‘Saat kulangkahkan kaki keluar dari tempat yang selalu membuatku nyaman. Aku enggan mendongakkan kepalaku, tak ingin menengadahkan wajahku. Bahkan tak ingin melihat betapa cerahnya hari itu. Bukan, bukan ‘ku tak ingin melihat indahnya dunia, tapi aku sedang lari dari kenyataan jika telah mematahkan hati pemuda yang aku cintai. Hingga aku tidak mampu menatap langit, yang mampu mengingatkan kepadanya. Aku adalah sebuah bintang yang durhaka pada langit karena tidak mau menemaninya dan menatapnya.’
“Bu Bintang.”
Seorang staff tampak berjalan cepat untuk menyusul seorang gadis yang sudah sampai di depan lobi.
Gadis berambut panjang sebahu itu menoleh. Bintang adalah seorang direktur pemasaran di perusahaan sang ayah. Dia berhenti melangkah dan menunggu staffnya menyusul dirinya.
“Payung Anda, Bu.” Staff itu memberikan payung lipat ke Bintang.
“Ah iya, sampai lupa,” ucap Bintang dengan senyum tipis di wajah.
Staff itu memberikan payung ke Bintang, lantas menyodorkan berkas yang dibawanya juga.
“Ini juga ketinggalan, Bu. Untung Bu Bintang belum pergi.”
Bintang mengambil stopmap berisi berkas itu, hingga memejamkan sekilas dan menggeleng kepala pelan karena bisa melupakan berkas penting itu.
“Terima kasih, ya. Hampir saja tidak terbawa, padahal ini dokumen penting,” ucap Bintang sangat berterima kasih karena staffnya sudah membawakan berkas itu.
“Sama-sama, Bu.”
Bintang pun pamit karena harus pergi bertemu kliennya. Sudah satu tahun ini dia bekerja di perusahaan sang papi sebagai direktur pemasaran karena kemampuannya berinteraksi dan juga menarik investor untuk menanamkan modal di perusahaan perbankan milik keluarganya.
Bintang membuka payung lipatnya, berjalan di bawah payung untuk menghindarkannya dari terik matahari, serta untuk menghalau pandangannya dari langit.
‘Aku terus berusaha untuk tidak mengingatmu, karena aku tahu kesalahan yang kubuat, sudah menyakiti dan membuatmu sangat terluka. Aku mengelak karena sadarbahwa aku tak layak untuk melihatmu, bahkan menyebut namamu pun bibir ini tak layak.’
**
“Coklat hangat kesukaanmu.”
Secangkir coklat hangat diletakkan di meja, uapnya mengepul dan aromanya begitu menggelitik indera penciuman.
“Terima kasih,” ucap Bintang dengan senyum lebar. Menatap Anta yang masih berdiri setelah menyajikan coklat panas itu.
Anta duduk berseberangan dengan Bintang, menemi sepupunya yang datang untuk makan siang seperti biasa di kafe miliknya.
Sejak lulus kuliah, Anta lebih tertarik mengembangkan bisnis milik keluarga daripada bekerja di perusahaan kakeknya. Dia lebih suka berhadapan dengan gelas, bahan makanan, dan yang lainnya, daripada kertas-kertas yang bertumpuk.
“Habis ketemu klien?” tanya Anta menebak.
“Ya, untung saja semuanya berjalan dengan lancar,” jawab Bintang lantas menyesap coklat panas miliknya.
“Pelan-pelan,” ucap Anta saat melihat Bintang kepanasan.
Pria itu mengambil tisu dan memberikan ke Bintang. Bintang mengambilnya dan langsung mengusap permukaan bibir.
“Terima kasih,” ucap Bintang setelah mengusap permukaan bibir.
“Bin, bukankah kamu bisa meminta staffmu yang menemui klien, kenapa harus kamu sendiri yang keluar?” tanya Anta keheranan. Sepupunya itu seorang direktur utama, tapi selalu melakukan semuanya sendiri.
“Bisa saja aku meminta staff ‘ku yang mengurus, tapi di sini aku sedang membangun kepercayaan, Ta. Dengan begitu klien akan percaya dan tidak meragukan kami, karena aku sebagai direktur pun turun tangan sendiri,” ujar Bintang menjelaskan.
Anta terus menatap Bintang, gadis itu memang masih sama seperti dulu, pekerja keras dan mudah berinteraksi dengan orang. Namun, Anta merasa ada sesuatu yang hilang dari Bintang. Gadis itu sudah tidak pernah lagi tersenyum tulus dan hangat seperti dulu saat bersama orang lain. Hanya ada senyum keterpaksaan untuk membuat lawan bicaranya merasa senang, meski gadis itu sendiri tidak.
“Tidak terasa delapan tahun berlalu. Dulu kita hanya tahu bermain dan belajar, tapi kini kita sudah bisa mengelola bisnis keluarga,” ucap Anta sambil menatap keluar kafe.
Meski dia berkata jika mereka sering bermain, pada kenyataannya itu tidak berlaku bagi Bintang.
“Hm … bukankah ini tujuan kita belajar,” balas Bintang. Dia kembali mengambil cangkir coklatnya, meniup uap panas yang masih mengepul, lantas menyesap perlahan.
Anta mengalihkan pandangan dari luar ke Bintang, ditatapnya sang adik sepupu yang terlihat bahagia, meski menyimpan sejuta kepedihan.
“Bin, apa tujuanmu di masa depan?” tanya Anta.
Bintang berhenti menyesap coklat panasnya, hingga tampak berpikir kemudian memandang Anta. Tujuan, apa dia memiliki tujuan hidup. Jika memang ada, apakah dia bisa mewujudkannya.
“Entah, aku tidak tahu. Yang aku tahu sekarang adalah menjalani apa yang bisa aku jalani,” jawab Bintang dengan senyum kecil di wajah.
Anta terus memperhatikan Bintang, hingga secara iseng pria itu bertanya, “Jika tiba-tiba Langit kembali dan berdiri di hadapanmu, apa kamu akan menemuinya?”
Pertanyaan Anta membuat jantung Bintang berdegup dengan cepat. Dia menatap Anta dengan tatapan yang tidak bisa dideskripsikan. Langit, nama yang sudah tidak pernah disebutnya lagi. Andai bertemu, apakah mungkin pria itu juga mau bicara kepadanya. Dia melihat luka dalam tatapan pria itu delapan tahun silam, setelah delapan tahun berlalu, mungkinkan Langit mau kembali bicara dengannya.
“Jangan membahas itu. Kamu tahu bagaimana kami. Lagi pula ini sudah delapan tahun, Ta. Aku tidak yakin dia mengingatku,” jawab Bintang dengan senyum getir di wajah.
Anta terus memperhatikan Bintang, memang sudah delapan tahun berlalu, tapi Anta yakin kalau Bintang masih mencintai Langit sama seperti delapan tahun lalu sebelum Langit dan Bintang berpisah.
‘Aku terlalu malu untuk bertemu dengannya. Salahku menorehkan luka dihatinya. Andai takdir mempertemukan kami, aku pun tidak yakin apakah dia sudi mengenaliku. Sungguh, jika bisa berharap, aku tidak ingin bertemu dengannya. Aku terlalu penakut untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.’
“El, ikut mimi pulang, ya.” Joya terus membujuk putranya agar mau pulang ke Indonesia bersamanya.“Tidak, Mi. Aku lebih suka tinggal di sini,” tolak Langit ke sekian kalinya.Langit sudah berpakaian rapi dan kini bersiap pergi ke kantor tempatnya bekerja. Langit bekerja di perusahaan inti Magnifique di Paris.“Pokoknya mimi ga mau tahu. Mimi akan minta agar kamu dipecat agar mau pulang ke Indonesia!” ancam Joya yang sudah tidak tahu lagi cara membujuk Langit agar mau pulang ke Indonesia.Langit sudah terlalu lama tinggal di negara itu, hanya karena patah hati, membuat pria itu meninggalkan negara kelahirannya untuk kabur dari masa lalu.Langit menatap sang mimi yang terlihat frustasi dan putus asa, sebelum kemudian menangkup wajah Joya sambil tersenyum ke wanita yang sudah melahirkannya itu.“Mi, aku benar-benar belum siap untuk pulang. Tolong jangan paksa aku,” pinta Langit, kemudian mengecup kening Joya.Joya bergeming mendengar ucapan Langit. Dia tidak tahu pasti apa yang sebenarny
Langit sedang mengenakan kembali kemeja yang sempat teronggok di lantai. Ingin hati tidak pulang, tapi juga tidak tega membiarkan sang ibu sendirian di apartemen dan mungkin kini sedang mencemaskannya.Wanita yang baru saja bercinta dengan Langit duduk di atas ranjang masih menggunakan selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Dia tampak memperhatikan punggung lebar pria yang baru saja membuatnya terbang mencapai kenikmatan duniawi.“El, kenapa kamu menato punggungmu dengan bentuk bintang?” tanya wanita itu saat melihat tato di bahu belakang Langit.Langit melirik ke bahunya, meski tidak melihat, tapi tahu persis posisi tato itu.“Karena aku suka bintang,” jawab Langit.“Kenapa?” tanya wanita itu penasaran.Langit tersenyum masam, tapi memilih tidak menjawab pertanyaan wanita itu.“Aku harus pergi,” ucap Langit saat sudah selesai berpakaian lengkap.“Sayang sekali, padahal aku masih ingin bersamamu. Mungkin tidur bersama dan melakukan ronde kedua atau bahkan ketiga,” balas wanita itu den
Joya sangat kesal kepada putranya, hingga akhirnya menceritakan bagaimana perjuangan sang suami—Kenzo, untuk mendapatkannya. Suaminya memang playboy yang suka bergonta-ganti pacar, tapi tidak sampai melakukan seks bebas. Lalu saat putus dengan Joya, Kenzo mengubah dirinya lebih baik untuk membuktikan jika layak untuk Joya.“Mimi sungguh kecewa kepadamu, El.” Joya menutup permukaan bibir dengan satu tangan, seolah menahan rasa sedih akibat perubahan sikap putranya.Langit benar-benar melihat kekecewaan dalam tatapan sang mimi, hingga akhirnya meraih tubuh Joya dan hendak memeluk, tapi sang mimi memberontak dan enggan mendapat pelukan. Langit tidak menyerah, lantas memeluk Joya dari belakang dan meletakkan dagu di pucuk kepala sang mimi yang tingginya hanya sebatas lengannya.“Mi, maafin aku.” Langit merasa bersalah melihat kekecewaan di mata Joya.“Kenapa minta maaf ke mimi? Minta maaf ke dirimu sendiri, karena sikapmu sudah merusak jiwamu. Mimi rindu kamu yang dulu, El. Kamu yang sela
Delapan Tahun Lalu“Aku ingin putus.”Langit terperangah mendengar ucapan Bintang, kenapa gadis itu meminta putus sedangkan hubungan mereka baik-baik saja.“Ada apa? Kenapa kamu minta putus? Apa salahku? Bukankah hubungan kita baik-baik saja? Jangan bercanda, Bin. Ini ga lucu.” Langit mengira Bintang bercanda seperti sebelumnya, di mana gadis meminta putus tapi kemudian meminta jadian lagi.“Aku benar-benar ingin minta putus. Tidak ada yang bercanda, El.” Bintang bicara dengan ekspresi wajah serius. Tidak ada keraguan sama sekali saat mengatakan ingin putus dari Langit.Langit terdiam menatap Bintang, menilai apakah gadis itu benar-benar meminta putus ataukah hanya sedang ingin mengerjainya saja.“Katakan! Berikan alasan kamu ingin minta putus dariku!” Langit meminta kejelasan kepada Bintang. Dia tidak lantas percaya begitu saja kalau Bintang ingin mengakhiri hubungan mereka yang baru berjalan beberapa bulan, meski Langit sudah mencintai gadis itu selama bertahun-tahun lamanya.“Aku b
Bintang terbangun dari tidur lelapnya, jantungnya berdegup dengan cepat dan dadanya terasa begitu sesak. Dia baru saja bermimpi tentang Langit, bermimpi saat dia dengan begitu kejam mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan yang jelas, hingga membuat Langit hancur dan menghilang bak ditelan bumi.Tanpa disadari, buliran kristal bening luruh dari kelopak mata. Sekian tahun mencoba melupakan, malam ini Bintang kembali bermimpi tentang Langit. Bintang mengguyar kasar rambut ke belakang, terlihat jelas gurat penyesalan di wajahnya.“Maafkan aku, El. Maaf telah melukaimu.”Mengingat ancaman Langit, seluruh tubuh Bintang terasa meremang karena menahan rasa takut.**Di Paris, Prancis. Langit belum tidur dan masih berdiri di dekat dinding kaca apartemennya. Dia memandang lurus ke depan, menatap hamparan kota Paris yang bermandikan cahaya.Langit baru saja mengingat kejadian saat Bintang meminta putus kepadanya. Dia masih tidak bisa menerima alasan gadis itu meminta berpisah. Baginya itu adalah
Bintang terlihat kikuk, bahkan sesekali tersenyum meski begitu berasa canggung.“Maaf karena sudah menabrak mobilmu,” ucap Bintang setelah mengamati sekali lagi bemper mobil yang ditabraknya.“Tidak apa-apa, Bin.” Pemilik mobil yang ditabrak Bintang tampak mengulas senyum melihat Bintang yang salah tingkah.“Bagaimana kabarmu?” tanya wanita yang tidak lain adalah Cheryl—kakak angkat Langit.Bintang melipat bibir ke dalam, lantas menatap kakak angkat mantan kekasihnya itu dengan rasa kikuk.“Baik,” jawab Bintang yang kemudian mengalihkan pandangan.Cheryl memandang Bintang yang salah tingkah, hingga kemudian tersenyum manis. Wanita berkebangsaan Prancis itu tahu bagaimana dulu hubungan antara Bintang dan Langit, hanya menyayangkan saat tahu kalau hubungan keduanya kandas begitu saja.“Aneh ya. Kita berada dalam satu kota, tapi tidak pernah bertemu meski secara kebetulan. Pagi ini tampaknya aku beruntung bisa melihatmu, meski dengan sebuah insiden,” ujar Cheryl memecah rasa canggung yan
Langit mengulum bibir dan merangkul pundak Cheryl, kemudian mengajak wanita itu berjalan.“Bibit ikan, Mimi kesal karena aku membuangnya di selokan,” ujar Langit menjelaskan, lantas melirik Joya yang masih bersungut kesal.Cheryl semakin tidak paham, kenapa bibit ikan dibuang ke selokan.“Memangnya kamu di sana ternak pembibitan ikan?” tanya Cheryl dengan polosnya.Langit menahan tawa, sedangkan Joya semakin kesal dengan putranya yang sudah membuatnya kembali membahas masalah bibit superior yang dibuang-buang Langit sembarangan.“Tidak,” jawab Langit, “sudah jangan dibahas.” Akhirnya Langit mencoba mengalihkan pembicaraan.Mereka pun pulang menuju rumah orangtua Langit. Sepanjang jalan Langit menatap jalanan yang dilewati, merasa banyak sekali yang sudah berubah selama delapan tahun ini. Delapan tahun, Langit tidak pernah berpikir untuk kembali ke negara itu. Andai Joya tidak merengek dan memintanya pulang, mungkin Langit tidak akan pernah kembali dan melupakan tempatnya lahir dan tum
Satu minggu berlalu. Langit sudah pindah ke apartemennya yang baru setelah merengek ingin tinggal di apartemennya sendiri. Dia mengancam akan pergi lagi ke Paris kalau kedua orangtuanya tidak mengabulkan keinginannya.“Sore, Pak.” “Sore, Pak.”Para staff perusahaan tampak menyapa Langit yang baru saja keluar dari lift dan berjalan di lobi. Ketampanan pria itu bagai magnet tersendiri untuk kaum hawa di perusahaan itu. Mereka bagai mendapatkan asupan gizi untuk mata, karena mendapatkan atasan muda yang tampan, membuat mereka betah berlama-lama di perusahaan hanya untuk sekadar memandang ciptaan Tuhan yang bagi mereka begitu sempurna.“Apa Pak Langit masih jomblo?” tanya salah satu staff wanita sambil memandang Langit yang berjalan menuju pintu lobi.“Mana mungkin pria setampan dia masih jomblo, meskipun iya, aku yakin yang antri sudah banyak,” timpal staff lain.“Kalau masih buka antrian untuk pendaftaran sebagai pacarnya, aku mau antri,” imbuh yang lainnya.“Aku juga mau daftar,” bala