“Oke, oke!” Marsha menahan tangan Mark yang sudah siap mengirimkan foto dan video itu ke keluarga Kevin. Jemarinya gemetar, tetapi dia berusaha keras untuk terlihat tegar.Namun, tatapan tajam Mark yang penuh kemenangan membuatnya merasa semakin terpojok. Mark menaikkan alisnya, menunggu Marsha untuk melanjutkan ucapannya."So?" tanyanya dengan nada datar, seolah menguji seberapa jauh Marsha akan melangkah.Marsha mengepalkan tangannya, menatap datar ke wajah Mark. Dalam hatinya, amarah dan kepanikan berperang sengit, tapi dia tahu bahwa dia tak punya pilihan lain."Aku menyerah," katanya akhirnya, suaranya terdengar rendah dan hampir tak bernyawa. "Aku akan memberitahu semua orang bahwa itu hanya fitnah."Senyum puas terukir di wajah Mark, senyum yang membuat Marsha semakin menyadari betapa dia telah kalah telak dalam permainan ini."Siapkan media dan ruang untuk konferensi pers dua jam lagi," perintah Mark tanpa sedikit pun rasa ragu. Vicky, yang berdiri di sampingnya, mengangguk ce
“Marsha…” Kevin menghela napas panjang, suaranya terdengar berat dan tertekan. Pandangannya tertuju pada Marsha, yang duduk tak jauh darinya, namun terasa begitu jauh dalam kabut emosinya.Aura di antara mereka penuh ketegangan, serupa hujan yang menggantung di langit gelap, siap mencurahkan butirannya kapan saja.“Bukan itu yang kumaksud, Marsha.” Ucapannya terasa patah, seolah-olah ia merangkai kata-kata yang tak sepenuhnya bisa menjangkau kedalaman hatinya sendiri. “Tentu saja aku sudah tidak mencintai Dania lagi. Aku sudah memilikimu. Aku hanya ingin melindungimu, bukan seperti yang kau ucapkan tadi.”Marsha diam, bibirnya terkatup rapat, tetapi matanya berbicara—sepasang mata yang dipenuhi kebingungan dan keraguan, seakan berusaha mencari jalan di tengah kabut tebal. Ia tidak berbicara, tetapi tatapannya mengisyaratkan ketidakpastian yang mendalam.Apakah yang sebenarnya Kevin sembunyikan di balik kalimat-kalimat itu? Ada sesuatu yang tak terucap, sesuatu yang tak bisa ia jangkau
Mark terdiam, seraya menatap Dania, yang baru saja selesai menceritakan kisah kelamnya. Kecelakaan tragis itu telah merenggut ibunya, dan dalam keheningan yang tiba-tiba mencekam, semua terasa berubah.Bayang-bayang masa lalu yang selama ini disimpan rapi oleh Dania seolah membayang di antara mereka, memenuhi setiap celah di ruangan yang remang."Jadi, kecelakaan itu ... parah?" tanya Mark akhirnya, suaranya bergetar sedikit, mencoba memahami beratnya kenyataan yang baru saja terungkap.Dania menghela napas panjang, seolah setiap helaan napasnya membawa kepedihan yang telah lama tersimpan. Matanya menatap kosong pada piring di depannya, seakan tak lagi mampu berhubungan dengan kenyataan di sekelilingnya."Aku tidak tahu persis," jawabnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan. "Tapi sepertinya iya, karena ibuku meninggal di tempat. Bahkan aku tidak bisa mengantarnya ke tempat istirahat terakhirnya."Mark merasakan desakan di dadanya. Ia menatap Dania dengan intens, sorot ma
Mark menoleh sekilas ke arah Dania yang duduk di sampingnya, wajahnya tampak tegang ketika mendengar pertanyaan ibunya. Di dalam hatinya, Mark tahu, ia tidak pernah sekalipun memikirkan soal bulan madu.Untuk apa? Pernikahan mereka hanyalah sebuah formalitas, sebuah kesepakatan di atas kertas. Tidak ada ruang untuk bulan madu atau kebahagiaan pengantin baru seperti pasangan lain.Tetapi, kenyataan bahwa ibunya kini menatap mereka dengan penuh antusias, menunggu jawaban, membuat suasana semakin tertekan.Dania, yang duduk dengan punggung tegak, melirik sekilas ke arah Mark. Ada rasa tidak percaya yang perlahan merayap dalam dirinya.Bagaimana bisa Mark terlihat begitu santai, sementara mereka berdua tahu betul bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah topeng?Ibunya tak sabar ingin tahu ke mana mereka akan berbulan madu, seolah itu hal yang paling wajar dilakukan oleh setiap pasangan yang baru saja menikah."Tentu saja," kata Mark dengan tenang, suaranya terdengar begitu mantap dan penuh ke
“Kau adalah istriku, Dania. Wajar bukan, jika aku menciummu?” ucap Mark dengan nada datar, seolah tindakan itu hanyalah bagian dari peran yang harus mereka mainkan sebagai pasangan suami istri, tanpa emosi atau makna lebih. Tatapannya yang dingin membuat Dania bergidik.Dania menelan ludahnya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak teratur. Matanya yang semula menatap tajam ke arah Mark kini melembut, meski tetap dipenuhi kebingungan. “Ya, aku tahu. Hanya saja ... kau tidak—”“Berhenti mengoceh sebelum kesabaranku habis, Dania.” Nada suara Mark tiba-tiba berubah tegas, memotong ucapan Dania sebelum kalimat itu selesai. Seketika suasana menjadi tegang, dan Dania merasa seperti berjalan di atas tali tipis, terancam jatuh ke dalam jurang ketidakpastian yang mendalam.Dania mengepalkan tangannya kuat-kuat, bibirnya bergetar menahan luapan amarah yang nyaris meledak. Dia tidak ingin bertengkar, tapi sikap Mark yang dingin dan keras kepala membuatnya hampir kehilangan kendali. T
Hari pertama mereka berada di pulau kecil itu dimulai dengan sinar matahari pagi yang cerah dan angin laut yang segar.Sebuah hari yang tampak sempurna, namun entah mengapa, suasana terasa seperti diam-diam menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar ketenangan.Dania duduk di tepi tempat tidur, menguap dengan malas, sementara Mark sudah berdiri di dekat jendela, matanya tertuju jauh ke arah laut.“Dania. Ayo pergi ke kota,” katanya tiba-tiba, tanpa menoleh.Dania berhenti menguap, menoleh ke arah Mark dengan alis yang berkerut. “Huh?”Mark menatapnya sekilas, lalu tersenyum kecil, seperti seseorang yang sudah menyusun rencana matang. “Kota di seberang pulau. Kita bisa ke sana dengan kapal pribadi. Aku sudah mengatur semuanya.”Dania mendengus pelan, merasa enggan. "Untuk apa ke sana, Mark?" tanyanya, meski tahu suaminya tidak akan pernah memberikan jawaban langsung.Mark menghela napas, berjalan mendekati Dania yang masih duduk dengan ekspresi skeptis. "Ikut saja, jangan banyak tanya.
“Huft! Lelah sekali,” keluh Dania sambil mengusap keningnya yang berkeringat. Angin malam dari luar terasa lembut di kulitnya, tapi rasa penat tetap menyelimuti tubuhnya setelah seharian berbelanja di pusat kota yang ramai. Villa mewah yang kini menjadi tempat mereka beristirahat terlihat megah di bawah langit senja. Dinding-dinding batu besar yang mengelilingi villa itu berkilau diterpa cahaya lampu yang lembut, menciptakan bayangan indah di sekitar taman yang asri.Setelah membuka pintu depan, Dania menghela napas panjang. Aroma rempah-rempah yang menggugah selera langsung menyerbu indra penciumannya. Meja makan di ruang utama sudah disiapkan dengan elegan. Lilin-lilin panjang berwarna putih menyala lembut, menerangi piring-piring porselen mahal yang dihiasi dengan susunan hidangan mewah.“Rasa lelahmu akan segera berkurang setelah menikmati makan malam yang telah disediakan koki di sini,” kata Mark dengan nada datar, sembari meletakkan tas belanjaan mereka di lantai.“Oh, ya? Pa
Mark hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Dania yang menurutnya tidak penting untuk dijawab. Ia tidak sedikit pun menjawab pertanyaannya yang terus menggantung di udara.Namun, bagi Dania, pertanyaan itu sangat penting—apakah dia mencintainya dan apakah pernikahan ini akan bertahan hingga maut memisahkan mereka. Namun, Mark hanya menjawab dengan sikap dingin, seperti biasa.“Mark, tolong jawab pertanyaanku,” pinta Dania memohon pada Mark yang masih juga tidak ingin mengeluarkan suaranya.Mark mengadahkan kepalanya menatap Dania. “Habiskan makananmu,” katanya tanpa emosi, sebelum meninggalkan meja makan dan berjalan menuju balkon.Dania menghela napas panjang, matanya terus mengamati punggung Mark yang semakin menjauh.Hatinya resah. Dalam pikirannya, hanya ada pertanyaan yang terus berputar-putar tanpa jawaban. Mengapa Mark tidak pernah menjawab dengan jelas? Mengapa dia selalu membuat segalanya menggantung?Di ruang makan yang mulai sepi, Dania hanya bisa menggerutu dalam hati.“Pri