“Tato? Dia menato tubuhnya? Dan itu ….” Bintang menjeda ucapannya. Berjalan dengan tatapan terus tertuju ke bahu Langit.Keduanya akhirnya masuk lift, Bintang berdiri di belakang Langit dan terus memandang ke tato yang dimiliki pria di depannya itu.“Kenapa Langit menato bahunya dengan gambar bintang?” Bintang bergumam dalam hati.Langit berdiri dengan santai, bahkan tidak terlihat risih atau malu karena bertelanjang dada. Tubuhnya biasa dilihat banyak orang saat musim panas dan dia berjemur di pantai, kali ini dilihat oleh orang lain di sebuah hotel tidak akan jadi masalah untuknya.Mereka berjalan di koridor menuju kamar yang dipesan Langit. Saat Langit masuk, Bintang kembali ragu untuk mengikuti langkah pria itu.“Dia tidak akan melakukan hal buruk kepadaku, ‘kan?” Entah kenapa pikiran negatif tiba-tiba berputar di kepala.Langit menghentikan langkah, melirik ke belakang dan melihat Bintang yang masih bergeming di depan pintu.“Jika tidak yakin, tidak usah masuk.” Suara tegas itu
Bintang sangat terkejut dengan yang dilakukan Langit, terutama saat pria itu menarik dan memojokkan ke dinding. Jantung Bintang berdegup dengan cepat, jangan lupakan Langit yang bertelanjang dada sampai membuat Bintang menahan napas saat aroma maskulin pria itu menusuk hidungnya.“Kamu selalu menganggap keputusanmu yang terbaik untuk semua. Tapi apa pernah sekali saja kamu meminta pendapat orang lain?” tanya Langit dengan tatapan tidak teralihkan dari Bintang. Jarak mereka begitu dekat, hingga Langit sedikit menunduk untuk bisa menatap wajah mantan kekasihnya itu.Bintang tidak menjawab pertanyaan Langit, menatap sambil mengulum bibirnya.“Kenapa diam? Bukankah tadi kamu banyak bicara?” Langit sudah melepas lengan Bintang, tapi memindah kedua tangan di samping kepala Bintang untuk mengurung gadis itu.“Karena aku merasa memang terbaik,” jawab Bintang akhirnya. Bicara membuat hidungnya mencium aroma maskulin pria itu.Saat keduanya saling tatap, Bintang merasa mulai tidak nyaman dengan
Langit masih memandang Bintang, gadis itu tidak pingsan hanya memejamkan mata karena rasa sakit yang mendera. Terlihat gurat kecemasan di wajah Langit, beribu pertanyaan kini semakin berkutat di kepala.Bintang mengerutkan kelopak mata, menahan sakit akibat demam yang menyerangnya secara tiba-tiba. Tubuhnya lemas, meski kelopak mata ingin terbuka. Dia bahkan tahu saat Langit membuka blazernya, sempat terlintas bahwa pria itu akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya, tapi ternyata itu tidak terbukti. Bintang hanya merasakan Langit yang menyingkap ujung lengan kemejanya sebelum kemudian melepas tangannya.Melihat Bintang yang seolah ingin membuka mata, Langit mengulurkan tangan dan menyentuh kening dengan punggung tangan.Bintang baru saja membuka mata, hingga tatapan yang masih kabur untuk melihat, kini bertemu dengan tatapan pria yang sedang menyentuh keningnya.“Demammu sudah turun,” ucap Langit.Bintang tidak menjawab, tatapannya terus tertuju ke pria itu. Dia sedang merutuki dir
Balasan Langit seperti sebuah petir yang menyambar tepat di hati Laras. Pria itu secara gamblang mengatakan jika tidak menyukai gadis di depannya, membuat harapan dan imajinasi gadis itu hancur seketika.“Aku pikir kamu selama ini terus mengajakku jalan dan mengobrol banyak hal, karena kamu menerimaku masuk dalam hidupmu?” tanya Laras yang seolah tidak terima Langit menolak dirinya. Bola matanya terasa panas mendengar penolakan Langit, dia berusaha untuk tidak menangis.“Memang, tapi bukan berarti aku menyukaimu. Aku hanya butuh teman untuk bicara dan jalan bersama. Aku hanya menganggapmu sebatas teman, tidak lebih,” jawab Langit menjelaskan. Dia tidak mungkin mengatakan kalau hanya memanfaatkan Laras untuk membuat Bintang cemburu, tidak tega jika semakin menyakiti hati gadis itu meski memang benar.Sambaran petir terasa kedua kali menghancurkan hati Laras, gadis itu bergeming memandang Langit yang dikira memberinya kesempatan untuk dekat. Namun, semua itu hanya pemikiran Laras dan di
Bintang duduk di depan meja rias, memegang handuk kecil sambil mengusapnya lembut. Ditatapnya bayangan yang terpantul dari cermin, wajahnya semakin pucat karena akhir-akhir ini sering kambuh.Hingga ingatan akan kejadian siang tadi melintas di kepala, yang membuat Bintang penasaran adalah tato yang dimiliki Langit.“Kenapa dia menggambar tato berbentuk bintang di bahunya, sejak kapan?” Bintang masih saja memikirkan hal itu, entah kenapa melihat tato itu pertama kali, membuatnya besar kepala dan menganggap Langit membuat itu untuk mengingat dirinya.“Sadar, Bin! Kamu itu musuh untuknya sekarang! Kamu sudah melukai hatinya, bagaimana bisa dia melakukan itu untuk mengingatmu, yang ada dia ingin melupakanmu. Sadar! Jangan besar kepala!”Bintang mencoba menepis pikiran anehnya. Dia tidak berharap banyak tentang pertemuannya dengan Langit. Bisa mendapatkan maaf dari pria itu saja sudah cukup, tidak ada yang Bintang inginkan lagi setelahnya.**Langit sudah berada di apartemennya, baru saja
Anta membaringkan Laras di kamarnya, memastikan gadis itu tertidur dengan nyaman, sebelum kemudian turun ke bawah di mana Langit menunggu di sana.“Kopi?” Anta menawari temannya itu.“Boleh, aku ingin tahu seenak apa rasa kopi yang disajikan di sini,” ujar Langit dengan senyum manisnya.Anta pun pergi ke belakang meja bartender, lantas menyalakan mesin pembuat kopi dan menunggu sebelum menyeduh kopi terenak yang ada di kafenya.Langit duduk sambil mengamati sekitar, kafe itu terlihat modern tapi ornamen dan desain kafe itu berbau klasik. Aroma kopi tercium di indra penciuman Langit, dia menoleh dan melihat Anta membawa dua cangkir kopi.“Bagaimana kabarmu?” tanya Anta sambil meletakkan dua cangkir kopi yang dibawanya di meja.“Hm … baik, seperti yang kamu lihat,” jawab Langit.Anta duduk berseberangan dengan Langit, menatap sahabatnya yang tiba-tiba menghilang delapan tahun lalu itu.“Kamu sudah kembali, kenapa tidak mencariku?” tanya Anta berbasa-basi.“Aku pikir nomermu ganti, juga
Laras melongo mendengar pertanyaan Anta, apa yang tidak diingatnya. Dia benar-benar lupa, terakhir ingat dia pergi ke klub setelah Langit menolak cintanya, dia juga frustasi karena baru tahu kalau Anta pun menyukai dirinya, meski tidak tahu apakah sekarang masih sama karena keduanya terlibat perang dingin.Kini Laras benar-benar kebingungan, bagaimana caranya menghadapi Anta, padahal pria itu tidak melakukan apa-apa.“Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?” tanya Laras sambil mencengkram selimut erat.“Memangnya apa lagi? Kamu semalam mabuk di klub, aku membawamu pergi dari sana, karena tidak tahu tempat tinggalmu, ya aku bawa ke sini. Memangnya mau aku biarkan tidur di pinggir jalan.” Anta bicara begitu cepat agar Laras tidak menyela, lagi pula dia juga masih malas bicara dengan Laras. Jika bukan karena Langit pun, Anta tidak akan mau menampung Laras.“Lalu? Apa yang terjadi selanjutnya? Kenapa aku memakai kemeja kebesaran ini?” tanya Laras menyelidik karena benar-benar tidak tahu apa
Terkadang apa yang dibayangkan, tidak sesuai ekspektasi. Sebuah bayangan itu nyatanya hanya semu, menggoda jiwa-jiwa rapuh yang tanpa sadar mendamba tunas cintanya kembali di tumbuh dan bunganya mekar semerebak indah menghias hati. Semua impian itu terasa digempur hingga runtuh, saat sebuah suara memanggil dan membangunkannya dari mimpi.“El.” Bintang memanggil sambil menatap Langit yang berjongkok tapi diam dan memandangnya.Bintang sedikit kikuk karena pria itu tidak henti menatap, sedangkan Bintang tidak melakukan apa pun dan hanya berdiri di bawah payung karena terik matahari yang terasa menyengat kulit.Langit tersadar dari lamunan, tidak ada Bintang yang berjongkok di depannya dan mengusap keringatnya penuh perhatian. Tidak ada pertanyaan cinta yang tadi terlontar, kenyataannya Langit masih takut mengetahui jika Bintang tidak benar-benar mencintainya.“Apa susah?” tanya Bintang saat melihat Langit yang baru sadar dari lamunan.Langit menatap tangan yang memegang kunci untuk memb