Handika penasaran.Kedua bahu Hazel menegang hebat. Sebelum kejadian penyerangan ini, tidak ada keraguan di dalam hatinya untuk melaporkan kasus pelecehannya itu. Namun, sekarang ini ia malah takut. Tubuhnya gemetaran dan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya."Apa ada kaitannya dengan wanita tadi?” tanya Handika lagi."Aku tidak mengenal siapa dia dan apa salahku. Aku bukan seorang pembunuh," ucap Hazel.Satu butir mirip kristal lolos dari mata Hazel. Ia mati-matian menahan isak tangisnya dengan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat."Aku telah dilecehkan...," lanjut Hazel.Pergerakan tangan Handika terhenti. Pria itu menatap Hazel dengan iba. Ia tidak tahu harus menanggapi dengan apa, jadi ia memilih untuk diam.Keheningan kembali meliputi keduanya. Hingga akhirnya suara berisik orang-orang sedang berbicara mulai terdengar. Di kantor itu tidak lagi sepi seperti sebelumnya, pasti karena teman Handika melaporkan kejadian itu ke kantor pusat yang ada di kota.Karena letaknya di pemukiman kecil, kumuh, dan miskin, kantor polisi itu memang hanya ditempati oleh satu hingga dua orang polisi saja yang bertugas. Jadi, ketika ada masalah serius, polisi yang bertugas di sana berhak meminta bantuan dari kantor pusat yang lebih ramai.Tiba-tiba seorang polisi datang dan langsung berdiri di ambang pintu sambil membawa surat perintah yang ditunjukkan ke arah Hazel dan Handika."Nona Hazel, anda kami tahan!” seru polisi itu.Ketika mendengar perintah penahanan itu, Hanzel langsung meloncat turun dari tempat tidurnya. Ia sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang korban pelecehan yang hendak melaporkan kasusnya malah ditahan atas tuduhan pembunuhan? Ia korban, bukan pelaku! “Aku tidak melakukan apapun! K-Kalian tidak berhak menahanku!” seru Hazel. Melihat Hazel terlihat panik, Handika langsung berdiri dari kursinya. Pria itu menatap ke arah Hazel. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya ketika seorang polisi membawa surat penahanan yang sah. “Kami sudah memeriksa TKP. Kami menemukan sebuah surat yang dapat dijadikan bukti bahwa anda terlihat dalam kasus pembunuhan korban R!” jelas polisi itu. Dua orang polisi lainnya langsung berlari ke arah Hazel. Mereka melakukan hal yang sama seperti Casey tadi, yaitu memborgol kedua tangan Hazel dengan plastic handcuffs.Dua orang itu langsung mendorong tubuh Hazel dan memaksanya untuk keluar dari ruangan itu. Mereka hendak membawa Hazel ke mobil polisi mereka untuk memb
“Nona! Anda mendengarkan saya atau tidak?” tanya pengacara itu sambil menggebrak meja.“Jika anda tidak mau berbicara, maka kasus ini sudah jelas akan dimenangkan oleh keluarga korban! Asal anda tahu, jika kasus ini terbukti benar, maka sesuai dalam pasal 338 KUHP, anda akan terjerat hukuman maksimal pidana mati!" tegas pengacara itu.Pengacara itu terpancing emosi saat melihat Hazel masih saja diam sambil menundukkan kepalanya.Gertakan itu akhirnya membuat Hazel menegakkan kembali kepalanya secara perlahan. Untuk pertama kalinya sepasang mata Hazel bertemu pandang dengan mata pengacara yang penuh kilat amarah itu.Kenapa sekarang jadi Hazel yang bersalah? Ia korban di sini, tetapi orang-orang seolah yakin jika ia adalah pembunuhnya. Bahkan sedikit pun tidak ada perlakuan baik dari pihak yang berwenang untuknya.“Tapi aku benar-benar tidak membunuhnya! Aku berani bersumpah!” teriak Hazel.Tak betah dengan desakan itu, akhirnya Hazel menceritakan kronologis kejadian malam itu, mulai da
Polisi itu tidak memberikan kesempatan bagi Hazel untuk berbicara. Ia langsung menarik paksa Hazel, lalu membawa wanita itu keluar dari ruangan tersebut.Tentunya sebelum membawa Hazel ke rumah tahanan, ia memastikan bahwa borgol di tangan Hazel masih aman. Ia tidak mau Hazel kabur, meskipun hal tersebut tidak mungkin terjadi. “Izinkan saya bertemu dengan ibu saya terlebih dahulu. Ada yang ingin saya sampaikan,” pinta Hazel saat polisi itu mendorong tubuhnya ke arah pintu keluar kantor kepolisian.“Tidak ada hak istimewa bagi anda, Nona!” tolak polisi itu.Meskipun sudah ditolak, Hazel tetap memohon-mohon agar ia diizinkan untuk menemui ibunya. Sayangnya, untuk kesekian kalinya Hazel ditolak, bahkan polisi itu sempat membentak dan mendorongnya dengan kasar karena permintaannya itu.Saat kaki Hazel baru saja menginjak teras depan kantor kepolisian, ia langsung disambut dengan banyak cahaya lampu kamera yang ditujukan ke arahnya. Rupanya sudah ada puluhan wartawan yang siap memburu beri
Gio kembali menarik tangan Handika. Pria itu membawa temannya semakin masuk ke TKP. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah halaman rumah Rendra. Karena Handika bersama dengan Gio, pria itu bebas masuk ke TKP asalkan tidak menyentuh apapun dan tidak mengganggu penyelidikan.“Aku tidak tahu, tetapi aku curiga jika ini bukan pembunuhan yang disengaja. Masa' iya seorang wanita muda tega membunuh pria yang umurnya jauh di atasnya? Dunia sudah beneran rusak dong,” ujar Gio mencoba menerka kasus yang ia tangani itu.Handika mengangguk setuju dengan pendapat Gio. Ia sedikit tahu sifat korban, jadi ia setuju jika kasus ini bukan murni pembunuhan, melainkan ada faktor lain yang membuat tersangka —Hazel— berani melakukan tindak kriminal yang begitu menggegerkan.“By the way, kamu kenal pengacara di sekitar sini tidak? Yang lumayan murah gitu, jangan yang mahal-mahal, aku tidak mampu," tanya Handika tiba-tiba.“Hah? Kamu kenapa tiba-tiba ingin mencari pengacara? Memangnya kamu terlibat kasus apa?
Akhirnya seorang polisi datang, tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ia membawa nampan dari stainless yang berisi makan malam untuk Hazel. Ia meletakkan nampan itu tepat di depan pintu sel sebelum akhirnya ia menguncinya kembali. “Besok pagi anda baru bisa pergi untuk menemui pengacara yang baru,” ucap polisi itu. Hazel terbelalak. Ia tidak salah dengar jika polisi tadi baru saja mengatakan bahwa Hazel akan bertemu dengan pengacara yang baru. Apakah artinya Hazel memiliki kesempatan untuk membela dirinya lebih baik daripada sebelumnya? Tak terasa pagi telah tiba. Samar-samar Hazel mendengar suara aktivitas dari ruangan di depannya. Tak lama setelahnya, seorang polisi datang dan langsung membuka pintu sel itu. “Nona, ikut kami!” katanya. Seperti yang sudah disepakati kemarin malam, pagi ini Hazel akan menemui pengacaranya yang baru. Ia kembali dibawa ke gedung utama. Ia ditinggal disatu ruangan kecil yang nantinya menjadi tempat pertemuan dengan pengacara baru itu.
“Dan tolong sampaikan terima kasih untuknya, Pak,” lanjut Hazel sebagai penutup dari obrolannya siang itu. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Haris jika kliennya menolak untuk mengajukan banding. Namun, Haris dan Hazel masih memiliki waktu selama 7 hari. Jika selama 7 hari Hazel berubah pikiran, maka ia bisa mengajukan banding. Akan tetapi, jika banding tetap tidak diajukan dalam waktu 7 hari sejak vonis, maka terdakwa dianggap sudah menerima keputusan hakim sebagai mana yang telah disebutkan dalam persidangan.“Saya tetap akan menemui anda selama 7 hari ke depan. Mohon dipertimbangkan,” ucap Haris sebelum ia pamit undur diri dari ruangan itu.Setelah kepergian pengacaranya itu, Hazel diminta untuk menunggu hingga petugas dari lapas menjemputnya. Ia meminta agar polisi mengizinkannya menunggu di ruangan itu, bukan di sel-nya yang dingin.Sebenarnya Citra sejak tadi memohon-mohon agar diperbolehkan menemui Hazel, tetapi pihak kepolisian melarangnya. Mereka mengatakan kepada Citra jika Ha
Hazel tidak menanggapi panggilan itu. Ia hanya diam sambil melihat kursi kemudi di depannya. “Nona, anda masih mengingatku, ‘kan?" Meskipun sudah ditolak secara tidak langsung oleh Hazel, Handika tetap tidak mau menyerah. Pria itu kembali mencoba untuk mengajak Hazel berbicara. Sebelum suara lembut Hazel terdengar di telinganya lagi, ia tidak akan putus asa meskipun harus ditolak untuk sekian kalinya.Lagi dan lagi... tak ada respons dari Hazel. Wanita itu betah membungkam mulutnya sendiri. Hingga akhirnya suara lembut wanita itu terdengar juga.“Masih berapa kilometer lagi untuk sampai ke lapas?” tanya Hazel.Tanpa sadar Handika tersenyum samar saat mendengar Hazel berbicara. Ada untungnya mereka tidak duduk sejajar, jadi Handika tidak perlu menutupi senyum spontannya itu agar tidak dilihat oleh Hazel. Melalui spion tengah, Handika mencoba untuk memperhatikan Hazel lagi. Ternyata wanita itu masih dengan posisi yang sama dan Handika tidak bisa melihatnya dengan jelas.Hazel masih be
Emma juga memberitahu Hazel jika di penjara para tahanan harus melakukan pekerjaan untuk mendapatkan uang yang bisa digunakan untuk membeli makanan enak, seperti telur, mie, atau roti. Setiap pekerjaan akan dijadwal. Mulai dari mencuci pakaian, membersihkan semua ruangan, dan menjemur. “Lusa kalian akan dikumpulkan di lapangan belakang. Ada kegiatan kerja bakti rutin setiap hari Minggu," tambah Emma.Hazel ditempatkan di sebuah sel yang berukuran sedang. Saat wanita itu mengedarkan pandangannya, ia melihat ada 3 orang lainnya memakai seragam orange khas tahanan di lapas itu.“Kalian ada teman baru. Jaga sikap kalian semua. Jika satu diantara kalian melakukan kesalahan, maka semua penghuni sel akan mendapatkan hukuman!” tegas Emma dengan suara lantangnya. Di dalam sel itu sudah ditempati oleh tiga wanita. Satu berusia sekitar 40-an tahun, dan dua sisanya baru menginjak kepala dua —28 dan 29 tahun.“Kami mengerti!” balas ketiga tahanan itu.Emma segera melepaskan borgol yang ada di ta
Tidak seperti kebanyakan sipir yang bertugas di lapas itu, nada bicara Handika saat ia memberi perintah kepada Hazel tidak kasar. Meskipun demikian, jika didengar baik-baik, Handika berbicara dengan nada dinginnya. Sejujurnya itu lebih menyeramkan daripada bentakan, tetapi Hazel mengabaikannya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan di lapas? Ia bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang tahanan, wajar saja jika sipir bersikap semena-mena dengannya. Perintah singkat itu langsung dituruti oleh Hazel meskipun dengan setengah hati ia melakukannya. Pikirnya daripada Hazel harus berdebat, lebih baik ia melaksanakan perintah itu. Hazel sadar diri dengan posisinya. Jika ia melawan perintah seorang sipir, mungkin ia bisa kena marah lagi seperti yang dilakukan Emma. Ya, meskipun sejauh ini Handika tidak pernah bersikap kasar kepadanya. Satu-satunya sipir yang bersikap baik kepada Hazel di lapas itu adalah Handika. Setelah memastikan Hazel sudah duduk, Handika segera bergegas mengambil jatah m
“Berhenti membuatku muak dan mencari perhatian orang-orang di sini! Kau mencoba menarik simpati dengan bersikap lemah seperti ini, hah? Kau cuma perempuan kasar yang gila harta milik suami orang, jadi lebih baik kau pahami batasanmu,” cecar Emma. Emma melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Hazel. Hazel merasa lega karena Emma tidak lagi menahannya. Ia tidak lagi merasakan sakit akibat dari cengkeraman tangan Emma. Namun, ternyata Hazel salah. Emma kembali menyakiti Hazel dengan menjambak rambut panjangnya hingga kepala wanita itu sedikit terdongak. Sekarang Hazel bisa melihat langit-langit kantin di atasnya.“Ouch!” pekik Hazel kesakitan.Jambakan itu mengingatkan Hazel dengan kejadian buruk yang menimpanya. Ia teringat saat Rendra menarik rambut panjangnya dan ia didorong hingga wajahnya membentur cermin meja rias hingga pecah. Bahkan bekas lukanya masih belum terlalu kering karena ia tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Saat Hazel ditahan, ia hanya mendapatkan perawa
“Jadi... pelaku pelecehan Hazel adalah kakakmu?" Dokter Lee tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetapi sebisa mungkin ia menjaga cara bicaranya agar tidak terlalu keras.Dokter relawan itu sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia memastikan jika tidak ada orang selain mereka di lorong itu.Handika mengangguk dengan lemah. Ada perasaan lega meskipun hanya sedikit setelah ia membagi rahasianya itu. Setidaknya ia tidak harus menanggung beban itu seorang diri. Namun, tidak bisa dipungkiri jika perasaan bersalah akan selalu singgah di hatinya.“Jadi ini alasannya kenapa kau terlihat begitu peduli dengannya? Handika, ini terlalu berbahaya," kata Dokter Lee.Dokter Lee menanggalkan panggilan ‘Pak’ untuk Handika sebab ia merasa pria itu telah membuka hubungan lebih jauh dari sekedar rekan kerja. Mungkin teman, karena teman selalu berbagi rahasia.“Orang-orang mulai membicarakanmu di kantor. Aku tahu itu karena aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Mungkin setelah ini
“Bagaimana liburanmu? Masih ingin berbuat onar lagi?" cibir Emma.Emma tersenyum puas saat melihat penampilan Hazel yang berantakan. Di sel tikus, seorang tahanan tidak bisa mandi karena hanya ada satu closet duduk saja. Tak ada cermin ataupun wastafel yang menjadi sumber sanitasi bagi tahanan. Wajar saja jika penampilan Hazel sangat kumal. “Jika kau berbuat onar lagi, maka hukuman bisa ditambah menjadi 14 hari. Paham tidak?" Emma langsung mendorong Hazel dan menyuruh wanita itu untuk keluar dari sel tikus.Berbeda dengan Emma yang terlihat puas dengan kondisi Hazel, Handika justru menatap iba ke arah wanita itu. Berada di dalam ruangan sempit dengan banyak lampu yang amat terang membuat sepasang mata Hazel mengering. Rambut panjangnya kusut dan sedikit basah karena keringat, serta bibir dan kulitnya sangat kering —tampak sedikit pecah-pecah. Tubuh Hazel juga semakin kurus karena setiap Handika memberinya jatah makan, wanita itu tidak pernah menghabiskannya. Hanya beberapa sendok saja
Seperti yang tertulis di peraturan, sel tikus memang diperuntukkan bagi para tahanan yang membuat pelanggaran. Jadi, sel tersebut memang didesain khusus untuk memberi efek jera, salah satunya adalah membiarkan sel tersebut dalam kondisi sangat terang selama 24 jam. Tidak ada celah apapun. Ruangan itu benar-benar tertutup rapat. Untuk sirkulasi udaranya, ruangan itu hanya mengandalkan satu blower kecil di langit-langit atap. Sedangkan lampunya ada banyak dan semua menyala dengan terang dengan tombol yang ada di luar agar para tahanan yang sedang dihukum tidak bisa mematikannya.“Hazel...,” panggil Handika karena tidak ada balasan dari wanita itu.Semua kepedulian Handika itu adalah bentuk belas kasihannya. Ia tidak tega ketika melihat seseorang harus menanggung konsekuensi atas ulah yang tidak pernah dilakukannya.“Jawab aku,” pinta Handika.Hazel bisa mendengar suara Handika dengan jelas meskipun pria itu sedang berbicara dengan pelan dan sedikit lembut. Itu karena posisi Hazel masih
“Kau bisa membawanya setelah dia diobati. Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Kondisinya begitu berantakan,” jelas Handika. Handika menatap iba ke arah Hazel. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Karena ia menunduk, tetesan darah segar dari hidung lebih mudah jatuh membasahi pakaiannya. Handika bermaksud memutar otak untuk mencari alasan lain agar Emma tidak jadi membawa Hazel ke sel tikus. “Loe makin hari makin enggak masuk akal, Han. Aturannya kita baru bisa mengobati tahanan setelah mereka menjalani masa hukuman di sel tikus. Di lapas pria juga begitu, ‘kan? Jangan pura-pura lupa!” Saat sudah kesal seperti ini Emma tidak lagi berbicara dengan bahasa formal seperti kesehariannya di tempat kerja. “Sudah, mending loe diem aja, Han! Loe cuma pendatang di sini!” Emma sedikit menyentak tangan Hazel sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. Ia mengabaikan Handika meskipun pria itu berulang kali memangil namanya. “Emma!” Handika tak menyerah. Sekali lagi ia memanggil Emma dengan sua
“Sekarang kelihatan, 'kan, loe itu emang brutal kayak setan!" amuk Farah saat melihat temannya ditonjok oleh Hazel. Saat Farah sedang memisahkan Hazel dan Dita, Lela berlari ke arah pintu dan langsung mengulurkan tangan kanannya di sela-sela pintu besi sel tersebut. Wanita itu mulai berteriak meminta bantuan. “Ibu Polisi! Tolong! Tahanan nomor 1308 menggila!” teriak Lela. “Cepat, teman saya bisa mati kayak pengusaha tajir itu!" teriaknya lagi. Saat Lela sedang sibuk mencari bantuan dengan cara berteriak di sela pintu sel, Farah berniat membalas perbuatan Hazel. Dengan sekuat tenaga, Farah menjambak rambut Hazel dan membenturkan kepalanya ke tembok sel dengan keras. “Ugh!" Seketika telinga Hazel berdengung sesaat setelah kepalanya membentur tembok. Pusing! Itulah yang ia rasakan saat ini. Farah tidak main-main saat membenturkan kepala Hazel. Ia seolah tidak takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi kepada Hazel. Kalau mati? Ia tidak peduli dan mengabaikan itu. “Loe gila!
Mendengar pernyataan itu, tubuh Hazel seketika menegang. Sejenak ia melirik ke kiri dan ke kanan untuk memastikan siapa saja yang mendengar pernyataan itu. Konyol! Setelah pengacara itu, sekarang hadirlah sosok Handika yang berusaha meyakinkannya untuk tetap berjuang. Pikiran Hazel berkecamuk. Jika boleh jujur, ia merasa senang sekaligus sedih. Senang rasanya ketika ada orang lain yang masih berusaha untuk mengembalikan kepercayaannya. Akan tetapi, perasaan sedih masih betah singgah di hatinya. Ia sedih karena semakin ia mencoba untuk percaya, maka memori kelam itu kembali terlintas di otaknya. “Lupakan soal obrolan tadi. Sekarang anda harus membawa saya kembali ke sel segera.”Bukannya menanggapi pernyataan Handika beberapa menit yang lalu, Hazel malah mengalihkan pembicaraan. Ia bahkan mengubah gaya bicaranya kembali formal seperti sebelumnya.Tangan Handika masih mengepal. Saat ini ia benar-benar membutuhkan pelampiasan. Namun, ia berusaha menahan diri untuk tidak memukul apapun
“Aku memang bodoh.”Kalimat sederhana itu mampu membuat Handika tersadar dari lamunannya. Ia sedikit terperanjat, tetapi detik berikutnya ia bisa menguasai diri.“Eh... apa...?” tanya Handika.Satu kata yang terucap dari mulut Handika tadi mampu memicu traumanya. Sebelumnya Hazel tidak sadar jika ia telah meluapkan emosinya di hadapan Handika. Kata 'tertipu' membuat Hazel teringat dengan alasannya mendekam di lapas itu. Karena tertipu ide busuk Rendra, ia berakhir di sel tahanan yang dingin itu.“Seharusnya, anda tidak melakukan ini,” kata Hazel.Meskipun tidak mengatakannya secara gamblang, Handika tahu jika yang dimaksud wanita itu adalah sikapnya saat ini. Sepasang mata indah Hazel menatap lekat ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Handika. Sikap wanita itu menyiratkan satu pesan yang seolah mengatakan jika ia tidak suka saat Handika menyentuhnya.“A... ya. Ini salah. Maaf,” balas Handika.Dengan berat hati Handika melepaskan genggamannya itu.”Segera obati lukamu, setelah i