Anta duduk sambil bersedekap dada, memalingkan wajah seolah tidak ingin melihat siapa yang kini duduk di hadapannya.“Bagaimana kabarmu, Ta?” Laras akhirnya buka suara setelah sejak tadi diam dan terasa hening di ruangan itu.“Apa kamu menemuiku hanya untuk bertanya kabar? Bisa kamu lihat sendiri, aku sangat baik, usahaku sukses, kabar apa lagi yang ingin kamu tanyakan?” Anta menjawab dengan sedikit nada ketus, lantas menggerakkan kepala hingga akhirnya menatap Laras.Laras tersenyum masam mendengar jawaban Anta. Pria yang dulu pernah dekat dan selalu ada untuknya, kini berubah dingin dan begitu tak acuh kepadanya, membuat Laras merasa tidak nyaman, sampai akhirnya mereka saling diam meski melihat atau berpapasan.Laras memberanikan diri mendatangi Anta, karena merasa perlu bicara dengan pria itu.“Kamu masih marah kepadaku?” tanya Laras dengan suara lembut ke Anta.Anta menatap Laras dengan ekspresi wajah tidak senang, berpikir kalau gadis itu bicara lembut hanya untuk merayunya.“Me
Langit menghentikan langkah mendengar ucapan Bintang, hingga melepas genggaman tangan Laras. Dia membalikkan badan, menatap Bintang yang sudah memandangnya.Bintang terlihat panik, meski begitu berusaha tenang. Dia yang bertekad ingin bicara agar bisa menyelesaikan masalah mereka, yang dirasa masih menggantung.Langit berjalan menghampiri Bintang, tatapannya tidak teralihkan dari wajah gadis itu.Bintang sendiri menelan ludah susah payah, merasa tatapan Langit begitu mengintimidasi.Laras terus memperhatikan, jarak mereka yang sedikit jauh tentunya tidak bisa membuatnya mendengar apa yang mungkin dibicarakan oleh Bintang dan Langit.“Bicara, apalagi yang ingin kamu bicarakan?” tanya Langit begitu berdiri di hadapan Bintang.“Ada beberapa, aku hanya ingin--” Apa yang hendak diucapkan Bintang dipotong cepat oleh Langit.“Aku tidak suka bicara di tempat umum, terlebih jika itu membahas tentang hal pribadi,” ucap Langit memotong cepat.Bintang terkejut karena Langit memotong ucapannya, pa
“Tato? Dia menato tubuhnya? Dan itu ….” Bintang menjeda ucapannya. Berjalan dengan tatapan terus tertuju ke bahu Langit.Keduanya akhirnya masuk lift, Bintang berdiri di belakang Langit dan terus memandang ke tato yang dimiliki pria di depannya itu.“Kenapa Langit menato bahunya dengan gambar bintang?” Bintang bergumam dalam hati.Langit berdiri dengan santai, bahkan tidak terlihat risih atau malu karena bertelanjang dada. Tubuhnya biasa dilihat banyak orang saat musim panas dan dia berjemur di pantai, kali ini dilihat oleh orang lain di sebuah hotel tidak akan jadi masalah untuknya.Mereka berjalan di koridor menuju kamar yang dipesan Langit. Saat Langit masuk, Bintang kembali ragu untuk mengikuti langkah pria itu.“Dia tidak akan melakukan hal buruk kepadaku, ‘kan?” Entah kenapa pikiran negatif tiba-tiba berputar di kepala.Langit menghentikan langkah, melirik ke belakang dan melihat Bintang yang masih bergeming di depan pintu.“Jika tidak yakin, tidak usah masuk.” Suara tegas itu
Bintang sangat terkejut dengan yang dilakukan Langit, terutama saat pria itu menarik dan memojokkan ke dinding. Jantung Bintang berdegup dengan cepat, jangan lupakan Langit yang bertelanjang dada sampai membuat Bintang menahan napas saat aroma maskulin pria itu menusuk hidungnya.“Kamu selalu menganggap keputusanmu yang terbaik untuk semua. Tapi apa pernah sekali saja kamu meminta pendapat orang lain?” tanya Langit dengan tatapan tidak teralihkan dari Bintang. Jarak mereka begitu dekat, hingga Langit sedikit menunduk untuk bisa menatap wajah mantan kekasihnya itu.Bintang tidak menjawab pertanyaan Langit, menatap sambil mengulum bibirnya.“Kenapa diam? Bukankah tadi kamu banyak bicara?” Langit sudah melepas lengan Bintang, tapi memindah kedua tangan di samping kepala Bintang untuk mengurung gadis itu.“Karena aku merasa memang terbaik,” jawab Bintang akhirnya. Bicara membuat hidungnya mencium aroma maskulin pria itu.Saat keduanya saling tatap, Bintang merasa mulai tidak nyaman dengan
Langit masih memandang Bintang, gadis itu tidak pingsan hanya memejamkan mata karena rasa sakit yang mendera. Terlihat gurat kecemasan di wajah Langit, beribu pertanyaan kini semakin berkutat di kepala.Bintang mengerutkan kelopak mata, menahan sakit akibat demam yang menyerangnya secara tiba-tiba. Tubuhnya lemas, meski kelopak mata ingin terbuka. Dia bahkan tahu saat Langit membuka blazernya, sempat terlintas bahwa pria itu akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya, tapi ternyata itu tidak terbukti. Bintang hanya merasakan Langit yang menyingkap ujung lengan kemejanya sebelum kemudian melepas tangannya.Melihat Bintang yang seolah ingin membuka mata, Langit mengulurkan tangan dan menyentuh kening dengan punggung tangan.Bintang baru saja membuka mata, hingga tatapan yang masih kabur untuk melihat, kini bertemu dengan tatapan pria yang sedang menyentuh keningnya.“Demammu sudah turun,” ucap Langit.Bintang tidak menjawab, tatapannya terus tertuju ke pria itu. Dia sedang merutuki dir
Balasan Langit seperti sebuah petir yang menyambar tepat di hati Laras. Pria itu secara gamblang mengatakan jika tidak menyukai gadis di depannya, membuat harapan dan imajinasi gadis itu hancur seketika.“Aku pikir kamu selama ini terus mengajakku jalan dan mengobrol banyak hal, karena kamu menerimaku masuk dalam hidupmu?” tanya Laras yang seolah tidak terima Langit menolak dirinya. Bola matanya terasa panas mendengar penolakan Langit, dia berusaha untuk tidak menangis.“Memang, tapi bukan berarti aku menyukaimu. Aku hanya butuh teman untuk bicara dan jalan bersama. Aku hanya menganggapmu sebatas teman, tidak lebih,” jawab Langit menjelaskan. Dia tidak mungkin mengatakan kalau hanya memanfaatkan Laras untuk membuat Bintang cemburu, tidak tega jika semakin menyakiti hati gadis itu meski memang benar.Sambaran petir terasa kedua kali menghancurkan hati Laras, gadis itu bergeming memandang Langit yang dikira memberinya kesempatan untuk dekat. Namun, semua itu hanya pemikiran Laras dan di
Bintang duduk di depan meja rias, memegang handuk kecil sambil mengusapnya lembut. Ditatapnya bayangan yang terpantul dari cermin, wajahnya semakin pucat karena akhir-akhir ini sering kambuh.Hingga ingatan akan kejadian siang tadi melintas di kepala, yang membuat Bintang penasaran adalah tato yang dimiliki Langit.“Kenapa dia menggambar tato berbentuk bintang di bahunya, sejak kapan?” Bintang masih saja memikirkan hal itu, entah kenapa melihat tato itu pertama kali, membuatnya besar kepala dan menganggap Langit membuat itu untuk mengingat dirinya.“Sadar, Bin! Kamu itu musuh untuknya sekarang! Kamu sudah melukai hatinya, bagaimana bisa dia melakukan itu untuk mengingatmu, yang ada dia ingin melupakanmu. Sadar! Jangan besar kepala!”Bintang mencoba menepis pikiran anehnya. Dia tidak berharap banyak tentang pertemuannya dengan Langit. Bisa mendapatkan maaf dari pria itu saja sudah cukup, tidak ada yang Bintang inginkan lagi setelahnya.**Langit sudah berada di apartemennya, baru saja
Anta membaringkan Laras di kamarnya, memastikan gadis itu tertidur dengan nyaman, sebelum kemudian turun ke bawah di mana Langit menunggu di sana.“Kopi?” Anta menawari temannya itu.“Boleh, aku ingin tahu seenak apa rasa kopi yang disajikan di sini,” ujar Langit dengan senyum manisnya.Anta pun pergi ke belakang meja bartender, lantas menyalakan mesin pembuat kopi dan menunggu sebelum menyeduh kopi terenak yang ada di kafenya.Langit duduk sambil mengamati sekitar, kafe itu terlihat modern tapi ornamen dan desain kafe itu berbau klasik. Aroma kopi tercium di indra penciuman Langit, dia menoleh dan melihat Anta membawa dua cangkir kopi.“Bagaimana kabarmu?” tanya Anta sambil meletakkan dua cangkir kopi yang dibawanya di meja.“Hm … baik, seperti yang kamu lihat,” jawab Langit.Anta duduk berseberangan dengan Langit, menatap sahabatnya yang tiba-tiba menghilang delapan tahun lalu itu.“Kamu sudah kembali, kenapa tidak mencariku?” tanya Anta berbasa-basi.“Aku pikir nomermu ganti, juga