"Kemasi barang-barangmu!" perintah Arnes begitu masuk ke dalam kamar Sheila.
Gadis itu terpaku sejenak, memandangi wajah paman dokter yang begitu ia idolakan. Tubuhnya baru bergerak begitu Arnes memaksanya untuk bangkit dari tempat tidur. Wajahnya menunjukkan amarah tertahan, tapi nyatanya begitu nampak di mata Sheila."Aku tunggu di bawah," katanya seraya pergi dari kamar.Sheila masih tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh pria itu. Tapi tangannya bergerak mengemasi barang-barang yang dianggapnya penting, sesuai perintah, walau dalam kepalanya penuh tanya.Tubuh mungil itu menuju ruang tamu dengan satu tas besar yang biasa di bawa ke sekolah. Sedangkan koper besarnya ia tinggal di kamar. Karena gadis itu tak merasa akan meninggalkan rumah besar Arnes."Ke mana barangmu yang lain?" tanya Arnes yang sudah siap di ambang pintu dengan kunci mobil di tangan."Masih di atas," jawab gadis itu polos.Arnes mendengus kesal. Tapi ia enggan menunggu lagi, hingga akhirnya memberi kode agar mereka segera masuk ke dalam mobil. Dan tak seperti sebelumnya, pria itu bersikap acuh dan terkesan membiarkan Sheila seorang diri."Kita mau ke mana?" tanya Sheila."Nanti kau akan tahu," jawab Arnes dengan sikapnya yang dingin.Gadis itu mengerti bahwa amarah masih menyelimuti Paman Dokternya, apalagi setelah kejadian siang tadi. Sikapnya membuat ketidak nyamanan hadir di antara mereka, dan hal itu cukup disesalinya. Namun Sheila sendiri bingung harus memulainya dari mana."Apakah Paman masih marah?" tanya gadis itu coba membuka pembicaraan setelah sepuluh menit lamanya suasana hening.Sayangnya tak ada jawaban dari laki-laki di balik kemudi itu. Perasaan canggung mulai menyelimuti hati sang gadis. Rasa bersalah membuat kepalanya tertunduk lesu. Jangankan melirik ke arah Arnes, menatap jalanpun ia tak sanggup."Aku minta maaf," bisiknya parau.Gadis muda yang biasa bersikap terus terang dan blak-blakkan itu nampak sangat menyesal. Ajaran sang ayah kali ini tak berjalan mulus untuk kehidupannya bersama Arnes yang keras dan dingin. Apalagi ditambah dengan perasaannya pada sang paman dokter yang tentu saja salah, jika melihat usia keduanya yang terbentang begitu jauh.Ada benarnya kemarahan Arnes siang tadi. Tapi Sheila sendiri merasa bahwa emosi itu harusnya selesai begitu kata maaf terucap. Apalagi terlihat sekali ekspresi sesal di wajahnya."Aku tak bermaksud kurang ajar, hanya berusaha menunjukkan perasaanku yang men...""Cukup, aku tak ingin mendengarnya!" potong Arnes cepat.Tubuhnya menegang begitu mendengar kalimat dari Sheila. Jika harus jujur, ia menyukai gadis riang nan baik hati yang duduk di sampingnya itu. Tapi bukan sebagai pasangan. Jangankan membayangkan, berniat untuk memilikinya saja Arnes tak ingin. Pria itu berusaha tetap pada niat utamanya untuk bertanggung jawab dalam kehidupan Sheila, hingga gadis itu bisa mandiri, tak lebih. Dan setelah tugas utamanya selesai, barulah ia bisa kembali pada kehidupa pribadinya yang lebih merepotkan dibandingkan mengurusi satu remaja putri."Kau masih muda, perasaan itu muncul karena emosi sesaat. Jadi cobalah untuk fokus pada hal lain!" nasihat Arnes kebapakan.Perasaan tak terima muncul di benak Sheila. Ia merasa kata-kata pria itu tak benar, karena perasaan itu hanya dirinya yang bisa merasakan dan Arnes tak tahu apa-apa. "Kau salah Paman, aku tak pernah merasa seperti ini. Aku sangat yakin bahwa aku men...""Sheila!" sentak Arnes bersamaan dengan injakan pedal rem di kaki kirinya. "Tak bisakah kau sedikit gunakan akal sehatmu, hah? Jangan terlalu terbawa perasaan dan bertindak bodoh!" katanya dengan tatapan penuh amarah.Gadis itu ikut tak terima dengan pernyataan Arnes. Kali ini manik cokelatnya menatap tajam, seolah tak gentar dengan kalimat yang diutarakan paman dokternya itu. Keduanya diliputi perasaan kesal akan sikap yang tak sesuai."Ini perasaanku, dan hanya aku yang berhak mengaturnya! Paman sama sekali tak punya hak akan hal itu!" balas gadis itu mementahkan semua pernyataan Arnes."Tapi aku berkewajiban mengingatkanmu jika jalan yang kau lalui itu salah, dengar!" timpal Arnes yang bersikap sebagaimana usianya.Kematangan membuat kata-kata Sheila bisa dibalikkan dengan cepat. Kemanangan jelas berada di sisi Arnes. Terlihat dari tubuh mungil sang gadis yang mulai mundur, merapat ke arah pintu. "Aku tahu kau gadis pintar, jadi jangan lagi bersikap bodoh dengan embel-embel perasaan seperti hari ini!" tutup Arnes yang kembali fokus pada jalan.Roda mobil itu kembali berputar menyusuri jalan besar. Namun wajah Sheila masih menunjukkan ketidak terimaan akan semua ucapan Arnes. Tubuhnya menegang dengan tatapan tajam ke arah sang pengemudi."Pakai sabuk pengamanmu dan lihatlah ke depan!" perintah Arnes yang sadar bahwa sedari tadi manik cokelat nan cantik itu mengikutinya.Tapi Sheila tak bergerak. Ia masih tetap diam di tempat, dengan pandangan yang masih sama. Hatinya bergemuruh, marah. Bibirnya bergetar, seolah ingin menyampaikan sesuatu."Jalan berbatu, berliku, bahkan buntu sekalipun, biar aku yang rasakan. Paman tak perlu melakukan apapun, karena aku yang bertanggung jawab akan perasaan dan jalan yang ku pilih!" katanya seraya membalikkan tubuh ke arah jalan.Arnes tertegun untuk beberapa saat, coba memutar kembali pernyataan dari Sheila yang tambah membuatnya sakit kepala. Kesabaran itu akhirnya habis dan membuat kaki kanannya menginjak pedal gas lebih cepat lagi. Tak ada suara hingga akhirnya mobil sedan itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang tentu tak asing bagi keduanya."Turun!" seru Arnes yang langsung keluar dari mobil.Pria itu nampak membawa sebuah map dan juga satu gantungan penuh kunci yang digunakan untuk membuka gerbang. Dan dengan tergopoh-gopoh tak percaya, Sheila mengikuti Arnes masuk ke dalam rumahnya.Ya, perjalanan panjang itu ternyata berakhir di rumah peninggalan ayahnya. Dan yang masih membuat gadis itu bingung, tak nampak satu orangpun di sana. Setiap ruangan yang dibukanya kosong melompong."P-paman, ke-ke mana mereka?" tanya Sheila masih tak juga percaya dengan kondisi rumahnya yang bersih, rapi juga tanpa penghuni."Ini milikmu!" kata Arnes seolah menjawab semua tanya dalam kepala gadis itu. "Kini tak akan ada lagi yang mengganggumu. Rumah ini dan segala isinya telah kembali," tambahnya sembari menyerahkan map di tangan pada sang pemilik sesungguhnya.Sheila membuka map itu untuk memastikan bahwa isinya masih sama. Air matanya mengalir begitu melihat sertifikat rumah itu utuh. Tangannya bergetar, seperti baru saja dijatuhi durian runtuh. Bibirnya berucap syukur, dengan senyum tersungging untuk Arnes."Mulai hari ini, kau bisa menempati rumahmu kembali," kata Arnes yang sontak membuat mata Sheila melotot."M-maksudnya, aku...""Aku sudah menunaikan janji itu. Kau kembali mendapatkan rumah ini, dan aku akan bertanggung jawab atas biaya sekolahmu. Setiap bulan akan ku transfer sejumlah uang, tenang saja!" jelasnya.Sheila terkejut mendengarnya. Ia tak menyangka bahwa Arnes melakukan itu untuk membuat mereka berjauhan, seperti maksud dari kata-katanya di mobil tadi."Kau menyingkirkanku?" tanya Sheila parau."Aku menyingkirkan perasaan bodohmu!" katanya seraya meninggalkan gadis itu seorang diri, di rumahnya.***"Sial!" gerutu Sheila memegangi perutnya yang mulas bukan main.Baru kali ini ia merasa begitu kesal tinggal di rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilnya. Harusnya ia begitu bahagia, tapi yang muncul malah sebaliknya. Sheila tersiksa karena tak lagi bisa mendengar deru mobil Arnes yang datang di malam hari. Tak ada bisa diciumnya wangi makan malam buatan paman dokternya itu.Gadis itu memilih keluar dari kamarnya, namun rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Dengan tertatih-tatih, kakinya melangkah menuju ke arah dapur. Sayangnya, ia lupa bahwa kepindahannya hanya membawa beberapa barang, tanpa makanan.Kulkas satu pintu itu kosong melompong. Hanya ada air mineral dan beberapa buah yang sudah busuk. Lemari dapur pun sama mengenaskannya. Jangankan beras, mie instan yang biasa ia simpan tandas entah ke mana."Udah laper, lagi dapet, sebel!" gerutunya meratapi nasib.Haid hari pertama membuat tubuhnya remuk. Tak hanya itu, rasa sakit yang dirasakan kini tak hanya karena t
"Paman!"Teriakan Sheila terdengar nyaring, membuat pria yang baru saja akan pergi bergerak kembali masuk ke dalam rumah. Langkah kaki yang panjang membuat waktu tak ada artinya lagi. Arnes memandang sekelilingnya yang gelap gulita. Mata tuanya ternyata memperburuk keadaan. Beruntung Sheila masih ada di ruang tamu, yang tak jauh dari pintu, sehingga ia bisa segera sampai mendekap erat sang gadis."Tenanglah, aku di sini," bisik Arnes mengelus lembut punggung Sheila."Aku takut," ujar Sheila mengeratkan pelukannya.Dengan tertatih-tatih, keduanya bergerak untuk duduk di sofa. Arnes hendak beranjak, untuk memeriksa kondisi meteran listrik. Karena nampak dari jendela tak ada rumah yang mati kecuali milik Sheila. Tetapi gadis itu menolak mentah-mentah, saking takutnya."Aku tak mau Paman pergi, titik!" serunya tegas.Arnes mendengus kesal, tapi tak tega juga meninggalkan Sheila seorang diri. Mau tak mau, ia pun mengalah dan tetap tinggal. Suasana menjadi hening dan canggung, dengan posis
"Ayah!" seru Sheila yang terbangun karena memimpikan cinta pertamanya.Tangis itu pecah memikirkan bagaimana mimpi pertemuan yang terasa begitu nyata. Tubuhnya masih bergetar hebat karena bayangan sang ayah tiba-tiba muncul. Tak ingin larut terlalu dalam, Sheila berusaha untuk bangkit dan memulai semua kehidupannya dari awal, tanpa orang tua. Harinya dimulai dengan mengumpulkan semua buku-buku pelajaran yang sudah lama tak tersentuh. Dirapikannya satu per satu perlengkapan sekolah agar esok bisa kembali lagi berkumpul dengan teman-temannya. "Krruk!"Sheila memegangi perut yang keroncongan. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi, sudah terlalu siang untuknya mendapat sarapan. Dengan langkah gontai ia menuju ke dapur. Tangannya begitu malas untuk sekedar menggoreng telur atau memanggang roti. Tapi cacing-cacing di perutnya sudah demo besar-besaran, memberikan rasa perih tak tertahan.Gadis itu baru saja akan menyuapkan satu tangkup besar roti selai kacang di tangannya, begitu su
"Sadarlah, ku mohon!"Bisikan kalimat itu terus berulang di telinga Sheila. Matanya masih tertutup rapat, tapi ia tahu bahwa dirinya tak lagi berada di rumah. Karena ia merasa badannya bergerak, bersama deru kendaraan yang begitu halus.Sayang, gadis itu tak bisa banyak bergerak. Ingin sekali ia membuka mata, tapi rasa sakit masih menghiasi sekujur tubuhnya. Ia tak yakin apa yang telah terjadi, namun satu hal yang pasti, badannya kini babak belur setelah dihajar oleh Reno."Sebentar lagi kita sampai," bisik Arnes menggenggam tangan Sheila yang dingin bak es.Mobil sedan berkecepatan penuh itu rasanya berjalan begitu lamban saat ia ingin sekali sampai. Beberapa kali maniknya menangkap kondisi gadis di kursi penumpang yang basah kuyup berlumuran darah. Tubuh mungil yang terselimuti handuk itu terkulai lemah bersama jas dokter yang sengaja ya kenakan di bagian atasnya untuk sekedar mengurangi rasa dingin."Siapkan ruangan, ini darurat!" seru Arnes begitu sampai di kliniknya.Beberapa per
"Sebentar saja, ku mohon!" rengek Sheila. "Ini sudah seminggu dan aku sama sekali belum melihat dunia luar!" tambahnya.Untuk kesekian kalinya Arnes menolak permintaan gadis muda yang ingin keluar dari kamarnya. Jika dilihat dari kasat mata, Sheila memang nampak baik-baik saja. Tapi luka di kepalanya belum seratus persen kering. Lalu memar di wajahnya masih nampak, walau samar."Hanya di sekitar sini," katanya lagi."Tidak! Sudah ku katakan bahwa kau masih butuh istirahat!" jawab Arnes kesal. "Aku harus praktik, jadi jangan coba-coba keluar dari kamar!" ancamnya.Sesungguhnya Arnes tahu bagaimana perasaan Sheila, remaja putri yang terkurung dalam ruang rawat yang walaupun nyaman tetap saja membosankan. Hanya televisi dan ponsel yang dimilikinya sebagai hiburan. Namun sebagai dokter, ia ingin pasiennya segera pulih dan kembali seperti sedia kala."Istirahat!" Arnes memastikan sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan gadis itu.Sheila memanyunkan bibir. Lirikan matanya tertuju pada cerm
"Gue di depan klinik!" kata Sheila pada ponsel pintar miliknya.Gadis itu masih menoleh ke belakang, berharap Arnes mengejarnya. Tapi yang dilihat hanya lalu-lalang para tenaga medis yang membawa pasien. Harapannya pupus bersama city car merah milik Meli, temannya di sekolah.Dengan langkah cepat ia menghampiri mobil yang terparkir tepat di depan pos keamanan. Di sana Meli sudah memberi kode agar temannya segera masuk. Namun sesuatu menghalangi Sheila untuk masuk ke dalam mobil."Nona Sheila, kan? Ini Dokter Arnes telepon!" kata seorang petugas keamanan dari dalam posnya.Pria berseragam serba hitam itu menyodorkan gagang telepon agar keduanya bisa berkomunikasi secara langsung. Namun sang gadis menggeleng dengan cepat, karena tak ingin Meli menunggu terlalu lama. Dan sejujurnya ia pun sudah tak ingin lagi berkomunikasi dengan Arnes.Jika mau ditarik ulur, Sheila dan Meli bukanlah teman dekat. Keduanya hanya saling berhubungan ketika membutuhkan, atau biasa disebut dengan simbiosis mu
"Masuk!"Tubuh Sheila didorong masuk dengan kasar ke dalam mobil. Matanya menatap tajam ke arah pria yang sejak tadi menarik paksa keluar dari tempat pesta. Ia sudah berusaha memberontak, tapi tenaga dokter itu lebih kuat darinya.BRAK!Tubuh Sheila melonjak kaget menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Paman Dokternya menutup pintu mobil dengan kencang. Matanya menatap tajam ke arah Arnes yang mengelilingi mobil dan bergerak ke bangku kemudi.Emosi jelas terlihat dari manik cokelat yang biasanya ceria. Ekspresinya dingin memandangi pria yang sudah menginjak pedal gas dalam. Kecepatan mobil dan gerak lincah setir tak membuat tubuh Sheila goyah. Tangan kecilnya memegangi dashboard erat."Apa yang kau lakukan, Paman?" tanya Sheila penuh penekanan."Aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan, hah?" Arnes balik menatap gadis itu dengan tatapan siap menerkam. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun, melihat bagaimana cara Sheila berpakaian malam itu. Nyaris separuh kulitn
"Shei... kamu masih ngambek?" tanya Arnes dari luar pintu kamar sang gadis.Sudah lebih dari satu menit, pria itu berdiri di sana dengan posisi yang juga masih sama. Tangannya beberapa kali mengetuk pintu pelan, tapi tak jua ada balasan dari Sheila. Tapi telinganya menangkap ada suara langkah kaki dari dalam, yang berarti ada kehidupan di dalamnya."Buka dulu pintunya, Shei. Kita harus bicara!" katanya memohon."Enggak mau!" jawabnya tanpa sedikitpun menunjukkan wajah.Dari sana, Arnes sudah tahu bahwa sang gadis masih terbawa emosi. Ia pun tak bisa menampik bahwa apa yang diperbuatnya tadi sudah di luar batas. Apalagi melihat situasi yang baru-baru ini terjadi pada Sheila."Paman ingin menunjukkan sesuatu tentang kejadian di rumah kamu!" kata Arnes memancing.Manik cokelat Sheila melirik ke arah pintu dengan tatapan penuh tanya. Ada banyak tanya tentang kejadian yang tak sempat ia ingat hari itu. Luka dan tubuhnya yang lemas membuat ingatannya tak bisa kembali penuh. Apalagi masih ad
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I