***
"Pa, Mama Senja ke kamar mandinya kenapa lama ya? Udah lebih dari sepuluh menit kayanya."Duduk di sofa panjang yang posisinya tak jauh dari meja kerja Juan, Caca akhirnya bertanya setelah Senja yang beberapa waktu lalu berpamitan ke kamar mandi, tak kunjung kembali.Penasaran ke mana sang mama, itulah yang Caca rasakan sehingga setelah sejak tadi diam, bertanya pada Juan pun dilakukannya dan hal tersebut membuat Juan yang semula fokus dengan layar macbook, berhenti untuk kemudian bertanya,"Oh ya?""Iya, Pa," kata Caca. "Caca tuh udah nunggu lama banget. Papa emang enggak ngerasa?"Tak menjawab, Juan memilih untuk mengalihkan atensi ke arah jam dinding di ruang kerja, dan tak salah ucapan sang putri, Senja memang sudah cukup lama pergi."Iya ya, udah lama Mama Senja perginya.""Susul yuk, Pa," kata Caca. "Aku takut ada apa-apa sama Mama. Dia kan jarang ke sini.""Boleh deh ayo."Tak diam s***"Untuk saat ini kamu saya maafin, tapi kalau ke depannya kamu macam-macam lagi sama Senja, saya enggak akan segan pecat kamu dari perusahaaan saya."Selesai bertanya tentang beberapa hal pada karyawan perempuan yang dipanggilnya belasan menit lalu, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan dengan raut wajah serius yang tak luntur meskipun sedikit.Batal membawa karyawan bernama Kartika tersebut ke ruangannya, Juan mengajak sahabat Nada itu untuk bicara di tempat lain, dan yang dibahas pertama kali oleh suami Senja tersebut adalah; motif Kartika mengunci sang istri di kamar mandi.Khawatir Nada menjadi dalang, dugaan Juan salah karena dengan jujur Kartika berkata jika motif di balik tingkahnya beberapa waktu lalu adalah; rasa tak suka pada Senja setelah Nada bercerita alasan dipindahkan jabatan.Tak diam saja usai mendengar ucapan Kartika, Juan membela Senja dengan berkata jika istrinya tak ada sangkut paut dalam pemindahan jabatan Nada se
***"Aku pulang dulu ya, Mas, kamu semangat kerjanya dan ya ... kalau bisa jangan nakal. Aku enggak suka soalnya cowok nakal."Diantar sampai ke dekat mobil yang beberapa waktu lalu disimpan di parkiran kantor, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan yang kini berada di dekatnya.Makan siang pun membantu Juan meminum obat, selesai, Senja memang memutuskan untuk berpamitan karena Caca yang dibawanya sejak pulang sekolah, harus beristirahat.Tak ada larangan, Juan tentu saja memberi izin bahkan setelah sempat ditolak untuk mengantar, pria itu ngotot untuk tetap mengantarkan Senja dan Caca sampai ke mobil.Bukan tanpa alasan, hal tersebut Juan lakukan demi memastikan amannya Senja karena meskipun Kartika sudah berjanji, dia tetap khawatir istrinya diganggu."Nakal dalam artian apa emang?" tanya Juan dengan senyuman terukir di bibir. "Arti dari nakal kan luas. Jenis nakal juga banyak.""Ya menurut kamu untuk seusia
***"Tante Senja kok turun? Tungguin aja padahal di mobil. Aku pasti nemu kok."Baru keluar dari gerbang sekolah, pertanyaan tersebut lantas Kiran lontarkan setelah Senja yang beberapa waktu lalu janji menjemput, berdiri tak jauh dari gerbang."Ya enggak apa-apa," kata Senja. "Pengen tahu juga gimana sekolah kamu.""Caca mana?" tanya Kiran. "Sama Caca, kan, jemput akunya?""Tidur di mobil," kata Senja. "Habis makan siang sama Papanya, dia ngantuk. Jadi ya gitu deh.""Oh.""Pulang sekarang?""Ayo."Bergegas menuju mobil, selanjutnya itulah yang dua perempuan itu lakukan. Masuk lewat pintu berbeda, Senja kembali menempati kursi kemudi sementara Kiran sendiri berada di kursi belakang bersama tas kain berisi kotak makan kosong."Lancar, Tan, makan siang sama Papanya?" tanya Kiran ketika sekarang Senja kembali menyalakan mesin mobil."Lancar," kata Senja sambil melajukan kendaraan roda empa
***"Mau ... cek kontak, Pa. Iya mau cek kontak biar tahu nomornya masih aktif apa enggak, karena kan udah lama nomor Kak Davion aku save. Jadi takutnya enggak aktif. Enggak cuman nomor Kak Davi, aku telepon nomor lain kok."Setelah dilanda heran kemudian kaget, penjelasan bohong nan panjang lebar tersebut lantas Kiran lontarkan pada sang papa yang beberapa detik lalu menjawab panggilannya.Entah bagaimana bisa ponsel Davion ada pada Juan, Kiran sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia sedikit panik karena seperti ucapannya pada Senja beberapa waktu lalu, Juan sangat possesif dalam masalah laki-laki yang berinteraksi dengannya."Beneran?""Ya beneranlah, masa enggak?" tanya Kiran—berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun rasa panik dan gugup melanda. "Lagian Papa kenapa pegang hp Kak Davi? Enggak sopan banget.""Papa enggak pegang hp Davion, Papa cuman jawab panggilan yang masuk ke hpnya karena dia kebetulan ke kamar mandi," ka
***"Bisa, Pak."Selesai mencerna ucapan Juan, jawaban tersebut lantas dikatakan Davion—membuat Juan seketika tersenyum tipis. Dilarang jatuh cinta atau menerima cinta Kiran, Davion pikir hal tersebut bukan sesuatu yang sulit sehingga setelah sedikit kaget, dia memutuskan untuk setuju karena sejauh ini di hatinya tak ada perasaan apa-apa pada putri sulung Juan tersebut."Oke, saya pegang ucapan kamu ya," kata Juan. "Awas kalau ingkar.""Siap," kata Davion. "Bapak boleh omelin atau maki saya kalau ingkar janji. Lagipula sejauh ini saya anggap Kiran seperti adik sendiri. Jadi enggak akan ada itu cinta diantara saya dan dia.""Bagus," kata Juan. "Saya mau Kiran fokus belajar biar punya nilai memuaskan, dan bisa masuk universitas impian. Masa depan dia masih panjang.""Iya, Pak."Tak memperpanjang obrolan tentang Kiran, selanjutnya Juan dan Davion membahas pekerjaan hingga setelah menunggu cukup lama, klien pun dat
***"Bapak-bapak possesif."Barusaja menurunkan ponselnya dari samping telinga, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan. Bukan untuk orang lain, julukan itu tentunya dia persembahkan untuk Juan karena setelah obrolan mereka beberapa menit ke belakang, Senja pikir Juan pantas diberi Julukan possesif.Memintanya untuk bertanya atau mengecek ponsel Kiran, itulah yang Juan katakan di telepon dan meskipun ragu bahkan tak enak pada sang keponakan, Senja mau tak mau manut sehingga setelah ini tugasnya adalah; menemui Kiran untuk bertanya."Kalau seandainya Kiran emang habis teleponan sama Davion, apa aku bohong aja kali ya?" tanya Senja. "Kasihan juga dia kalau terlalu dikekang gini. Lagian Kiran sama Davi juga cuman temenan doang."Berpikir selama beberapa detik, selanjutnya itulah yang Senja lakukan sebelum akhirnya beranjak dari kasur. Pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, selanjutnya dia bergegas menuju kamar Kiran dan begitu sampai, yang
***"Duh, pasangan pengantin baru udah siap nih mau jalan-jalan."Baru sampai di pertengahan tangga, Senja seketika tersenyum setelah ucapan tersebut dilontarkan Gian dari sofa ruang tengah.Tak turun sendiri, Senja berjalan bersama Juan karena memang tak akan diam di rumah, sabtu siang ini dia dan sang suami berniat untuk menghabiskan waktu di luar.Tak pernah pergi berdua, Juan merencanakan semua ini sejak beberapa hari ke belakang, dan karena Senja pun cukup lama tak berkeliling Bandung, tawaran Juan untuk pergi bersama diterimanya dengan senang hati.Tak sekadar berjalan-jalan, Senja dan Juan memiliki tugas lain yaitu; berbelanja bulanan, sehingga tak hanya mengunjungi mall atau tempat wisata, pasangan suami istri tersebut harus mampir ke supermarket untuk membeli kebutuhan rumah yang listnya sudah tersimpan rapi di note kecil milik Senja."Iyalah," kata Juan bangga. "Sabtu tuh keluar, bukan malah males-malesan di sofa. Kaya
***"Udah ada yang cocok belum?"Berjalan santai di belakang Senja yang sejak tadi sibuk melihat-lihat, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Juan pada sang istri.Tak lagi di depan toko underwear, saat ini Senja dan Juan sudah berada di dalam untuk membeli apa yang Senja butuhkan. Namun, karena cukup banyak model yang dipajang bahkan digantung, Senja dilema karena sejauh ini semua lingerie yang dia lihat memiliki model menantang."Belum, Mas, aku bingung.""Kenapa?" tanya Juan. "Apa model di sini jelek-jelek? Kalau iya, kita keluar aja biar cari toko yang lain.""Enggak tahu sih, Mas," kata Senja dengan raut wajah ragu. "Jelek apa bagus modelnya aku kurang paham, karena aku sendiri belum pernah beli lingerie. Jadi ya gitu deh."Juan tersenyum. "Tertekan enggak sih kamu harus beli ini?" tanyanya. "Kalau enggak bisa, enggak usah dipaksa. Aku enggak bakalan marah kalau kamu enggak mau.""Ya enggak tertekan juga