Saat ditanya, Heri hanya diam.
"Bagaimana jika kita melaporkan tindak pelecehan ini lebih dulu sebelum orang lain melaporkan putri kita? Dengan begitu putri kita tidak bersalah, ‘kan?" usul wanita paruh baya itu.“Aku tidak mau terlibat dengan polisi. Kita ini orang miskin! Hukum di negara ini tidak pernah memihak kita!” sembur Heri setelah mendengar usulan dari Citra.Citra tersentak. Air matanya sejak tadi sudah deras mengalir membasahi pipi, apalagi setelah Heri membentaknya dengan lantang. Hatinya semakin bertambah sakit saat Heri tidak menyetujui usulannya itu.“Lalu bagaimana? Apa kita hanya akan berdiam diri sampai anak kita dilaporkan? Putri kita baru saja dilecehkan! Masa depannya telah hancur! Apa kau tidak memikirkan perasaannya?!” cecar Citra.Citra sudah tidak mampu menahan dirinya ketika melihat sikap Heri yang begitu acuh. Suaminya itu sama sekali tidak mengambil tindakan setelah mengetahui anaknya dilecehkan. Bahkan, respons pertama Heri kepada Hazel sangatlah tidak pantas. Bagaimana bisa seorang ayah menyalahkan putrinya sendiri atas pelecehan yang diterimanya?Ketika melihat emosi Citra meledak, Heri terkejut lalu ia langsung menampar pipi kiri istrinya itu.“Beraninya kau! Kau pikir kejadian ini terjadi karena apa?! Karena putri bodohmu itu menolak untuk dinikahi pria kaya dan mapan seperti Rendra!” sungut Heri tak mau kalah dengan cecaran istrinya tadi.Heri bangun dari tempat duduknya. Sebelum ia kembali ke kamarnya, ia mengatakan sesuatu pada istrinya itu.“Terserah kalian mau melakukan apa! Aku tidak mau terlibat dalam masalah ini. Terserah kalian jika kalian memang ingin melaporkan kejadian ini ke polisi, tetapi keputusanku adalah kabur dari sini! Aku tidak sudi membela anak yang tak tahu diri itu!” tekan Heri.Heri masih saja menyalahkan Hazel atas kejadian ini. Ia masih tidak mau menerima kematian Rendra yang dibunuh oleh putrinya. Pikirannya terfokus pada penolakan Hazel yang menyebabkan pelecehan ini.Mendengar suaminya lepas tangan, tangisan Citra semakin kencang. Namun, ia tidak mau putrinya semakin sedih jadi ia membekap mulutnya sendiri dengan tangan.Malam itu tidak ada keputusan yang diambil oleh ketiganya. Hazel juga masih menangis di kamar mandi sampai Citra harus membujuk putrinya itu untuk menyudahi aktivitasnya.Ketika pagi menjelang, tubuh Hazel terasa sakit dan pegal-pegal. Semalam wanita itu sama sekali tidak bisa tidur. Ia selalu mencubit tangannya sendiri ketika hendak terlelap, karena setiap kali ia jatuh tertidur, ia memimpikan pelecehan yang dilakukan oleh Rendra.“Nak, ibu sudah membuatkan bubur untukmu. Ayo dimakan dulu, sebelum dingin,” bujuk Citra saat melihat bubur buatannya tidak disentuh oleh Hazel.“Aku langsung berangkat saja.”Hazel berdiri dari kursinya. Ia meraih tas selempang yang ada di kursi sebelahnya lalu berjalan menghampiri ibunya itu.Citra sudah membujuk Hazel agar putrinya itu tidak pergi ke kampus. Namun, Hazel bersikukuh untuk berangkat. Ketika berpamitan, Hazel bertanya kepada ibunya dengan suara lirih.“Bu, apa ini salahku?” tanyanya.Citra tahu bagaimana sakitnya menjadi Hazel. Ia hampir menangis, tetapi saat melihat putrinya hanya diam tanpa berekspresi, Citra memilih untuk mati-matian menahan air matanya itu.“Tidak, Sayang. Jangan pernah berpikir seperti itu! Kau adalah korban dan dia pelakunya. Dia adalah orang yang pantas mendapatkan ini semua!” Citra meraih tangan putrinya itu, lalu memeluknya dengan erat.“Aku ingin ke kantor polisi.”Ketika mendengar keputusan putrinya itu, Citra hanya bisa mengangguk setuju. Seperti yang sudah diusulkannya semalam, ia memang ingin melaporkan tindakan Rendra atas pelecehan terhadap putrinya.“Ibu temani, ya?” tawar Citra.Hazel menggelengkan kepalanya. Ia menolak untuk ditemani oleh Citra. Wanita itu bilang jika Citra tidak seharusnya ikut karena ia merasa ibunya tidak harus menanggung masalah yang dideritanya itu. Lagipula ayahnya saja tidak peduli. Sejak tadi Hazel belum melihat ayahnya. Bahkan saat sarapan, Heri masih juga belum kelihatan batang hidungnya.Seperti yang sudah dikatakan Heri semalam, rupanya pria itu berangkat pagi buta untuk mencari uang tambahan agar ia bisa pergi meninggalkan istri dan anaknya.***Hazel akhirnya berangkat. Ia bisa berangkat ke kampus dengan bersepeda, tetapi kali ini ia memutuskan untuk berjalan kaki. Tubuhnya terasa masih sakit, jadi ia tidak mau memaksakan diri untuk menggunakan sepedanya itu.Butuh waktu sekitar 30 menit untuk tiba di kampus jika berjalan kaki. Itulah sebabnya Hazel harus berangkat pagi-pagi sekali agar ia tidak terlambat tiba di kampusnya. Lagipula ia masih harus mampir ke kantor polisi seperti yang sudah ia rencanakan sebelumnya.Beberapa tetangga Hazel sampai sekarang masih saja terheran-heran kenapa ia bisa melanjutkan pendidikannya. Hazel memang berasal dari keluarga miskin, tetapi ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh karena ia adalah siswi berprestasi di SMA-nya dulu. Jadi itulah sebabnya Hazel bisa menjadi salah satu mahasiswa di kampus ternama kota itu.Setelah 25 menit perjalanan, akhirnya Hazel sampai di depan kantor polisi. Awalnya ia ragu untuk masuk, tetapi setelah memori menyakitkan itu kembali terlintas dibenaknya, ia melanjutkan langkah kakinya.“Saya ingin membuat laporan,” ucap Hazel yang kini sedang berdiri berhadapan dengan salah satu polisi di kantor itu.Polisi itu mengernyitkan alisnya. Ia memandangi Hazel dari atas sampai bawah. Penampilan Hazel seperti kebanyakan orang-orang yang selalu mampir ke kantornya untuk menanyai kelanjutan kasus soal pencurian hewan ternaknya.“Ya, tapi jujur saja, Nona, ini masih terlalu pagi bagi kami untuk menerima atau memberikan tanggapan atas laporan kejahatan. Kembalilah sekitar 2 atau 3 jam lagi. Kami sudah siap untuk menerima laporan darimu,” tolak polisi itu sambil menatap kesal ke arah Hazel.Hazel tersentak. Ia sangat kecewa dengan tanggapan polisi yang seharusnya melindungi dan memberikan keamanan untuknya. Karena penampilan Hazel yang sederhana, polisi itu mengira Hazel akan melaporkan hal sepele seperti pencurian ayam atau bebek yang akhir-akhir ini sering dilakukan oleh orang-orang di daerah sana. Polisi itu memang agak berat hati untuk membantu. Ia memang selalu menolak beberapa orang yang hendak melaporkan kasus karena tidak mau berpikir keras di jam-jam sepagi ini.“Tunggulah di sana, Nona. Kami akan menerima laporanmu sekitar 30 menit lagi.”Tiba-tiba seorang pria berseragam biru muda yang tadi berdiri di samping polisi itu berbicara sambil menunjuk ke arah sofa di sudut ruangan. Orang itu bukan petugas di kantor tersebut karena pakaiannya berbeda warna. Meskipun perintah tadi bukan berasal dari mulut polisi yang tadi Hazel ajak bicara, ia tetap menuruti perintahnya.Hazel segera berdiri dari kursinya lalu berjalan ke sofa yang ditunjuk oleh pria tadi.“Heh, sembarang kamu ya, Handika! Selama satu minggu penuh kami selalu menerima laporan tentang kasus pencurian ayam! Aku tidak mau mengurusnya. Kamu pikir tidak lelah, hah?” protes polisi yang tadi menolak Hazel.Handika —nama pria yang menyuruh Hazel untuk menunggu itu— hanya memamerkan deret giginya yang rapi. Ia tersenyum lebar tanpa dosa karena secara tidak langsung ia baru saja mengatur pekerjaan temannya. Ia memiliki perbedaan tugas pokok dengan polisi berseragam cokelat itu, tetapi ia malah menyuruh temannya itu untuk menerima laporan Hazel sekitar 30 menit lagi.“Masih mending hanya kasus pencurian ayam, bagaimana kalau pembunuhan? Memangnya kamu mau departemenmu didemo rakyat karena tak becus mengurusi keamanan wilayah?” balas Handika dengan santai.“Aku sih cuma bertugas menunggu di penjara, ya. Kalau kamu ya siap-siap pusing saja sih,” ejek Handika kepada temannya itu karena ia tidak akan didemo kalau warga merasa dirugikan perihal keamanan kampungnya.Handika adalah sipir penjara yang sengaja mampir ke kantor polisi untuk menemui temannya yang sedang bertugas itu.“Kamu sama aja ya! Siap-siap menunggu seorang pembunuh di penjara.” Polisi itu balas meledek Handika.Handika menanggapi ledekan itu dengan tawa renyahnya. Tanpa mereka sadari Hazel mendengar pembicaraan kedua pria itu. Jantungnya berdegup kencang saat obrolan tersebut mengarah ke kasus yang hendak ia laporankan.Niat Hazel ke kantor polisi itu karena ingin melaporkan pelecehan yang dialaminya. Dan di dalam kasusnya itu ada kejadian pembunuhan yang tak sengaja ia lakukan.Seketika niat Hazel menciut karena ia takut dan malu mengatakannya kepada polisi itu. Ia lalu berdiri dari sofanya. Wanita itu hendak berjalan ke arah pintu keluar untuk pergi, tetapi pintu kaca tersebut lebih dulu terbuka dengan kasar.Brak!Seorang wanita dewasa baru saja masuk ke kantor polisi itu. Ia sempat diam di depan pintu sambil memperhatikan sekitar. Wanita itu menatap tajam ke arah Hazel seolah ia sudah mengenal lama dan sekarang ia terlihat sangat membencinya.“Wanita itu...." Wanita itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Hazel.Hazel mematung di tempat saat wanita itu menunjuk ke arahnya sambil menatap tajam."Dia telah membunuh suamiku!” tuduh wanita itu.Setelah menuduh, wanita itu langsung berlari ke arah Hazel. Bersamaan dengan langkah kakinya itu, ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil sesuatu. Rupanya wanita itu menyimpan sebuah gunting kain lalu menodongkannya ke arah Hazel. “Hei!” teriak Handika sambil berlari ke arah Hazel. Di waktu yang bersamaan, satu-satunya polisi yang berjaga di sana langsung berlari ke arah wanita itu. Ia hendak mencegah wanita itu sebelum bertindak nekat, sementara itu Handika berusaha melindungi Hazel. “Ough!” pekik Handika. Handika memang berhasil mengamankan Hazel dengan cara menarik wanita itu ke belakang tubuhnya, tetapi ia terpaksa harus mengorbankan dirinya sendiri. Wanita yang tiba-tiba datang tadi terlanjur menghunuskan guntingnya hingga melukai lengan bawah Handika. Gunting itu cukup tajam, jadi ketika wanita itu menusukkannya dengan kuat, benda tajam itu sanggup merobek kulit lengan Handika. “Bersembunyi di belakangku,” perintah Handika sembari berdiri di depan Hazel agar tubuh
Ketika mendengar perintah penahanan itu, Hanzel langsung meloncat turun dari tempat tidurnya. Ia sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang korban pelecehan yang hendak melaporkan kasusnya malah ditahan atas tuduhan pembunuhan? Ia korban, bukan pelaku! “Aku tidak melakukan apapun! K-Kalian tidak berhak menahanku!” seru Hazel. Melihat Hazel terlihat panik, Handika langsung berdiri dari kursinya. Pria itu menatap ke arah Hazel. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya ketika seorang polisi membawa surat penahanan yang sah. “Kami sudah memeriksa TKP. Kami menemukan sebuah surat yang dapat dijadikan bukti bahwa anda terlihat dalam kasus pembunuhan korban R!” jelas polisi itu. Dua orang polisi lainnya langsung berlari ke arah Hazel. Mereka melakukan hal yang sama seperti Casey tadi, yaitu memborgol kedua tangan Hazel dengan plastic handcuffs.Dua orang itu langsung mendorong tubuh Hazel dan memaksanya untuk keluar dari ruangan itu. Mereka hendak membawa Hazel ke mobil polisi mereka untuk memb
“Nona! Anda mendengarkan saya atau tidak?” tanya pengacara itu sambil menggebrak meja.“Jika anda tidak mau berbicara, maka kasus ini sudah jelas akan dimenangkan oleh keluarga korban! Asal anda tahu, jika kasus ini terbukti benar, maka sesuai dalam pasal 338 KUHP, anda akan terjerat hukuman maksimal pidana mati!" tegas pengacara itu.Pengacara itu terpancing emosi saat melihat Hazel masih saja diam sambil menundukkan kepalanya.Gertakan itu akhirnya membuat Hazel menegakkan kembali kepalanya secara perlahan. Untuk pertama kalinya sepasang mata Hazel bertemu pandang dengan mata pengacara yang penuh kilat amarah itu.Kenapa sekarang jadi Hazel yang bersalah? Ia korban di sini, tetapi orang-orang seolah yakin jika ia adalah pembunuhnya. Bahkan sedikit pun tidak ada perlakuan baik dari pihak yang berwenang untuknya.“Tapi aku benar-benar tidak membunuhnya! Aku berani bersumpah!” teriak Hazel.Tak betah dengan desakan itu, akhirnya Hazel menceritakan kronologis kejadian malam itu, mulai da
Polisi itu tidak memberikan kesempatan bagi Hazel untuk berbicara. Ia langsung menarik paksa Hazel, lalu membawa wanita itu keluar dari ruangan tersebut.Tentunya sebelum membawa Hazel ke rumah tahanan, ia memastikan bahwa borgol di tangan Hazel masih aman. Ia tidak mau Hazel kabur, meskipun hal tersebut tidak mungkin terjadi. “Izinkan saya bertemu dengan ibu saya terlebih dahulu. Ada yang ingin saya sampaikan,” pinta Hazel saat polisi itu mendorong tubuhnya ke arah pintu keluar kantor kepolisian.“Tidak ada hak istimewa bagi anda, Nona!” tolak polisi itu.Meskipun sudah ditolak, Hazel tetap memohon-mohon agar ia diizinkan untuk menemui ibunya. Sayangnya, untuk kesekian kalinya Hazel ditolak, bahkan polisi itu sempat membentak dan mendorongnya dengan kasar karena permintaannya itu.Saat kaki Hazel baru saja menginjak teras depan kantor kepolisian, ia langsung disambut dengan banyak cahaya lampu kamera yang ditujukan ke arahnya. Rupanya sudah ada puluhan wartawan yang siap memburu beri
Gio kembali menarik tangan Handika. Pria itu membawa temannya semakin masuk ke TKP. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah halaman rumah Rendra. Karena Handika bersama dengan Gio, pria itu bebas masuk ke TKP asalkan tidak menyentuh apapun dan tidak mengganggu penyelidikan.“Aku tidak tahu, tetapi aku curiga jika ini bukan pembunuhan yang disengaja. Masa' iya seorang wanita muda tega membunuh pria yang umurnya jauh di atasnya? Dunia sudah beneran rusak dong,” ujar Gio mencoba menerka kasus yang ia tangani itu.Handika mengangguk setuju dengan pendapat Gio. Ia sedikit tahu sifat korban, jadi ia setuju jika kasus ini bukan murni pembunuhan, melainkan ada faktor lain yang membuat tersangka —Hazel— berani melakukan tindak kriminal yang begitu menggegerkan.“By the way, kamu kenal pengacara di sekitar sini tidak? Yang lumayan murah gitu, jangan yang mahal-mahal, aku tidak mampu," tanya Handika tiba-tiba.“Hah? Kamu kenapa tiba-tiba ingin mencari pengacara? Memangnya kamu terlibat kasus apa?
Akhirnya seorang polisi datang, tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ia membawa nampan dari stainless yang berisi makan malam untuk Hazel. Ia meletakkan nampan itu tepat di depan pintu sel sebelum akhirnya ia menguncinya kembali. “Besok pagi anda baru bisa pergi untuk menemui pengacara yang baru,” ucap polisi itu. Hazel terbelalak. Ia tidak salah dengar jika polisi tadi baru saja mengatakan bahwa Hazel akan bertemu dengan pengacara yang baru. Apakah artinya Hazel memiliki kesempatan untuk membela dirinya lebih baik daripada sebelumnya? Tak terasa pagi telah tiba. Samar-samar Hazel mendengar suara aktivitas dari ruangan di depannya. Tak lama setelahnya, seorang polisi datang dan langsung membuka pintu sel itu. “Nona, ikut kami!” katanya. Seperti yang sudah disepakati kemarin malam, pagi ini Hazel akan menemui pengacaranya yang baru. Ia kembali dibawa ke gedung utama. Ia ditinggal disatu ruangan kecil yang nantinya menjadi tempat pertemuan dengan pengacara baru itu.
“Dan tolong sampaikan terima kasih untuknya, Pak,” lanjut Hazel sebagai penutup dari obrolannya siang itu. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Haris jika kliennya menolak untuk mengajukan banding. Namun, Haris dan Hazel masih memiliki waktu selama 7 hari. Jika selama 7 hari Hazel berubah pikiran, maka ia bisa mengajukan banding. Akan tetapi, jika banding tetap tidak diajukan dalam waktu 7 hari sejak vonis, maka terdakwa dianggap sudah menerima keputusan hakim sebagai mana yang telah disebutkan dalam persidangan.“Saya tetap akan menemui anda selama 7 hari ke depan. Mohon dipertimbangkan,” ucap Haris sebelum ia pamit undur diri dari ruangan itu.Setelah kepergian pengacaranya itu, Hazel diminta untuk menunggu hingga petugas dari lapas menjemputnya. Ia meminta agar polisi mengizinkannya menunggu di ruangan itu, bukan di sel-nya yang dingin.Sebenarnya Citra sejak tadi memohon-mohon agar diperbolehkan menemui Hazel, tetapi pihak kepolisian melarangnya. Mereka mengatakan kepada Citra jika Ha
Hazel tidak menanggapi panggilan itu. Ia hanya diam sambil melihat kursi kemudi di depannya. “Nona, anda masih mengingatku, ‘kan?" Meskipun sudah ditolak secara tidak langsung oleh Hazel, Handika tetap tidak mau menyerah. Pria itu kembali mencoba untuk mengajak Hazel berbicara. Sebelum suara lembut Hazel terdengar di telinganya lagi, ia tidak akan putus asa meskipun harus ditolak untuk sekian kalinya.Lagi dan lagi... tak ada respons dari Hazel. Wanita itu betah membungkam mulutnya sendiri. Hingga akhirnya suara lembut wanita itu terdengar juga.“Masih berapa kilometer lagi untuk sampai ke lapas?” tanya Hazel.Tanpa sadar Handika tersenyum samar saat mendengar Hazel berbicara. Ada untungnya mereka tidak duduk sejajar, jadi Handika tidak perlu menutupi senyum spontannya itu agar tidak dilihat oleh Hazel. Melalui spion tengah, Handika mencoba untuk memperhatikan Hazel lagi. Ternyata wanita itu masih dengan posisi yang sama dan Handika tidak bisa melihatnya dengan jelas.Hazel masih be
Tidak seperti kebanyakan sipir yang bertugas di lapas itu, nada bicara Handika saat ia memberi perintah kepada Hazel tidak kasar. Meskipun demikian, jika didengar baik-baik, Handika berbicara dengan nada dinginnya. Sejujurnya itu lebih menyeramkan daripada bentakan, tetapi Hazel mengabaikannya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan di lapas? Ia bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang tahanan, wajar saja jika sipir bersikap semena-mena dengannya. Perintah singkat itu langsung dituruti oleh Hazel meskipun dengan setengah hati ia melakukannya. Pikirnya daripada Hazel harus berdebat, lebih baik ia melaksanakan perintah itu. Hazel sadar diri dengan posisinya. Jika ia melawan perintah seorang sipir, mungkin ia bisa kena marah lagi seperti yang dilakukan Emma. Ya, meskipun sejauh ini Handika tidak pernah bersikap kasar kepadanya. Satu-satunya sipir yang bersikap baik kepada Hazel di lapas itu adalah Handika. Setelah memastikan Hazel sudah duduk, Handika segera bergegas mengambil jatah m
“Berhenti membuatku muak dan mencari perhatian orang-orang di sini! Kau mencoba menarik simpati dengan bersikap lemah seperti ini, hah? Kau cuma perempuan kasar yang gila harta milik suami orang, jadi lebih baik kau pahami batasanmu,” cecar Emma. Emma melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Hazel. Hazel merasa lega karena Emma tidak lagi menahannya. Ia tidak lagi merasakan sakit akibat dari cengkeraman tangan Emma. Namun, ternyata Hazel salah. Emma kembali menyakiti Hazel dengan menjambak rambut panjangnya hingga kepala wanita itu sedikit terdongak. Sekarang Hazel bisa melihat langit-langit kantin di atasnya.“Ouch!” pekik Hazel kesakitan.Jambakan itu mengingatkan Hazel dengan kejadian buruk yang menimpanya. Ia teringat saat Rendra menarik rambut panjangnya dan ia didorong hingga wajahnya membentur cermin meja rias hingga pecah. Bahkan bekas lukanya masih belum terlalu kering karena ia tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Saat Hazel ditahan, ia hanya mendapatkan perawa
“Jadi... pelaku pelecehan Hazel adalah kakakmu?" Dokter Lee tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetapi sebisa mungkin ia menjaga cara bicaranya agar tidak terlalu keras.Dokter relawan itu sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia memastikan jika tidak ada orang selain mereka di lorong itu.Handika mengangguk dengan lemah. Ada perasaan lega meskipun hanya sedikit setelah ia membagi rahasianya itu. Setidaknya ia tidak harus menanggung beban itu seorang diri. Namun, tidak bisa dipungkiri jika perasaan bersalah akan selalu singgah di hatinya.“Jadi ini alasannya kenapa kau terlihat begitu peduli dengannya? Handika, ini terlalu berbahaya," kata Dokter Lee.Dokter Lee menanggalkan panggilan ‘Pak’ untuk Handika sebab ia merasa pria itu telah membuka hubungan lebih jauh dari sekedar rekan kerja. Mungkin teman, karena teman selalu berbagi rahasia.“Orang-orang mulai membicarakanmu di kantor. Aku tahu itu karena aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Mungkin setelah ini
“Bagaimana liburanmu? Masih ingin berbuat onar lagi?" cibir Emma.Emma tersenyum puas saat melihat penampilan Hazel yang berantakan. Di sel tikus, seorang tahanan tidak bisa mandi karena hanya ada satu closet duduk saja. Tak ada cermin ataupun wastafel yang menjadi sumber sanitasi bagi tahanan. Wajar saja jika penampilan Hazel sangat kumal. “Jika kau berbuat onar lagi, maka hukuman bisa ditambah menjadi 14 hari. Paham tidak?" Emma langsung mendorong Hazel dan menyuruh wanita itu untuk keluar dari sel tikus.Berbeda dengan Emma yang terlihat puas dengan kondisi Hazel, Handika justru menatap iba ke arah wanita itu. Berada di dalam ruangan sempit dengan banyak lampu yang amat terang membuat sepasang mata Hazel mengering. Rambut panjangnya kusut dan sedikit basah karena keringat, serta bibir dan kulitnya sangat kering —tampak sedikit pecah-pecah. Tubuh Hazel juga semakin kurus karena setiap Handika memberinya jatah makan, wanita itu tidak pernah menghabiskannya. Hanya beberapa sendok saja
Seperti yang tertulis di peraturan, sel tikus memang diperuntukkan bagi para tahanan yang membuat pelanggaran. Jadi, sel tersebut memang didesain khusus untuk memberi efek jera, salah satunya adalah membiarkan sel tersebut dalam kondisi sangat terang selama 24 jam. Tidak ada celah apapun. Ruangan itu benar-benar tertutup rapat. Untuk sirkulasi udaranya, ruangan itu hanya mengandalkan satu blower kecil di langit-langit atap. Sedangkan lampunya ada banyak dan semua menyala dengan terang dengan tombol yang ada di luar agar para tahanan yang sedang dihukum tidak bisa mematikannya.“Hazel...,” panggil Handika karena tidak ada balasan dari wanita itu.Semua kepedulian Handika itu adalah bentuk belas kasihannya. Ia tidak tega ketika melihat seseorang harus menanggung konsekuensi atas ulah yang tidak pernah dilakukannya.“Jawab aku,” pinta Handika.Hazel bisa mendengar suara Handika dengan jelas meskipun pria itu sedang berbicara dengan pelan dan sedikit lembut. Itu karena posisi Hazel masih
“Kau bisa membawanya setelah dia diobati. Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Kondisinya begitu berantakan,” jelas Handika. Handika menatap iba ke arah Hazel. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Karena ia menunduk, tetesan darah segar dari hidung lebih mudah jatuh membasahi pakaiannya. Handika bermaksud memutar otak untuk mencari alasan lain agar Emma tidak jadi membawa Hazel ke sel tikus. “Loe makin hari makin enggak masuk akal, Han. Aturannya kita baru bisa mengobati tahanan setelah mereka menjalani masa hukuman di sel tikus. Di lapas pria juga begitu, ‘kan? Jangan pura-pura lupa!” Saat sudah kesal seperti ini Emma tidak lagi berbicara dengan bahasa formal seperti kesehariannya di tempat kerja. “Sudah, mending loe diem aja, Han! Loe cuma pendatang di sini!” Emma sedikit menyentak tangan Hazel sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. Ia mengabaikan Handika meskipun pria itu berulang kali memangil namanya. “Emma!” Handika tak menyerah. Sekali lagi ia memanggil Emma dengan sua
“Sekarang kelihatan, 'kan, loe itu emang brutal kayak setan!" amuk Farah saat melihat temannya ditonjok oleh Hazel. Saat Farah sedang memisahkan Hazel dan Dita, Lela berlari ke arah pintu dan langsung mengulurkan tangan kanannya di sela-sela pintu besi sel tersebut. Wanita itu mulai berteriak meminta bantuan. “Ibu Polisi! Tolong! Tahanan nomor 1308 menggila!” teriak Lela. “Cepat, teman saya bisa mati kayak pengusaha tajir itu!" teriaknya lagi. Saat Lela sedang sibuk mencari bantuan dengan cara berteriak di sela pintu sel, Farah berniat membalas perbuatan Hazel. Dengan sekuat tenaga, Farah menjambak rambut Hazel dan membenturkan kepalanya ke tembok sel dengan keras. “Ugh!" Seketika telinga Hazel berdengung sesaat setelah kepalanya membentur tembok. Pusing! Itulah yang ia rasakan saat ini. Farah tidak main-main saat membenturkan kepala Hazel. Ia seolah tidak takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi kepada Hazel. Kalau mati? Ia tidak peduli dan mengabaikan itu. “Loe gila!
Mendengar pernyataan itu, tubuh Hazel seketika menegang. Sejenak ia melirik ke kiri dan ke kanan untuk memastikan siapa saja yang mendengar pernyataan itu. Konyol! Setelah pengacara itu, sekarang hadirlah sosok Handika yang berusaha meyakinkannya untuk tetap berjuang. Pikiran Hazel berkecamuk. Jika boleh jujur, ia merasa senang sekaligus sedih. Senang rasanya ketika ada orang lain yang masih berusaha untuk mengembalikan kepercayaannya. Akan tetapi, perasaan sedih masih betah singgah di hatinya. Ia sedih karena semakin ia mencoba untuk percaya, maka memori kelam itu kembali terlintas di otaknya. “Lupakan soal obrolan tadi. Sekarang anda harus membawa saya kembali ke sel segera.”Bukannya menanggapi pernyataan Handika beberapa menit yang lalu, Hazel malah mengalihkan pembicaraan. Ia bahkan mengubah gaya bicaranya kembali formal seperti sebelumnya.Tangan Handika masih mengepal. Saat ini ia benar-benar membutuhkan pelampiasan. Namun, ia berusaha menahan diri untuk tidak memukul apapun
“Aku memang bodoh.”Kalimat sederhana itu mampu membuat Handika tersadar dari lamunannya. Ia sedikit terperanjat, tetapi detik berikutnya ia bisa menguasai diri.“Eh... apa...?” tanya Handika.Satu kata yang terucap dari mulut Handika tadi mampu memicu traumanya. Sebelumnya Hazel tidak sadar jika ia telah meluapkan emosinya di hadapan Handika. Kata 'tertipu' membuat Hazel teringat dengan alasannya mendekam di lapas itu. Karena tertipu ide busuk Rendra, ia berakhir di sel tahanan yang dingin itu.“Seharusnya, anda tidak melakukan ini,” kata Hazel.Meskipun tidak mengatakannya secara gamblang, Handika tahu jika yang dimaksud wanita itu adalah sikapnya saat ini. Sepasang mata indah Hazel menatap lekat ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Handika. Sikap wanita itu menyiratkan satu pesan yang seolah mengatakan jika ia tidak suka saat Handika menyentuhnya.“A... ya. Ini salah. Maaf,” balas Handika.Dengan berat hati Handika melepaskan genggamannya itu.”Segera obati lukamu, setelah i