Dania sudah bangun lebih awal, lebih cepat dari biasanya. Dia menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan untuk Mark, berharap sedikit kehangatan bisa mencairkan dingin yang mengendap di antara mereka.
Suara penggorengan berdengung lembut, diiringi aroma roti panggang dan telur goreng yang memenuhi udara, mencoba mengusir ketegangan yang menggantung sejak malam sebelumnya.
Tangannya cekatan memotong sayuran dan menggoreng telur, tapi pikirannya melayang, menelusuri kembali percakapan-percakapan singkat mereka yang penuh dengan kebekuan.
“Setidaknya aku bisa mendapat maaf dari Mark,” ucapnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Hh! Aku benar-benar telah membuat pria itu marah besar padaku. Aku tidak menyangka jika dia akan semenyeramkan itu jika sudah marah.”
Dania bergidik. Dia tahu, Mark bisa menjadi sangat menyeramkan ketika amarahnya memuncak. Selama ini, ia terbiasa dengan sikap Mark yang tegas dan terkadang ker
Sudah dua hari berlalu sejak berita itu tersebar, dan masalah yang sedang dihadapi Mark masih belum juga mereda, seperti badai yang enggan berlalu, menghantam batinnya bertubi-tubi tanpa ampun.Mark berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap keluar dengan pandangan kosong. Di balik kaca yang dingin itu, kota terlihat samar, buram seperti harapan-harapan yang perlahan memudar dalam pikirannya.Pikirannya terbelit kusut, seperti benang-benang halus yang tersimpul kuat, mengunci setiap solusi yang ingin ia raih.Tatapan matanya redup, kehilangan sinar optimisme yang biasanya memancar dari bola matanya yang tajam. Bahkan, untuk sekadar tersenyum, ia merasa begitu sulit.Bagaimana ia bisa tersenyum, ketika perusahaan yang ia bangun dengan darah dan keringat kini terancam runtuh oleh fitnah dan kabar burung yang menyebar begitu cepat, secepat kilat membakar hutan kering?Ia tidak memberitahu Dania mengenai masalah di perusahaannya. Ia tahu, Dania sedang terluka, disebabkan oleh
Dania tertawa pelan, sebuah tawa yang lebih mirip gemerisik daun jatuh daripada ungkapan bahagia. "Tentu saja aku mencintai Mark," ucapnya dengan nada yang terdengar meyakinkan. “Untuk apa aku mencintai Kevin yang sudah mengkhianatiku?”Namun, saat kata-kata itu meluncur dari bibirnya, hati Dania memberontak. Pernyataan itu adalah kebohongan yang dikemas rapi, seperti hadiah buruk dalam kertas kado cantik. Cinta? Apa itu cinta, pikirnya dalam hati. Pernikahannya dengan Mark hanyalah sebuah kontrak di atas kertas, sebuah kesepakatan yang lebih mirip transaksi daripada ikatan hati. Apakah Mark mencintainya? Belum tentu. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya dirasakan pria itu.Tetapi Maia tak perlu tahu kebenaran di balik pernikahan mereka. Maia, sahabat terbaiknya, selalu ingin yang terbaik untuknya, tetapi ada hal-hal yang sebaiknya tetap tersembunyi. Lagipula, Dania sangat takut kalau-kalau Mark mengetahui apa yang mereka bicarakan. Amarah Mark bukanlah sesuatu yang ingin ia pi
Dania tersenyum tipis mendengar ucapan Sarah. Matanya menatap Sarah yang tengah menyimpan harapan padanya."Jangan pernah meninggalkan Mark apa pun yang terjadi, Dania."Dania menganggukkan kepalanya. Saat ini, yang ia lakukan hanyalah meyakinkan Sarah agar wanita itu tidak cemas karena Mark yang sedang tidak baik-baik saja."Baik, Ibu. Aku pasti akan selalu ada di samping Mark. Kau tenang saja," kata Dania dengan lembut.Sarah menghela napas lega mendengar ucapan Dania tadi. "Baiklah. Kalian memang pasangan yang serasi dan saling melengkapi. Kalau begitu, aku pamit pulang, Dania. Jangan beri tahu Mark jika aku datang kemari."Dania menaikan alisnya. "Kenapa?" tanyanya ingin tahu.Sarah menghela napasnya dengan panjang. "Mark akan marah jika aku memohon seperti ini apalagi memohon tentangnya. Dia akan memarahiku dan mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Mark sangat membenci orang tuanya karena kami terlalu mengatur hidupnya,
Mark menoleh, matanya yang tajam dan penuh arti mengunci pandangan pada sosok Dania yang masih duduk di tepi tempat tidur.Wajahnya tampak sayu, menanti jawaban yang mungkin akan merubah segalanya. Dalam hening yang terasa berat, Mark menghela napas pelan."Aku malas mencari wanita lagi," ucap Mark akhirnya. "Aku hanya ingin fokus pada rumah tangga yang sedang aku jalani saat ini. Masalah apa pun yang datang, aku akan hadapi," lanjutnya.Namun bagi Dania, setiap kata yang keluar dari mulut Mark seperti pukulan lembut yang menghantam jiwanya.Dia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata itu, sebuah janji yang tak terucapkan namun begitu jelas terasa. Hatinya bergetar, ada rasa syukur yang perlahan mengalir, meresap ke dalam setiap pori-porinya.Mark, meskipun keras kepala dan kaku, adalah seorang pria yang berdiri kokoh di tengah badai yang menghantam rumah tangga mereka.Dania mulai menyadari, betapa kuatnya komitmen suaminya, betapa teguhnya hati pria itu meski banya
“Oke, oke!” Marsha menahan tangan Mark yang sudah siap mengirimkan foto dan video itu ke keluarga Kevin. Jemarinya gemetar, tetapi dia berusaha keras untuk terlihat tegar.Namun, tatapan tajam Mark yang penuh kemenangan membuatnya merasa semakin terpojok. Mark menaikkan alisnya, menunggu Marsha untuk melanjutkan ucapannya."So?" tanyanya dengan nada datar, seolah menguji seberapa jauh Marsha akan melangkah.Marsha mengepalkan tangannya, menatap datar ke wajah Mark. Dalam hatinya, amarah dan kepanikan berperang sengit, tapi dia tahu bahwa dia tak punya pilihan lain."Aku menyerah," katanya akhirnya, suaranya terdengar rendah dan hampir tak bernyawa. "Aku akan memberitahu semua orang bahwa itu hanya fitnah."Senyum puas terukir di wajah Mark, senyum yang membuat Marsha semakin menyadari betapa dia telah kalah telak dalam permainan ini."Siapkan media dan ruang untuk konferensi pers dua jam lagi," perintah Mark tanpa sedikit pun rasa ragu. Vicky, yang berdiri di sampingnya, mengangguk ce
“Marsha…” Kevin menghela napas panjang, suaranya terdengar berat dan tertekan. Pandangannya tertuju pada Marsha, yang duduk tak jauh darinya, namun terasa begitu jauh dalam kabut emosinya.Aura di antara mereka penuh ketegangan, serupa hujan yang menggantung di langit gelap, siap mencurahkan butirannya kapan saja.“Bukan itu yang kumaksud, Marsha.” Ucapannya terasa patah, seolah-olah ia merangkai kata-kata yang tak sepenuhnya bisa menjangkau kedalaman hatinya sendiri. “Tentu saja aku sudah tidak mencintai Dania lagi. Aku sudah memilikimu. Aku hanya ingin melindungimu, bukan seperti yang kau ucapkan tadi.”Marsha diam, bibirnya terkatup rapat, tetapi matanya berbicara—sepasang mata yang dipenuhi kebingungan dan keraguan, seakan berusaha mencari jalan di tengah kabut tebal. Ia tidak berbicara, tetapi tatapannya mengisyaratkan ketidakpastian yang mendalam.Apakah yang sebenarnya Kevin sembunyikan di balik kalimat-kalimat itu? Ada sesuatu yang tak terucap, sesuatu yang tak bisa ia jangkau
Mark terdiam, seraya menatap Dania, yang baru saja selesai menceritakan kisah kelamnya. Kecelakaan tragis itu telah merenggut ibunya, dan dalam keheningan yang tiba-tiba mencekam, semua terasa berubah.Bayang-bayang masa lalu yang selama ini disimpan rapi oleh Dania seolah membayang di antara mereka, memenuhi setiap celah di ruangan yang remang."Jadi, kecelakaan itu ... parah?" tanya Mark akhirnya, suaranya bergetar sedikit, mencoba memahami beratnya kenyataan yang baru saja terungkap.Dania menghela napas panjang, seolah setiap helaan napasnya membawa kepedihan yang telah lama tersimpan. Matanya menatap kosong pada piring di depannya, seakan tak lagi mampu berhubungan dengan kenyataan di sekelilingnya."Aku tidak tahu persis," jawabnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan. "Tapi sepertinya iya, karena ibuku meninggal di tempat. Bahkan aku tidak bisa mengantarnya ke tempat istirahat terakhirnya."Mark merasakan desakan di dadanya. Ia menatap Dania dengan intens, sorot ma
Mark menoleh sekilas ke arah Dania yang duduk di sampingnya, wajahnya tampak tegang ketika mendengar pertanyaan ibunya. Di dalam hatinya, Mark tahu, ia tidak pernah sekalipun memikirkan soal bulan madu.Untuk apa? Pernikahan mereka hanyalah sebuah formalitas, sebuah kesepakatan di atas kertas. Tidak ada ruang untuk bulan madu atau kebahagiaan pengantin baru seperti pasangan lain.Tetapi, kenyataan bahwa ibunya kini menatap mereka dengan penuh antusias, menunggu jawaban, membuat suasana semakin tertekan.Dania, yang duduk dengan punggung tegak, melirik sekilas ke arah Mark. Ada rasa tidak percaya yang perlahan merayap dalam dirinya.Bagaimana bisa Mark terlihat begitu santai, sementara mereka berdua tahu betul bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah topeng?Ibunya tak sabar ingin tahu ke mana mereka akan berbulan madu, seolah itu hal yang paling wajar dilakukan oleh setiap pasangan yang baru saja menikah."Tentu saja," kata Mark dengan tenang, suaranya terdengar begitu mantap dan penuh ke
Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us
Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas
Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.
"Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj
Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan
Bodyguard pertama yang mencoba melawan. Namun, Randy dengan cepat menghindar dan menghantamkan pukulan yang kuat.Pria itu jatuh ke lantai mengerang. Tidak bisa bergerak. Bodyguard kedua mencoba menahan Randy. Tapi tidak berhasil.Seperti seorang pria yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa anaknya, Randy mengamuk, membabi buta, tidak memberi ampun.Mike tergeletak di tanah. Wajahnya penuh dengan cairan merah pekat. Dan tubuhnya semakin tak berdaya.Di sebelahnya, Randy berjongkok, memeriksa keadaan anaknya. Mike masih bernapas, meskipun dengan susah payah."Mike bertahanlah." Randy berteriak, mengguncang bahu.Mike berharap ada reaksi. Tetapi Mike tidak bergerak. Cairan merah pekat itu mengalir deras dari luka-lukanya. Dan tubuhnya terasa dingin.Emma yang masih berdiri di kejauhan, karena perkelahian bodyguardnya, menyaksikan semua amukan Randy dengan tatapan penuh kebencian."Kau akan mati, Mike. Tidak ada yang bisa m
Sementara itu, di dalam mobil, Emma duduk dengan gelisah. Matanya menatap tajam ke depan, namun pikirannya jauh melayang.Botol wine di tangan kanannya hampir kosong, dan dagunya basah oleh sisa-sisa cairan yang tumpah.Ia tampak marah, kecewa, dan sangat kesal. Rasa sakit yang menggerogoti dirinya akibat kehadiran Clara begitu menyakitkan."Stevan…!" gumamnya dengan geram, suara hatinya penuh kebencian. "Kenapa dia harus ada di sana? Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi?"Emma meneguk wine lagi, tanpa peduli dengan keadaan dirinya yang semakin kacau. Ia merasakan ketidakmampuan untuk mengendalikan situasi ini."Kau pikir bisa menghindar, Stevan? Tidak. Aku akan pastikan Clara tahu siapa yang sebenarnya dia hadapi. Tidak ada yang akan bisa menghalangi rencanaku!"Tangannya yang gemetar memegang kemudi, namun di dalam dirinya, ada dorongan tak terhentikan untuk melanjutkan permainan berbahaya ini.Ia tahu bahwa j
Clara merapatkan mantelnya ketika angin malam menyelinap melalui serat kainnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah menyelesaikan tugas yang tertunda.Tatapan itu. Perasaan diawasi kembali lagi. Bahkan kali ini orang itu mengikutinya.Awalnya, ia mengira hanya kebetulan. Mungkin efek dari kurang tidur, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu waspada sejak Stevan memperingatkannya soal Mike.Tapi semakin hari, semakin sering ia merasakan kehadiran tak kasat mata yang seolah mengikuti setiap gerakannya.Ia menoleh ke belakang.Jalanan kampus hampir sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan jauh di depannya.Lampu jalan menerangi trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali angin menggoyangkan dahan pepohonan.Tidak ada siapa pun di sana.Clara meneguk ludah, mencoba menenangkan dirinya.“Hanya perasaanmu saja,” gumamnya pelan.Namun, saat ia kembali melangkah, bulu kuduknya meremang. Ada suara langkah kaki di belakangnya—terde