Polisi itu tidak memberikan kesempatan bagi Hazel untuk berbicara. Ia langsung menarik paksa Hazel, lalu membawa wanita itu keluar dari ruangan tersebut.
Tentunya sebelum membawa Hazel ke rumah tahanan, ia memastikan bahwa borgol di tangan Hazel masih aman. Ia tidak mau Hazel kabur, meskipun hal tersebut tidak mungkin terjadi.“Izinkan saya bertemu dengan ibu saya terlebih dahulu. Ada yang ingin saya sampaikan,” pinta Hazel saat polisi itu mendorong tubuhnya ke arah pintu keluar kantor kepolisian.“Tidak ada hak istimewa bagi anda, Nona!” tolak polisi itu.Meskipun sudah ditolak, Hazel tetap memohon-mohon agar ia diizinkan untuk menemui ibunya. Sayangnya, untuk kesekian kalinya Hazel ditolak, bahkan polisi itu sempat membentak dan mendorongnya dengan kasar karena permintaannya itu.Saat kaki Hazel baru saja menginjak teras depan kantor kepolisian, ia langsung disambut dengan banyak cahaya lampu kamera yang ditujukan ke arahnya. Rupanya sudah ada puluhan wartawan yang siap memburu berita soal kasus pembunuhan di pemukiman tempat Hazel tinggal. Mereka saling berdesakan dan berebut untuk mewawancarai Hazel. Ada beberapa yang berteriak meskipun sudah diperingatkan oleh petugas kepolisian. Adapun beberapa yang tetap memotret ke arah Hazel meskipun sudah dilarang.“Nona, apa motif yang melatarbelakangi anda melakukan pembunuhan itu?!” tanya salah seorang wartawan dengan cara berteriak.Wartawan itu terus mendesak untuk mendekat. Mereka saling mendorong pihak kepolisian yang sengaja berbaris membentuk pagar disepanjang teras depan kantor itu.Hazel malu karena pihak kepolisian tidak memberikannya penutup wajah yang bisa digunakan untuk menyembunyikan identitasnya. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya, berharap agar tidak ada wartawan yang berhasil menjepret wajahnya.Saat Hazel baru saja menuruni tangga pertama di teras kantor polisi itu, ada seseorang yang berhasil meraih bahunya dari belakang. Orang itu tidak sekedar menyentuh bahu Hazel, tetapi juga menariknya hingga tubuh wanita itu sedikit menghadap ke arahnya.“Putriku yang malang!” seru Citra seraya menangkupkan kedua tangannya di pipi Hazel.Rupanya yang baru saja meraih bahu Hazel adalah ibunya yang baru saja selesai diintrogasi oleh polisi.Citra hanya diperiksa tanpa ditahan, jadi ketika sudah selesai ia diizinkan untuk kembali ke rumah. Kebetulan ketika Citra keluar dari kantor polisi itu, ia bertemu dengan Hazel yang hendak dibawa ke rumah tahanan di samping gedung utama.“I-Ibu!”Hazel terkejut sekaligus merasa senang dengan pertemuannya itu. Akhirnya ia tidak merasa khawatir lagi karena ibunya itu tidak harus ditahan akibat kasusnya.Citra langsung memeluk putrinya dengan erat. Ia sempat didorong oleh polisi yang hendak membawa putrinya itu ke rumah tahanan. Namun, ia tidak terlalu menggubrisnya karena yang ia mau hanyalah bertemu dengan putrinya itu.“Nyonya, jangan halangi kami!” bentak polisi itu sambil mendorong tubuh Citra dengan kasar.Citra bersikukuh mempertahankan posisinya itu. Pelukannya sangat erat sehingga polisi itu cukup kesulitan menyingkirkannya dari dekat Hazel.“Anda bisa ditahan karena menghambat proses penyelidikan, Nyonya!” Emosi polisi itu kian bertambah karena Citra tetap tidak mau melepaskan Hazel.Polisi itu bisa saja memukul Citra, tetapi ia perlu menjaga image-nya di depan wartawan yang sejak tadi masih saja memotret ke arah Hazel.Hazel langsung sadar jika ia tidak mempunyai banyak waktu yang tersisa untuk bersama dengan ibunya itu. Ia segera mendekat ke arah Citra dan langsung membisikkan sesuatu yang sangat ingin ia sampaikan kepada ibunya sejak tadi.“Ibu, setelah aku pergi, tolong jangan katakan apapun kepada polisi untuk membelaku. Apapun itu, tolong tutup mulutmu rapat-rapat, Bu," bisik Hazel.Bertepatan dengan Hazel yang baru saja selesai membisikkan kalimatnya itu, tubuhnya langsung ditarik paksa oleh polisi. Akibatnya pelukan Citra terlepas dan polisi segera membawa pergi.“Putriku!” teriak pilu Citra melihat kepergian putrinya.Ketika Citra hendak menyusul, tangannya lebih dulu ditahan oleh polisi yang lainnya.“Cepat kembali pulang atau anda kami tahan, Nyonya!” ancam polisi itu.Hati Citra sangat terluka ketika ia harus berpisah dengan putrinya. Terlebih lagi saat ia harus melihat Hazel ditahan karena kejahatan yang sama sekali tidak dilakukan secara sengaja oleh putrinya itu.Kondisi di kantor polisi itu tidak jauh berbeda dengan Tempat Kejadian Perkara di pemukiman tempat Hazel tinggal. Banyak sekali wartawan yang berbondong-bondong datang ke TKP untuk berburu berita ter-up to date-nya. Mereka berkerumun di depan garis polisi dan sesekali mencoba memotret apa saja untuk dijadikan berita.Di antara kerumunan itu, Handika berdiri sambil melihat ke arah kediaman Rendra.“Han!” seru seorang laki-laki ber-hoodie hitam yang sedang berdiri di depan pintu gerbang kediaman Rendra.Handika tersadar dari lamunannya. Ia mengangkat tangan kanannya itu untuk menyapa detektif yang merupakan temannya yang bekerja di divisi investigasi.Gio —nama detektif itu— langsung berlari ke arah Handika. Ia dengan cepat menarik tangan Handika lalu membawanya masuk melewati garis polisi yang terpasang mengelilingi TKP.Gio adalah teman lama Handika. Mereka satu sekolah ketika SMA dulu, bersama dengan polisi yang sempat dimintai Hazel mengurus laporannya tadi pagi.“Kamu tidak bekerja? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gio keheranan.Gio melihat Handika masih menggunakan seragam kerjanya yang berwarna biru muda itu. Tadi malam mereka sempat mengobrol melalui grup chat jika Handika mendapatkan jatah masuk pagi sama seperti dirinya. Jadi wajar jika ia heran ketika melihat Handika bebas berkeluyuran di daerah itu."Em itu... aku penasaran saja. Aku sengaja minta istirahat lebih awal untuk ke sini. Aku dengan ada kasus pembunuhan," jawab Handika.Nadanya sedikit ragu, sebab ada kebohongan di jawabannya itu.Handika bukannya istirahat lebih awal, tetapi ia sengaja mampir ke TKP untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia diminta mengantarkan surat dari beberapa tahanan penjara untuk dikirim ke kantor pos.Bukannya kembali, Handika malah mampir ke TKP yang menjadi perbincangan hangat di sekitar tempat tinggalnya itu. Kebetulan tempat yang sedang viral itu adalah tempat yang beberapa kali pernah ia kunjungi akhir-akhir ini.Kalau saja TKP-nya bukan lokasi yang Handika ketahui, ia tidak akan se-penasaran itu. Ia sangat terkejut ketika mengetahui jika pembunuhan itu terjadi di rumah orang yang ia kenal. Meskipun keduanya belum pernah bertegur sapa, Handika sudah tahu orang itu lebih dulu dan ia memiliki hubungan khusus dengannya. Tidak ada yang tahu hubungannya itu, bahkan Gio sekalipun. Jadi Handika sengaja menutupinya.“Boleh aku tahu, sebenarnya ada apa ini? Benar-benar kasus pembunuhan atau ada hal aneh lainnya?” tanya Handika penasaran.Gio kembali menarik tangan Handika. Pria itu membawa temannya semakin masuk ke TKP. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah halaman rumah Rendra. Karena Handika bersama dengan Gio, pria itu bebas masuk ke TKP asalkan tidak menyentuh apapun dan tidak mengganggu penyelidikan.“Aku tidak tahu, tetapi aku curiga jika ini bukan pembunuhan yang disengaja. Masa' iya seorang wanita muda tega membunuh pria yang umurnya jauh di atasnya? Dunia sudah beneran rusak dong,” ujar Gio mencoba menerka kasus yang ia tangani itu.Handika mengangguk setuju dengan pendapat Gio. Ia sedikit tahu sifat korban, jadi ia setuju jika kasus ini bukan murni pembunuhan, melainkan ada faktor lain yang membuat tersangka —Hazel— berani melakukan tindak kriminal yang begitu menggegerkan.“By the way, kamu kenal pengacara di sekitar sini tidak? Yang lumayan murah gitu, jangan yang mahal-mahal, aku tidak mampu," tanya Handika tiba-tiba.“Hah? Kamu kenapa tiba-tiba ingin mencari pengacara? Memangnya kamu terlibat kasus apa?
Akhirnya seorang polisi datang, tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ia membawa nampan dari stainless yang berisi makan malam untuk Hazel. Ia meletakkan nampan itu tepat di depan pintu sel sebelum akhirnya ia menguncinya kembali. “Besok pagi anda baru bisa pergi untuk menemui pengacara yang baru,” ucap polisi itu. Hazel terbelalak. Ia tidak salah dengar jika polisi tadi baru saja mengatakan bahwa Hazel akan bertemu dengan pengacara yang baru. Apakah artinya Hazel memiliki kesempatan untuk membela dirinya lebih baik daripada sebelumnya? Tak terasa pagi telah tiba. Samar-samar Hazel mendengar suara aktivitas dari ruangan di depannya. Tak lama setelahnya, seorang polisi datang dan langsung membuka pintu sel itu. “Nona, ikut kami!” katanya. Seperti yang sudah disepakati kemarin malam, pagi ini Hazel akan menemui pengacaranya yang baru. Ia kembali dibawa ke gedung utama. Ia ditinggal disatu ruangan kecil yang nantinya menjadi tempat pertemuan dengan pengacara baru itu.
“Dan tolong sampaikan terima kasih untuknya, Pak,” lanjut Hazel sebagai penutup dari obrolannya siang itu. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Haris jika kliennya menolak untuk mengajukan banding. Namun, Haris dan Hazel masih memiliki waktu selama 7 hari. Jika selama 7 hari Hazel berubah pikiran, maka ia bisa mengajukan banding. Akan tetapi, jika banding tetap tidak diajukan dalam waktu 7 hari sejak vonis, maka terdakwa dianggap sudah menerima keputusan hakim sebagai mana yang telah disebutkan dalam persidangan.“Saya tetap akan menemui anda selama 7 hari ke depan. Mohon dipertimbangkan,” ucap Haris sebelum ia pamit undur diri dari ruangan itu.Setelah kepergian pengacaranya itu, Hazel diminta untuk menunggu hingga petugas dari lapas menjemputnya. Ia meminta agar polisi mengizinkannya menunggu di ruangan itu, bukan di sel-nya yang dingin.Sebenarnya Citra sejak tadi memohon-mohon agar diperbolehkan menemui Hazel, tetapi pihak kepolisian melarangnya. Mereka mengatakan kepada Citra jika Ha
Hazel tidak menanggapi panggilan itu. Ia hanya diam sambil melihat kursi kemudi di depannya. “Nona, anda masih mengingatku, ‘kan?" Meskipun sudah ditolak secara tidak langsung oleh Hazel, Handika tetap tidak mau menyerah. Pria itu kembali mencoba untuk mengajak Hazel berbicara. Sebelum suara lembut Hazel terdengar di telinganya lagi, ia tidak akan putus asa meskipun harus ditolak untuk sekian kalinya.Lagi dan lagi... tak ada respons dari Hazel. Wanita itu betah membungkam mulutnya sendiri. Hingga akhirnya suara lembut wanita itu terdengar juga.“Masih berapa kilometer lagi untuk sampai ke lapas?” tanya Hazel.Tanpa sadar Handika tersenyum samar saat mendengar Hazel berbicara. Ada untungnya mereka tidak duduk sejajar, jadi Handika tidak perlu menutupi senyum spontannya itu agar tidak dilihat oleh Hazel. Melalui spion tengah, Handika mencoba untuk memperhatikan Hazel lagi. Ternyata wanita itu masih dengan posisi yang sama dan Handika tidak bisa melihatnya dengan jelas.Hazel masih be
Emma juga memberitahu Hazel jika di penjara para tahanan harus melakukan pekerjaan untuk mendapatkan uang yang bisa digunakan untuk membeli makanan enak, seperti telur, mie, atau roti. Setiap pekerjaan akan dijadwal. Mulai dari mencuci pakaian, membersihkan semua ruangan, dan menjemur. “Lusa kalian akan dikumpulkan di lapangan belakang. Ada kegiatan kerja bakti rutin setiap hari Minggu," tambah Emma.Hazel ditempatkan di sebuah sel yang berukuran sedang. Saat wanita itu mengedarkan pandangannya, ia melihat ada 3 orang lainnya memakai seragam orange khas tahanan di lapas itu.“Kalian ada teman baru. Jaga sikap kalian semua. Jika satu diantara kalian melakukan kesalahan, maka semua penghuni sel akan mendapatkan hukuman!” tegas Emma dengan suara lantangnya. Di dalam sel itu sudah ditempati oleh tiga wanita. Satu berusia sekitar 40-an tahun, dan dua sisanya baru menginjak kepala dua —28 dan 29 tahun.“Kami mengerti!” balas ketiga tahanan itu.Emma segera melepaskan borgol yang ada di ta
Soal Handika yang hanya anak angkat, Gio pun tidak tahu. Pria itu cuma tahu kalau temannya itu berasal dari keluarga yang mapan. Lahir berkecukupan dan memiliki wajah yang tampan, serta pesona luar biasa. Handika cukup banyak diidolakan oleh para wanita. Terkadang Gio sempat iri karena Handika lebih dulu ‘laku’ dibanding dirinya. “Han!” panggil Gio lagi. Kesabaran Gio setipis tissue. Pria itu jengkel ketika temannya malah melamun dan mengabaikan pertanyaannya tadi. Yang merasa dipanggil langsung mengibaskan kedua tangannya. Ia tidak mau Gio lebih dulu menonjok wajahnya. “Sorry, sorry,” kata Handika. Gio mendengus. Ia kembali menatap serius ke arah Handika kemudian menanyakan kembali alasan temannya itu ingin pindah tempat kerja. Handika kurang bersyukur —pikir Gio. Masih untung Handika ditempatkan di penjara di pusat perkotaan yang ramai —bukan pindah pulau yang jauh dengan orang tuanya yang tinggal di Jogja.“Ada yang harus aku lakukan di sana,” aku Handika. “Maksudmu? Kau puny
Hazel mengangguk. Sesaat setelah Hazel keluar dari sel tahanan itu, Emma segera memborgol kedua tangannya. Sipir wanita itu menuntun Hazel ke ruangan khusus. Ruangan itu diperuntukkan bagi visitor yang ingin bertemu dengan tahanan. Sesuai permintaan visitor, Hazel diarahkan ke ruangan yang lebih privat, bukan ruangan umum yang biasa ditempati banyak tamu dan tahanan yang saling bertemu. Ruangan khusus itu mirip seperti ruang interogasi, hanya saja tidak ada kaca dua arah. Hanya ada dua buah kursi yang dibatasi sebuah meja.“Hei, Nona Hazel,” sapa Haris begitu pria itu melihat Hazel tiba.Rupanya tamu Hazel adalah Haris —pengacaranya. Seperti yang sudah dikatakan Haris, pria itu akan menemui Hazel untuk menanyakan soal banding. Jika berkenan, Haris masih bisa membantu Hazel untuk mengajukan banding ke pengadilan."Waktu kalian terbatas, jadi manfaatkan dengan baik," kata Emma sebelum ia meninggalkan ruangan itu."Baik, kami mengerti," balas Haris.Kini Hazel sudah duduk di kursi yang b
“Stop, Ran!” jerit Hazel.Hazel berusaha melepaskan jambakan Rani pada rambutnya. Sayangnya kekuatan Rani jauh lebih besar. Ia sampai terseret beberapa langkah dari tempatnya jatuh tadi.“Ini hukumannya kalau kamu berani seenaknya kepadaku! Wanita Jalang!” teriak Rani.Rani tidak berhenti menjambak rambut Hazel, padahal Hazel berulang kali memintanya untuk berhenti.Telah terjadi pertengkaran, tetapi tidak ada satupun tahanan yang melerai mereka. Sementara itu sipir yang bertugas untuk mengawasi juga tidak ada. Emma sudah pergi sejak tadi karena ia ingin menyambut kedatangan seseorang.“Hei!” Teriakan itu cukup keras, sampai-sampai membuat Rani menoleh ke arah pintu masuk lapangan untuk melihat siapa yang telah mencegah aksinya itu.“Lepaskan dia!” Pria yang baru saja berteriak itu langsung berlari ke arah Rani dan Hazel.Tidak hanya pria itu saja yang menghampiri Hazel, tetapi ada juga Emma. Wanita itu sudah kembali bersama dengan seseorang yang tadi ia sambut.“Kami memintamu untuk m
Tidak seperti kebanyakan sipir yang bertugas di lapas itu, nada bicara Handika saat ia memberi perintah kepada Hazel tidak kasar. Meskipun demikian, jika didengar baik-baik, Handika berbicara dengan nada dinginnya. Sejujurnya itu lebih menyeramkan daripada bentakan, tetapi Hazel mengabaikannya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan di lapas? Ia bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang tahanan, wajar saja jika sipir bersikap semena-mena dengannya. Perintah singkat itu langsung dituruti oleh Hazel meskipun dengan setengah hati ia melakukannya. Pikirnya daripada Hazel harus berdebat, lebih baik ia melaksanakan perintah itu. Hazel sadar diri dengan posisinya. Jika ia melawan perintah seorang sipir, mungkin ia bisa kena marah lagi seperti yang dilakukan Emma. Ya, meskipun sejauh ini Handika tidak pernah bersikap kasar kepadanya. Satu-satunya sipir yang bersikap baik kepada Hazel di lapas itu adalah Handika. Setelah memastikan Hazel sudah duduk, Handika segera bergegas mengambil jatah m
“Berhenti membuatku muak dan mencari perhatian orang-orang di sini! Kau mencoba menarik simpati dengan bersikap lemah seperti ini, hah? Kau cuma perempuan kasar yang gila harta milik suami orang, jadi lebih baik kau pahami batasanmu,” cecar Emma. Emma melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Hazel. Hazel merasa lega karena Emma tidak lagi menahannya. Ia tidak lagi merasakan sakit akibat dari cengkeraman tangan Emma. Namun, ternyata Hazel salah. Emma kembali menyakiti Hazel dengan menjambak rambut panjangnya hingga kepala wanita itu sedikit terdongak. Sekarang Hazel bisa melihat langit-langit kantin di atasnya.“Ouch!” pekik Hazel kesakitan.Jambakan itu mengingatkan Hazel dengan kejadian buruk yang menimpanya. Ia teringat saat Rendra menarik rambut panjangnya dan ia didorong hingga wajahnya membentur cermin meja rias hingga pecah. Bahkan bekas lukanya masih belum terlalu kering karena ia tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Saat Hazel ditahan, ia hanya mendapatkan perawa
“Jadi... pelaku pelecehan Hazel adalah kakakmu?" Dokter Lee tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetapi sebisa mungkin ia menjaga cara bicaranya agar tidak terlalu keras.Dokter relawan itu sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia memastikan jika tidak ada orang selain mereka di lorong itu.Handika mengangguk dengan lemah. Ada perasaan lega meskipun hanya sedikit setelah ia membagi rahasianya itu. Setidaknya ia tidak harus menanggung beban itu seorang diri. Namun, tidak bisa dipungkiri jika perasaan bersalah akan selalu singgah di hatinya.“Jadi ini alasannya kenapa kau terlihat begitu peduli dengannya? Handika, ini terlalu berbahaya," kata Dokter Lee.Dokter Lee menanggalkan panggilan ‘Pak’ untuk Handika sebab ia merasa pria itu telah membuka hubungan lebih jauh dari sekedar rekan kerja. Mungkin teman, karena teman selalu berbagi rahasia.“Orang-orang mulai membicarakanmu di kantor. Aku tahu itu karena aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Mungkin setelah ini
“Bagaimana liburanmu? Masih ingin berbuat onar lagi?" cibir Emma.Emma tersenyum puas saat melihat penampilan Hazel yang berantakan. Di sel tikus, seorang tahanan tidak bisa mandi karena hanya ada satu closet duduk saja. Tak ada cermin ataupun wastafel yang menjadi sumber sanitasi bagi tahanan. Wajar saja jika penampilan Hazel sangat kumal. “Jika kau berbuat onar lagi, maka hukuman bisa ditambah menjadi 14 hari. Paham tidak?" Emma langsung mendorong Hazel dan menyuruh wanita itu untuk keluar dari sel tikus.Berbeda dengan Emma yang terlihat puas dengan kondisi Hazel, Handika justru menatap iba ke arah wanita itu. Berada di dalam ruangan sempit dengan banyak lampu yang amat terang membuat sepasang mata Hazel mengering. Rambut panjangnya kusut dan sedikit basah karena keringat, serta bibir dan kulitnya sangat kering —tampak sedikit pecah-pecah. Tubuh Hazel juga semakin kurus karena setiap Handika memberinya jatah makan, wanita itu tidak pernah menghabiskannya. Hanya beberapa sendok saja
Seperti yang tertulis di peraturan, sel tikus memang diperuntukkan bagi para tahanan yang membuat pelanggaran. Jadi, sel tersebut memang didesain khusus untuk memberi efek jera, salah satunya adalah membiarkan sel tersebut dalam kondisi sangat terang selama 24 jam. Tidak ada celah apapun. Ruangan itu benar-benar tertutup rapat. Untuk sirkulasi udaranya, ruangan itu hanya mengandalkan satu blower kecil di langit-langit atap. Sedangkan lampunya ada banyak dan semua menyala dengan terang dengan tombol yang ada di luar agar para tahanan yang sedang dihukum tidak bisa mematikannya.“Hazel...,” panggil Handika karena tidak ada balasan dari wanita itu.Semua kepedulian Handika itu adalah bentuk belas kasihannya. Ia tidak tega ketika melihat seseorang harus menanggung konsekuensi atas ulah yang tidak pernah dilakukannya.“Jawab aku,” pinta Handika.Hazel bisa mendengar suara Handika dengan jelas meskipun pria itu sedang berbicara dengan pelan dan sedikit lembut. Itu karena posisi Hazel masih
“Kau bisa membawanya setelah dia diobati. Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Kondisinya begitu berantakan,” jelas Handika. Handika menatap iba ke arah Hazel. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Karena ia menunduk, tetesan darah segar dari hidung lebih mudah jatuh membasahi pakaiannya. Handika bermaksud memutar otak untuk mencari alasan lain agar Emma tidak jadi membawa Hazel ke sel tikus. “Loe makin hari makin enggak masuk akal, Han. Aturannya kita baru bisa mengobati tahanan setelah mereka menjalani masa hukuman di sel tikus. Di lapas pria juga begitu, ‘kan? Jangan pura-pura lupa!” Saat sudah kesal seperti ini Emma tidak lagi berbicara dengan bahasa formal seperti kesehariannya di tempat kerja. “Sudah, mending loe diem aja, Han! Loe cuma pendatang di sini!” Emma sedikit menyentak tangan Hazel sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. Ia mengabaikan Handika meskipun pria itu berulang kali memangil namanya. “Emma!” Handika tak menyerah. Sekali lagi ia memanggil Emma dengan sua
“Sekarang kelihatan, 'kan, loe itu emang brutal kayak setan!" amuk Farah saat melihat temannya ditonjok oleh Hazel. Saat Farah sedang memisahkan Hazel dan Dita, Lela berlari ke arah pintu dan langsung mengulurkan tangan kanannya di sela-sela pintu besi sel tersebut. Wanita itu mulai berteriak meminta bantuan. “Ibu Polisi! Tolong! Tahanan nomor 1308 menggila!” teriak Lela. “Cepat, teman saya bisa mati kayak pengusaha tajir itu!" teriaknya lagi. Saat Lela sedang sibuk mencari bantuan dengan cara berteriak di sela pintu sel, Farah berniat membalas perbuatan Hazel. Dengan sekuat tenaga, Farah menjambak rambut Hazel dan membenturkan kepalanya ke tembok sel dengan keras. “Ugh!" Seketika telinga Hazel berdengung sesaat setelah kepalanya membentur tembok. Pusing! Itulah yang ia rasakan saat ini. Farah tidak main-main saat membenturkan kepala Hazel. Ia seolah tidak takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi kepada Hazel. Kalau mati? Ia tidak peduli dan mengabaikan itu. “Loe gila!
Mendengar pernyataan itu, tubuh Hazel seketika menegang. Sejenak ia melirik ke kiri dan ke kanan untuk memastikan siapa saja yang mendengar pernyataan itu. Konyol! Setelah pengacara itu, sekarang hadirlah sosok Handika yang berusaha meyakinkannya untuk tetap berjuang. Pikiran Hazel berkecamuk. Jika boleh jujur, ia merasa senang sekaligus sedih. Senang rasanya ketika ada orang lain yang masih berusaha untuk mengembalikan kepercayaannya. Akan tetapi, perasaan sedih masih betah singgah di hatinya. Ia sedih karena semakin ia mencoba untuk percaya, maka memori kelam itu kembali terlintas di otaknya. “Lupakan soal obrolan tadi. Sekarang anda harus membawa saya kembali ke sel segera.”Bukannya menanggapi pernyataan Handika beberapa menit yang lalu, Hazel malah mengalihkan pembicaraan. Ia bahkan mengubah gaya bicaranya kembali formal seperti sebelumnya.Tangan Handika masih mengepal. Saat ini ia benar-benar membutuhkan pelampiasan. Namun, ia berusaha menahan diri untuk tidak memukul apapun
“Aku memang bodoh.”Kalimat sederhana itu mampu membuat Handika tersadar dari lamunannya. Ia sedikit terperanjat, tetapi detik berikutnya ia bisa menguasai diri.“Eh... apa...?” tanya Handika.Satu kata yang terucap dari mulut Handika tadi mampu memicu traumanya. Sebelumnya Hazel tidak sadar jika ia telah meluapkan emosinya di hadapan Handika. Kata 'tertipu' membuat Hazel teringat dengan alasannya mendekam di lapas itu. Karena tertipu ide busuk Rendra, ia berakhir di sel tahanan yang dingin itu.“Seharusnya, anda tidak melakukan ini,” kata Hazel.Meskipun tidak mengatakannya secara gamblang, Handika tahu jika yang dimaksud wanita itu adalah sikapnya saat ini. Sepasang mata indah Hazel menatap lekat ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Handika. Sikap wanita itu menyiratkan satu pesan yang seolah mengatakan jika ia tidak suka saat Handika menyentuhnya.“A... ya. Ini salah. Maaf,” balas Handika.Dengan berat hati Handika melepaskan genggamannya itu.”Segera obati lukamu, setelah i