“Kau adalah istriku, Dania. Wajar bukan, jika aku menciummu?” ucap Mark dengan nada datar, seolah tindakan itu hanyalah bagian dari peran yang harus mereka mainkan sebagai pasangan suami istri, tanpa emosi atau makna lebih. Tatapannya yang dingin membuat Dania bergidik.Dania menelan ludahnya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak teratur. Matanya yang semula menatap tajam ke arah Mark kini melembut, meski tetap dipenuhi kebingungan. “Ya, aku tahu. Hanya saja ... kau tidak—”“Berhenti mengoceh sebelum kesabaranku habis, Dania.” Nada suara Mark tiba-tiba berubah tegas, memotong ucapan Dania sebelum kalimat itu selesai. Seketika suasana menjadi tegang, dan Dania merasa seperti berjalan di atas tali tipis, terancam jatuh ke dalam jurang ketidakpastian yang mendalam.Dania mengepalkan tangannya kuat-kuat, bibirnya bergetar menahan luapan amarah yang nyaris meledak. Dia tidak ingin bertengkar, tapi sikap Mark yang dingin dan keras kepala membuatnya hampir kehilangan kendali. T
Hari pertama mereka berada di pulau kecil itu dimulai dengan sinar matahari pagi yang cerah dan angin laut yang segar.Sebuah hari yang tampak sempurna, namun entah mengapa, suasana terasa seperti diam-diam menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar ketenangan.Dania duduk di tepi tempat tidur, menguap dengan malas, sementara Mark sudah berdiri di dekat jendela, matanya tertuju jauh ke arah laut.“Dania. Ayo pergi ke kota,” katanya tiba-tiba, tanpa menoleh.Dania berhenti menguap, menoleh ke arah Mark dengan alis yang berkerut. “Huh?”Mark menatapnya sekilas, lalu tersenyum kecil, seperti seseorang yang sudah menyusun rencana matang. “Kota di seberang pulau. Kita bisa ke sana dengan kapal pribadi. Aku sudah mengatur semuanya.”Dania mendengus pelan, merasa enggan. "Untuk apa ke sana, Mark?" tanyanya, meski tahu suaminya tidak akan pernah memberikan jawaban langsung.Mark menghela napas, berjalan mendekati Dania yang masih duduk dengan ekspresi skeptis. "Ikut saja, jangan banyak tanya.
“Huft! Lelah sekali,” keluh Dania sambil mengusap keningnya yang berkeringat. Angin malam dari luar terasa lembut di kulitnya, tapi rasa penat tetap menyelimuti tubuhnya setelah seharian berbelanja di pusat kota yang ramai. Villa mewah yang kini menjadi tempat mereka beristirahat terlihat megah di bawah langit senja. Dinding-dinding batu besar yang mengelilingi villa itu berkilau diterpa cahaya lampu yang lembut, menciptakan bayangan indah di sekitar taman yang asri.Setelah membuka pintu depan, Dania menghela napas panjang. Aroma rempah-rempah yang menggugah selera langsung menyerbu indra penciumannya. Meja makan di ruang utama sudah disiapkan dengan elegan. Lilin-lilin panjang berwarna putih menyala lembut, menerangi piring-piring porselen mahal yang dihiasi dengan susunan hidangan mewah.“Rasa lelahmu akan segera berkurang setelah menikmati makan malam yang telah disediakan koki di sini,” kata Mark dengan nada datar, sembari meletakkan tas belanjaan mereka di lantai.“Oh, ya? Pa
Mark hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Dania yang menurutnya tidak penting untuk dijawab. Ia tidak sedikit pun menjawab pertanyaannya yang terus menggantung di udara.Namun, bagi Dania, pertanyaan itu sangat penting—apakah dia mencintainya dan apakah pernikahan ini akan bertahan hingga maut memisahkan mereka. Namun, Mark hanya menjawab dengan sikap dingin, seperti biasa.“Mark, tolong jawab pertanyaanku,” pinta Dania memohon pada Mark yang masih juga tidak ingin mengeluarkan suaranya.Mark mengadahkan kepalanya menatap Dania. “Habiskan makananmu,” katanya tanpa emosi, sebelum meninggalkan meja makan dan berjalan menuju balkon.Dania menghela napas panjang, matanya terus mengamati punggung Mark yang semakin menjauh.Hatinya resah. Dalam pikirannya, hanya ada pertanyaan yang terus berputar-putar tanpa jawaban. Mengapa Mark tidak pernah menjawab dengan jelas? Mengapa dia selalu membuat segalanya menggantung?Di ruang makan yang mulai sepi, Dania hanya bisa menggerutu dalam hati.“Pri
“Sebenarnya,” kata Dania pelan, mencoba mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya, “waktu itu, ibumu memang tidak secara langsung mengatakan kalau dia belum percaya sepenuhnya dengan pernikahan kita. Tapi … ada sesuatu dalam ucapannya yang membuatku berpikir.”Mark menoleh ke arahnya, alisnya terangkat, sorot matanya penuh tanda tanya. “Apa maksudmu?” tanyanya, nada suaranya tidak sepenuhnya waspada, tapi tetap ada keraguan di sana.Dania menghela napas, merasa ada sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Yang kukatakan tadi padamu, agar aku tetap berada di sisimu. Hanya saja, dari cara dia berbicara, aku merasa dia tahu sesuatu,” lanjutnya. “Seolah-olah … dia tahu bahwa pernikahan kita ini hanyalah pernikahan kontrak. Pernikahan tanpa cinta.”Mark terdiam sejenak, menatap Dania dengan serius. Bibirnya bergerak sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar. Akhirnya, ia membuang pandangannya ke arah lain, ke laut yang tenang di kejauhan. “Lupakan apa yang dikatakan ibuku,” ujarnya,
"Melakukan yang seharusnya pasangan suami istri lakukan, Dania." Kalimat itu terucap dengan begitu tenang dari mulut Mark, namun efeknya bagi Dania seperti gelombang yang menggulung di dalam dadanya.Ada rasa takut yang tidak bisa ia abaikan, perasaan yang menghantuinya sejak awal pernikahan mereka.Meski ia tahu bahwa hubungan ini berlandaskan kontrak, perlahan segalanya mulai berubah, terutama sikap Mark yang semakin mendekat, semakin menginginkannya.Dania merasa terjebak, terhimpit antara keinginan untuk menghindar dan kesadaran bahwa ia harus memenuhi harapan Mark.Namun, ketika Mark mendekat lagi, tangan Dania perlahan naik, melingkar di leher suaminya, membalas ciumannya.Ciuman itu sederhana, tetapi ada sesuatu di baliknya—rasa takut, keraguan, dan keterpaksaan yang menyelimuti setiap gerakan bibirnya.Mark, yang merasakan tanggapan dari Dania, segera mengangkat tubuhnya dengan mudah. Dia menggendongnya, langkah-lan
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari lembut menembus celah tirai kamar, menyinari sosok Dania yang masih berbaring di ranjang. Tubuhnya terasa remuk, seolah seluruh energinya terkuras habis. Rasa lelah menjalar di setiap otot, dan ada nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Ketika membuka mata, ia mengerang pelan, menyesuaikan diri dengan perasaan berat di kepalanya. Napasnya perlahan teratur saat ia mencoba mengumpulkan kesadarannya.Dania menggerakkan tangannya ke samping, mencari keberadaan Mark, suaminya. Namun, tangannya hanya menyentuh seprai kosong. "Di mana Mark?" gumamnya pelan, menoleh ke kanan dan kiri dengan mata setengah terpejam. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyelimuti kamar. Suara lembut burung berkicau dari luar terdengar samar, seolah mempertegas sunyi yang mendominasi ruangan.Dengan enggan, Dania bangkit dari ranjang dan duduk di tepinya. Pikirannya berkecamuk, merasa bingung dengan ketidakhadiran Mark di sisinya. "Tumben sekali pagi-pagi
Dania terbatuk-batuk, terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut Mark. Suara pria itu terdengar begitu tenang dan biasa, seolah tidak ada beban dalam ucapannya, namun bagi Dania, kata-kata itu seperti petir di siang bolong.“Kenapa kau bertanya seperti itu, padahal kau sudah menyentuhku?” Dania akhirnya berbicara. Matanya menatap pria di hadapannya, mencoba mencari kejelasan dalam wajah yang selalu sulit dibaca itu.Mark hanya menatap balik dengan pandangan datar, seolah pertanyaannya tadi bukan hal besar. "Tinggal jawab saja, apa susahnya?" ucapnya dengan suara rendah, lalu menyesap kopi yang sudah dingin dari cangkirnya.Dania menghela napas panjang. "Aku tidak tahu," gumamnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. "Aku ... mempersilakanmu untuk menyentuhku hanya sebatas kewajibanku padamu, bukan karena ada perasaan di hatiku," tambahnya dengan suara lebih tegas, kini menatap mata Mark langsung.Mark menyunggingk