“Kenapa aku merasa kalau sekretarismu tidak menyukaiku?” Bintang merasa sensitif setelah Lani tidak membalas sapaannya sama sekali.Langit menoleh dan mengerutkan dahi mendengar ucapan Bintang. Dia menarik tangan istrinya itu agar lebih dekat dengannya yang duduk di kursi, memegang telapak tangan Bintang sambil mengulas senyum.“Sejak kapan kamu peduli pada pandangan orang tentangmu?” tanya Langit keheranan karena Bintang mengeluh soal sikap Lani.Bintang sedikit menunduk untuk bisa menatap Langit.“Ya, aku peduli karena dia setiap hari berinteraksi denganmu. Sebagai sekretaris, aku rasa penampilannya berlebihan, terlalu minim dan ….” Bintang sengaja menjeda ucapannya sambil memutar bola mata malas.Langit ingin membalas ucapan Bintang, tapi urung karena mendengar suara ketukan pintu.Lani masuk membawa berkas yang diminta Langit, berjalan mendekat dengan ekspresi wajah malas.“Ini berkas yang Anda minta, Pak.” Lani meletakkan berkas itu di meja.“Ya,” balas Langit tanpa senyum, atau
Langit dan Bintang menoleh. Mereka melihat siapa yang memanggil. Bahkan orang yang memanggil kini sudah tersenyum hangat ke arah keduanya. "Bintang juga di sini?" tanya Kenzo saat melihat menantunya di perusahaan itu. Bintang tidak pernah ke sana, ini adalah pertama kalinya bagi Bintang mendatangi perusahaan suaminya. Kenzo dan Joya baru saja keluar dari lift yang berbeda dengan Langit dan Bintang, membuat mereka langsung menyapa begitu melihat anak dan menantunya itu. "Iya, Pi. Tadi kami dari rumah sakit, terus mampir sebentar karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Langit menjelaskan. Joya menatap Bintang dan Langit bergantian, sedikit cemas jika keduanya ke rumah sakit bukan untuk membahas soal kehamilan Bintang, tapi ada hal lainnya. "Kalian mau makan siang bersama? Mimi dan Papi mau makan di kantin hari ini," ajak Joya. Dia sekalian ingin memastikan apakah hubungan Langit dan Bintang baik-baik saja. Langit menoleh Bintang, melihat istrinya menganggukkan kepal
Langit terkejut mendengar suara benda terjatuh. Dia berlari ke dapur, hingga di sana melihat Bintang yang hendak berjongkok mengambil baskom di lantai.“Biar aku bereskan, Mi.” Bintang ingin mengambil baskom tadi, tapi dicegah oleh Annetha.“Biar mami saja.” Annetha mengambil baskom, kemudian meminta pembantu untuk membersihkan lantai.Bintang menatap sendu ke Annetha, berpikir jika sang mami pasti syok dan tidak suka akan kehamilannya.Langit sendiri melihat istrinya sedih, tapi tidak mendekat karena sadar jika Bintang mungkin butuh waktu bicara dengan Annetha.“Mami marah?” tanya Bintang menatap sendu ke Annetha.Annetha terkejut mendengar pertanyaan Bintang, menoleh dan melihat bola mata putrinya yang berkaca-kaca. Dia malah terlihat bingung, apalagi saat melihat Bintang yang seperti ingin menangis. Annetha pun mendekat kemudian tersenyum ke Bintang.“Kenapa mami harus marah, hm?” Annetha menatap penuh kasih sayang, lantas mengusap rambut Bintang dengan lembut.“Kalau tidak marah,
Annetha dan Bintang kembali ke meja makan setelah bicara. Bintang membawa dua piring cake untuk dirinya dan Langit.“Tadi kamu mau bicara apa?” tanya Arlan mengingat jika Bintang sempat menjeda ucapannya.Bintang terkejut karena langsung ditodong pertanyaan. Dia melirik Annetha, sebelum kemudian menatap Arlan.“Itu, aku mau izin untuk berhenti bekerja,” jawab Bintang. Dia benar-benar tidak jadi menyampaikan tentang kehamilannya.Langit menatap Bintang, bertanya-tanya kenapa Bintang tidak jadi bicara soal kehamilan itu.Arlan agak terkejut mendengar ucapan Bintang, hingga menatap sang putri yang terlihat serius.“Kenapa kamu mau berhenti?” tanya Arlan penasaran.Bintang mengulum bibir karena bingung harus menjawab apa, bahkan memandang ke Annetha dan Langit secara bergantian.“Kamu sakit?” tanya Arlan kemudian.Bintang menggelengkan kepala sambil mengulum senyum, kemudian menjawab, “Tidak, Pi. Aku hanya mau fokus pada kesehatan saja. Lagi pula dulu bersikukuh ingin kerja karena aku bos
“Bin, tenang.” Langit berusaha menenangkan Bintang yang panik dan menangis.Arlan harus dibawa ke rumah sakit karena kondisinya tidak stabil. Baik Annetha maupun yang tentu saja panik dan syok karena Arlan sampai seperti itu.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Papi? Ini salahku, El.” Bintang menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpa sang papi.Langit memeluk erat Bintang. Mereka duduk di kursi selasar panjang. Bintang menangis sesenggukan karena sudah membuat penyakit Arlan kambuh.“Bukan salahmu. Papi hanya syok, Bin. Jangan menyalahkan dirimu sendiri,” ujar Langit mencoba menenangkan Bintang.Meski begitu, Bintang masih saja syok dan sedih, hingga pandangannya mulai kabur dan kepalanya pusing.Langit menyadari lengan Bintang yang terlihat muncul ruam. Dia pun langsung melepas pelukan dan menatap istrinya.“Bin, penyakitmu kambuh?” Langit panik. Dia buru-buru mencari obat Bintang yang biasa dibawa di tas.Langit meminta Bintang minum obat, agar penyakit Bintang tidak s
Bintang masuk kamar Arlan dengan takut. Dia merasa bersalah akan semua yang terjadi ke sang papi pagi ini.Annetha, Orion, dan Cheryl menoleh ke Bintang, membuat wanita itu seperti seorang tersangka yang sedang mendapat tatapan mengintimidasi.“Mi, kita keluar dulu,” Orion mengajak Annetha untuk meninggalkan Bintang bersama Arlan.Annetha mengangguk, kemudian pergi bersama putranya. Hingga saat berhadapan dengan Bintang, Annetha menghentikan langkah kemudian mengusap lengan putrinya itu.“Bicara pelan-pelan, jangan buat papimu syok lagi,” ucap Annetha memberi pesan.Bintang hanya mengangguk. Orion, Cheryl, dan Annetha keluar terlebih dahulu. Langit masih di sana memandang punggung sang istri, sebelum kemudian ikut keluar.Bintang memandang Arlan yang berbaring dengan beberapa alat penunjang hidup yang terpasang di tubuh, alat untuk memantau kondisi jantung sang papi.“Bin.” Arlan menatap Bintang yang mendekat dengan ragu.Bintang buru-buru mendekat, kemudian berdiri di samping ranjang
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Langit sambil menatap Bintang.Bintang menghela napas panjang, lantas menoleh sang suami yang menunggu jawabannya.“Sangat lega,” jawab Bintang sambil menoleh Langit.Bintang keluar dari ruangan Arlan setelah selesai bicara, membiarkan sang mami dan adiknya masuk untuk melihat kondisi Arlan.“Baguslah. Jangan banyak pikiran dan kambuh-kambuh lagi,” ucap Langit. Dia dengan iseng menyentuhkan kening mereka.Bintang memejamkan mata sambil tersenyum kecil mndengar ucapan suaminya.Baik Bintang maupun yang lain merasakan kelegaan yang sangat luar biasa. Arlan hanya dirawat dua hari karena kondisinya yang berangsur membaik. Bintang pun terus menjaga sang papi, tidak ingin melewatkan kesempatan untuk merawat saat sang papi sakit.“Kamu tidak perlu terus menjaga papi, Bin.” Arlan cemas ke Bintang yang sedang hamil, tapi selama 24 jam berada di rumah sakit menjaganya.Kini saat Arlan sudah diperbolehkan pulang. Bintang pun masih menjaga membuat pria itu m
Sudah satu minggu semenjak Arlan masuk rumah sakit. Setelah memastikan kondisi Arlan baik-baik saja, Bintang dan Langit pun kembali ke apartemen. Pagi itu Langit sedang bersiap ke kantor, sedangkan Bintang sudah tidak lagi bekerja setelah sang papi mengizinkannya resign. “Kamu belum siap?” tanya Bintang saat masuk kamar dan melihat suaminya masih berdiri di depan cermin. Langit menoleh saat mendengar suara Bintang. Dia mengulas senyum, kedua tangan sibuk mengikat dasi. “Hampir siap,” jawab Langit. Bintang mendekat, lantas meraih dasi Langit dan membantu mengikat. “Laras menghubungi, bilang mau ngajak nongkrong siang ini. Bolehkan?” tanya Bintang penuh harap diperbolehkan pergi. “Tentu saja boleh, asal membuatmu senang,” jawab Langit sambil menatap Bintang yang masih mengikat dasi. Hingga saat istrinya itu selesai mengikat, Langit pun mendaratkan sebuah kecupan di kening Bintang. Bintang memejamkan mata sambil memulas senyum saat Langit mendaratkan kecupan di kening. “Baiklah,