Vicky menaruh ponselnya begitu Mark menutup panggilan itu di saku celananya lalu dengan cepat menghampiri Marsha yang berdiri dengan angkuh seolah apa yang dia katakan tadi suatu fakta yang harus semua orang tahu. “Nona Marsha,” panggilnya dengan suara rendah namun berbahaya, nyaris seperti geraman dari seekor binatang buas yang sedang marah.Marsha menoleh, dan sejenak senyumnya memudar ketika melihat Vicky, tapi ia segera memasang wajah dingin dan angkuh, seperti lapisan es yang menutupi kegelapan hatinya.“Siapa kau?” tanya Marsha seraya menatap pria di hadapannya ini dari atas sampai bawah. Ada nada meremehkan dalam suaranya, namun di matanya tersirat ketidaknyamanan yang halus.Vicky menatap Marsha dengan tatapan tajam, seperti sebuah pisau yang siap menghujam. "Aku hanya akan mengatakan ini sekali," katanya, suaranya rendah namun penuh dengan ancaman yang tersirat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan gemuruh halilintar yang siap menyambar kapan saja."Kau tahu betul s
Di ruangan yang sunyi, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu meja yang temaram, suasana terasa begitu mencekam, seolah-olah dinding-dinding pun turut menahan napas mendengarkan suara tangisan yang mulai mereda. Dania duduk bersandar di sofa dengan mata yang bengkak dan merah akibat tangis yang tak henti-hentinya sejak mereka meninggalkan pesta. Gaun malamnya, yang semula begitu elegan, kini tampak kusut dan berantakan, seperti sisa-sisa kemewahan yang terkoyak oleh emosi yang meluap-luap. Isak tangisnya kini berubah menjadi sesenggukan halus yang menyedihkan, menciptakan irama tersendiri di tengah keheningan yang menggantung.Mark memandanginya dari kejauhan, wajahnya tertutup bayang-bayang yang dilemparkan oleh lampu. Ia menunggu momen yang tepat untuk mendekati istrinya, menimbang-nimbang kata-kata yang akan diucapkan, sadar bahwa setiap kata yang salah bisa menjadi bara api yang akan memperparah luka. Akhirnya, ketika melihat Dania mulai tenang, ia melangkah perlahan ke a
Mark menaikan alisnya mendengar pertanyaan dari istrinya itu. Mata birunya menatap Dania dengan penuh ketenangan, berusaha meyakinkan istrinya yang masih terlihat rapuh dan cemas.“Dania, jangan pikirkan hal itu lagi,” ujarnya dengan suara yang lembut namun penuh ketegasan. “Aku bisa mengatasinya. Ini bukan pertama kalinya aku harus menghadapi rumor dan gosip seperti ini. Percayalah, ini tidak akan mempengaruhi reputasi atau nama baikku. Semua ini hanya sementara. Mereka tidak berhak ikut campur dalam urusan pribadiku.”Dania mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran. Dia tahu Mark adalah pria yang kuat dan tangguh, tetapi fitnah yang dilontarkan Marsha terasa begitu menghancurkan, seperti pisau tajam yang menusuk tanpa ampun.Namun, ia mencoba untuk percaya pada suaminya, mencoba untuk menggantungkan harapan pada kata-kata meyakinkan yang keluar dari mulutnya.“Tidurlah. Sudah malam.”“Memangnya kau mau ke mana?” tanya Dania setelah Mark memintanya untuk tidu
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari yang lembut mulai menyusup di antara tirai jendela, menerangi kamar tidur yang nyaman. Dania membuka matanya perlahan, merasa berat karena tidur yang tak tenang. Ponselnya berdering tanpa henti di sampingnya, suara getarannya mengusik ketenangan pagi itu. Dengan enggan, ia meraih ponselnya, mata masih setengah tertutup. “Halo?” suaranya serak, mencerminkan sisa-sisa kelelahan yang masih menggantung.“Halo, Dania. Apa kau sudah melihat berita sejak semalam? Kau sedang menjadi pembicaraan hangat di media, Dania!” suara Maia di seberang terdengar penuh dengan kepanikan dan keterkejutan.Sontak Dania terbangun dari tidurnya, menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya. “Apa? Maksudmu ….” Suaranya mulai menguat, nadanya dipenuhi rasa cemas dan tidak percaya.“Ya. Berita tentang siapa dirimu yang menjadi istri seorang Mark. Kau difitnah sebagai wanita murahan. Oh my God!” Maia terdengar sangat shock, suaranya nyaris bergetar saat membe
“Tidak ada!” ucap Mark dengan tegas. Pandangan Mark menembus Dania dengan intensitas yang tajam dan tak terbantahkan.Ada api yang membara di matanya, sebuah kekuatan yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih tebal, seolah-olah sedang membara di bawah pengaruh kehadiran yang begitu mendominasi.Dania, yang merasa kecil di hadapan tatapan penuh emosi itu, merasakan pundaknya meringkuk tanpa sadar, seolah-olah mencoba melindungi dirinya dari energi yang dikeluarkan oleh suaminya. Suara napasnya terdengar putus-putus, seolah berusaha menahan ketakutan yang merayap di dadanya.“Dania,” kata Mark, suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi ada nada ketegasan yang tidak bisa disangkal di balik kata-katanya. "Aku ingin kau tahu satu hal dengan sangat jelas: perkara ini, apa pun yang mereka katakan, tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita."Dania menggigit bibirnya, berusaha menahan gemetar yang mulai merambati tubuhnya. "Ta&md
Pagi masih gelap ketika Dania terbangun, meraba sisi ranjang yang dingin di mana Mark seharusnya berada. Tidak ada kehangatan, tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Lagi-lagi, Mark telah pergi bahkan sebelum fajar merekah di ufuk timur."Ke mana dia?" gumamnya dengan suara serak. Ia menoleh ke kanan dan kiri, bahkan mendengarkan suara di kamar mandi. Namun, tidak ada tanda-tanda jika Mark ada di kamar mandi.Dania merasakan kehampaan mengisi relung hatinya, seolah-olah malam-malam tanpa suaminya telah mencuri sesuatu yang berharga dari dirinya.Mark pulang larut malam, saat Dania sudah terlelap, dan pergi pagi-pagi sekali, saat mata Dania masih terpejam dalam kantuk. Hatinya terasa berat, penuh keraguan dan kecemasan yang tak kunjung reda.Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, kegelisahan yang tak kunjung hilang. Apakah Mark masih marah padanya? Apakah kata-kata yang terucap hari itu telah melukai hatinya lebih dalam dari yang Dania duga?Dia me
Malam itu, rumah terasa sepi, seakan-akan bersekutu dengan kegelapan yang merayap di setiap sudut ruangan. Mark akhirnya pulang, setelah sepanjang hari menghilang tanpa kabar.Pintu utama rumah terbuka perlahan, membiarkan angin malam yang dingin menyusup masuk, menggoyangkan tirai tipis yang menggantung di jendela.Dengan langkah berat, Mark melangkah masuk, kakinya seolah terbelenggu oleh beban pikiran yang tak kunjung pergi. Matanya segera menangkap sosok Dania yang tertidur di sofa ruang tengah."Kenapa dia tidur di sana?" gumam Mark, suaranya nyaris tak terdengar di antara hembusan angin malam yang masuk.Dia melangkah mendekat, memperhatikan wajah Dania yang tampak begitu lelah, dengan ponsel di tangannya yang masih menyala, menampilkan layar chat yang belum sempat tertutup.Rambutnya terurai berantakan di atas bantal sofa, napasnya teratur, namun wajahnya menyiratkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Mark duduk di sampingnya, merasa janggal sekaligus tersentuh oleh peman
Dania sudah bangun lebih awal, lebih cepat dari biasanya. Dia menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan untuk Mark, berharap sedikit kehangatan bisa mencairkan dingin yang mengendap di antara mereka.Suara penggorengan berdengung lembut, diiringi aroma roti panggang dan telur goreng yang memenuhi udara, mencoba mengusir ketegangan yang menggantung sejak malam sebelumnya.Tangannya cekatan memotong sayuran dan menggoreng telur, tapi pikirannya melayang, menelusuri kembali percakapan-percakapan singkat mereka yang penuh dengan kebekuan.“Setidaknya aku bisa mendapat maaf dari Mark,” ucapnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Hh! Aku benar-benar telah membuat pria itu marah besar padaku. Aku tidak menyangka jika dia akan semenyeramkan itu jika sudah marah.”Dania bergidik. Dia tahu, Mark bisa menjadi sangat menyeramkan ketika amarahnya memuncak. Selama ini, ia terbiasa dengan sikap Mark yang tegas dan terkadang ker