"Sial!" gerutu Sheila memegangi perutnya yang mulas bukan main.
Baru kali ini ia merasa begitu kesal tinggal di rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilnya. Harusnya ia begitu bahagia, tapi yang muncul malah sebaliknya. Sheila tersiksa karena tak lagi bisa mendengar deru mobil Arnes yang datang di malam hari. Tak ada bisa diciumnya wangi makan malam buatan paman dokternya itu.
Gadis itu memilih keluar dari kamarnya, namun rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Dengan tertatih-tatih, kakinya melangkah menuju ke arah dapur. Sayangnya, ia lupa bahwa kepindahannya hanya membawa beberapa barang, tanpa makanan.
Kulkas satu pintu itu kosong melompong. Hanya ada air mineral dan beberapa buah yang sudah busuk. Lemari dapur pun sama mengenaskannya. Jangankan beras, mie instan yang biasa ia simpan tandas entah ke mana.
"Udah laper, lagi dapet, sebel!" gerutunya meratapi nasib.
Haid hari pertama membuat tubuhnya remuk. Tak hanya itu, rasa sakit yang dirasakan kini tak hanya karena telat makan, tapi juga efek tamu bulanan yang datang tanpa diminta. Semua seolah berencana untuk menghancurkan malam pertama Sheila di rumah.
Gadis itu bergerak ke ruang keluarga, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktunya bersama sang ayah. Bulir-bulir air mata mulai jatuh, mengingat bagaimana hidupnya terombang-ambing seminggu terakhir. Kerinduan akan sosok ayahnya mulai terasa menyiksa.
"Yah, Sheila kangen..." isaknya sembari meringkuk di atas sofa.
Tubuhnya menciut, dengan tangan memeluk diri sendiri. Masa haid di hari pertama membuat perasaannya begitu gampang terombang-ambing, tak jelas. Sebentar merasa senang, lalu marah, dan berakhir dengan kecewa.
"Sakit," rintihnya memegangi area perut.
Kram perut biasa dirasakannya saat menjelang masa menstruasi, lalu memuncak di hari pertama, seperti saat ini. Tangisnya semakin pecah karena ingat bahwa ayahnya adalah orang yang selalu menemani, bahkan mengobatinya.
Mulai dari membelikan obat, mengompres dengan air hangat, atau kadang memijat area punggungnya. Bahkan dimasa sakitnya, Sheila masih sering diperlakukan bak putri. Masa-masa itu berulang dalam kepala, memaksa air matanya untuk terus mengalir.
Matanya mulai terpejam, karena lelah menangis. Tubuhnya pun tak lagi bertenaga, hingga berpindah pun tak sanggup dilakukan. Yang ada ia makin terlelap di ruang tengah dengan televisi menyala.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Sebuah tanya memecah kesedihan sang gadis. Sosok sang paman dokter hadir tepat di depan matanya, seperti mimpi. Sheila yang tak percaya sampai menyentuh wajah pria itu dengan kedua tangannya.
"Ini sungguh Paman?" tanyanya masih tak percaya.
"Kau pikir aku hantu, hah?" balas pria itu ketus.
Ditepisnya tangan Sheila dengan kasar. Lalu tanpa ijin ia bergerak menuju ke arah dapur dan memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam kulkas. Sementara sang gadis masih duduk manis di sofa sembari memandangi kesibukan pamannya.
"Kenapa Paman bisa masuk?" tanyanya menunjuk pintu yang harusnya sudah ia kunci.
"Aku punya kunci cadangan," jawab pria itu cepat.
"Untuk apa?" Sheila mulai penasaran.
Arnes menyusul ke ruan tengah dengan dua minuman yang berbeda jenis. Satu kotak susu untuk Sheila, sementara bir untuknya. Tak dihiraukan tatapan bingung gadis remaja yang menyaksikan seorang dokter membawa minuman alkohol.
"Paman, k-kau..." Sheila menunjuk kaleng di tangan sang dokter.
"Satu kaleng tak akan membuatku mabuk," katanya penuh percaya diri.
Dibukanya kaleng minuman di tangan, sembari membuka minuman untuk Sheila. Keduanya bertos ria, entah sedang merayakan apa. Suasana menjadi hening dengan bunyi tegukan yang mulai menyejukkan kerongkongan.
"Ehmpf!" Sheila berseru sembari memegangi perutnya yang kembali sakit.
"Ada apa?" tanya Arnes dengan wajah panik.
"Perutku kram, datang bulan pertama," jawabnya.
Pria itu mengangguk tanda mengerti. Ditenggak habis minumannya, lalu mulai beralih kepada Sheila. Tubuh bergeser tepat di sisi sang gadis. Satu gerakan darinya membuat badan Sheila rebah dengan posisi kaki lebih tinggi.
"A-apa yang Paman..."
"Posisi ini akan membuat perutmu lebih nyaman," potongnya cepat.
Untuk beberapa saat keduanya berada di posisi yang sama dengan suasana hening, karena hanya suara televisi yang terdengar lamat-lamat. Berita malam membuat sang gadis menguap beberapa kali. Namun tak demikian dengan Arnes yang masih bisa menghabiskan kaleng bir keduanya.
"Kenapa Paman minum ini? Bukankah dokter tidak..."
"Aku butuh pengalihan," katanya memotong semua rasa ingin tahu di kepala gadis muda itu.
Sayangnya jawaban itu tak menjawab pertanyaan Sheila. Ia masih diam memandangi sang paman dokter dengan wajah penasaran.
"Apa yang membuat Paman datang?" tanya gadis itu penasaran.
Untuk beberapa saat, Arnes terdiam, memikirkan jawaban yang sebenarnya sudah ada dalam kepala. Tapi tak mungkin ia berkata jujur bahwa perasaannya kacau semenjak Sheila meninggalkan rumah. Bak orang linglung, ia mondar-mandir mengelilingi rumah tanpa tahu arah.
Belum lagi rasa khawatir begitu ingat rumah itu ditinggalkan pemilik sebelumnya penuh paksa. Kemungkinan akan ada bahaya yang muncul, lalu kondisi rumah yang Arnes sendiri tak tahu keamanannya, semua itu bergelut hingga kepalanya mau pecah.
"Apa Paman merindukanku?" tanya Sheila sembari memasang wajah nakal.
Arnes tergelak mendengar pertanyaan itu. Bibirnya terangkat, menunjukkan ketampanan yang membuat Sheila terpesona, selalu. Tawa itu semakin jelas terlihat begitu sang gadis memanyunkan bibir, berlagak seolah tengah merajuk.
"Kalau bukan rindu, lalu apa?" tanyanya mulai mencecar.
"Aku takut kau kelaparan!" jawabnya seraya menjulurkan lidah, mengelak semua tebakan Sheila dengan alibi yang sempurna.
Padahal jika ditelusuri lebih dalam lagi, rindu itu nyata adanya. Karena beberapa kali Arnes masuk ke dalam kamar kosong yang tepat berada di samping kamarnya, berharap sosok gadis itu masih di sana. Namun hanya ruang dengan sisa wangi Sheila yang masih khas.
"Pembohong!" seru Sheila yang sudah beranjak duduk dengan wajah masam.
"Tukang halu!" balas Arnes menyentil kening Sheila dengan lembut.
Percakapan itu berakhir dan kembali hening. Tapi tak demikian dengan isi kepala Sheila yang tak bisa diam di dekat Arnes. Jantungnya berdegup kencang, seperti biasanya jika berada di dekat pria favoritnya itu. Dan nampaknya Arnes mulai kegerahan karena ulahnya meminum kembali alkohol yang nyaris tak pernah lagi ditenggak.
"Aku harus pulang!" katanya sebelum perasaannya semakin menjadi-jadi.
Tapi cegatan tangan mungil itu membuatnya diam di tempat. Sheila menatap lemah dengan sepasang manik cokelat yang menolaknya pergi. Jari-jari lentik itu menggenggam tangan besar Arnes, berusaha menahan.
"Aku takut sendiri," bisiknya parau.
"Tak akan ada apa-apa, percayalah!" Arnes meyakinkan dengan kedua tangan memegangi bahu gadis itu.
Mata yang berkaca-kaca nampaknya tak membuat niat pria itu menyurut. Arnes mengelus puncak kepala Sheila dan bergerak pergi. Namun baru beberapa langkah dari pintu, sesuatu terjadi.
DEP!
"Paman!" jerit Sheila dari dalam rumah yang sudah gelap gulita.
***
Follow IG @sheila_author untuk tahu update hariannya
"Paman!"Teriakan Sheila terdengar nyaring, membuat pria yang baru saja akan pergi bergerak kembali masuk ke dalam rumah. Langkah kaki yang panjang membuat waktu tak ada artinya lagi. Arnes memandang sekelilingnya yang gelap gulita. Mata tuanya ternyata memperburuk keadaan. Beruntung Sheila masih ada di ruang tamu, yang tak jauh dari pintu, sehingga ia bisa segera sampai mendekap erat sang gadis."Tenanglah, aku di sini," bisik Arnes mengelus lembut punggung Sheila."Aku takut," ujar Sheila mengeratkan pelukannya.Dengan tertatih-tatih, keduanya bergerak untuk duduk di sofa. Arnes hendak beranjak, untuk memeriksa kondisi meteran listrik. Karena nampak dari jendela tak ada rumah yang mati kecuali milik Sheila. Tetapi gadis itu menolak mentah-mentah, saking takutnya."Aku tak mau Paman pergi, titik!" serunya tegas.Arnes mendengus kesal, tapi tak tega juga meninggalkan Sheila seorang diri. Mau tak mau, ia pun mengalah dan tetap tinggal. Suasana menjadi hening dan canggung, dengan posis
"Ayah!" seru Sheila yang terbangun karena memimpikan cinta pertamanya.Tangis itu pecah memikirkan bagaimana mimpi pertemuan yang terasa begitu nyata. Tubuhnya masih bergetar hebat karena bayangan sang ayah tiba-tiba muncul. Tak ingin larut terlalu dalam, Sheila berusaha untuk bangkit dan memulai semua kehidupannya dari awal, tanpa orang tua. Harinya dimulai dengan mengumpulkan semua buku-buku pelajaran yang sudah lama tak tersentuh. Dirapikannya satu per satu perlengkapan sekolah agar esok bisa kembali lagi berkumpul dengan teman-temannya. "Krruk!"Sheila memegangi perut yang keroncongan. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi, sudah terlalu siang untuknya mendapat sarapan. Dengan langkah gontai ia menuju ke dapur. Tangannya begitu malas untuk sekedar menggoreng telur atau memanggang roti. Tapi cacing-cacing di perutnya sudah demo besar-besaran, memberikan rasa perih tak tertahan.Gadis itu baru saja akan menyuapkan satu tangkup besar roti selai kacang di tangannya, begitu su
"Sadarlah, ku mohon!"Bisikan kalimat itu terus berulang di telinga Sheila. Matanya masih tertutup rapat, tapi ia tahu bahwa dirinya tak lagi berada di rumah. Karena ia merasa badannya bergerak, bersama deru kendaraan yang begitu halus.Sayang, gadis itu tak bisa banyak bergerak. Ingin sekali ia membuka mata, tapi rasa sakit masih menghiasi sekujur tubuhnya. Ia tak yakin apa yang telah terjadi, namun satu hal yang pasti, badannya kini babak belur setelah dihajar oleh Reno."Sebentar lagi kita sampai," bisik Arnes menggenggam tangan Sheila yang dingin bak es.Mobil sedan berkecepatan penuh itu rasanya berjalan begitu lamban saat ia ingin sekali sampai. Beberapa kali maniknya menangkap kondisi gadis di kursi penumpang yang basah kuyup berlumuran darah. Tubuh mungil yang terselimuti handuk itu terkulai lemah bersama jas dokter yang sengaja ya kenakan di bagian atasnya untuk sekedar mengurangi rasa dingin."Siapkan ruangan, ini darurat!" seru Arnes begitu sampai di kliniknya.Beberapa per
"Sebentar saja, ku mohon!" rengek Sheila. "Ini sudah seminggu dan aku sama sekali belum melihat dunia luar!" tambahnya.Untuk kesekian kalinya Arnes menolak permintaan gadis muda yang ingin keluar dari kamarnya. Jika dilihat dari kasat mata, Sheila memang nampak baik-baik saja. Tapi luka di kepalanya belum seratus persen kering. Lalu memar di wajahnya masih nampak, walau samar."Hanya di sekitar sini," katanya lagi."Tidak! Sudah ku katakan bahwa kau masih butuh istirahat!" jawab Arnes kesal. "Aku harus praktik, jadi jangan coba-coba keluar dari kamar!" ancamnya.Sesungguhnya Arnes tahu bagaimana perasaan Sheila, remaja putri yang terkurung dalam ruang rawat yang walaupun nyaman tetap saja membosankan. Hanya televisi dan ponsel yang dimilikinya sebagai hiburan. Namun sebagai dokter, ia ingin pasiennya segera pulih dan kembali seperti sedia kala."Istirahat!" Arnes memastikan sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan gadis itu.Sheila memanyunkan bibir. Lirikan matanya tertuju pada cerm
"Gue di depan klinik!" kata Sheila pada ponsel pintar miliknya.Gadis itu masih menoleh ke belakang, berharap Arnes mengejarnya. Tapi yang dilihat hanya lalu-lalang para tenaga medis yang membawa pasien. Harapannya pupus bersama city car merah milik Meli, temannya di sekolah.Dengan langkah cepat ia menghampiri mobil yang terparkir tepat di depan pos keamanan. Di sana Meli sudah memberi kode agar temannya segera masuk. Namun sesuatu menghalangi Sheila untuk masuk ke dalam mobil."Nona Sheila, kan? Ini Dokter Arnes telepon!" kata seorang petugas keamanan dari dalam posnya.Pria berseragam serba hitam itu menyodorkan gagang telepon agar keduanya bisa berkomunikasi secara langsung. Namun sang gadis menggeleng dengan cepat, karena tak ingin Meli menunggu terlalu lama. Dan sejujurnya ia pun sudah tak ingin lagi berkomunikasi dengan Arnes.Jika mau ditarik ulur, Sheila dan Meli bukanlah teman dekat. Keduanya hanya saling berhubungan ketika membutuhkan, atau biasa disebut dengan simbiosis mu
"Masuk!"Tubuh Sheila didorong masuk dengan kasar ke dalam mobil. Matanya menatap tajam ke arah pria yang sejak tadi menarik paksa keluar dari tempat pesta. Ia sudah berusaha memberontak, tapi tenaga dokter itu lebih kuat darinya.BRAK!Tubuh Sheila melonjak kaget menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Paman Dokternya menutup pintu mobil dengan kencang. Matanya menatap tajam ke arah Arnes yang mengelilingi mobil dan bergerak ke bangku kemudi.Emosi jelas terlihat dari manik cokelat yang biasanya ceria. Ekspresinya dingin memandangi pria yang sudah menginjak pedal gas dalam. Kecepatan mobil dan gerak lincah setir tak membuat tubuh Sheila goyah. Tangan kecilnya memegangi dashboard erat."Apa yang kau lakukan, Paman?" tanya Sheila penuh penekanan."Aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan, hah?" Arnes balik menatap gadis itu dengan tatapan siap menerkam. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun, melihat bagaimana cara Sheila berpakaian malam itu. Nyaris separuh kulitn
"Shei... kamu masih ngambek?" tanya Arnes dari luar pintu kamar sang gadis.Sudah lebih dari satu menit, pria itu berdiri di sana dengan posisi yang juga masih sama. Tangannya beberapa kali mengetuk pintu pelan, tapi tak jua ada balasan dari Sheila. Tapi telinganya menangkap ada suara langkah kaki dari dalam, yang berarti ada kehidupan di dalamnya."Buka dulu pintunya, Shei. Kita harus bicara!" katanya memohon."Enggak mau!" jawabnya tanpa sedikitpun menunjukkan wajah.Dari sana, Arnes sudah tahu bahwa sang gadis masih terbawa emosi. Ia pun tak bisa menampik bahwa apa yang diperbuatnya tadi sudah di luar batas. Apalagi melihat situasi yang baru-baru ini terjadi pada Sheila."Paman ingin menunjukkan sesuatu tentang kejadian di rumah kamu!" kata Arnes memancing.Manik cokelat Sheila melirik ke arah pintu dengan tatapan penuh tanya. Ada banyak tanya tentang kejadian yang tak sempat ia ingat hari itu. Luka dan tubuhnya yang lemas membuat ingatannya tak bisa kembali penuh. Apalagi masih ad
"Aw!" seru Sheila begitu menyentuh air panas di bak mandinya.Sejak bangun tidur tadi, ia sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan semalam. Mulai dari kedatangannya ke rumah, sampai sentuhan Arnes di setiap jengkal tubuhnya. Rasanya semua bak mimpi yang menjadi nyata.Tak ada yang terjadi setelahnya, tapi entah mengapa semua menjadi lain bagi Sheila. Gadis itu merasa bahwa paman dokternya juga memiliki perasaan yang sama. Terbukti dari sentuhan semalam yang tak mungkin hanya ilusi, mimpi apalagi kesalahan alkohol seperti sebelumnya."Come on, Shei! Bangun!" katanya pada pantulan gadis cantik di cermin.Tak bisa dipungkiri jika ia mulai mencintai Paman Dokternya itu. Tapi kemarahan Arnes siang kemarin, sedikit menyadarkannya. Usia mereka yang terbentang begitu jauh rasanya tak mungkin bisa dipersatukan. Apalagi jika dilihat dari status sosial keduanya. Arnes adalah seorang dokter terkenal, sementara dirinya hanya siswi biasa, tanpa prestasi.
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I