Impian besar dibutuhkan tekad besar, semangat besar, kerja keras yang besar. Tapi jika tidak diimbangi kesabaran dan pantang menyerah maka hanya sia-sia.
♠ ♠ ♠ ♠ ♠
Seorang pria dengan tinggi 188 centimeter tengah berdiri di hadapan dinding kaca dalam ruangannya. Dia mengamati kota kecil Maranello yang berada di Italia. Meskipun tidak sebesar kota Roma, tetapi Maranello menyimpan pemandangan alam yang indah. Sehingga membuat pemilik mata sehijau batu zamrud bernama Giorgio De Luca merasa begitu nyaman.
Terdengar suara ketukan dan diiringi pintu ruangannya yang terbuka. Terlihat seorang wanita cantik bernama Lucette Rosabelle berjalan masuk. Dia tersenyum melihat sang pemilik ruangan yang berdiri memunggunginya.
"Ada apa, Lucy?" Itulah panggilan khusus Gio untuk sekretaris yang sudah lama dikenalnya.
"Calon istrimu sudah diterbangkan kemari, Gio."
Pria berusia tiga puluh empat tahun itu pun menoleh. Wajah tampannya terlihat sempurna jika dilihat dari sisi kanan. Namun kesempurnaan itu lenyap tatkala bekas luka bakar yang ada di bagian pipi kirinya dan menjalar hingga ke lehernya. Meskipun tidak merasakan sakit lagi, tetapi luka itu telah menyisakan bekas yang begitu dalam tidak hanya secara luar.
Lucy yang merupakan sahabat Gio, terlihat tidak jijik atau pun merasa kasihan melihat luka itu. Dia tahu kedua hal itu akan membuat Gio marah dan menjauhkan diri.
"Sayangnya aku harus menambahkan kata 'terpaksa' pada kalimat tadi." Lucy terkejut mendengar kabar yang baru saja disampaikan orang kepercayaan Gio yang berada di California, Amerika Serikat.
"Bukankah dia sama saja dengan wanita lain?" Gio mendengus sinis.
"Mengapa kau harus melakukan ini, Gio? Kau bisa mendapatkan wanita mana saja yang kau mau tanpa harus membuat perjanjian ini." Lucy akhirnya menanyakan alasan Gio melakukan perjanjian ini.
"Apa kau pikir semua wanita akan menerima lukaku, Lucy?"
Aku menerimanya. Tapi kau tidak pernah melihatku. Sedih Lucy dalam hati.
"Kalau saja kau mau memilih opsi lainnya." Lucy menurunkan suaranya.
"Tidak." Jawaban tegas Gio sudah mampu membuat Lucy tidak membahas pilihan lainnya itu.
Pilihan yang dimaksud Lucy adalah operasi plastik untuk menutupi luka itu. Dengan menutupi luka itu, maka ketampanan Gio akan kembali seperti semula. Ketampanan yang mampu membuat semua wanita dengan mudahnya melompat dalam pelukannya. Tapi Lucy tahu benar alasan Gio menolaknya. Karena meskipun menutupi luka di kulitnya, tidak akan pernah bisa menutupi luka di hatinya. Bagi Gio, luka itu seakan mengingatkan dirinya akan masa lalu yang mengerikan.
"Baiklah. Kau tidak perlu bersikap seperti singa meraung, Gio." Lucy terkekeh melihat tatapan tajam Gio dilayangkan padanya.
Lucy mengangkat kedua tangannya, "Aku menyerah. Aku tidak akan angkat suara lagi. Calon istrimu akan tiba tengah malam nanti. Dari Roma dia akan di langsung di bawa kemari. Apakah ada pertanyaan?"
"Tidak ada. Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Lucy."
"Baiklah. Aku akan kembali bekerja jika kau membutuhkanku." Ucap Lucy sebelum akhirnya berbalik keluar.
Gio kembali mengamati pemandangan di luar dinding kacanya. Dia mendengus sinis membayangkan putri Matthew Hart yang dipaksa terbang kemari. Gio tidak menyangka jika Matthew begitu tega menjual putrinya sendiri hanya uang.
Manusia selalu licik jika menyangkut uang, gumam Gio dalam hati.
♠ ♠ ♠ ♠ ♠
Abby telah mempercayakan toko rotinya kepada Taylor pegawainya, sementara dia pergi untuk memenuhi janjinya pada sang paman. Wanita berambut coklat itu menaiki mobil Austin Morris Mini Cooper merah. Mobil mungilnya membawa Abby menuju kantor cabang De Luca Inc. di Cupertino. Membutuhkan waktu empat puluh lima menit dari San Fransisco.
Saat sampai di tujuan, Abby dibuat kagum dengan bangunan perkantoran yang megah dengan dinding kaca. Jelas terlihat kantor itu adalah tempat untuk kalangan yang berbeda dan Abby tidak pernah berada dalam bagian itu. Bahkan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu bisa melihat mobilnya terlihat paling mungil diantara mobil-mobil lainnya.
Namun Abby tidak mempermasalahkan hal ini. Dia kemari bukan untuk membandingkan status perekonomiannya, tapi untuk membantu pamannya. Dia selalu menyusahkan pamannya dengan tinggal bersamanya sejak kedua orang tuanya meninggal sebelum akhirnya dia membeli apartemen kecilnya sendiri. Wanita itu meyakinkan dirinya untuk melakukan yang terbaik bagi orang yang sudah menolongnya.
Memasuki pintu masuk gedung perkantoran itu, Abby merasa sedang berada dalam pameran teknologi. Segala produk teknologi yang dihasilkan oleh De Luca Inc. diperlihatkan di ruangan depan. Dari smartphone, komputer, jam pintar dan benda canggih lainnya. Abby dibuat terpesona dengan kecanggihan dari benda-benda yang diproduksi perusahaan itu. Langkah wanita itu membawanya menuju meja penerimaan tamu. Terlihat seorang wanita muda mengenakan setelan seragam dengan logo De Luca Inc. tengah tersenyum ramah padanya.
"Selamat sore, Nona. Saya Silvia. Ada yang bisa saya bantu?" Sapa wanita dengan name tag Silvia.
"Saya Abby Hart. Saya memiliki janji dengan Mr. De Luca."
"Ah... Miss Hart. Mari saya akan mengantarkan anda ke ruang pertemuan." Ucap wanita itu melangkah keluar dari balik meja.
Abby pun berjalan mengikuti wanita itu menuju lift. Wanita itu masih mengamati sekeliling sembari menunggu pintu lift terbuka. Saat pintu besi itu terbuka, Abby kembali dibuat terpukau dengan teknologi yang disuguhkan perusahaan itu. Bahkan lift pun tidak lepas dari campur tangan teknologi.
Saat Abby masuk mengikuti Silvia, dinding yang dipenuhi layar LED menampilkan profil singkat mengenai perusahaan De Luca Inc. Namun melalui profil itu tidak ada gambar yang menampilkan sang CEO. Hanya nama Giorgio De Luca yang disebutkan.
Abby pun memikirkan ucapan Carla. Dia merasa miris dengan pria De Luca itu. Dia berada dalam posisi yang tinggi tapi dia harus menanggung luka yang tidak ingin dihilangkan. Abby yakin tuan De Luca ini pasti mengalami masa yang sangat sulit.
Ketika pintu lift terbuka, Silvia mempersilahkan Abby untuk berjalan keluar. Keluar dari kotak besi itu, Abby sudah langsung memasuki ruang pertemuan. Di tengah ruangan terdapat meja besar dengan banyak kursi tertata rapi. Banyak kata-kata motivasi yang menghiasi dinding. Tapi ada kalimat yang menarik perhatian Abby.
Impian besar dibutuhkan tekad besar, semangat besar, kerja keras yang besar. Tapi jika tidak diimbangi kesabaran dan pantang menyerah maka hanya sia-sia.
Abby tersenyum menyetujui kalimat itu. Selama ini jika dia tidak memiliki kesabaran dan pantang menyerah, dia tidak akan memiliki toko roti sendiri.
“Duduklah dulu, Miss Hart. Sebentar lagi beliau akan datang." Silvia menunjuk ke arah salah satu kursi.
Karena terlalu memperhatikan sekitar, Abby tidak menyadari jika Silvia sudah menyediakan secangkir teh dan kue keju di atas meja. Sebagai pemilik toko roti, jelas Abby tertarik dengan potongan kue berbentuk segitiga itu.
"Terimakasih, Silvia."
Abby pun duduk di kursi dan melihat Silvia kembali ke lift. Setelah memastikan Silvia menghilang dari lift, Abby mengangkat piring kecil berisi kue itu. Dia mengamati lapisan keju manis di atas kue spons itu. Bahkan di atasnya diberi buah kiwi yang semakin mewarnai kue itu. Setelah mengamati, Abby mengambil garpu kecil dan mulai memotongnya sedikit. Dari potongannya, Abby bisa melihat kelembutan kue itu. Wanita itu mengangkat potongan itu ke dalam mulutnya.
Mulut Abby mengunyah menikmati setiap rasa yang dihasilkan roti itu. Wajahnya tampak serius menilai rasa roti itu hingga tidak menyadari seorang pria mengamatinya. Pria itu berdiri dengan setelan hitam menatap lurus ke arah Abby. Wajah wanita yang sedang serius menarik perhatiannya.
Bagaimana bisa memakan roti hingga berpikir serius seperti itu? Itulah yang dipikirkan oleh Xavery Salvadore.
"Kuharap roti yang dihidangkan perusahaan tidak mengecewakanmu, Miss Hart."
Abby tersentak mendengar ucapan Xavery. Wanita itu mendongak dan melihat pria dengan tinggi 185 centimeter itu berjalan menghampirinya. Abby segera meletakkan piring kecil itu di atas meja dan langsung berdiri.
"Ma-maafkan aku. Tidak seharusnya aku menilai roti yang disediakan."
Bibir pria bertubuh tegap itu seketika meloloskan tawa. "Tidak masalah, Miss Hart. Baru kali ini perusahaan De Luca Inc. dinilai dari roti yang dihidangkan."
Ketegangan di wajah Abby pun mengendur. Bibirnya menyunggingkan senyuman melihat tawa pria itu.
"Karena aku tidak pandai menilai teknologi, maka aku memilih untuk menilai rotinya. Tapi jujur, roti ini sangat lezat dan lembut di dalam mulut." Abby menunjuk ke arah roti yang berada di atas meja.
"Aku rasa pujian itu akan aku catat sebagai referensi. Perkenalkan aku adalah Xavery Salvadore, Miss Hart."
"Jadi aku tidak akan bertemu dengan Mr. De Luca?" Abby tampak terkejut.
"Apa kau berharap bertemu dengannya?"
"Tidak. Bukan aku tidak mau. Aku hanya terkejut. Karena aku diberitahu akan bertemu dengan Mr. De Luca."
"Kau mengingatkanku pada perjanjian yang harus ditandatangani. Duduklah Miss Hart. Kita mulai pertemuan kita."
Abby pun duduk kembali dan Xavery membuka dokumen yang dibawanya lalu meletakkannya tepat di hadapan Abby. Dia juga menyerahkan pena dinatas dokumen itu.
"Bahasa Italia?" Abby terkejut melihat isi perjanjian yang isinya berasal dari Italia.
"Kau pasti ingat Mr. De Luca berasal dari Italia. Karena itu perjanjian dibuat dengan bahasa ibunya. Kami akan mengirimkan salinannya dalam bahasa Inggris setelah kau menandatanganinya." Jelas Xavery.
"Baiklah. Aku harus tanda tangan di mana?" Abby meraih pena milik pria itu.
"Kau harus menuliskan nama panjangmu di sini." Xavery menunjuk ke bagian yang digaris bawah panjang.
Abby pun menuruti pria itu. Kemudian Xavery menunjuk ke tempat yang harus Abby tanda tangani serta dibubuhi nama terang. Setelah Abby melakukan tugasnya, Xavery mengambil alih dokumen itu dan merapikannya.
"Sebentar lagi akan ada seseorang yang akan mengantarkanmu ke bandara."
Seketika mata Abby melotot, "Ba-bandara? Apa maksudmu mengantarkanku ke Bandara? Memang ke mana aku harus pergi?"
"Tentu saja ke Italia, Miss Hart. Kau akan segera menikah dengan Mr. De Luca di sana."
Seketika mulut Abby terbuka lebar mendengar penjelasan Xavery. Dia mengerjapkan matanya berharap ini mimpi. Tapi Xavery tidak kunjung hilang dari hadapannya.
"Tidak mungkin. Bagaimana bisa aku menikah dengan Mr. De Luca sementara aku tidak pernah bertemu dengannya." Abby menggelengkan
"Kau memang tidak pernah bertemu dengan Mr. De Luca. Tapi kau telah menandatangani perjanjian pranikah."
"Perjanjian pranikah?" Lalu tatapan Abby teralih pada dokumen yang tergeletak di hadapan Xavery.
"Jadi itu perjanjian pranikah? Bukan perjanjian kerjasama?" keburaman yang dirasakan Abby beberapa saat yang lalu mulai jelas.
"Bukan Miss Hart. Kau telah menandatangani perjanjian pranikah."
Seakan ada petir yang menyambar tubuh Abby. Membuat wanita itu membeku di tempat dan menatap nanar ke arah dokumen yang sedang dibicarakannya.
♠ ♠ ♠ ♠ ♠
Kok jadi perjanjian pranikah?
Wah... Abby dibohongin paman dan sepupunya. Jadi ini rencana licik mereka. Lalu bagaimana Abby akan menjalani hidupnya yang baru ya?
Tunggu kelanjutan ceritanya ya... Byee...
Cinta adalah satu kata yang memiliki efek besar bagi manusia.Tanpa cinta membuat manusia seperti tidak bernyawa.
Masalah akan selalu ada.Mengusik hingga membuat kita tidak berdaya.
Pernikahan yang indah adalah pernikahan yang dipenuhi cinta. Tanpa kata yang berawalan huruf ‘C’ itu, pernikahan terasa begitu hambar.
"Anger is a valid emotion. It's only bad when it takes control and makes you do things you don't want to do."~ Ellen Hopkins ~&nbs
Jangan takut untuk menjadi benar.Meskipun apa yang akan kita hadapi sangat besar,
Ucapan yang baik, bagai bunga teratai yang keluar dari mulut.Ucapan yang buruk, seperti bisa ular yang disemburkan dari mulut.
Penyesalah tanpa adanya tindakan, hanya akan membuatmu akan lebih bertambah menyesal.♠ ♠ ♠ ♠ ♠
Non chiederti di cosa ha bisogno il mondo. Chiedi cosa ti rende vivo, quindi fallo. Perché ciò di cui il mondo ha bisogno è una persona entusiasta