Leo kaget saat Alexa menunjukkan miliknya, mengungkapkan aset-aset yang pernah menjadi candu baginya. Namun, jiwa lelakinya begitu dingin sehingga seolah-olah tidak melihat sesuatu yang aneh, dan tetap santai."Apa kamu tidak merindukanku yang dulu menjadi candu bagimu?" ucap Alexa sambil terus berpose menggoda."Saya sudah punya istri," jelas Leo sambil memalingkan wajahnya dari layar laptop."Aku tidak peduli kamu sudah punya istri lagi. Kamu harus tahu bahwa istri muda mu itu hanya mengincar harta mu saja. Belum tentu dia mau menerima kamu yang sudah berumur. Jika kamu sakit, belum tentu dia mau merawatmu," ujar Alexa.Leo menelisik. "Apa maksudmu?""Ya, maksudku istri muda mu itu belum tentu bisa menerimamu. Jika kamu sakit, belum tentu dia mau merawatmu. Mungkin dia akan pergi meninggalkanmu untuk pria muda lain yang lebih pantas baginya," tambah Alexa, mencoba meracuni pikiran Leo.Leo merasa geram dengan omongannya Alexa yang semakin ngelantur. Tanpa permisi, Leo mematikan samb
Mona sangat terkejut karena di hadapannya ada Jeri yang berdiri dengan tatapan tajam, padahal yang ada dalam ingatannya adalah Marfin."Ya ampun, Tuan Jeri! Jantungku hampir berhenti," kata Mona sambil mengusap dadanya yang merasakan kaget."Maaf, tuan muda Marfin sudah saya usir karena itu permintaan Tuan. Tuan Leo, yang minta saya untuk menjaga jarak antara Anda dan tuan muda Marfin," ujar Jeri.Membuat mulut mana menganga. "Sampai segitunya?" batin Mona, heran dengan yang dikatakan Jeri."Untuk saat ini, Tuan Marfin tidak boleh menemui Anda kecuali ada izin dari Tuan Leo," tambah Jeri."Busyet, segitunya Om Leo tidak boleh aku dekat dengan Marfin," lagi-lagi hari Mona bermonolog.Setelah itu, Jeri pun mengundur diri, membiarkan Mona melanjutkan aktivitasnya lalu makan bersama bibi dan keluarganya."Bibi gak enak ngomongnya sama Marfin dan Tuan Jeri yang ngomongnya. Marfin marah sambil pulang," ujar bibi sambil makan."Iya, Bu. Tuan Jeri sudah memberitahuku," balas Mona."Ooh, kasi
"Kamu siapa?" suara Mona terdengar, pada orang yang menghadang jalannya. Sosok seorang pria yang memakai topeng. Lantas sosok Pria itu langsung membekap mulut Mona menggunakan sapu tangan dan menyeretnya pergi dari situ.Kedua mata Mona melotot, tangannya memegangi tangan pria itu, berusaha melepaskan bekapannya. Tetapi, Mona tidak berdaya. Mona tersadar setelah dia berada di sebuah tempat yang begitu asing baginya. "Aku di mana ini? Ya Tuhan, aku di mana?" suaranya Mona serak. Dia baru saja tersadar dari pingsannya. Mona berusaha beranjak berdiri dari tempat tidur dan mendekati pintu. Suasana di ruangan itu begitu remang-remang. Saat mencoba membuka pintu, ternyata dikunci. Dia berusaha memutar-mutar handle dan juga menggedor daun pintu tersebut. "Halo, siapa di luar? Apakah ada yang mendengar suara aku? Tolong bukakan pintu, aku ingin keluar, aku mau pulang!" teriak Mona sembari menggedor pintu terus menerus sampai telapak
Mona merasakan kegelapan yang mengelilinginya, air mata membasahi pipinya yang pucat. Rasa takut dan kekalutan memenuhi hatinya, tangisannya terdengar seperti suara yang hilang di tengah keheningan."Tolong ..." bisiknya lemah, namun tidak ada yang mendengar. ..Di sisi lain, Leo merasa kalut dan frustasi. Dia mencari Mona ke sana kemari, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Dengan nada tinggi dan penuh amarah, dia menyerbu bodyguardnya."Apa tugas mu? sampai Mona hilang!" Teriak Leo pada sang bodyguard yang jelas-jelas tadi sama-sama makan. Bodyguard itu terkejut. "Tapi, Tuan Leo, tadi nyonya muda mau ke toilet. Masa harus saya ikuti!" "Itu bukan alasan!" Leo berharap bodyguardnya selalu menjaga Mona setiap saat. Sementara itu, di meja makan. Ibu dan Laksmi tampak gelisah. Mereka berdua bertukar pandang, khawatir dan penasaran."Mona kemana ya?" tanya Ibu dengan nada heran. Laksmi
Mona yang bergelantungan dengan kain gorden, tidak peduli dengan teriakan orang yang berada di atasnya. Dia merasa semakin terdesak dan bertekad untuk kabur dari situ.Sang penjahat berteriak-teriak, memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Mona yang sedang bergelantungan. "Sialan! Jangan biarkan dia kabur! Tangkap dia sekarang!" teriak sang kepala penjahat dengan marah. Anak buah penjahat bergerak cepat, berusaha menjangkau Mona yang bergelantungan di kain gorden. Mona merasa detik-detiknya semakin terbatas dan dia semakin panik. Dia harus segera keluar dari situ.Mona berusaha keras membuka gembok pintu gerbang, namun gembok itu terlihat sudah lama tidak terpakai dan sulit untuk dibuka. Dia merasa semakin putus asa, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja. "Diam kau, Mona! Kau tidak akan pernah bisa kabur dari sini!" teriak sang penjahat dengan sinis dari atas gedung. Mona mengabaikan teriakan sang penjahat dan terus b
"Suara apa itu?" tanya Leo, setelah mendengar suara yang keluar dari perut Mona."Hehehe, aku lapar dan juga haus. Selama aku disekap, nggak ada minuman, nggak ada makanan. Tega banget kan, tuh orang?" ujar Mona."Kalau baik, bukan penjahat," jawab Leo, lalu memberikan sebotol air mineral pada Mona. Karena untuk makanan tidak ada di mobil dan waktu pun sudah terlalu dini hari, mereka memutuskan untuk pulang saja dan makan di rumah."Aku nggak tahu maksudnya apa sehingga aku diculik dan aku juga tidak kenal sama dia," ucap Mona setelah meneguk habis air minum yang sampai tandas dan membuat Leo bengong. Satu botol ukuran 1 liter habis dalam satu teguk."Sudahlah, nanti diselidiki di polisi," kata Leo seraya merangkul bahu sang istri. Setibanya di rumah, Leo langsung memerintahkan asisten untuk menyiapkan makanan, sementara Mona membersihkan diri."Ketemu dari mana, Pah?" tanya Marfin, langsung menginterogasi ayahnya yang menundukkan diri di ruang tengah lantai 3. "Dan bagaimana keadaann
Leo dan Mona terkejut oleh suara ketukan pintu yang keras. Mereka berdua terjaga, mengumpulkan kesadaran yang masih tercecer, dan memandang ke arah pintu yang kembali terdengar digedor dari luar."Siapa sih yang masih ngantuk, capek. Lelah, masih pengen tidur," gumam Mona dengan suara parau, sambil memeluk tubuh Leo.Begitupun dengan Leo. Dia masih terasa capek, dan hari ini dia libur dari kantor."Entah, aku nggak tahu," suaranya yang serak lalu mengecup kening Mona.Namun, gedoran pintu terdengar lagi. Sehingga Mona bersiap membuka suara tanpa beranjak dari tempatnya."Ehem. Siapa?" suara Mona terdengar begitu serak-serak basah."Saya, nyonya muda. Markonah, eh Wati, mau mengatakan sarapan pagi," suara Wati terdengar dari balik pintu.Mona mendongak pada Leo. "Sejak kapan kita minta sarapan diantar ke kamar?" tanya Mona.Leo menggelengkan kepalanya seraya berkata tidak tahu."Terus kenapa dia datang membawakan sarapan buat kita?" tanya Mona.Saat Leo mengarahkan wajah Mona pada jam
Melihat reaksi Suster yang tetap membisu. Membuat Leo Mengeluarkan kembali ultimatum."Kalau tidak mau jujur ..." ancam Leo kembali seraya mengarahkan pandangan setajam benda tajam yang ingin menancap ke jantung.Suster itu tampak ragu, tetapi pada akhirnya mengungkapkan sesuatu dengan suara yang bergetar."Baiklah, sebenarnya ... ada sesuatu yang saya tahu. Saya melihat ada seseorang yang mencurigakan di sekitar ruangan pasien, beberapa saat sebelum kematiannya. Tapi saya tidak tahu siapa orang itu atau apa yang sebenarnya terjadi."Mona dan Leo saling pandang, merasa mendapat angin segar dalam pencarian mereka. Untuk menggali info yang lebih banyak."Suster, bisakah Anda memberikan deskripsi orang tersebut atau memberi tahu kami apa yang terjadi?" tanya Mona dengan penuh rasa penasaran.Suster itu menggigit bibirnya, tampak ragu untuk mengungkapkan lebih lanjut. Namun, tidak ada alasan lagi untuk bicara jujur, akhirnya memberanikan diri."Orang itu ... dia terlihat mencurigakan, ber