Soal Handika yang hanya anak angkat, Gio pun tidak tahu. Pria itu cuma tahu kalau temannya itu berasal dari keluarga yang mapan. Lahir berkecukupan dan memiliki wajah yang tampan, serta pesona luar biasa. Handika cukup banyak diidolakan oleh para wanita. Terkadang Gio sempat iri karena Handika lebih dulu ‘laku’ dibanding dirinya. “Han!” panggil Gio lagi. Kesabaran Gio setipis tissue. Pria itu jengkel ketika temannya malah melamun dan mengabaikan pertanyaannya tadi. Yang merasa dipanggil langsung mengibaskan kedua tangannya. Ia tidak mau Gio lebih dulu menonjok wajahnya. “Sorry, sorry,” kata Handika. Gio mendengus. Ia kembali menatap serius ke arah Handika kemudian menanyakan kembali alasan temannya itu ingin pindah tempat kerja. Handika kurang bersyukur —pikir Gio. Masih untung Handika ditempatkan di penjara di pusat perkotaan yang ramai —bukan pindah pulau yang jauh dengan orang tuanya yang tinggal di Jogja.“Ada yang harus aku lakukan di sana,” aku Handika. “Maksudmu? Kau puny
Hazel mengangguk. Sesaat setelah Hazel keluar dari sel tahanan itu, Emma segera memborgol kedua tangannya. Sipir wanita itu menuntun Hazel ke ruangan khusus. Ruangan itu diperuntukkan bagi visitor yang ingin bertemu dengan tahanan. Sesuai permintaan visitor, Hazel diarahkan ke ruangan yang lebih privat, bukan ruangan umum yang biasa ditempati banyak tamu dan tahanan yang saling bertemu. Ruangan khusus itu mirip seperti ruang interogasi, hanya saja tidak ada kaca dua arah. Hanya ada dua buah kursi yang dibatasi sebuah meja.“Hei, Nona Hazel,” sapa Haris begitu pria itu melihat Hazel tiba.Rupanya tamu Hazel adalah Haris —pengacaranya. Seperti yang sudah dikatakan Haris, pria itu akan menemui Hazel untuk menanyakan soal banding. Jika berkenan, Haris masih bisa membantu Hazel untuk mengajukan banding ke pengadilan."Waktu kalian terbatas, jadi manfaatkan dengan baik," kata Emma sebelum ia meninggalkan ruangan itu."Baik, kami mengerti," balas Haris.Kini Hazel sudah duduk di kursi yang b
“Stop, Ran!” jerit Hazel.Hazel berusaha melepaskan jambakan Rani pada rambutnya. Sayangnya kekuatan Rani jauh lebih besar. Ia sampai terseret beberapa langkah dari tempatnya jatuh tadi.“Ini hukumannya kalau kamu berani seenaknya kepadaku! Wanita Jalang!” teriak Rani.Rani tidak berhenti menjambak rambut Hazel, padahal Hazel berulang kali memintanya untuk berhenti.Telah terjadi pertengkaran, tetapi tidak ada satupun tahanan yang melerai mereka. Sementara itu sipir yang bertugas untuk mengawasi juga tidak ada. Emma sudah pergi sejak tadi karena ia ingin menyambut kedatangan seseorang.“Hei!” Teriakan itu cukup keras, sampai-sampai membuat Rani menoleh ke arah pintu masuk lapangan untuk melihat siapa yang telah mencegah aksinya itu.“Lepaskan dia!” Pria yang baru saja berteriak itu langsung berlari ke arah Rani dan Hazel.Tidak hanya pria itu saja yang menghampiri Hazel, tetapi ada juga Emma. Wanita itu sudah kembali bersama dengan seseorang yang tadi ia sambut.“Kami memintamu untuk m
“Aku memang bodoh.”Kalimat sederhana itu mampu membuat Handika tersadar dari lamunannya. Ia sedikit terperanjat, tetapi detik berikutnya ia bisa menguasai diri.“Eh... apa...?” tanya Handika.Satu kata yang terucap dari mulut Handika tadi mampu memicu traumanya. Sebelumnya Hazel tidak sadar jika ia telah meluapkan emosinya di hadapan Handika. Kata 'tertipu' membuat Hazel teringat dengan alasannya mendekam di lapas itu. Karena tertipu ide busuk Rendra, ia berakhir di sel tahanan yang dingin itu.“Seharusnya, anda tidak melakukan ini,” kata Hazel.Meskipun tidak mengatakannya secara gamblang, Handika tahu jika yang dimaksud wanita itu adalah sikapnya saat ini. Sepasang mata indah Hazel menatap lekat ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Handika. Sikap wanita itu menyiratkan satu pesan yang seolah mengatakan jika ia tidak suka saat Handika menyentuhnya.“A... ya. Ini salah. Maaf,” balas Handika.Dengan berat hati Handika melepaskan genggamannya itu.”Segera obati lukamu, setelah i
Mendengar pernyataan itu, tubuh Hazel seketika menegang. Sejenak ia melirik ke kiri dan ke kanan untuk memastikan siapa saja yang mendengar pernyataan itu. Konyol! Setelah pengacara itu, sekarang hadirlah sosok Handika yang berusaha meyakinkannya untuk tetap berjuang. Pikiran Hazel berkecamuk. Jika boleh jujur, ia merasa senang sekaligus sedih. Senang rasanya ketika ada orang lain yang masih berusaha untuk mengembalikan kepercayaannya. Akan tetapi, perasaan sedih masih betah singgah di hatinya. Ia sedih karena semakin ia mencoba untuk percaya, maka memori kelam itu kembali terlintas di otaknya. “Lupakan soal obrolan tadi. Sekarang anda harus membawa saya kembali ke sel segera.”Bukannya menanggapi pernyataan Handika beberapa menit yang lalu, Hazel malah mengalihkan pembicaraan. Ia bahkan mengubah gaya bicaranya kembali formal seperti sebelumnya.Tangan Handika masih mengepal. Saat ini ia benar-benar membutuhkan pelampiasan. Namun, ia berusaha menahan diri untuk tidak memukul apapun
“Sekarang kelihatan, 'kan, loe itu emang brutal kayak setan!" amuk Farah saat melihat temannya ditonjok oleh Hazel. Saat Farah sedang memisahkan Hazel dan Dita, Lela berlari ke arah pintu dan langsung mengulurkan tangan kanannya di sela-sela pintu besi sel tersebut. Wanita itu mulai berteriak meminta bantuan. “Ibu Polisi! Tolong! Tahanan nomor 1308 menggila!” teriak Lela. “Cepat, teman saya bisa mati kayak pengusaha tajir itu!" teriaknya lagi. Saat Lela sedang sibuk mencari bantuan dengan cara berteriak di sela pintu sel, Farah berniat membalas perbuatan Hazel. Dengan sekuat tenaga, Farah menjambak rambut Hazel dan membenturkan kepalanya ke tembok sel dengan keras. “Ugh!" Seketika telinga Hazel berdengung sesaat setelah kepalanya membentur tembok. Pusing! Itulah yang ia rasakan saat ini. Farah tidak main-main saat membenturkan kepala Hazel. Ia seolah tidak takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi kepada Hazel. Kalau mati? Ia tidak peduli dan mengabaikan itu. “Loe gila!
“Kau bisa membawanya setelah dia diobati. Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Kondisinya begitu berantakan,” jelas Handika. Handika menatap iba ke arah Hazel. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Karena ia menunduk, tetesan darah segar dari hidung lebih mudah jatuh membasahi pakaiannya. Handika bermaksud memutar otak untuk mencari alasan lain agar Emma tidak jadi membawa Hazel ke sel tikus. “Loe makin hari makin enggak masuk akal, Han. Aturannya kita baru bisa mengobati tahanan setelah mereka menjalani masa hukuman di sel tikus. Di lapas pria juga begitu, ‘kan? Jangan pura-pura lupa!” Saat sudah kesal seperti ini Emma tidak lagi berbicara dengan bahasa formal seperti kesehariannya di tempat kerja. “Sudah, mending loe diem aja, Han! Loe cuma pendatang di sini!” Emma sedikit menyentak tangan Hazel sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. Ia mengabaikan Handika meskipun pria itu berulang kali memangil namanya. “Emma!” Handika tak menyerah. Sekali lagi ia memanggil Emma dengan sua
Seperti yang tertulis di peraturan, sel tikus memang diperuntukkan bagi para tahanan yang membuat pelanggaran. Jadi, sel tersebut memang didesain khusus untuk memberi efek jera, salah satunya adalah membiarkan sel tersebut dalam kondisi sangat terang selama 24 jam. Tidak ada celah apapun. Ruangan itu benar-benar tertutup rapat. Untuk sirkulasi udaranya, ruangan itu hanya mengandalkan satu blower kecil di langit-langit atap. Sedangkan lampunya ada banyak dan semua menyala dengan terang dengan tombol yang ada di luar agar para tahanan yang sedang dihukum tidak bisa mematikannya.“Hazel...,” panggil Handika karena tidak ada balasan dari wanita itu.Semua kepedulian Handika itu adalah bentuk belas kasihannya. Ia tidak tega ketika melihat seseorang harus menanggung konsekuensi atas ulah yang tidak pernah dilakukannya.“Jawab aku,” pinta Handika.Hazel bisa mendengar suara Handika dengan jelas meskipun pria itu sedang berbicara dengan pelan dan sedikit lembut. Itu karena posisi Hazel masih
Tidak seperti kebanyakan sipir yang bertugas di lapas itu, nada bicara Handika saat ia memberi perintah kepada Hazel tidak kasar. Meskipun demikian, jika didengar baik-baik, Handika berbicara dengan nada dinginnya. Sejujurnya itu lebih menyeramkan daripada bentakan, tetapi Hazel mengabaikannya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan di lapas? Ia bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang tahanan, wajar saja jika sipir bersikap semena-mena dengannya. Perintah singkat itu langsung dituruti oleh Hazel meskipun dengan setengah hati ia melakukannya. Pikirnya daripada Hazel harus berdebat, lebih baik ia melaksanakan perintah itu. Hazel sadar diri dengan posisinya. Jika ia melawan perintah seorang sipir, mungkin ia bisa kena marah lagi seperti yang dilakukan Emma. Ya, meskipun sejauh ini Handika tidak pernah bersikap kasar kepadanya. Satu-satunya sipir yang bersikap baik kepada Hazel di lapas itu adalah Handika. Setelah memastikan Hazel sudah duduk, Handika segera bergegas mengambil jatah m
“Berhenti membuatku muak dan mencari perhatian orang-orang di sini! Kau mencoba menarik simpati dengan bersikap lemah seperti ini, hah? Kau cuma perempuan kasar yang gila harta milik suami orang, jadi lebih baik kau pahami batasanmu,” cecar Emma. Emma melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Hazel. Hazel merasa lega karena Emma tidak lagi menahannya. Ia tidak lagi merasakan sakit akibat dari cengkeraman tangan Emma. Namun, ternyata Hazel salah. Emma kembali menyakiti Hazel dengan menjambak rambut panjangnya hingga kepala wanita itu sedikit terdongak. Sekarang Hazel bisa melihat langit-langit kantin di atasnya.“Ouch!” pekik Hazel kesakitan.Jambakan itu mengingatkan Hazel dengan kejadian buruk yang menimpanya. Ia teringat saat Rendra menarik rambut panjangnya dan ia didorong hingga wajahnya membentur cermin meja rias hingga pecah. Bahkan bekas lukanya masih belum terlalu kering karena ia tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Saat Hazel ditahan, ia hanya mendapatkan perawa
“Jadi... pelaku pelecehan Hazel adalah kakakmu?" Dokter Lee tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetapi sebisa mungkin ia menjaga cara bicaranya agar tidak terlalu keras.Dokter relawan itu sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia memastikan jika tidak ada orang selain mereka di lorong itu.Handika mengangguk dengan lemah. Ada perasaan lega meskipun hanya sedikit setelah ia membagi rahasianya itu. Setidaknya ia tidak harus menanggung beban itu seorang diri. Namun, tidak bisa dipungkiri jika perasaan bersalah akan selalu singgah di hatinya.“Jadi ini alasannya kenapa kau terlihat begitu peduli dengannya? Handika, ini terlalu berbahaya," kata Dokter Lee.Dokter Lee menanggalkan panggilan ‘Pak’ untuk Handika sebab ia merasa pria itu telah membuka hubungan lebih jauh dari sekedar rekan kerja. Mungkin teman, karena teman selalu berbagi rahasia.“Orang-orang mulai membicarakanmu di kantor. Aku tahu itu karena aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Mungkin setelah ini
“Bagaimana liburanmu? Masih ingin berbuat onar lagi?" cibir Emma.Emma tersenyum puas saat melihat penampilan Hazel yang berantakan. Di sel tikus, seorang tahanan tidak bisa mandi karena hanya ada satu closet duduk saja. Tak ada cermin ataupun wastafel yang menjadi sumber sanitasi bagi tahanan. Wajar saja jika penampilan Hazel sangat kumal. “Jika kau berbuat onar lagi, maka hukuman bisa ditambah menjadi 14 hari. Paham tidak?" Emma langsung mendorong Hazel dan menyuruh wanita itu untuk keluar dari sel tikus.Berbeda dengan Emma yang terlihat puas dengan kondisi Hazel, Handika justru menatap iba ke arah wanita itu. Berada di dalam ruangan sempit dengan banyak lampu yang amat terang membuat sepasang mata Hazel mengering. Rambut panjangnya kusut dan sedikit basah karena keringat, serta bibir dan kulitnya sangat kering —tampak sedikit pecah-pecah. Tubuh Hazel juga semakin kurus karena setiap Handika memberinya jatah makan, wanita itu tidak pernah menghabiskannya. Hanya beberapa sendok saja
Seperti yang tertulis di peraturan, sel tikus memang diperuntukkan bagi para tahanan yang membuat pelanggaran. Jadi, sel tersebut memang didesain khusus untuk memberi efek jera, salah satunya adalah membiarkan sel tersebut dalam kondisi sangat terang selama 24 jam. Tidak ada celah apapun. Ruangan itu benar-benar tertutup rapat. Untuk sirkulasi udaranya, ruangan itu hanya mengandalkan satu blower kecil di langit-langit atap. Sedangkan lampunya ada banyak dan semua menyala dengan terang dengan tombol yang ada di luar agar para tahanan yang sedang dihukum tidak bisa mematikannya.“Hazel...,” panggil Handika karena tidak ada balasan dari wanita itu.Semua kepedulian Handika itu adalah bentuk belas kasihannya. Ia tidak tega ketika melihat seseorang harus menanggung konsekuensi atas ulah yang tidak pernah dilakukannya.“Jawab aku,” pinta Handika.Hazel bisa mendengar suara Handika dengan jelas meskipun pria itu sedang berbicara dengan pelan dan sedikit lembut. Itu karena posisi Hazel masih
“Kau bisa membawanya setelah dia diobati. Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Kondisinya begitu berantakan,” jelas Handika. Handika menatap iba ke arah Hazel. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Karena ia menunduk, tetesan darah segar dari hidung lebih mudah jatuh membasahi pakaiannya. Handika bermaksud memutar otak untuk mencari alasan lain agar Emma tidak jadi membawa Hazel ke sel tikus. “Loe makin hari makin enggak masuk akal, Han. Aturannya kita baru bisa mengobati tahanan setelah mereka menjalani masa hukuman di sel tikus. Di lapas pria juga begitu, ‘kan? Jangan pura-pura lupa!” Saat sudah kesal seperti ini Emma tidak lagi berbicara dengan bahasa formal seperti kesehariannya di tempat kerja. “Sudah, mending loe diem aja, Han! Loe cuma pendatang di sini!” Emma sedikit menyentak tangan Hazel sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. Ia mengabaikan Handika meskipun pria itu berulang kali memangil namanya. “Emma!” Handika tak menyerah. Sekali lagi ia memanggil Emma dengan sua
“Sekarang kelihatan, 'kan, loe itu emang brutal kayak setan!" amuk Farah saat melihat temannya ditonjok oleh Hazel. Saat Farah sedang memisahkan Hazel dan Dita, Lela berlari ke arah pintu dan langsung mengulurkan tangan kanannya di sela-sela pintu besi sel tersebut. Wanita itu mulai berteriak meminta bantuan. “Ibu Polisi! Tolong! Tahanan nomor 1308 menggila!” teriak Lela. “Cepat, teman saya bisa mati kayak pengusaha tajir itu!" teriaknya lagi. Saat Lela sedang sibuk mencari bantuan dengan cara berteriak di sela pintu sel, Farah berniat membalas perbuatan Hazel. Dengan sekuat tenaga, Farah menjambak rambut Hazel dan membenturkan kepalanya ke tembok sel dengan keras. “Ugh!" Seketika telinga Hazel berdengung sesaat setelah kepalanya membentur tembok. Pusing! Itulah yang ia rasakan saat ini. Farah tidak main-main saat membenturkan kepala Hazel. Ia seolah tidak takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi kepada Hazel. Kalau mati? Ia tidak peduli dan mengabaikan itu. “Loe gila!
Mendengar pernyataan itu, tubuh Hazel seketika menegang. Sejenak ia melirik ke kiri dan ke kanan untuk memastikan siapa saja yang mendengar pernyataan itu. Konyol! Setelah pengacara itu, sekarang hadirlah sosok Handika yang berusaha meyakinkannya untuk tetap berjuang. Pikiran Hazel berkecamuk. Jika boleh jujur, ia merasa senang sekaligus sedih. Senang rasanya ketika ada orang lain yang masih berusaha untuk mengembalikan kepercayaannya. Akan tetapi, perasaan sedih masih betah singgah di hatinya. Ia sedih karena semakin ia mencoba untuk percaya, maka memori kelam itu kembali terlintas di otaknya. “Lupakan soal obrolan tadi. Sekarang anda harus membawa saya kembali ke sel segera.”Bukannya menanggapi pernyataan Handika beberapa menit yang lalu, Hazel malah mengalihkan pembicaraan. Ia bahkan mengubah gaya bicaranya kembali formal seperti sebelumnya.Tangan Handika masih mengepal. Saat ini ia benar-benar membutuhkan pelampiasan. Namun, ia berusaha menahan diri untuk tidak memukul apapun
“Aku memang bodoh.”Kalimat sederhana itu mampu membuat Handika tersadar dari lamunannya. Ia sedikit terperanjat, tetapi detik berikutnya ia bisa menguasai diri.“Eh... apa...?” tanya Handika.Satu kata yang terucap dari mulut Handika tadi mampu memicu traumanya. Sebelumnya Hazel tidak sadar jika ia telah meluapkan emosinya di hadapan Handika. Kata 'tertipu' membuat Hazel teringat dengan alasannya mendekam di lapas itu. Karena tertipu ide busuk Rendra, ia berakhir di sel tahanan yang dingin itu.“Seharusnya, anda tidak melakukan ini,” kata Hazel.Meskipun tidak mengatakannya secara gamblang, Handika tahu jika yang dimaksud wanita itu adalah sikapnya saat ini. Sepasang mata indah Hazel menatap lekat ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Handika. Sikap wanita itu menyiratkan satu pesan yang seolah mengatakan jika ia tidak suka saat Handika menyentuhnya.“A... ya. Ini salah. Maaf,” balas Handika.Dengan berat hati Handika melepaskan genggamannya itu.”Segera obati lukamu, setelah i