Tidak banyak kata yang bisa diungkap, tidak banyak sajak yang bisa dialunkan. Hanya sebuah isyarat hati yang kini menyatu, membuat dua hati saling mengerti, bahwa mereka saling memahami dan saling memiliki.Sulur surya mulai merambat masuk di celah jendela, merayap hingga mengusik insan yang masih terbuai mimpi. Bintang menggerakkan kelopak mata, masih terasa mengantuk karena semalam begadang entah sampai jam berapa.Dia dan Langit menghabiskan waktu bersama, menceritakan bagaimana mereka menjalani hari selama delapan tahun ini, hingga merasa waktu yang dimiliki tidak akan cukup untuk menjabarkannya.Jika sebelumnya mereka terbelenggu akan rasa bersalah, juga rasa benci karena masa lalu. Kini keduanya sudah membuka hati, bicara dan tertawa bersama. Tidak ada yang paling mereka rindukan selain moment itu.Bintang membuka kelopak mata dengan perlahan, hingga melihat siapa yang kini terlelap dan begitu damai berada di hadapannya.“Dasar pembohong.” Bintang tersenyum setelah mengatakan ka
Langit langsung melotot mendengar ucapan Bintang, hingga menarik lengan gadis itu dan membuat Bintang tertarik ke arahnya, lantas menabrak tubuhnya.“Berani?” Langit sedikit menunduk untuk bisa menatap wajah Bintang.“Kenapa tidak?” Bintang mengangkat wajah untuk bisa memandang Langit, hingga keduanya saling tatap seolah bersiap saling menantang.Namun, apa yang dilakukan Langit di luar dugaan Bintang. Pria itu mengecup bibir Bintang dengan sangat cepat, membuat gadis itu langsung mendelik karena kelakuan kekasihnya itu.“Ish ….” Bintang langsung memukul lengan Langit begitu kuat.Langit terkekeh mendapat pukulan dari Bintang, hingga kemudian berkata, “Kalau kamu sampai menikahi pria lain, maka aku akan menculikmu.”Setelah mengucapkan kalimat itu, Langit berdiri menghadap ke meja dan bersiap menikmati teh buatannya.Bintang terus memandang Langit, hingga kalimat pertanyaan terlontar. “Apa kamu akan menikahiku? Menikahi gadis yang tidak sehat? Bagaimana jika aku pergi terlebih dahulu
Duduk berdua, memandang senja dengan begitu bebas, tanpa rasa takut yang menghalangi. Mereka berada di taman, duduk di sana setelah selesai dengan pekerjaan.“Sudah lama aku tidak melihat bintang.”Ucapan Langit membuat Bintang langsung menoleh dan tersenyum tipis. Ditatapnya Langit yang mendongak dan memandang warna jingga di ufuk barat.“Bintang ini, atau bintang itu?” Bintang menunjuk ke diri sendiri, sebelum kemudian menunjuk ke langit. Dia pun tertawa kecil karena merasa begitu percaya diri mengatakan hal itu.Langit menoleh dan melihat kebahagiaan di wajah Bintang, sebelum kemudian mengulurkan tangan dan mengusap kepala gadis yang dicintainya itu.“Keduanya. Aku tidak pernah mendongak karena tidak ingin melihat bintang yang bisa mengingatkan kepadamu,” ucap Langit dengan tatapan tidak teralihkan dari wajah Bintang. Bintang mengulas senyum mendengar jawaban Langit, terlebih karena pria itu bersikap begitu manis kepadanya. Delapan tahun Bintang menutup diri dari pria yang mendeka
Bintang terlihat gelagapan dan kebingungan, bahkan dia sampai mengedarkan pandangan ke arah lain untuk menghindari tatapan Orion.“Kak, jawab. Aku belum memberitahukan hal itu ke Mami dan Papi, jika Kak Bin tidak jujur, maka aku akan mengatakannya ke mereka,” ancam Orion karena Bintang tidak kunjung menjawab.Bintang menggigit bibir bawahnya karena ketahuan berbohong, lantas menatap sang adik yang sedang menunggu jawabannya.“Baiklah, kamu benar. Semalam aku tidak di tempat Anta,” ucap Bintang akhirnya jujur.Orion diam dan menunggu kalimat penjelasan selanjutnya dari sang kakak.“Kemarin aku hampir dirampok, Langit datang dan menolongku, tapi dia terluka. Semalam aku menemaninya,” ucap Bintang lagi menjelaskan.“Hmm … apa hanya karena dia terluka, makanya Kak Bin tidak pulang? Bukankah kalian masih saling diam?” tanya Orion karena tahu bagaimana hubungan Bintang dan Langit.Bintang menatap Orion dengan ekspresi wajah takut, hingga kemudian menghela napas kasar. Dia pun menjelaskan ka
Langit membawa Bintang ke sebuah restoran berbintang lima. Bintang pun merasa heran karena tidak biasanya mereka makan di tempat mewah seperti ini hanya untuk makan siang.“Kenapa ke restoran?” tanya Bintang keheranan.“Ingin saja,” jawab Langit dengan senyum manis di wajah.Langit mengajak Bintang turun, bahkan langsung menggandeng tangan gadis itu dan mengajak berjalan masuk ke ruangan khusus yang sudah dipesan.Bintang benar-benar merasa aneh, hingga bertanya-tanya apakah hari ini hari spesial. Dia terus mengingat karena takut mengecewakan, tapi merasa jika tidak ada yang istimewa hari ini.Mereka sampai di depan salah satu pintu ruangan yang terdapat di ruangan itu, hingga Langit berhenti melangkah dan membuat Bintang juga ikut berhenti. Pria itu menoleh dan memandang Bintang yang terlihat kebingungan.“Maaf tidak memberitahumu terlebih dahulu, aku takut kamu gugup,” ucap Langit.“Apa?” Bintang terkejut mendengar ucapan Langit, menoleh dan melihat kekasihnya itu sudah mengulas sen
"Bintang?"Seseorang melihat Bintang keluar dari restoran bersama Joya dan yang lainnya, terus menatap sampai Bintang masuk ke mobil Langit.**“Kenapa kamu buru-buru pulang?” tanya Langit saat bersama Bintang.Sore itu Langit menemui Bintang seperti biasa, tidak ada hari tanpa melihat gadis itu, meski saat siang hari mereka pun baru saja bertemu dan makan siang bersama. Mereka kini ada di taman, duduk menikmati senja seperti biasa.“Mami tanya, kenapa aku akhir-akhir ini sering sekali pulang terlambat. Jadi, aku janji kalau hari ini akan pulang lebih awal, makanya ga bisa nemenin kamu jalan,” jawab Bintang lantas menengok ke arloji dan melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore.“Apa kamu tidak mau jujur ke orangtuamu tentang hubungan kita?” tanya Langit.Langit beberapa kali ingin menjemput Bintang di rumah, tapi gadis itu menolak dan berkata jika belum siap kalau Langit main ke rumah.Bintang sendiri masih cemas, orangtuanya selama ini sangat menjaga dirinya karena pe
Arlan langsung menyandarkan punggung dengan kasar, ternyata tebakannya benar.“Sudah berapa lama?” tanya Arlan kemudian sambil memandang Bintang yang tertunduk.“Tiga minggu,” jawab Bintang sambil memperlihatkan tiga jarinya ke hadapan Arlan, tapi dia masih menundukkan kepala.“Tiga minggu? Tapi kamu tidak mengatakan apa pun ke kami, dan memilih berbohong?” tanya Arlan lagi dengan nada penuh penegasan. Dia tidak suka mengetahui putrinya berbohong, terlebih tentang seseorang yang sedang dekat dengan putrinya.“Aku hanya belum siap, Pi. Takut kalau Papi dan Mami tidak ngizinin,” jawab Bintang tidak berani menatap ayahnya.“Apa kami semenakutkan itu, sampai kamu takut ke kami?” tanya Annetha kembali angkat bicara.Mereka memang membebaskan Bintang bergaul, meski sering panik dan mencemaskan gadis itu. Namun, kebohongan malah membuat keduanya marah, sebab takut jika terjadi sesuatu dengan Bintang, tapi mereka tidak tahu penyebabnya. “Maaf, Mi.” Bintang merasa bersalah karena berbohong.“
Terkadang rasa takut menutup jalan menuju kebahagiaan. Menghabiskan banyak waktu untuk sebuah penyesalan, melayukan benih dan membuatnya bersemayam. Andai, jika saja kata ‘Andai’ bisa berlaku, maka ingin rasanya menebus ketakutan itu dengan sebuah keberanian, agar tidak ada penyesalan setelah delapan tahun lamanya. Andai, sejak awal keberanian itu mampu mengalahkan rasa takut, mungkin kebersamaan itu bisa dijalin tanpa sebuah kebencian yang mengawali.Langit berbaring sambil menggunakan paha sang mimi untuk dijadikan bantal. Malam itu dia sengaja menginap di rumah orangtuanya karena rindu dan sedang bahagia.“Apa kamu benar-benar serius dengannya lagi, El? Mimi tahu kamu dulu sangat mencintainya sampai gila saat berpisah dengannya. Tapi sekarang, apa kamu yakin jika perasaanmu dan keinginanmu, bukanlah semata-mata karena kamu ingin balas dendam kepadanya? Mimi ga mau itu, El.” Joya bicara sambil mengusap lembut rambut El, bahkan sesekali menyisir lembut rambut putranya.Langit memeja