Bintang terbangun dari tidur lelapnya, jantungnya berdegup dengan cepat dan dadanya terasa begitu sesak. Dia baru saja bermimpi tentang Langit, bermimpi saat dia dengan begitu kejam mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan yang jelas, hingga membuat Langit hancur dan menghilang bak ditelan bumi.Tanpa disadari, buliran kristal bening luruh dari kelopak mata. Sekian tahun mencoba melupakan, malam ini Bintang kembali bermimpi tentang Langit. Bintang mengguyar kasar rambut ke belakang, terlihat jelas gurat penyesalan di wajahnya.“Maafkan aku, El. Maaf telah melukaimu.”Mengingat ancaman Langit, seluruh tubuh Bintang terasa meremang karena menahan rasa takut.**Di Paris, Prancis. Langit belum tidur dan masih berdiri di dekat dinding kaca apartemennya. Dia memandang lurus ke depan, menatap hamparan kota Paris yang bermandikan cahaya.Langit baru saja mengingat kejadian saat Bintang meminta putus kepadanya. Dia masih tidak bisa menerima alasan gadis itu meminta berpisah. Baginya itu adalah
Bintang terlihat kikuk, bahkan sesekali tersenyum meski begitu berasa canggung.“Maaf karena sudah menabrak mobilmu,” ucap Bintang setelah mengamati sekali lagi bemper mobil yang ditabraknya.“Tidak apa-apa, Bin.” Pemilik mobil yang ditabrak Bintang tampak mengulas senyum melihat Bintang yang salah tingkah.“Bagaimana kabarmu?” tanya wanita yang tidak lain adalah Cheryl—kakak angkat Langit.Bintang melipat bibir ke dalam, lantas menatap kakak angkat mantan kekasihnya itu dengan rasa kikuk.“Baik,” jawab Bintang yang kemudian mengalihkan pandangan.Cheryl memandang Bintang yang salah tingkah, hingga kemudian tersenyum manis. Wanita berkebangsaan Prancis itu tahu bagaimana dulu hubungan antara Bintang dan Langit, hanya menyayangkan saat tahu kalau hubungan keduanya kandas begitu saja.“Aneh ya. Kita berada dalam satu kota, tapi tidak pernah bertemu meski secara kebetulan. Pagi ini tampaknya aku beruntung bisa melihatmu, meski dengan sebuah insiden,” ujar Cheryl memecah rasa canggung yan
Langit mengulum bibir dan merangkul pundak Cheryl, kemudian mengajak wanita itu berjalan.“Bibit ikan, Mimi kesal karena aku membuangnya di selokan,” ujar Langit menjelaskan, lantas melirik Joya yang masih bersungut kesal.Cheryl semakin tidak paham, kenapa bibit ikan dibuang ke selokan.“Memangnya kamu di sana ternak pembibitan ikan?” tanya Cheryl dengan polosnya.Langit menahan tawa, sedangkan Joya semakin kesal dengan putranya yang sudah membuatnya kembali membahas masalah bibit superior yang dibuang-buang Langit sembarangan.“Tidak,” jawab Langit, “sudah jangan dibahas.” Akhirnya Langit mencoba mengalihkan pembicaraan.Mereka pun pulang menuju rumah orangtua Langit. Sepanjang jalan Langit menatap jalanan yang dilewati, merasa banyak sekali yang sudah berubah selama delapan tahun ini. Delapan tahun, Langit tidak pernah berpikir untuk kembali ke negara itu. Andai Joya tidak merengek dan memintanya pulang, mungkin Langit tidak akan pernah kembali dan melupakan tempatnya lahir dan tum
Satu minggu berlalu. Langit sudah pindah ke apartemennya yang baru setelah merengek ingin tinggal di apartemennya sendiri. Dia mengancam akan pergi lagi ke Paris kalau kedua orangtuanya tidak mengabulkan keinginannya.“Sore, Pak.” “Sore, Pak.”Para staff perusahaan tampak menyapa Langit yang baru saja keluar dari lift dan berjalan di lobi. Ketampanan pria itu bagai magnet tersendiri untuk kaum hawa di perusahaan itu. Mereka bagai mendapatkan asupan gizi untuk mata, karena mendapatkan atasan muda yang tampan, membuat mereka betah berlama-lama di perusahaan hanya untuk sekadar memandang ciptaan Tuhan yang bagi mereka begitu sempurna.“Apa Pak Langit masih jomblo?” tanya salah satu staff wanita sambil memandang Langit yang berjalan menuju pintu lobi.“Mana mungkin pria setampan dia masih jomblo, meskipun iya, aku yakin yang antri sudah banyak,” timpal staff lain.“Kalau masih buka antrian untuk pendaftaran sebagai pacarnya, aku mau antri,” imbuh yang lainnya.“Aku juga mau daftar,” bala
Langit memberikan tatapan dingin ke Bintang, hal itu membuat Bintang menelan ludah susah payah dan rasa bersalah kembali kepada pria itu merayap dada.Box kue yang jatuh ternyata menimpa sedikit sepatu Langit, membuat pria itu menggeser kakinya hingga box itu kini tergeletak sempurna di trotoar.“Rusak, ya? Sayang sekali! Tapi untungnya kue itu masih bisa dibeli lagi atau dibuat lagi,” sindir Langit dengan senyum miring di wajah.Bintang hanya diam mendengarkan ucapan Langit, tahu betul apa yang dimaksud oleh mantan kekasihnya itu.Laras melihat tatapan kebencian di mata Langit, kini baru menyadari kalau kepergian Langit diakibatkan oleh Bintang.“Ayo, Ras. Kita pergi.” Langit mengajak Laras meninggalkan Bintang.Laras sudah lama tidak bertegur sapa dengan Bintang, tepatnya setelah dirinya membenci Bintang yang memiliki hubungan dengan Langit. Laras pun mengikuti langkah Langit, karena tujuannya memang ingin bicara dan dekat dengan pria itu.Bintang bergeming di tempatnya, menunduk da
Jangankan melihat, membayangkan saja sudah membuat jantung itu berdetak tidak terkendali, gemuruh di dada membuat emosi membuncah, rasa benci itu muncul seiring ingatan kata perpisahan yang begitu menyesakkan dada.Langit harus kembali merasakan sesak di dada karena pertemuannya dengan Bintang. Meski terlihat santai dan biasa saja, sejujurnya dada terasa sesak melihat wajah gadis yang dicintainya itu.Mengulang kebiasaan lamanya untuk menghapus bayangan Bintang. Langit duduk di bar yang terdapat di kota itu, memesan minuman beralkohol dan menenggaknya perlahan.Suara musik yang menggema di bar itu tidak dihiraukan Langit, yang diinginkannya hanya menenangkan diri dan mencoba menghapus wajah Bintang yang dilihatnya.“Sial, kenapa aku harus bertemu dengannya.” Langit mengumpat dalam hati.Dia kembali menenggak minumannya, kemudian memesan lagi hingga entah sudah habis berapa gelas. Langit memang kuat minum dan tahan dengan alkohol, mungkin karena kebiasaannya minum semenjak putus dari B
Ruangan itu terasa hening, sesekali terdengar suara derap langkah orang yang lewat di luar ruangan, juga roda yang bergesek dengan lantai.Bintang mulai menggerakkan kelopak mata, kepalanya terasa berat dan wajahnya sangat pucat. Dia mencoba membuka kelopak mata, samar-samar menatap langit-langit kamar yang tampak asing untuknya.“Kamu sudah bangun.”Suara yang sangat dikenalnya itu terdengar di telinga. Bintang menoleh dan melihat Anta yang duduk di kursi samping ranjang.“Anta, aku di mana?” tanya Bintang lupa dengan apa yang terjadi kepadanya. Tubuhnya masih terasa lemas, bahkan suaranya pun terdengar lemah.“Kamu di rumah sakit,” jawab Anta.Bintang mengangkat satu tangan karena ingin menekan kepala yang terasa pusing, hingga melihat selang infus terpasang di lengan.“Aku akan panggilkan dokter,” ucap Anta kemudian menekan tombol darurat untuk memanggil perawat.Bintang masih merasa matanya berkunang, memilih diam dan menunggu dokter memeriksa kondisinya.Anta sendiri di sana menu
Anta pergi dari rumah sakit setelah Annetha dan Arlan datang. Dia sebenarnya ingin sekali memberitahu Langit apa yang terjadi kepada Bintang, tapi janjinya membuat Anta tidak bisa berbuat banyak. Bintang terlalu keras kepala untuk menerima sebuah nasihat.Anta membelokkan mobil ke sebuah tempat makan. Dia hendak membeli sarapan sebelum pergi ke kafenya. Pria itu memarkirkan mobil di bahu jalan, lantas turun dan berjalan menuju tempat makan yang ditujunya.Anta berjalan sambil bermain ponsel, saat tangan hendak meraih gagang pintu yang tidak dilihatnya, dia tanpa sengaja menyenggol seseorang yang baru saja keluar dari tempat itu.“Maaf.” Anta terdiam saat melihat siapa yang ditabraknya.Laras baru saja sarapan di tempat itu, hingga bergeming saat bertemu dengan Anta.“Anta.” Laras mencoba tersenyum saat melihat pria itu.Namun, sayangnya Anta tidak memberikan reaksi yang sama. Seolah tidak mengenal, Anta memberikan tatapan dingin, kemudian masuk begitu saja melewati Laras.Laras terdia