Anta membaringkan Laras di kamarnya, memastikan gadis itu tertidur dengan nyaman, sebelum kemudian turun ke bawah di mana Langit menunggu di sana.“Kopi?” Anta menawari temannya itu.“Boleh, aku ingin tahu seenak apa rasa kopi yang disajikan di sini,” ujar Langit dengan senyum manisnya.Anta pun pergi ke belakang meja bartender, lantas menyalakan mesin pembuat kopi dan menunggu sebelum menyeduh kopi terenak yang ada di kafenya.Langit duduk sambil mengamati sekitar, kafe itu terlihat modern tapi ornamen dan desain kafe itu berbau klasik. Aroma kopi tercium di indra penciuman Langit, dia menoleh dan melihat Anta membawa dua cangkir kopi.“Bagaimana kabarmu?” tanya Anta sambil meletakkan dua cangkir kopi yang dibawanya di meja.“Hm … baik, seperti yang kamu lihat,” jawab Langit.Anta duduk berseberangan dengan Langit, menatap sahabatnya yang tiba-tiba menghilang delapan tahun lalu itu.“Kamu sudah kembali, kenapa tidak mencariku?” tanya Anta berbasa-basi.“Aku pikir nomermu ganti, juga
Laras melongo mendengar pertanyaan Anta, apa yang tidak diingatnya. Dia benar-benar lupa, terakhir ingat dia pergi ke klub setelah Langit menolak cintanya, dia juga frustasi karena baru tahu kalau Anta pun menyukai dirinya, meski tidak tahu apakah sekarang masih sama karena keduanya terlibat perang dingin.Kini Laras benar-benar kebingungan, bagaimana caranya menghadapi Anta, padahal pria itu tidak melakukan apa-apa.“Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?” tanya Laras sambil mencengkram selimut erat.“Memangnya apa lagi? Kamu semalam mabuk di klub, aku membawamu pergi dari sana, karena tidak tahu tempat tinggalmu, ya aku bawa ke sini. Memangnya mau aku biarkan tidur di pinggir jalan.” Anta bicara begitu cepat agar Laras tidak menyela, lagi pula dia juga masih malas bicara dengan Laras. Jika bukan karena Langit pun, Anta tidak akan mau menampung Laras.“Lalu? Apa yang terjadi selanjutnya? Kenapa aku memakai kemeja kebesaran ini?” tanya Laras menyelidik karena benar-benar tidak tahu apa
Terkadang apa yang dibayangkan, tidak sesuai ekspektasi. Sebuah bayangan itu nyatanya hanya semu, menggoda jiwa-jiwa rapuh yang tanpa sadar mendamba tunas cintanya kembali di tumbuh dan bunganya mekar semerebak indah menghias hati. Semua impian itu terasa digempur hingga runtuh, saat sebuah suara memanggil dan membangunkannya dari mimpi.“El.” Bintang memanggil sambil menatap Langit yang berjongkok tapi diam dan memandangnya.Bintang sedikit kikuk karena pria itu tidak henti menatap, sedangkan Bintang tidak melakukan apa pun dan hanya berdiri di bawah payung karena terik matahari yang terasa menyengat kulit.Langit tersadar dari lamunan, tidak ada Bintang yang berjongkok di depannya dan mengusap keringatnya penuh perhatian. Tidak ada pertanyaan cinta yang tadi terlontar, kenyataannya Langit masih takut mengetahui jika Bintang tidak benar-benar mencintainya.“Apa susah?” tanya Bintang saat melihat Langit yang baru sadar dari lamunan.Langit menatap tangan yang memegang kunci untuk memb
“Kenapa melamun?”Suara juga tepukan di pundak itu membuat Langit terkejut. Dia sedang duduk di taman samping rumah, lantas menoleh dan melihat kakak angkatnya tersenyum lebar, sebelum kemudian ikut duduk di sana.“Ga ada yang melamun, hanya sedang berpikir,” kata Langit sambil memasukkan saputangan milik Bintang yang sejak tadi dipandangnya.“Berpikir, sampai ada orang yang datang dan berdiri lama di belakangmu saja kamu tidak sadar,” sindir Cheryl.Cheryl berdiri lama di belakang Langit sangat lama, memperhatikan gerak-gerik adiknya itu yang diam sambil menatap saputangan, tapi pria itu tampaknya begitu larut dalam lamunan, sampai tidak menyadari keberadaannya.Langit sendiri sedang memikirkan Bintang, sejak banyak memiliki petunjuk tentang gadis itu, membuat Langit tidak bisa berhenti memikirkannya.Benci, memang dia benci di saat Bintang mengakhiri hubungan mereka. Namun, bukan benci kepada gadis itu, dia benci kepada keputusan yang membuat Bintang jauh darinya.“Lagi mikirin apa?
Bintang mengerutkan alis mendengar ucapan resepsionis, hingga meletakkan gagang telepon kemudian memilih keluar dari ruangannya. Begitu sampai di lobi, Bintang langsung pergi ke meja resepsionis. “Kenapa kamu memintaku langsung turun? Bukankah aku sudah bilang tidak akan menerima buket bunga lagi jika tidak ada kartu nama pengirimnya,” ucap Bintang begitu berada di depan meja resepsionis. “Bukan gitu, Bu. Tapi itu.” Resepsionis menunjuk ke arah ruang tunggu di lobi. Bintang menoleh dan melihat seseorang menunggu di sana, tapi dia tidak melihat jelas siapa pria itu karena terhalang pot tanaman. “Apa dia yang biasa mengirim bunga?” tanya Bintang ke resepsionis. “Bukan,” jawab resepsionis, “tapi dia datang membawa bunga dan berkata ingin bertemu dengan Anda.” Bintang mengangguk-angguk pelan tanda paham lantas berterima kasih dan berjalan menuju ke ruang tunggu lobi. Dia terus memperhatikan siapa pria yang kini sedang duduk sambil menyilangkan kaki. Hingga langkah terhenti saat meli
“Hai, Honey. Kamu tidak merindukanku? Kenapa lama tidak menghubungiku?” Suara Stevani terdengar dari seberang menggunakan bahasa Inggris.Bintang mendengar suara Stevani, membuatnya memilih memalingkan wajah dan menatap keluar jendela, seolah tidak ingin mendengar yang dibicarakan Langit dan wanita di seberang panggilan.“Sorry, aku sedang di Indonesia. Jika pulang ke sana, aku pasti akan menemuimu,” ucap Langit."Pulang, apa dia menganggap sedang bermain di sini, lalu akan negara lain sebagai tempatnya pulang," batin Bintang ketika mendengar ucapan Langit.“Aku sangat, sangat, sangat merindukanmu. Terlebih kegiatan panas kita, jadi aku tunggu kepulanganmu,” ucap Stevani lagi dari seberang panggilan.Bintang bisa mendengar suara Stevani. Dia langsung tersedak mendengar Stevani mengatakan kata ‘kegiatan panas’, tampaknya Bintang paham arti kata itu.Langit langsung menoleh mendengar suara Bintang terbatuk, hingga kembali fokus di jalan.“Siapa itu, El? Aku mendengar suara wanita. Apa k
Setelah pertemuannya dengan Cheryl, Bintang tidak bisa berhenti memikirkan tentang Langit. Rasa bersalah itu semakin menggung. Langit yang dikenalnya sangat baik, sopan, dan selalu menghargai siapapun, kini berubah karena dirinya.Bintang menatap nomor Langit. Pria itu siang tadi sempat melakukan panggilan tak terjawab agar Bintang bisa menyimpan nomornya. Jelas mereka tidak banyak bicara, meski mereka sendiri masih memiliki ketertarikan satu sama lain.“El. Apa ini semua salahku?” Bintang masih memandang ponsel sambil memeluk guling. Dia benar-benar tidak bisa membiarkan saja apa yang didengar.Bintang pun menghela napas kasar, kemudian meletakkan ponsel di samping bantal. Dia membaringkan tubuh dan memandang langit-langit kamar.“Andai aku bisa memutar waktu, serta lebih jujur kepadamu. Mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi, dan kamu masih menjadi Langit yang aku kenal.”Hari berikutnya. Bintang bekerja seperti biasa, meskipun seharian tidak terlalu fokus karena pikiran-pikira
Gerakan Langit lebih cepat meski tindakan itu dilakukan secara impulsif. Langit menangkap ujung pisau menggunakan telapak tangan, membuat pisau itu menggores telapak tangannya.Tetes darah mulai jatuh hingga memberi warna di aspal hitam. Bintang menutup bibir dengan kedua telapak tangan saat melihat tangan Langit terluka.Seketika Langit pun memukul pria yang hampir menusuknya, membuat pria itu mundur, hingga akhirnya mereka kabur karena kalah.Pisau masih ada di genggaman Langit, pria itu pun kemudian membuang ke aspal, melihat luka yang tergores di telapak tangan dan darah yang mengalir dari sana, meski tidak begitu banyak.Bintang kebingungan, mengambil saputangan yang ada di tas dan langsung meraih tangan Langit. Dia buru-buru membungkus luka di tangan Langit dengan saputangan, agar darah tidak semakin mengalir keluar.Langit terkejut melihat Bintang yang tiba-tiba meraih tangannya, hingga menatap gadis yang masih dicintainya itu terlihat begitu cemas.“Bagaimana ini? Kamu terluka