Langit masih memandang Bintang, gadis itu tidak pingsan hanya memejamkan mata karena rasa sakit yang mendera. Terlihat gurat kecemasan di wajah Langit, beribu pertanyaan kini semakin berkutat di kepala.Bintang mengerutkan kelopak mata, menahan sakit akibat demam yang menyerangnya secara tiba-tiba. Tubuhnya lemas, meski kelopak mata ingin terbuka. Dia bahkan tahu saat Langit membuka blazernya, sempat terlintas bahwa pria itu akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya, tapi ternyata itu tidak terbukti. Bintang hanya merasakan Langit yang menyingkap ujung lengan kemejanya sebelum kemudian melepas tangannya.Melihat Bintang yang seolah ingin membuka mata, Langit mengulurkan tangan dan menyentuh kening dengan punggung tangan.Bintang baru saja membuka mata, hingga tatapan yang masih kabur untuk melihat, kini bertemu dengan tatapan pria yang sedang menyentuh keningnya.“Demammu sudah turun,” ucap Langit.Bintang tidak menjawab, tatapannya terus tertuju ke pria itu. Dia sedang merutuki dir
Balasan Langit seperti sebuah petir yang menyambar tepat di hati Laras. Pria itu secara gamblang mengatakan jika tidak menyukai gadis di depannya, membuat harapan dan imajinasi gadis itu hancur seketika.“Aku pikir kamu selama ini terus mengajakku jalan dan mengobrol banyak hal, karena kamu menerimaku masuk dalam hidupmu?” tanya Laras yang seolah tidak terima Langit menolak dirinya. Bola matanya terasa panas mendengar penolakan Langit, dia berusaha untuk tidak menangis.“Memang, tapi bukan berarti aku menyukaimu. Aku hanya butuh teman untuk bicara dan jalan bersama. Aku hanya menganggapmu sebatas teman, tidak lebih,” jawab Langit menjelaskan. Dia tidak mungkin mengatakan kalau hanya memanfaatkan Laras untuk membuat Bintang cemburu, tidak tega jika semakin menyakiti hati gadis itu meski memang benar.Sambaran petir terasa kedua kali menghancurkan hati Laras, gadis itu bergeming memandang Langit yang dikira memberinya kesempatan untuk dekat. Namun, semua itu hanya pemikiran Laras dan di
Bintang duduk di depan meja rias, memegang handuk kecil sambil mengusapnya lembut. Ditatapnya bayangan yang terpantul dari cermin, wajahnya semakin pucat karena akhir-akhir ini sering kambuh.Hingga ingatan akan kejadian siang tadi melintas di kepala, yang membuat Bintang penasaran adalah tato yang dimiliki Langit.“Kenapa dia menggambar tato berbentuk bintang di bahunya, sejak kapan?” Bintang masih saja memikirkan hal itu, entah kenapa melihat tato itu pertama kali, membuatnya besar kepala dan menganggap Langit membuat itu untuk mengingat dirinya.“Sadar, Bin! Kamu itu musuh untuknya sekarang! Kamu sudah melukai hatinya, bagaimana bisa dia melakukan itu untuk mengingatmu, yang ada dia ingin melupakanmu. Sadar! Jangan besar kepala!”Bintang mencoba menepis pikiran anehnya. Dia tidak berharap banyak tentang pertemuannya dengan Langit. Bisa mendapatkan maaf dari pria itu saja sudah cukup, tidak ada yang Bintang inginkan lagi setelahnya.**Langit sudah berada di apartemennya, baru saja
Anta membaringkan Laras di kamarnya, memastikan gadis itu tertidur dengan nyaman, sebelum kemudian turun ke bawah di mana Langit menunggu di sana.“Kopi?” Anta menawari temannya itu.“Boleh, aku ingin tahu seenak apa rasa kopi yang disajikan di sini,” ujar Langit dengan senyum manisnya.Anta pun pergi ke belakang meja bartender, lantas menyalakan mesin pembuat kopi dan menunggu sebelum menyeduh kopi terenak yang ada di kafenya.Langit duduk sambil mengamati sekitar, kafe itu terlihat modern tapi ornamen dan desain kafe itu berbau klasik. Aroma kopi tercium di indra penciuman Langit, dia menoleh dan melihat Anta membawa dua cangkir kopi.“Bagaimana kabarmu?” tanya Anta sambil meletakkan dua cangkir kopi yang dibawanya di meja.“Hm … baik, seperti yang kamu lihat,” jawab Langit.Anta duduk berseberangan dengan Langit, menatap sahabatnya yang tiba-tiba menghilang delapan tahun lalu itu.“Kamu sudah kembali, kenapa tidak mencariku?” tanya Anta berbasa-basi.“Aku pikir nomermu ganti, juga
Laras melongo mendengar pertanyaan Anta, apa yang tidak diingatnya. Dia benar-benar lupa, terakhir ingat dia pergi ke klub setelah Langit menolak cintanya, dia juga frustasi karena baru tahu kalau Anta pun menyukai dirinya, meski tidak tahu apakah sekarang masih sama karena keduanya terlibat perang dingin.Kini Laras benar-benar kebingungan, bagaimana caranya menghadapi Anta, padahal pria itu tidak melakukan apa-apa.“Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?” tanya Laras sambil mencengkram selimut erat.“Memangnya apa lagi? Kamu semalam mabuk di klub, aku membawamu pergi dari sana, karena tidak tahu tempat tinggalmu, ya aku bawa ke sini. Memangnya mau aku biarkan tidur di pinggir jalan.” Anta bicara begitu cepat agar Laras tidak menyela, lagi pula dia juga masih malas bicara dengan Laras. Jika bukan karena Langit pun, Anta tidak akan mau menampung Laras.“Lalu? Apa yang terjadi selanjutnya? Kenapa aku memakai kemeja kebesaran ini?” tanya Laras menyelidik karena benar-benar tidak tahu apa
Terkadang apa yang dibayangkan, tidak sesuai ekspektasi. Sebuah bayangan itu nyatanya hanya semu, menggoda jiwa-jiwa rapuh yang tanpa sadar mendamba tunas cintanya kembali di tumbuh dan bunganya mekar semerebak indah menghias hati. Semua impian itu terasa digempur hingga runtuh, saat sebuah suara memanggil dan membangunkannya dari mimpi.“El.” Bintang memanggil sambil menatap Langit yang berjongkok tapi diam dan memandangnya.Bintang sedikit kikuk karena pria itu tidak henti menatap, sedangkan Bintang tidak melakukan apa pun dan hanya berdiri di bawah payung karena terik matahari yang terasa menyengat kulit.Langit tersadar dari lamunan, tidak ada Bintang yang berjongkok di depannya dan mengusap keringatnya penuh perhatian. Tidak ada pertanyaan cinta yang tadi terlontar, kenyataannya Langit masih takut mengetahui jika Bintang tidak benar-benar mencintainya.“Apa susah?” tanya Bintang saat melihat Langit yang baru sadar dari lamunan.Langit menatap tangan yang memegang kunci untuk memb
“Kenapa melamun?”Suara juga tepukan di pundak itu membuat Langit terkejut. Dia sedang duduk di taman samping rumah, lantas menoleh dan melihat kakak angkatnya tersenyum lebar, sebelum kemudian ikut duduk di sana.“Ga ada yang melamun, hanya sedang berpikir,” kata Langit sambil memasukkan saputangan milik Bintang yang sejak tadi dipandangnya.“Berpikir, sampai ada orang yang datang dan berdiri lama di belakangmu saja kamu tidak sadar,” sindir Cheryl.Cheryl berdiri lama di belakang Langit sangat lama, memperhatikan gerak-gerik adiknya itu yang diam sambil menatap saputangan, tapi pria itu tampaknya begitu larut dalam lamunan, sampai tidak menyadari keberadaannya.Langit sendiri sedang memikirkan Bintang, sejak banyak memiliki petunjuk tentang gadis itu, membuat Langit tidak bisa berhenti memikirkannya.Benci, memang dia benci di saat Bintang mengakhiri hubungan mereka. Namun, bukan benci kepada gadis itu, dia benci kepada keputusan yang membuat Bintang jauh darinya.“Lagi mikirin apa?
Bintang mengerutkan alis mendengar ucapan resepsionis, hingga meletakkan gagang telepon kemudian memilih keluar dari ruangannya. Begitu sampai di lobi, Bintang langsung pergi ke meja resepsionis. “Kenapa kamu memintaku langsung turun? Bukankah aku sudah bilang tidak akan menerima buket bunga lagi jika tidak ada kartu nama pengirimnya,” ucap Bintang begitu berada di depan meja resepsionis. “Bukan gitu, Bu. Tapi itu.” Resepsionis menunjuk ke arah ruang tunggu di lobi. Bintang menoleh dan melihat seseorang menunggu di sana, tapi dia tidak melihat jelas siapa pria itu karena terhalang pot tanaman. “Apa dia yang biasa mengirim bunga?” tanya Bintang ke resepsionis. “Bukan,” jawab resepsionis, “tapi dia datang membawa bunga dan berkata ingin bertemu dengan Anda.” Bintang mengangguk-angguk pelan tanda paham lantas berterima kasih dan berjalan menuju ke ruang tunggu lobi. Dia terus memperhatikan siapa pria yang kini sedang duduk sambil menyilangkan kaki. Hingga langkah terhenti saat meli