“El, ikut mimi pulang, ya.” Joya terus membujuk putranya agar mau pulang ke Indonesia bersamanya.
“Tidak, Mi. Aku lebih suka tinggal di sini,” tolak Langit ke sekian kalinya.
Langit sudah berpakaian rapi dan kini bersiap pergi ke kantor tempatnya bekerja. Langit bekerja di perusahaan inti Magnifique di Paris.
“Pokoknya mimi ga mau tahu. Mimi akan minta agar kamu dipecat agar mau pulang ke Indonesia!” ancam Joya yang sudah tidak tahu lagi cara membujuk Langit agar mau pulang ke Indonesia.
Langit sudah terlalu lama tinggal di negara itu, hanya karena patah hati, membuat pria itu meninggalkan negara kelahirannya untuk kabur dari masa lalu.
Langit menatap sang mimi yang terlihat frustasi dan putus asa, sebelum kemudian menangkup wajah Joya sambil tersenyum ke wanita yang sudah melahirkannya itu.
“Mi, aku benar-benar belum siap untuk pulang. Tolong jangan paksa aku,” pinta Langit, kemudian mengecup kening Joya.
Joya bergeming mendengar ucapan Langit. Dia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi delapan tahun lalu, yang membuat Langit meminta untuk dipindah sekolah, padahal ujian akan segera tiba. Joya diancam jika tidak mau memindahkan Langit, maka pemuda itu tidak akan pernah melanjutkan study-nya. Tidak tanggung-tanggung, Langit langsung meminta pindah ke luar negeri.
Langit pamit ke kantor, meninggalkan Joya di apartemennya sendirian. Joya sendiri hanya bisa mencari ide untuk bisa membawa putranya pulang.
**
Langit bekerja seperti biasa, tapi sayangnya fokusnya pecah karena keinginan sang mimi yang terus merengek dan memintanya untuk pulang.
“Kenapa kamu terlihat tidak fokus bekerja?” tanya salah satu rekan kerja Langit bicara dengan bahasa Inggris.
“Tidak ada, hanya saja kurang istirahat,” jawab Langit dengan senyum tipis di bibir.
Rekan kerja Langit tampak menengok ke kanan dan kiri, hingga kemudian memandang Langit yang sedang kembali bekerja.
“El, apa nanti malam kamu ada waktu luang? Bagaimana kalau kita pergi minum?” tanya wanita dengan tubuh tinggi dan berparas cantik itu.
Siapa yang tidak tahu tentang kelakuan Langit yang suka tidur dengan banyak wanita, hingga beberapa di antaranya menawarkan diri atau memang mengajak Langit hanya untuk tahu sehebat apa pria itu saat di atas ranjang.
Langit terdiam mendengar ajakan wanita itu, hingga kemudian menjawab, “Baiklah, sepulang bekerja.”
Wanita itu tersenyum, lantas berdeham dan mengangguk, sebelum kemudian pergi meninggalkan meja Langit.
Langit sebenarnya tidak ingin pergi, tapi karena malas mendengar rengekan Joya yang memintanya pulang, membuat Langit memilih menerima tawaran minum rekan kerjanya itu.
**
Di Indonesia. Hari sudah sudah menjelang malam dan Bintang tampak baru saja pulang dari kantor. Gadis itu turun dari mobil, lantas berjalan masuk dan langsung disambut suara sang mami yang selalu membuat hatinya lega.
“Kamu sudah pulang? Mau mami buatkan coklat panas atau yang lainnya?” tanya Annetha ketika melihat Bintang datang.
Bintang meletakkan blazer yang ditentengnya di sandaran sofa, lantas berjalan ke ruang makan di mana Annetha sedang menyiapkan makan malam.
“Mami masak apa?” tanya Bintang sambil menatap satu persatu menu di meja.
“Semur daging, khusus kamu seperti biasanya,” jawab Annetha sambil melirik Bintang.
Bintang melebarkan senyum, kemudian mencium pipi Annetha.
“Aku mau mandi dulu, Mi. Coklat panasnya boleh,” kata Bintang kemudian berjalan meninggalkan ruang makan.
Annetha tersenyum saat Bintang terlihat begitu bahagia seperti tanpa beban, sempat takut jika putrinya tertekan dan membahayakan kondisi kesehatan gadis itu. Dia dan suaminya melakukan segala upaya untuk membuat Bintang sehat dan dalam kondisi mental yang baik.
Bintang masuk kamar, ruangan berukuran lumayan besar itu sudah sangat banyak berubah. Dulu ada meja belajar yang berlawanan dengan ranjang, kini sudah tergantikan dengan meja rias yang penuh alat make up, cat dinding yang dulu berwarna merah muda, kini berubah menjadi warna nude dan kalem untuk Bintang. Begitu juga dengan pemilik kamar itu, Bintang yang sekarang sangat jauh berbeda dengan Bintang saat masih duduk di bangku SMA.
Origami berbentuk bintang yang pernah terpajang di jendela kamar gadis itu, kini juga sudah raib entah ke mana.
Gadis itu melepas pakaian dan bersiap membersihkan diri, hingga terdengar suara petir yang cukup keras, langit yang sudah gelap kini semakin gelap dengan kumpulan awan hitam yang bergulung karena terpaan angin begitu cepat.
Bintang berjalan ke arah jendela, melihat langit yang kini sudah tertutup awan. Malam kelam itu, mengingatkannya akan malam di mana dia sudah mematahkan hati seorang pemuda bersamaan dengan hatinya yang ikut patah.
“Langit, bagaimana kabarmu? Apa kamu bisa memaafkanku, jika kita bertemu kembali?”
Entah kenapa bibir itu berucap tanpa komando. Meski dia takut untuk bertemu, tapi tidak memungkiri kalau ingin membebaskan diri dari belenggu rasa bersalah yang sudah mengikatnya selama delapan tahun ini.
Semua orang mengira Bintang baik-baik saja, tapi selama ini dia sudah memendam rasa sakit dan bersalah yang teramat dalam. Terkadang ada sebuah penyesalan di hati atas tindakan yang dilakukan, kenapa saat itu dia begitu kejam menghancurkan cinta pemuda yang sangat dicintainya.
**
Paris, Prancis.
Langit pergi ke klub bersama teman wanitanya, mereka duduk di bar dan memesan minuman. Mereka bersulang dan sudah menenggak beberapa gelas minuman.
“Kamu menolak berpacaran denganku, aku terkejut kamu menerima tawaranku untuk minum, El. Aku pikir kamu menjaga jarak denganku,” ucap wanita itu saat baru saja menenggak minuman yang ada di gelas.
“Hm … aku hanya tidak ingin terikat dengan hubungan apa pun. Jika ingin berkencan atau pergi denganku, maka itu adalah kencan tanpa status. Bahkan bercinta pun dengan sukarela tanpa ada komitmen yang mengikat,” balas Langit santai. Dia menenggak cairan berwarna coklat dari gelas kristal yang dipegangnya.
Wanita yang kini sedang minum bersama Langit tampak menggoyangkan gelas yang dipegang, tapi tatapan terus tertuju ke Langit.
Langit menyadari tatapan yang berbeda dari rekan kerjanya itu, hingga meletakkan gelas di meja bar, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah wanita itu.
Wanita itu menatap wajah Langit dari dekat. Benar kata teman-temannya jika Langit sangat tampan dan memiliki daya pikat yang membuat wanita bertekuk lutut kepada pria itu.
“Mau melakukan hal lebih?” tanya Langit dengan tatapan begitu dalam.
“Jika kamu mau, aku tidak keberatan,” jawab wanita itu dengan senyum menggoda.
Di sisi lain. Joya kebingungan karena Langit belum pulang, padahal jam kerja sudah berakhir satu jam yang lalu. Dia mencoba menghubungi Langit, tapi putranya itu tidak menjawab panggilannya.
“Ke mana dia?” Joya benar-benar cemas, apalagi jika sampai Langit bermain wanita lagi.
“Tidak, aku tidak bisa begini. Aku harus memikirkan cara untuk membawanya pulang ke Indonesia.”
Joya berpikir begitu keras, dia tidak bisa membiarkan masa depan putranya hancur karena pergaulan bebas di kota itu.
**
Langit pergi ke apartemen milik wanita yang bersamanya. Mereka sudah banyak minum, hingga memutuskan pulang ke apartemen wanita itu dan melakukan apa yang mereka sepakati saat di klub.
“Kamu tinggal sendiri, ‘kan?” tanya Langit saat masuk di apartemen rekan kerjanya itu.
“Ya, jika tidak sendiri, aku akan memilih mengajakmu pergi ke hotel,” jawab wanita itu sambil meletakkan tasnya di sofa.
Wanita itu membalikkan tubuh menghadap Langit, hingga dengan gerakan sensual membuka blazer yang dikenakannya.
“Kamu mau mandi dulu, atau ….” Wanita itu mulai memancing, sengaja menjeda ucapannya agar Langit memilih mana yang hendak dilakukannya terlebih dahulu.
“Aku bisa melakukannya dalam berbagai kondisi,” ucap Langit. Pria itu merengkuh pinggang rekan kerjanya, merapatkan tubuh mereka hingga tidak ada jarak yang memisah.
“Bahkan, jika kamu ingin melakukannya sambil mandi pun aku bisa,” imbuh Langit kemudian.
Wanita itu tersenyum, hingga kemudian merangkulkan kedua lengan dan menyambar bibir Langit. Bibir mereka bertautan, saling memagut dan melumat satu sama lain. Kedua kaki mereka bergerak perlahan dengan bibir saling menyatu, hingga keduanya kini berada di kamar, menjatuhkan diri di ranjang dan melakukan hal yang lebih dari berciuman, karena gairah yang membakar keduanya.
Langit sedang mengenakan kembali kemeja yang sempat teronggok di lantai. Ingin hati tidak pulang, tapi juga tidak tega membiarkan sang ibu sendirian di apartemen dan mungkin kini sedang mencemaskannya.Wanita yang baru saja bercinta dengan Langit duduk di atas ranjang masih menggunakan selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Dia tampak memperhatikan punggung lebar pria yang baru saja membuatnya terbang mencapai kenikmatan duniawi.“El, kenapa kamu menato punggungmu dengan bentuk bintang?” tanya wanita itu saat melihat tato di bahu belakang Langit.Langit melirik ke bahunya, meski tidak melihat, tapi tahu persis posisi tato itu.“Karena aku suka bintang,” jawab Langit.“Kenapa?” tanya wanita itu penasaran.Langit tersenyum masam, tapi memilih tidak menjawab pertanyaan wanita itu.“Aku harus pergi,” ucap Langit saat sudah selesai berpakaian lengkap.“Sayang sekali, padahal aku masih ingin bersamamu. Mungkin tidur bersama dan melakukan ronde kedua atau bahkan ketiga,” balas wanita itu den
Joya sangat kesal kepada putranya, hingga akhirnya menceritakan bagaimana perjuangan sang suami—Kenzo, untuk mendapatkannya. Suaminya memang playboy yang suka bergonta-ganti pacar, tapi tidak sampai melakukan seks bebas. Lalu saat putus dengan Joya, Kenzo mengubah dirinya lebih baik untuk membuktikan jika layak untuk Joya.“Mimi sungguh kecewa kepadamu, El.” Joya menutup permukaan bibir dengan satu tangan, seolah menahan rasa sedih akibat perubahan sikap putranya.Langit benar-benar melihat kekecewaan dalam tatapan sang mimi, hingga akhirnya meraih tubuh Joya dan hendak memeluk, tapi sang mimi memberontak dan enggan mendapat pelukan. Langit tidak menyerah, lantas memeluk Joya dari belakang dan meletakkan dagu di pucuk kepala sang mimi yang tingginya hanya sebatas lengannya.“Mi, maafin aku.” Langit merasa bersalah melihat kekecewaan di mata Joya.“Kenapa minta maaf ke mimi? Minta maaf ke dirimu sendiri, karena sikapmu sudah merusak jiwamu. Mimi rindu kamu yang dulu, El. Kamu yang sela
Delapan Tahun Lalu“Aku ingin putus.”Langit terperangah mendengar ucapan Bintang, kenapa gadis itu meminta putus sedangkan hubungan mereka baik-baik saja.“Ada apa? Kenapa kamu minta putus? Apa salahku? Bukankah hubungan kita baik-baik saja? Jangan bercanda, Bin. Ini ga lucu.” Langit mengira Bintang bercanda seperti sebelumnya, di mana gadis meminta putus tapi kemudian meminta jadian lagi.“Aku benar-benar ingin minta putus. Tidak ada yang bercanda, El.” Bintang bicara dengan ekspresi wajah serius. Tidak ada keraguan sama sekali saat mengatakan ingin putus dari Langit.Langit terdiam menatap Bintang, menilai apakah gadis itu benar-benar meminta putus ataukah hanya sedang ingin mengerjainya saja.“Katakan! Berikan alasan kamu ingin minta putus dariku!” Langit meminta kejelasan kepada Bintang. Dia tidak lantas percaya begitu saja kalau Bintang ingin mengakhiri hubungan mereka yang baru berjalan beberapa bulan, meski Langit sudah mencintai gadis itu selama bertahun-tahun lamanya.“Aku b
Bintang terbangun dari tidur lelapnya, jantungnya berdegup dengan cepat dan dadanya terasa begitu sesak. Dia baru saja bermimpi tentang Langit, bermimpi saat dia dengan begitu kejam mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan yang jelas, hingga membuat Langit hancur dan menghilang bak ditelan bumi.Tanpa disadari, buliran kristal bening luruh dari kelopak mata. Sekian tahun mencoba melupakan, malam ini Bintang kembali bermimpi tentang Langit. Bintang mengguyar kasar rambut ke belakang, terlihat jelas gurat penyesalan di wajahnya.“Maafkan aku, El. Maaf telah melukaimu.”Mengingat ancaman Langit, seluruh tubuh Bintang terasa meremang karena menahan rasa takut.**Di Paris, Prancis. Langit belum tidur dan masih berdiri di dekat dinding kaca apartemennya. Dia memandang lurus ke depan, menatap hamparan kota Paris yang bermandikan cahaya.Langit baru saja mengingat kejadian saat Bintang meminta putus kepadanya. Dia masih tidak bisa menerima alasan gadis itu meminta berpisah. Baginya itu adalah
Bintang terlihat kikuk, bahkan sesekali tersenyum meski begitu berasa canggung.“Maaf karena sudah menabrak mobilmu,” ucap Bintang setelah mengamati sekali lagi bemper mobil yang ditabraknya.“Tidak apa-apa, Bin.” Pemilik mobil yang ditabrak Bintang tampak mengulas senyum melihat Bintang yang salah tingkah.“Bagaimana kabarmu?” tanya wanita yang tidak lain adalah Cheryl—kakak angkat Langit.Bintang melipat bibir ke dalam, lantas menatap kakak angkat mantan kekasihnya itu dengan rasa kikuk.“Baik,” jawab Bintang yang kemudian mengalihkan pandangan.Cheryl memandang Bintang yang salah tingkah, hingga kemudian tersenyum manis. Wanita berkebangsaan Prancis itu tahu bagaimana dulu hubungan antara Bintang dan Langit, hanya menyayangkan saat tahu kalau hubungan keduanya kandas begitu saja.“Aneh ya. Kita berada dalam satu kota, tapi tidak pernah bertemu meski secara kebetulan. Pagi ini tampaknya aku beruntung bisa melihatmu, meski dengan sebuah insiden,” ujar Cheryl memecah rasa canggung yan
Langit mengulum bibir dan merangkul pundak Cheryl, kemudian mengajak wanita itu berjalan.“Bibit ikan, Mimi kesal karena aku membuangnya di selokan,” ujar Langit menjelaskan, lantas melirik Joya yang masih bersungut kesal.Cheryl semakin tidak paham, kenapa bibit ikan dibuang ke selokan.“Memangnya kamu di sana ternak pembibitan ikan?” tanya Cheryl dengan polosnya.Langit menahan tawa, sedangkan Joya semakin kesal dengan putranya yang sudah membuatnya kembali membahas masalah bibit superior yang dibuang-buang Langit sembarangan.“Tidak,” jawab Langit, “sudah jangan dibahas.” Akhirnya Langit mencoba mengalihkan pembicaraan.Mereka pun pulang menuju rumah orangtua Langit. Sepanjang jalan Langit menatap jalanan yang dilewati, merasa banyak sekali yang sudah berubah selama delapan tahun ini. Delapan tahun, Langit tidak pernah berpikir untuk kembali ke negara itu. Andai Joya tidak merengek dan memintanya pulang, mungkin Langit tidak akan pernah kembali dan melupakan tempatnya lahir dan tum
Satu minggu berlalu. Langit sudah pindah ke apartemennya yang baru setelah merengek ingin tinggal di apartemennya sendiri. Dia mengancam akan pergi lagi ke Paris kalau kedua orangtuanya tidak mengabulkan keinginannya.“Sore, Pak.” “Sore, Pak.”Para staff perusahaan tampak menyapa Langit yang baru saja keluar dari lift dan berjalan di lobi. Ketampanan pria itu bagai magnet tersendiri untuk kaum hawa di perusahaan itu. Mereka bagai mendapatkan asupan gizi untuk mata, karena mendapatkan atasan muda yang tampan, membuat mereka betah berlama-lama di perusahaan hanya untuk sekadar memandang ciptaan Tuhan yang bagi mereka begitu sempurna.“Apa Pak Langit masih jomblo?” tanya salah satu staff wanita sambil memandang Langit yang berjalan menuju pintu lobi.“Mana mungkin pria setampan dia masih jomblo, meskipun iya, aku yakin yang antri sudah banyak,” timpal staff lain.“Kalau masih buka antrian untuk pendaftaran sebagai pacarnya, aku mau antri,” imbuh yang lainnya.“Aku juga mau daftar,” bala
Langit memberikan tatapan dingin ke Bintang, hal itu membuat Bintang menelan ludah susah payah dan rasa bersalah kembali kepada pria itu merayap dada.Box kue yang jatuh ternyata menimpa sedikit sepatu Langit, membuat pria itu menggeser kakinya hingga box itu kini tergeletak sempurna di trotoar.“Rusak, ya? Sayang sekali! Tapi untungnya kue itu masih bisa dibeli lagi atau dibuat lagi,” sindir Langit dengan senyum miring di wajah.Bintang hanya diam mendengarkan ucapan Langit, tahu betul apa yang dimaksud oleh mantan kekasihnya itu.Laras melihat tatapan kebencian di mata Langit, kini baru menyadari kalau kepergian Langit diakibatkan oleh Bintang.“Ayo, Ras. Kita pergi.” Langit mengajak Laras meninggalkan Bintang.Laras sudah lama tidak bertegur sapa dengan Bintang, tepatnya setelah dirinya membenci Bintang yang memiliki hubungan dengan Langit. Laras pun mengikuti langkah Langit, karena tujuannya memang ingin bicara dan dekat dengan pria itu.Bintang bergeming di tempatnya, menunduk da
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a