Bintang mengerutkan alis mendengar ucapan resepsionis, hingga meletakkan gagang telepon kemudian memilih keluar dari ruangannya. Begitu sampai di lobi, Bintang langsung pergi ke meja resepsionis. “Kenapa kamu memintaku langsung turun? Bukankah aku sudah bilang tidak akan menerima buket bunga lagi jika tidak ada kartu nama pengirimnya,” ucap Bintang begitu berada di depan meja resepsionis. “Bukan gitu, Bu. Tapi itu.” Resepsionis menunjuk ke arah ruang tunggu di lobi. Bintang menoleh dan melihat seseorang menunggu di sana, tapi dia tidak melihat jelas siapa pria itu karena terhalang pot tanaman. “Apa dia yang biasa mengirim bunga?” tanya Bintang ke resepsionis. “Bukan,” jawab resepsionis, “tapi dia datang membawa bunga dan berkata ingin bertemu dengan Anda.” Bintang mengangguk-angguk pelan tanda paham lantas berterima kasih dan berjalan menuju ke ruang tunggu lobi. Dia terus memperhatikan siapa pria yang kini sedang duduk sambil menyilangkan kaki. Hingga langkah terhenti saat meli
“Hai, Honey. Kamu tidak merindukanku? Kenapa lama tidak menghubungiku?” Suara Stevani terdengar dari seberang menggunakan bahasa Inggris.Bintang mendengar suara Stevani, membuatnya memilih memalingkan wajah dan menatap keluar jendela, seolah tidak ingin mendengar yang dibicarakan Langit dan wanita di seberang panggilan.“Sorry, aku sedang di Indonesia. Jika pulang ke sana, aku pasti akan menemuimu,” ucap Langit."Pulang, apa dia menganggap sedang bermain di sini, lalu akan negara lain sebagai tempatnya pulang," batin Bintang ketika mendengar ucapan Langit.“Aku sangat, sangat, sangat merindukanmu. Terlebih kegiatan panas kita, jadi aku tunggu kepulanganmu,” ucap Stevani lagi dari seberang panggilan.Bintang bisa mendengar suara Stevani. Dia langsung tersedak mendengar Stevani mengatakan kata ‘kegiatan panas’, tampaknya Bintang paham arti kata itu.Langit langsung menoleh mendengar suara Bintang terbatuk, hingga kembali fokus di jalan.“Siapa itu, El? Aku mendengar suara wanita. Apa k
Setelah pertemuannya dengan Cheryl, Bintang tidak bisa berhenti memikirkan tentang Langit. Rasa bersalah itu semakin menggung. Langit yang dikenalnya sangat baik, sopan, dan selalu menghargai siapapun, kini berubah karena dirinya.Bintang menatap nomor Langit. Pria itu siang tadi sempat melakukan panggilan tak terjawab agar Bintang bisa menyimpan nomornya. Jelas mereka tidak banyak bicara, meski mereka sendiri masih memiliki ketertarikan satu sama lain.“El. Apa ini semua salahku?” Bintang masih memandang ponsel sambil memeluk guling. Dia benar-benar tidak bisa membiarkan saja apa yang didengar.Bintang pun menghela napas kasar, kemudian meletakkan ponsel di samping bantal. Dia membaringkan tubuh dan memandang langit-langit kamar.“Andai aku bisa memutar waktu, serta lebih jujur kepadamu. Mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi, dan kamu masih menjadi Langit yang aku kenal.”Hari berikutnya. Bintang bekerja seperti biasa, meskipun seharian tidak terlalu fokus karena pikiran-pikira
Gerakan Langit lebih cepat meski tindakan itu dilakukan secara impulsif. Langit menangkap ujung pisau menggunakan telapak tangan, membuat pisau itu menggores telapak tangannya.Tetes darah mulai jatuh hingga memberi warna di aspal hitam. Bintang menutup bibir dengan kedua telapak tangan saat melihat tangan Langit terluka.Seketika Langit pun memukul pria yang hampir menusuknya, membuat pria itu mundur, hingga akhirnya mereka kabur karena kalah.Pisau masih ada di genggaman Langit, pria itu pun kemudian membuang ke aspal, melihat luka yang tergores di telapak tangan dan darah yang mengalir dari sana, meski tidak begitu banyak.Bintang kebingungan, mengambil saputangan yang ada di tas dan langsung meraih tangan Langit. Dia buru-buru membungkus luka di tangan Langit dengan saputangan, agar darah tidak semakin mengalir keluar.Langit terkejut melihat Bintang yang tiba-tiba meraih tangannya, hingga menatap gadis yang masih dicintainya itu terlihat begitu cemas.“Bagaimana ini? Kamu terluka
“Aku tidak bisa mengobati tanganku sendiri, Bin. Juga bajumu terkena darahku, apa kamu tidak mau mencucinya dulu? Bagaimana kalau kedua orangtuamu tahu dan cemas?” tanya Langit yang sebenarnya sedang membuat alasan. Kapan dia bisa berlama-lama berdua dengan Bintang, terlebih mereka baru saja berbaikan.Bintang terlihat berpikir, apa yang dikatakan Langit memang benar. Bisa-bisa kedua orangtuanya langsung membawanya ke rumah sakit untuk dicek.“Baiklah, setelah mengobati lukamu dan pakaianku bersih, aku akan pulang,” ucap Bintang mengiakan.Bintang ikut Langit ke unit apartemen pria itu. Meski ragu, tapi Bintang pun tidak kuasa menolak. Langit tidak mau ke rumah sakit dengan alasan lukanya tidak dalam, membuat Bintang akhirnya kini harus bertanggung jawab mengobati luka itu.“Masuklah.” Langit mempersilakan Bintang masuk ke apartemennya.Bintang melangkah sedikit ragu, dipandanginya ruangan yang tertata rapi dan bersih.“Lepaskan pakaianmu, aku akan memanggil jasa dry cleaning agar pak
Bintang duduk menunggu Langit selesai berganti pakaian. Dia mengedarkan pandangan dan mengamati seluruh ruangan apartemen Langit. Dalam kondisi sekarang, entah kenapa Bintang rasanya ingin segera pergi, gugup dan kikuk kini menyergah dada. Berharap semoga pakaiannya cepat kering agar dia bisa pergi dari situasi yang sangat membuatnya canggung.Bodohnya dia, kenapa juga tidak memilih beli pakaian baru dan memakainya, masalah ditanya orangtuanya nanti dia bisa beralasan bajunya kotor, tapi bagaimana bisa dia tidak berpikir sampai ke sana dan malah mengikuti ucapan Langit. Apakah Bintang benar-benar terpesona, dia tidak pernah bisa menolak pesona pria itu.“Mau minum sambil menunggu pakaianmu selesai di laundry?”Suara Langit membuyarkan lamunan Bintang.“Ya?” Bintang sangat terkejut hingga pemahaman minum antara Langit dan dirinya berbeda. “Minum apa?” tanya Bintang dengan ekspresi terkejut di wajah.Langit malah keheranan karena Bintang terlihat begitu terkejut, sedangkan dia hanya men
Semua keresahan itu kini sudah memudar, hanya ada rasa bahagia yang tidak ingin cepat hilang. Akan terus menggenggam agar tidak kehilangan. Ingin selalu bersama, agar tidak lagi terpisahkan.**Bintang masih menatap Langit tanpa ekspresi, hingga kemudian tertawa karena wajah Langit sangat lucu ketika sedang merasa takut.Langit mengerutkan alis, masih mencoba mencerna kenapa Bintang tertawa.“Bin.” Langit sudah takut kalau Bintang marah, tapi siapa sangka jika gadis itu malah tertawa.“Aku hanya terkejut karena mengakui kesalahanku, kenapa kamu malah serius seperti itu?” Bintang masih tertawa dan kini sedang mencoba menghentikan tawa.Langit bernapas lega karena Bintang tidak tersinggung atau marah, ditatapnya Bintang yang sedang tertawa, seolah membawanya kembali ke masa lalu di mana mereka masih remaja dan sering sekali tertawa seperti ini tanpa beban. Andai bisa, dia ingin mengulang waktu saat mereka masih di SMA, menghabiskan waktu bersama dan tidak pernah ada kata pisah di antara
“El!” pekik Bintang keheranan.“Jawab saja, tidak apa-apa,” ucap Langit yang sudah siap memberitahu kedua orangtua Bintang kalau gadis itu sedang bersamanya.Panggilan itu berakhir, tapi kemudian kembali berdering di mana mau tidak mau Bintang harus menjawab panggilan itu, sebelum sang mami mencari keberadaannya di kafe Anta.Bintang menggeser tombol hijau, sedangkan Langit siap bicara untuk membeberkan dengan siapa Bintang berada. Namun, sebelum suara Langit keluar dari bibir, Bintang langsung membungkam mulut pria itu dengan satu tangannya. Bahkan membuat Langit jatuh ke belakang, di mana sekarang posisi Bintang ada di atas Langit.Satu lutut menapak di lantai, sedangkan satu lutut bertumpu di sofa untuk menjaga tubuhnya tidak menabrak tubuh Langit yang berbaring di sofa, satu tangan membukam mulut pria itu, sedangkan tangan satunya memegang ponsel yang sudah menempel di telinga.“Bin, kenapa kamu jawab panggilannya sangat lama?” tanya Annetha dari seberang panggilan.“Maaf, Mi. Aku