Ruangan itu terasa hening, sesekali terdengar suara derap langkah orang yang lewat di luar ruangan, juga roda yang bergesek dengan lantai.Bintang mulai menggerakkan kelopak mata, kepalanya terasa berat dan wajahnya sangat pucat. Dia mencoba membuka kelopak mata, samar-samar menatap langit-langit kamar yang tampak asing untuknya.“Kamu sudah bangun.”Suara yang sangat dikenalnya itu terdengar di telinga. Bintang menoleh dan melihat Anta yang duduk di kursi samping ranjang.“Anta, aku di mana?” tanya Bintang lupa dengan apa yang terjadi kepadanya. Tubuhnya masih terasa lemas, bahkan suaranya pun terdengar lemah.“Kamu di rumah sakit,” jawab Anta.Bintang mengangkat satu tangan karena ingin menekan kepala yang terasa pusing, hingga melihat selang infus terpasang di lengan.“Aku akan panggilkan dokter,” ucap Anta kemudian menekan tombol darurat untuk memanggil perawat.Bintang masih merasa matanya berkunang, memilih diam dan menunggu dokter memeriksa kondisinya.Anta sendiri di sana menu
Anta pergi dari rumah sakit setelah Annetha dan Arlan datang. Dia sebenarnya ingin sekali memberitahu Langit apa yang terjadi kepada Bintang, tapi janjinya membuat Anta tidak bisa berbuat banyak. Bintang terlalu keras kepala untuk menerima sebuah nasihat.Anta membelokkan mobil ke sebuah tempat makan. Dia hendak membeli sarapan sebelum pergi ke kafenya. Pria itu memarkirkan mobil di bahu jalan, lantas turun dan berjalan menuju tempat makan yang ditujunya.Anta berjalan sambil bermain ponsel, saat tangan hendak meraih gagang pintu yang tidak dilihatnya, dia tanpa sengaja menyenggol seseorang yang baru saja keluar dari tempat itu.“Maaf.” Anta terdiam saat melihat siapa yang ditabraknya.Laras baru saja sarapan di tempat itu, hingga bergeming saat bertemu dengan Anta.“Anta.” Laras mencoba tersenyum saat melihat pria itu.Namun, sayangnya Anta tidak memberikan reaksi yang sama. Seolah tidak mengenal, Anta memberikan tatapan dingin, kemudian masuk begitu saja melewati Laras.Laras terdia
Anta duduk sambil bersedekap dada, memalingkan wajah seolah tidak ingin melihat siapa yang kini duduk di hadapannya.“Bagaimana kabarmu, Ta?” Laras akhirnya buka suara setelah sejak tadi diam dan terasa hening di ruangan itu.“Apa kamu menemuiku hanya untuk bertanya kabar? Bisa kamu lihat sendiri, aku sangat baik, usahaku sukses, kabar apa lagi yang ingin kamu tanyakan?” Anta menjawab dengan sedikit nada ketus, lantas menggerakkan kepala hingga akhirnya menatap Laras.Laras tersenyum masam mendengar jawaban Anta. Pria yang dulu pernah dekat dan selalu ada untuknya, kini berubah dingin dan begitu tak acuh kepadanya, membuat Laras merasa tidak nyaman, sampai akhirnya mereka saling diam meski melihat atau berpapasan.Laras memberanikan diri mendatangi Anta, karena merasa perlu bicara dengan pria itu.“Kamu masih marah kepadaku?” tanya Laras dengan suara lembut ke Anta.Anta menatap Laras dengan ekspresi wajah tidak senang, berpikir kalau gadis itu bicara lembut hanya untuk merayunya.“Me
Langit menghentikan langkah mendengar ucapan Bintang, hingga melepas genggaman tangan Laras. Dia membalikkan badan, menatap Bintang yang sudah memandangnya.Bintang terlihat panik, meski begitu berusaha tenang. Dia yang bertekad ingin bicara agar bisa menyelesaikan masalah mereka, yang dirasa masih menggantung.Langit berjalan menghampiri Bintang, tatapannya tidak teralihkan dari wajah gadis itu.Bintang sendiri menelan ludah susah payah, merasa tatapan Langit begitu mengintimidasi.Laras terus memperhatikan, jarak mereka yang sedikit jauh tentunya tidak bisa membuatnya mendengar apa yang mungkin dibicarakan oleh Bintang dan Langit.“Bicara, apalagi yang ingin kamu bicarakan?” tanya Langit begitu berdiri di hadapan Bintang.“Ada beberapa, aku hanya ingin--” Apa yang hendak diucapkan Bintang dipotong cepat oleh Langit.“Aku tidak suka bicara di tempat umum, terlebih jika itu membahas tentang hal pribadi,” ucap Langit memotong cepat.Bintang terkejut karena Langit memotong ucapannya, pa
“Tato? Dia menato tubuhnya? Dan itu ….” Bintang menjeda ucapannya. Berjalan dengan tatapan terus tertuju ke bahu Langit.Keduanya akhirnya masuk lift, Bintang berdiri di belakang Langit dan terus memandang ke tato yang dimiliki pria di depannya itu.“Kenapa Langit menato bahunya dengan gambar bintang?” Bintang bergumam dalam hati.Langit berdiri dengan santai, bahkan tidak terlihat risih atau malu karena bertelanjang dada. Tubuhnya biasa dilihat banyak orang saat musim panas dan dia berjemur di pantai, kali ini dilihat oleh orang lain di sebuah hotel tidak akan jadi masalah untuknya.Mereka berjalan di koridor menuju kamar yang dipesan Langit. Saat Langit masuk, Bintang kembali ragu untuk mengikuti langkah pria itu.“Dia tidak akan melakukan hal buruk kepadaku, ‘kan?” Entah kenapa pikiran negatif tiba-tiba berputar di kepala.Langit menghentikan langkah, melirik ke belakang dan melihat Bintang yang masih bergeming di depan pintu.“Jika tidak yakin, tidak usah masuk.” Suara tegas itu
Bintang sangat terkejut dengan yang dilakukan Langit, terutama saat pria itu menarik dan memojokkan ke dinding. Jantung Bintang berdegup dengan cepat, jangan lupakan Langit yang bertelanjang dada sampai membuat Bintang menahan napas saat aroma maskulin pria itu menusuk hidungnya.“Kamu selalu menganggap keputusanmu yang terbaik untuk semua. Tapi apa pernah sekali saja kamu meminta pendapat orang lain?” tanya Langit dengan tatapan tidak teralihkan dari Bintang. Jarak mereka begitu dekat, hingga Langit sedikit menunduk untuk bisa menatap wajah mantan kekasihnya itu.Bintang tidak menjawab pertanyaan Langit, menatap sambil mengulum bibirnya.“Kenapa diam? Bukankah tadi kamu banyak bicara?” Langit sudah melepas lengan Bintang, tapi memindah kedua tangan di samping kepala Bintang untuk mengurung gadis itu.“Karena aku merasa memang terbaik,” jawab Bintang akhirnya. Bicara membuat hidungnya mencium aroma maskulin pria itu.Saat keduanya saling tatap, Bintang merasa mulai tidak nyaman dengan
Langit masih memandang Bintang, gadis itu tidak pingsan hanya memejamkan mata karena rasa sakit yang mendera. Terlihat gurat kecemasan di wajah Langit, beribu pertanyaan kini semakin berkutat di kepala.Bintang mengerutkan kelopak mata, menahan sakit akibat demam yang menyerangnya secara tiba-tiba. Tubuhnya lemas, meski kelopak mata ingin terbuka. Dia bahkan tahu saat Langit membuka blazernya, sempat terlintas bahwa pria itu akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya, tapi ternyata itu tidak terbukti. Bintang hanya merasakan Langit yang menyingkap ujung lengan kemejanya sebelum kemudian melepas tangannya.Melihat Bintang yang seolah ingin membuka mata, Langit mengulurkan tangan dan menyentuh kening dengan punggung tangan.Bintang baru saja membuka mata, hingga tatapan yang masih kabur untuk melihat, kini bertemu dengan tatapan pria yang sedang menyentuh keningnya.“Demammu sudah turun,” ucap Langit.Bintang tidak menjawab, tatapannya terus tertuju ke pria itu. Dia sedang merutuki dir
Balasan Langit seperti sebuah petir yang menyambar tepat di hati Laras. Pria itu secara gamblang mengatakan jika tidak menyukai gadis di depannya, membuat harapan dan imajinasi gadis itu hancur seketika.“Aku pikir kamu selama ini terus mengajakku jalan dan mengobrol banyak hal, karena kamu menerimaku masuk dalam hidupmu?” tanya Laras yang seolah tidak terima Langit menolak dirinya. Bola matanya terasa panas mendengar penolakan Langit, dia berusaha untuk tidak menangis.“Memang, tapi bukan berarti aku menyukaimu. Aku hanya butuh teman untuk bicara dan jalan bersama. Aku hanya menganggapmu sebatas teman, tidak lebih,” jawab Langit menjelaskan. Dia tidak mungkin mengatakan kalau hanya memanfaatkan Laras untuk membuat Bintang cemburu, tidak tega jika semakin menyakiti hati gadis itu meski memang benar.Sambaran petir terasa kedua kali menghancurkan hati Laras, gadis itu bergeming memandang Langit yang dikira memberinya kesempatan untuk dekat. Namun, semua itu hanya pemikiran Laras dan di
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a