"Ayah... Jangan tinggalin Sheila! Ayah sudah janji mau temenin Sheila! Ayah...!"
Raungan keras gadis 19 tahun itu terdengar menyayat hati. Semua mata memandang penuh haru, bahkan sebagian ibu-ibu turut menangis merasakan pedihnya kehilangan orang tua. Apalagi jika harus mengingat bahwa remaja putri itu akan hidup sebatang kara untuk selamanya."Ayah...!" jeritnya tak tertahan.Peti mati sudah masuk sepenuhnya, dan kini giliran tanah-tanah gembur memenuhi liang lahat yang menutup pintu pertemuan Sheila dan ayahnya. Tubuh mungil dengan rambut ekor kuda itu jatuh terduduk, di antara para pelayat dan petugas pemakaman yang tengah bertugas. Air matanya mengalir tiada henti, mengingat bagaimana senyum ayahnya menghilang di balik pintu operasi."Sabar ya, Nak. Ayahmu sudah tenang di sana. Dia sudah sembuh dan bahagia, karena bertemu ibumu kembali."Sebuah kalimat dari entah siapa terdengar indah, namun semakin menyadarkan Sheila bahwa ia kini sendirian. Ibunya yang meninggal seminggu setelah melahirkan dirinya, lalu kini sang cinta pertama ikut pergi, sebelum sempat melihatnya tumbuh menjadi wanita dewasa."Pulanglah, kau harus beristirahat!" perintah salah satu pelayat yang masih tetangga samping rumahnya.Manik cokelat itu masih memandangi tanah basah yang menjadi tempat peristirahatan ayahnya yang terakhir. Kemeja putih yang kotor tak dihiraukan. Sheila Darmawan terisak keras, meluapkan semua kepedihan sebelum akhirnya kaki kecil itu melangkah kembali pulang.Rasa lelah yang tak berkesudahan semakin terasa begitu ia menyaksikan rumahnya yang kosong tanpa senyum cinta pertamanya. Semua pelayat sudah pulang, selepas dari pemakaman. Tak ada sanak keluarga yang datang, karena ia hanya tinggal seorang diri di Ibu Kota. Keluarga besarnya tinggal jauh di Luar Jawa. Biaya yang besar, menjadi alasan tak hadirnya mereka."Sheila! Sheila!"Gadis itu melonjak kaget mendengar suara yang rasanya ia kenal. Dengan tergesa-gesa, Sheila lari menuju pagar rumah yang tadi dikuncinya rapat-rapat."Bibi!" serunya bahagia.Akhirnya, Sheila bisa tersenyum melihat Nina, adik dari ayahnya yang tinggal di Daerah Kepulauan Seribu. Lokasinya tak jauh dari Jakarta, tapi untuk bisa menyeberangi perairan Seribu, membutuhkan waktu yang cukup lama karena jarang kapal untuk penumpang."Bukain pintunya!" perintah Nina yang sibuk dengan barang-barang bawaan.Tangan wanita 40 tahunan itu melambai-lambai, memanggil seorang pria berbadan besar dengan tato yang memenuhi lengan kanannya. Reno, seorang pengangguran yang sudah mendampingi bibinya selama 5 tahun lamanya."Sayang, bantuin!" seru Nina menunjuk semua barang untuk dibawa sang suami.Sheila tak tinggal diam. Tangan kecilnya turut membawa tas-tas besar yang dibawa sang bibi. Tapi langkahnya terhenti begitu pasangan suami istri itu masuk ke dalam kamar ayahnya."Kalian mau ngapain?" tanya Sheila setengah berteriak. "Bibi!" serunya berusaha mengejar dua orang dewasa yang sudah mengacak-acak lemari baju dengan kasar."Apa, sih!" seru Nina menampik tangan keponakannya."Bibi mau ngapain?" tanya Sheila bingung."Bibi mau cari surat rumah!" jawabnya ketus.Sheila mendelik terkejut mendengar jawaban Nina. Namun manik cokelatnya semakin membulat begitu Reno menarik sebuah map berwarna hijau, harta milik Sheila, satu-satunya."Paman!" serunya berusaha merebut sertifkat rumah.Sayangnya tubuh Reno yang tinggi menjulang dengan tangan yang terangkat tinggi-tinggi membuat Sheila kesulitan merebut benda itu. Bahkan tubuh mungilnya langsung didorong hingga jatuh tersungkur."Mulai sekarang, rumah ini menjadi milik kita!" kata Nina dengan penuh penekanan. Shelia melongo, kebingungan. "Ayah kamu itu punya utang sama kita, 500 juta!" katanya lagi.Mata gadis yatim piatu itu terbelalak tak percaya, karena selama ini ia sama sekali tak tahu apa-apa tentang utang piutang yang dimaksud. Padahal selama ini, ialah yang menjadi manajer keuangan di rumah, apalagi semenjak sang ayah jatuh sakit."Mana buktinya?" tanyanya kritis. Gadis cerdas itu tak mau begitu saja dibodohi dua orang dewasa licik yang memanfaatkan peluang kematian ayahnya.Bola mata Reno dan Nina saling berpandangan, mencari jawaban. Namun tak lama wanita 40 tahun itu mendorong tubuh Sheila dan pergi keluar bersama sang suami yang menjadi pengikut setia. Tak mau kalah, gadis itu membuntuti di belakang."Pokoknya, rumah ini menjadi milik kami! Kalau kamu masih mau tinggal di sini, turuti semua keinginan kami dan jangan banyak membantah!" tegasnya tanpa menjawab pertanyaan dari Sheila. "Kalau kamu enggak mau, silakan pergi dari sini!" tambahnya sebelum sempat keponakannya itu memberikan penolakan.Bibir kecil itu terkunci rapat, tak tahu lagi harus berkata apa. Masih hancur hati mengingat kepergian sang ayah. Kini Sheila harus kehilangan satu-satunya peninggalan kedua orang tuanya yang tentu saja menyimpan banyak memori."Enggak bisa! Ini rumah ayah! Bibi dan Paman enggak bisa ambil rumah ini!" seru Sheila membalas dengan gagah berani."Kenapa enggak bisa? Ini kan untuk membayar semua utang ayah kamu! Memang kamu mau dia masuk neraka karena utangnya di dunia?" balas Reno, membela istrinya.Sheila mendorong tubuh pria besar itu dan berusaha menarik sertifikat rumahnya sekali lagi. Tapi dengan sigap, Nina membantu suaminya dengan cara menarik tubuh gadis itu dan menyeretnya keluar.BRUGH!Tubuh kecil itu membentur lantai teras dengan kencang. Namun tak nampak rasa kasihan di wajah dua orang dewasa itu. Reno bahkan menunjukkan map di tangannya dengan tampang meledek."Kamu itu mau dikasih hati malah ngelunjak! Kalau kamu enggak mau, kamu bisa keluar dari rumah ini, sekarang juga!" Tangan Nina menunjuk ke arah jalan raya yang sepi orang. "Pergi dari sini, anak enggak tahu diuntung!" serunya lagi tanpa mau melihat tangis Sheila."Apa yang kalian lakukan?"Sebuah suara bariton terdengar bersama kedatangan sosok pria tinggi besar yang langsung membantu Sheila untuk berdiri. Dengan cepat ia membantu sang gadis membersihkan pakaian dan menopang tubuh lemah itu.Sementara manik cokelat Sheila tertuju pada sosok berkemeja hitam dengan kacamata bertengger manis di hidungnya yang mancung. Ia terpaku sejenak, menikmati ketampanan pria itu dalam hati."Kamu enggak papa?" tanyanya dengan mimik khawatir. Namun gelengan kepala Sheila menenangkannya."Lo siapa?" tanya Reno kasar. "Mau apa ke sini?" cecarnya lagi."Kalian yang siapa? Saya Arnes, teman Robby!" jawabnya dengan jelas."Saya adiknya Robby!" jawab Nina yang memiliki hubungan langsung dengan ayah Sheila."Terus kenapa kalian menyakiti anak ini?" tanyanya telak.Nina dan Reno saling berhadapan, coba mencari jawaban satu sama lain. "Kita ke sini mau mengambil hak kita! Keluarga ini punya utang, dan dia malah ngelak dan mau lari dari tanggung jawab!" tunjuk Nina pada keponakannya sendiri. "Jadi, daripada ngerepotin, mending dia keluar dari sini!" tambahnya berapi-api.Pria bernama Arnes itu melirik Sheila yang masih menggeleng tanda tak tahu. Namun matanya bisa membaca kondisi yang terjadi saat ini dengan cepat. Tangannya merengkuh lengan Sheila dan tersenyum ke arah sang gadis penuh sikap optimis, bahwa semuanya akan baik-baik saja."Baik kalau memang kalian tidak mau merawat anak ini, biar saya saja yang melakukan!" katanya penuh penekanan. "Kemasi barang-barangmu, kita pergi dari sini!" perintahnya pada gadis di sisinya.Gadis lugu itu masih menatap bingung. Namun sentuhan dan tatapan hangat Arnes di tangannya membuat sebuah kepercayaan muncul."Mulai hari ini, Paman yang akan menggantikan posisi ayahmu!" janjinya dengan tatapan tajam meyakinkan Sheila.***"Minumlah!" Arnes menyodorkan secangkir teh hangat untuk gadis yang sejak tadi masih menangis.Dengan berhati-hati, Sheila menyesap minuman itu. Ditariknya napas dalam-dalam, berusaha menghilangkan kepedihan hati yang belum sembuh karena kehilangan sang ayah dan harus ditambah penderitaan diusir dari rumah. Semua bak mimpi buruk yang menjadi nyata baginya."Aku tak tahu harus ke mana lagi," bisiknya parau."Kau tak perlu ke mana-mana!" balas Arnes cepat. Sheila terperangah mendengar pernyataan itu. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku!" katanya lagi.Gadis itu masih memandang tak percaya bahwa ucapan yang dikatakan Arnes di rumahnya tadi adalah sebuah kenyataan. Ia pikir itu hanyalah bualan untuk menyelamatkannya dari amukan paman dan bibi."M-maksud Paman, a-aku...""Tinggallah sampai kau bisa hidup mandiri." Arnes memotong ucapan Sheila yang masih belum sepenuhnya percaya.Manik cokelatnya memandangi kediaman Arnes yang bak istana. Gedung dua lantai yang memiliki halaman luas itu me
"Kau akan kembali ke rumah?" tanya Arnes setengah berteriak.Entah apa yang dipikirkan Sheila hingga membuat sebuah keputusan bodoh seperti itu. Sudah hampir seminggu ia tinggal di rumah Arnes, tapi bayangan sang ayah selalu muncul dalam mimpi, seolah menolak anak gadisnya keluar dari harta peninggalan satu-satunya itu."Aku tidak mengijinkan!" tegas Arnes yang langsung menolak tanpa perlu banyak tanya lagi."Tapi, Paman....""Apapun alasanmu, aku tidak setuju kau kembali ke sana!" tolaknya lagi.Gadis itu menunduk sedih mendengar jawaban Arnes yang tak bisa lagi diganggu gugat. Bibirnya baru saja akan mengucapkan argumen-argumen baru, tapi ekspresi Arnes membuatnya tetap diam sembari memainkan makanan yang terhidang di piring."Aku hanya ingin rumah itu kembali," bisiknya nyaris tak terdengar karena denting sendok dan garpu.Namun Arnes dengan jelas mendengar pernyataan gadis itu. Napasnya terdengar kesal, tapi ia berusaha untuk menyembunyikan emosinya. Baru dua hari menghadapi remaj
"Kau sudah bangun?" Sheila mengerjap-ngerjapkan matanya. Gadis itu buru-buru menarik jas putih di tubuhnya, berusaha untuk menutupi kulit yang terbuka. Pandangannya berkeliling, mencari tahu di mana dan siapa saja yang berada di sekitarnya saat ini.Sebuah helaan napas penuh kelegaan terdengar, setelah ia sadar bahwa tak ada Reno di sana. Pria di balik kemudi yang kini menatapnya khawatir adalah Arnes, Paman Dokternya. Dan kini, ia sudah berada di dalam mobil yang membawa mereka kembali ke rumah sang dokter."Paman ada di sana?" tanyanya penasaran."Petugas keamanan bilang kau pergi dari rumah dan aku tahu kau pasti kembali ke rumah itu," jawab Arnes.Sheila membuang muka karena malu sudah melakukan kesalahan. Tangannya merogoh kantong, di mana kunci duplikat berada. Senyumnya merekah begitu tahu benda penting itu masih ada di sana."Mengapa Paman pergi ke sana?" tanya gadis itu begitu polosnya.Entah apa yang ada dalam kepala Arnes hingga meninggalkan kehidupannya dan mengejar Sheil
Arnes bangun dengan penuh keterkejutan, karena ia sama sekali tak menemukan gadis kecil yang dipeluknya semalam. Kakinya berputar ke seluruh ruangan, tapi tak nampak ada sosok itu di sana. "Sheila!" teriaknya keluar dari kamar.Merasa tak ada jawaban, Arnes turun ke bawah dan berlari keluar rumah. Namun halaman rumahnya masih sama. Mobil hitam masih terparkir di teras, dan suasana sunyi senyap. "Bau ini..." bisiknya pada diri sendiri begitu menyadari hidungnya mencium sesuatu.Arnes berlari ke dapur untuk memastikan bahwa gadis itu ada di sana. Dan benar saja, langkahnya terhenti begitu melihat senyum ceria Sheila yang sudah memegangi semangkuk sup ayam."Pagi!" sapanya penuh kebahagiaan."K-kamu...""Tadi aku bangun jam lima. Tapi karena Paman kelihatan lelap, jadinya aku turun lebih dulu," katanya seolah tahu pertanyaan yang akan diajukan Arnes.Gadis itu menarik tangan Paman Dokternya untuk duduk bersama di meja makan. Sudah ada nasi hangat, sup dan telur dadar buatan Sheila. Sem
"Kemasi barang-barangmu!" perintah Arnes begitu masuk ke dalam kamar Sheila.Gadis itu terpaku sejenak, memandangi wajah paman dokter yang begitu ia idolakan. Tubuhnya baru bergerak begitu Arnes memaksanya untuk bangkit dari tempat tidur. Wajahnya menunjukkan amarah tertahan, tapi nyatanya begitu nampak di mata Sheila."Aku tunggu di bawah," katanya seraya pergi dari kamar.Sheila masih tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh pria itu. Tapi tangannya bergerak mengemasi barang-barang yang dianggapnya penting, sesuai perintah, walau dalam kepalanya penuh tanya.Tubuh mungil itu menuju ruang tamu dengan satu tas besar yang biasa di bawa ke sekolah. Sedangkan koper besarnya ia tinggal di kamar. Karena gadis itu tak merasa akan meninggalkan rumah besar Arnes."Ke mana barangmu yang lain?" tanya Arnes yang sudah siap di ambang pintu dengan kunci mobil di tangan."Masih di atas," jawab gadis itu polos.Arnes mendengus kesal. Tapi ia enggan menunggu lagi, hingga akhirnya memberi kode agar
"Sial!" gerutu Sheila memegangi perutnya yang mulas bukan main.Baru kali ini ia merasa begitu kesal tinggal di rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilnya. Harusnya ia begitu bahagia, tapi yang muncul malah sebaliknya. Sheila tersiksa karena tak lagi bisa mendengar deru mobil Arnes yang datang di malam hari. Tak ada bisa diciumnya wangi makan malam buatan paman dokternya itu.Gadis itu memilih keluar dari kamarnya, namun rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Dengan tertatih-tatih, kakinya melangkah menuju ke arah dapur. Sayangnya, ia lupa bahwa kepindahannya hanya membawa beberapa barang, tanpa makanan.Kulkas satu pintu itu kosong melompong. Hanya ada air mineral dan beberapa buah yang sudah busuk. Lemari dapur pun sama mengenaskannya. Jangankan beras, mie instan yang biasa ia simpan tandas entah ke mana."Udah laper, lagi dapet, sebel!" gerutunya meratapi nasib.Haid hari pertama membuat tubuhnya remuk. Tak hanya itu, rasa sakit yang dirasakan kini tak hanya karena t
"Paman!"Teriakan Sheila terdengar nyaring, membuat pria yang baru saja akan pergi bergerak kembali masuk ke dalam rumah. Langkah kaki yang panjang membuat waktu tak ada artinya lagi. Arnes memandang sekelilingnya yang gelap gulita. Mata tuanya ternyata memperburuk keadaan. Beruntung Sheila masih ada di ruang tamu, yang tak jauh dari pintu, sehingga ia bisa segera sampai mendekap erat sang gadis."Tenanglah, aku di sini," bisik Arnes mengelus lembut punggung Sheila."Aku takut," ujar Sheila mengeratkan pelukannya.Dengan tertatih-tatih, keduanya bergerak untuk duduk di sofa. Arnes hendak beranjak, untuk memeriksa kondisi meteran listrik. Karena nampak dari jendela tak ada rumah yang mati kecuali milik Sheila. Tetapi gadis itu menolak mentah-mentah, saking takutnya."Aku tak mau Paman pergi, titik!" serunya tegas.Arnes mendengus kesal, tapi tak tega juga meninggalkan Sheila seorang diri. Mau tak mau, ia pun mengalah dan tetap tinggal. Suasana menjadi hening dan canggung, dengan posis
"Ayah!" seru Sheila yang terbangun karena memimpikan cinta pertamanya.Tangis itu pecah memikirkan bagaimana mimpi pertemuan yang terasa begitu nyata. Tubuhnya masih bergetar hebat karena bayangan sang ayah tiba-tiba muncul. Tak ingin larut terlalu dalam, Sheila berusaha untuk bangkit dan memulai semua kehidupannya dari awal, tanpa orang tua. Harinya dimulai dengan mengumpulkan semua buku-buku pelajaran yang sudah lama tak tersentuh. Dirapikannya satu per satu perlengkapan sekolah agar esok bisa kembali lagi berkumpul dengan teman-temannya. "Krruk!"Sheila memegangi perut yang keroncongan. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi, sudah terlalu siang untuknya mendapat sarapan. Dengan langkah gontai ia menuju ke dapur. Tangannya begitu malas untuk sekedar menggoreng telur atau memanggang roti. Tapi cacing-cacing di perutnya sudah demo besar-besaran, memberikan rasa perih tak tertahan.Gadis itu baru saja akan menyuapkan satu tangkup besar roti selai kacang di tangannya, begitu su
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I